Senin, Januari 28, 2008

Soeharto dan Ibu-ibu yang Diperkosa Jin

:: Soeharto dalam 27 Front Page Koran Hari Ini

Dari 27 koran yang bisa saya dapatkan hari ini, hanya Lampu Merah yang tidak memasang headline berita kematian Soeharto. Lampu Merah “membandel” dengan memasang headline berjudul “Ibu-ibu Diperkosa Jin”.

Selebihnya, semua memasang headline berita kematian Soeharto. Tak hanya itu, nyaris semua halaman muka (front page) koran-koran yang terbit hari ini dipenuhi oleh berita tentang kematian Soeharto dan tak menyisakan untuk berita yang lain. Suara Karya, Bisnis Indonesia, Non-Stop, Top Skor dan Lampu Merah menjadi contoh koran yang tak menghabiskan semua front page-nya untuk memberitakan kematian Soeharto.

Saya belum membaca secara detail semua koran. Tapi, dari pembacaan secara acak, ada satu feature yang menarik buat saya, yaitu feature di halaman 2 Koran Tempo yang berjudul “Dua Puluh Menit Menuju Cendana” yang ditulis oleh Dwi Wiyana. Feature ini menceritakan pengalaman sopir ambulance yang membawa jenasah Soeharto dari RSPP ke Cendana. Ini mengingatkan saya pada tulisan Jimmy Breslin berjudul “Ini Sebuah Kehormatan” yang menceritakan kisah penggali kuburannya John F Kennedy.

Saya puas bisa mendapatkan nyaris semua koran yang saya temukan di Jakarta. Ada beberapa yang saya tak bisa dapatkan yaitu Suara Pembaruan edisi Minggu (27/1) dan Kontan edisi Senin (28/1). Mungkin saya akan mencarinya lagi.

Saya membayangkan, 30 tahun kemudian, saya tak akan kesulitan jika mesti menulis tentang kematian Soeharto. Ini sumber sejarah, saya kira. Mungkin, kelak, saya juga bisa membantu siapa saja yang hendak meneliti subjek ini.

Di bawah ini, Anda bisa melihat 27 front page koran hari ini.

post-script: Untuk bisa melihat gambar dengan lebih jelas, klik saja dua kali gambar yang hendak Anda lihat.






















































-----------------------

Soeharto dan Titimangsa 27 Januari?

Soeharto mati pada 27 Januari 2008. Apa yang dilakukan Soeharto pada 27 Januari di tahun-tahun sebelumnya? Pada 27 Januari 1969, Soeharto mengirimi Nixon ucapan selamat menjadi Presiden Amerika. 39 tahun kemudian, pada 27 Januari juga, Soeharto menerima ucapan selamat jalan yang terakhir. Apa aktivitas Soeharto pada 27 Januari di tahun-tahun awal kekuasaannya? Buku “Jejak Langkah Pak Harto: 28 Maret 1968 – 23 Maret 1973” bisa memberikan jawabannya. Baca selengkapnya....

Selengkapnya......

Minggu, Januari 27, 2008

Former President of Indonesia and Brutal Ruler, Dies




"Brutal Ruler". Ya, judul postingan ini, yang ada kata-kata "Brutal Ruler", dipilih oleh Times edisi online untuk menyebut Soeharto dalam headline berita kematian Soeharto. Saya hanya mengunduhnya begitu saja.

Bukan hanya Times, berita kematian Soeharto juga diangkat banyak (edisi online) surat kabar berpengaruh di luar negeri, bersanding dengan berita kemenangan Obama di primay dan kaukus pemilihan calon presiden untuk partai demokrat. Ada yang hanya menurunkan berita dan ada yang menurunkan tulisan khusus.

Nyaris semua berita di media massa luar negeri mencantumkan kata "diktator" dalam tulisannya. Frase "pelanggaran HAM", "kekerasan" dan "korupsi" bertaburan dalam setiap berita tentang kematian Soeharto.

Apa boleh buat, tuan, dunia sudah kadung punya catatannya sendiri tentang sampeyan!

Sejak jam 5 sore, saya bolak balik ke Gambir sebanyak tiga kali. Apalagi selain mengumpulkan koran-koran sore. Sindo edisi sore terbit tepat waktu sehingga tak ada berita kematian Soeharto. Harapan saya tinggal Sinar Harapan dan Suara Pembaruan. Akhirnya saya mendapat Sinar Harapan di Tugu Tani Menteng tepat jam 8 malam. Harganya hampir dua kali di atas normal: 4 ribu perak (Suara Pembaruan tak saya peroleh hingga jam 8 malam).

Tak sia-sia Sinar Harapan mengundurkan jadwal terbitnya. Seluruh halaman Sinar Harapan sore itu berisi tentang Soeharto. Halaman depan berisi liputan aktual dan sisanya berisi artikel-artikel tentang Soeharto dari pelbagai sudut pandang, sampai-sampai ada tulisan tentang Soeharto dan Sepak Bola Indonesia. Komplit-plit.

Besok saya berjanji pada diri sendiri akan membeli dan mengumpulkan semua koran yang bisa saya peroleh di Jakarta. Untuk arsip dan data base, tentu saja. Ini peristiwa langka. Saya pernah mencari arsip-arsip koran mengenai kematian Soekarno dan Hatta. Saya tahu susahnya kayak apa. Makanya saya gak mau kecolongan momen kematian Soeharto dengan mencoba semampunya mengumpulkan semua koran. Ya, besok pagi.

Kelak, 20 atau 30 tahun lagi, siapa tahu saya bisa membantu orang yang hendak meneliti kembali momen langka ini.

-------------------

Ini daftar berita di media massa luar negeri (dalam versi online)yang memberitakan kematian Soeharto. Saya mencarinya mulai pukul 4 sore dan terakhir jam 9 malam:

BBC

CNN

New York Times

The Telegraph

Times

News of the World

ABC News

AFP

Reuters

Associated Press

International Herald Tribune I

International Herald Tribune II

The Straits Times I

New Straits Times II

---------------------

Soeharto dan Titimangsa 27 Januari?

Soeharto mati pada 27 Januari 2008. Apa yang dilakukan Soeharto pada 27 Januari di tahun-tahun sebelumnya? Pada 27 Januari 1969, Soeharto mengirimi Nixon ucapan selamat menjadi Presiden Amerika. 39 tahun kemudian, pada 27 Januari juga, Soeharto menerima ucapan selamat jalan yang terakhir. Apa aktivitas Soeharto pada 27 Januari di tahun-tahun awal kekuasaannya? Buku “Jejak Langkah Pak Harto: 28 Maret 1968 – 23 Maret 1973” bisa memberikan jawabannya. Baca selengkapnya....

Selengkapnya......

Sabtu, Januari 26, 2008

Death!

Akhirnya....

Dua tahun lalu, juga di hari Minggu, Pram lebih dulu. Bung Pram, sambutlah "kawan lamamu" ini sebaik-baiknya.

Selamat jalan, Jenderal!

Selengkapnya......

Jumat, Januari 25, 2008

Sampah!

Coba sampeyan lihat gambar di bawah ini. Sampeyan pasti sering atau pernah melihatnya.

Coba perhatikan sosok di ujung paling kiri dan paling kanan. Keduanya, sama-sama ada dalam posisi dengan tinggi yang palind rendah. Bedanya, yang di ujung kiri tampak rendah karena masih berbentuk kera sementara yang ujung kanan tampak rendah karena ia dalam posisi duduk. Selain itu, keduanya juga sama-sama tak mengenakan pakaian. Telanjang. Bedanya, gambar di ujung kanan, manusia macam kita, duduk telanjang sambil memelototi komputer.

Ini satire yang bagus saya kira. Charles Darwin pasti tak pernah berpikir bahwa evolusi (kecerdasan) manusia, yang mampu menciptakan mesin hebat bernama komputer, ternyata bisa berakhir sama: ketelanjangan manusia.

Di hadapan kecanggihan komputer dan internet, manusia sangat senang tampil telanjang, membicarakan ketelanjangan, atau menyaksikan mahluk yang satu spesies dengannya sedang berpose dan berakting telanjang juga, akan lebih semangat nontonnya kalau yang berpose dan berakting telanjang itu lebih dari satu orang, bisa berdua, bertiga, bahkan ada yang massal. Albert Camus mungkin benar, sekarang lebih banyak lagi orang macam Kaisar Calligula.

Coba simak gambar yang tengah, di situ tampak sosok telanjang yang sedang membawa tombak. Berapa jiwa mahluk yang satu spesies dengan dia yang mesti tewas oleh tombak macam itu, atau oleh anak panah, dalam peperangan antar suku? Anehnya, evolusi kecerdasan manusia tetap saja tak membuat manusia berkurang naluri membunuhnya. Jika dulu tombak, sekarang dengan Kalashnikov 47 atau bahkan bom atom. Jangan salahkan jika ada yang beranggapan bahwa manusia sebenarnya tak banyak berubah.

Bertrand Russel, filsuf hebat abad-20 yang jenius dalam banyak hal ini, menyebut fenomena seperti itu sebagai “omong kosong intelektual” atau “intellectual rubbish”. Istilah itu dipakai Russel untuk menjelaskan betapa banyak hal dari konsep-konsep yang sering kita anggap intelektual ternyata memiliki bolong-bolong yang tak terduga, aib-aib yang memalukan, sekaligus dusta-dusta yang tak termaafkan, termasuk keyakinan-keyakinan kita tentang betapa mulianya manusia modern dibanding orang-orang Badui yang bar-bar.

Russel membicarakan “intellectual rubbish” itu dalam bukunya berjudul “Unpopular Essays”, tepatnya di halaman 71-111. Dua hari lalu saya membacanya (dari terjemahan Mochtar Pabottingi) dengan rileks, sambil diselingi nonton film klasik buatan tahun 1955 yang memesona, “East of Eden”, yang dibintangi James Dean, yang juga membintangi film yang lebih terkenal, lebih legendaris dan masih sering dibicarakan, “Rebel without A Cause”.

Di esainya yang cukup panjang ini, Russel menulis dengan rileks. Berbeda dengan esai-esainya di buku yang sama, di bagian ini Russel bahkan sama sekali tak merumuskan apa itu “intellectual rubbish”. Ia banyak menyajikan contoh-contoh dari konsep, teori, doktrin atau kepercayaan yang baginya omong kosong dan tak ada artinya. Dia mengolok-olok beberapa pemikiran Paus, para pemimpin sekte agama, teori-teori pemikir dan teolog berkaliber macam Lao Tze, Thomas Aquinas, Mahatma Gandhi, Spinoza bahkan hingga Plato dan Aristoteles.

Russel, misalnya, mengolok Plato karena (1) dia tidak menyenangi drama dengan alasan yang sangat sepele: karena dalam drama lelaki memerankan tokoh perempuan (dulu perempuan nggak boleh main drama atau theater, itulah sebabnya tokoh Viola dalam film “Shakespeare in Love”, yang dimainkan Gwyneth Paltrow, harus menyamar jadi lelaki untuk bisa bermain drama yang disutradarai Shakespeare) dan karena (2) Plato secara konyol pernah menulis bahwa manusia yang sepanjang hidupnya tak mencari kebijaksanaan akan lahir kembali sebagai seorang perempuan.

Aristoteles diolok-oloknya juga karena secara absurd pernah mengajukan teori bahwa (1) jika kawin terlalu muda maka anaknya akan perempuan semua, (2) darah wanita lebih hitam dari darah lelaki, (3) gajah yang menderita insomnia harus digosok punggungnya dengan garam dan (4) jumlah gigi wanita lebih sedikit dan lebih jelak dari gigi lelaki (Maulida, silakan kau marah-marah pada dua Almukarrom dari Athena ini: Gus Plato dan Gus Aristoteles. Aing mah teu pipiluan, euy. Hahaha….)

Russel juga menceritakan kepercayaan bangsa Cina tentang kesucian mayat dengan nada yang sinis. Dia bercerita tentang seorang tabib Prancis yang diminta mengajar tentang kedokteran modern bagi orang Cina. Permintaan tabib itu untuk membedah mayat disambut dengan penuh ketakutan. Anehnya, tabib itu diberi keleluasaan untuk membedah hidup-hidup tubuh penjahat berapa pun yang dikehendakinya. Majikan Cina-nya heran dengan penolakan tabib Prancis tersebut, sama herannya dengan tabib Prancis itu terhadap usulan majikannya.

Thomas Aquinas, teolog gereja terpenting selama abad pertengahan, juga tak luput dari olok-oloknya. Aquinas pernah membayangkan masyarakat kanibal yang tak pernah makan daging selain daging manusia. Kata Aquinas, semua orang dari masyarakat kanibal itu penuh dosa (juga pasti masuk neraka) karena tubuhnya tak lagi asli karena setiap sel tubuhnya adalah kepunyaan orang lain yang sudah dimakannya.

Dengan semangat mengolok-olok yang kental, Russel menggojlok pandangan Aquinas itu. Masalahnya, kata Russel, jika semua pendosa akan dibakar di neraka (termasuk dari masyarakat kanibal itu), lantas daging siapa yang mau dibakar? Karena daging-daging manusia berkut sel-selnya sudah tercampur baur. Tubuh si A, misalnya, yang semua selnya diambil dari korban yang dimakannya harus dibakar, sementara pada saat yang sama korban-korban yang dimakan itu yang juga kanibal dagingnya juga harus dibakar, maka tak akan lagi jelas siapa yang mesti menanggung dosa dan siapa yang mesti menanggung sakit kepanasan. (bebaqaran wae, ya? Hehehehe….)

Dia juga mengejek suster-suster gereja yang jika mandi pun masih harus mengenakan pakaiannya. Jika ditanya untuk apa mandi masih mengenakan pakaian, suster-suster itu biasa menjawab: “Apa kau lupa Tuhan maha tahu dan melihat?”

Dengan nada yang rasanya setengah gusar, Russel balik mengejek: “Jika Tuhan maha tahu dan melihat, apa kau kira Tuhan tak bisa menembus pakaian yang kau pakai waktu mandi?” Lucu sekali, kata Russel, bagaimana bisa seorang yang saleh punya imajinasi tentang Tuhan yang senang mengintip hambanya yang sangat saleh, hobi yang tak ada bedanya dengan penyakit voyeurism macam di film-film bokep.

Pemerintahan Inggris, tanah kelahiran Russel, juga tak luput dari olok-oloknya. Sewaktu Inggris terlibat Perang Dunia I, Inggris mencoba menanam bahan pangan sebanyak-banyaknya, termasuk menanam kentang di hari Sabat atau Sabtu (salah satu dari 10 larangan Tuhan seperti diajarkan Musa). Sewaktu Inggris tak kunjung menang perang, masyarakat menganggap bahwa ini akibat pemerintah melanggar larangan menanam kentang di hari Sabat. Tapi, sewaktu akhirnya Jerman berhasil dikalahkan, masyarakat Inggris punya alasan yang –bagi Russel—begitu konyol: “Sebab orang Jerman melangar seluruh dari sepuluh perintah Tuhan, sementara Inggris hanya melanggar satu perintah saja.”

Para pemimpin sekte keagamaan juga diolok-oloknya dengan pedas. Salah satu yang paling lucu adalah peristiwa yang terjadi pada 1820 di New York. Ketika itu, kata Russel, seorang perempuan yang jadi pemimpin sebuah sekte, mengatakan bahwa ia bisa berjalan di atas air dan ia juga mengumumkan bahwa dirinya akan memertontonkan kehebatannya itu pada jam 11.00 besok harinya.

Pada waktu yang telah ditentukan itu, ribuan pengikut ketua sekte itu sudah berkumpul di sebuah danau. Ketika tiba saatnya, ketua sekte itu berkhotbah lebih dulu dan mengakhiri khotbahnya dengan pertanyaan: “Percayakah kalian semua bahwa saya sanggup berjalan di atas air?”

Dengan suara yang bulat, ribuan pengikutnya mengangguk seraya berteriak: “Ya, kami percaya!”

Coba, kira-kira apa yang dikatakan ketua sekte itu? Dia ternyata berkata gini: “Kalau begitu, saya tak perlu melakukannya lagi!” Mereka semua lantas pulang ke rumahnya masing-masing dengan perasaan yang puas.

Banyak aneka lelucon intelektual dan doktrin-doktrin teologi yang diacak-acak oleh Russel di esainya yang ringan tapi serius itu. Anda bisa membacanya sendiri jika ingin lebih puas. Tapi, cukup jelas, Russel ingin mengingatkan pembacanya bahwa penting untuk berhati-hati dengan semua teori dan kepercayaan yang sepintas terasa meyakinkan. Russel memberitahu bahwa banyak hal dari itu semua sebenarnya adalah omong kosong yang keropos.

Itulah sebabnya, sewaktu berceramah untuk mengenang Moncure Conway, ia membacakan pidato berjudul “Free Thought and Official Propaganda”. Di situ, ia mengejek dengan serius konsepsi William James tentang “will to believe” atau “kehendak untuk percaya” (bisa dibaca pada buku James yang terkenal, “The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature”, yang edisi terjemahannya diterbitkan oleh penerbit Jendela).

Russel lantas mengajukan konsep yang ia namai “will to doubt” atau “kehendak untuk meragukan”. Sikap itu penting sebab, kata Russel dalam ceramah yang diadakan pada 1922 itu, “Tak satu pun dari kepercayaan-kepercayaan umat manusia itu benar sepenuhnya. Masing-masing kepercayaan itu mempunyai sudut-sudut yang kabur dan keliru.”

Saya jadi ingat sewaktu pertama kali diajari tentang Bertrand Russel oleh profesor saya yang terkenal, Prof. Syafi’i Ma’arif, di kelas Filsafat Sejarah di awal-awal kuliah dulu. “Russel itu,” kata Profesor yang pernah jadi Ketua PP Muhammadiyah ini, “adalah wakil paling terkemuka dari aliran agnostisisme yang tak mau memikirkan lama-lama soal Tuhan itu ada atau tidak, karena bagi mereka ada atau tidaknya Tuhan itu sama sekali gak penting dan bukan urusan mereka.”

Anda boleh ikut Russel atau tidak. Tapi, ada yang menarik dari kata-kata penutup Russel di esainya tentang “intellectual rubish” itu. Gini bunyinya: “Seorang bijaksana akan menikmati kebaikan yang begitu banyak tersedia, dan sehubungan dengan sampah (rubbish) intelektual: ia akan menemukan secara melimpah, di masa kita dan di tiap masa yang lain.”

Anda berminat untuk menemukan “sampah-sampah” macam itu di mimbar khotbah hari Jumat atau di kapel pada Minggu pagi atau dalam berita di TV atau di koran-koran dan buku-buku? Jika mau, bagaimana kalau kita memulainya dengan memeriksa “sampah” yang mungkin berserakan di blog kita sendiri lebih dulu?

Jangan sampai deh memukul air di dulang terpercik wajah sendiri. Bukan begitu? Yuuuukkkk……

Selengkapnya......

Jumat, Januari 18, 2008

Adik Kecil Socrates

Semalam saya menonton interview Peter F Gontha dengan Sinta Nuriyah di Q-TV, membaca bagian kedua buku Arthur Shcopenhauer, The World as Will and Idea, lalu mengakhirinya dengan ngobrol gak bermutu bersama dua teman sekantor yang gagal jadi pastor tapi berhasil menggondol gelar sarjana filsafat dan teologi.

Interview di Q-TV dengan mantan ibu negara, Sinta Nuriyah, lebih banyak berbicara tentang pemberdayaan perempuan. Itu sih gak menarik. Biasa aja. Yang menarik justru sewaktu mulai menyentuh soal kehidupan pribadi Sinta Nuriyah.

Sinta Nuriyah adalah seorang anak mbarep, sulung. Coba tebak, dia punya adik berapa? Satu? Dua? Empat? Lima? Delapan? Sampeyan salah kabeh. Adik Sinta Nuriyah ternyata ada… 17 orang! Dan itu lahir dari (pinjam istilahnya Rendra) “gua garba” yang sama, dari simbok yang esa.

Saya yang tadinya nonton sambil leyeh-leyeh di sofa langsung terlonjak dan bener-bener mangap tak percaya. Ibu dari Sinta Nuriyah ternyata adalah anak tunggal. Dia merasa gak nyaman jadi satu-satunya anak. Kesepian. Itulah sebabnya dia memilih beranak banyak. Tapi kalo banyaknya sampai 18, weleh… weleh!

Sinta Nuriyah menyebutnya sebagai sweet revenge alias balas dendam yang manis. Itu betul-betul metafora yang manis dan berkadar humor, Bu.

[Dari buku Richard Dawkins berjudul Sungai dari Firdaus yang menjelaskan tentang DNA dan genetika dengan bahasa populer, saya menemukan bahwa ada lelaki dari Maroko bernama Moulay Ishmael yang punya harem seribu lebih. Bayangkan, berapa si Moulay itu punya anak? Sultan-sultan Jawa jelas lewat, bro!]

Saya tak mampu menahan ketawa sewaktu teman saya yang sarjana filsafat, Agustinus alias Ino yang bukunya tentang pemikiran Guattari dan Deleuze diterbitkan Jalasutra, nyeletuk dengan gaya dingin khas pastoral: “Anak yang ke-18 mungkin lahir hanya gara-gara ibunya berdehem!”

Dengan gayanya yang selalu serius, Sebastian Sambi, yang meraih gelar sarjana filsafat dan teologi dengan menulis tesis tentang Derrida, langsung menyambar-nyambar dengan bicara tentang naluri seksual yang tertekan dengan sederetan kutipan dari Freud (maklumlah, dia kelamaan di seminari, jadi praktis dalam hal begituan dia cuma bisa ngutip. Hihihi….).

Kebetulan bagian kedua buku Schopenhauer yang baru saya baca beberapa saat sebelumnya berbicara tentang “kehendak” dan “tubuh” serta bagaimana keduanya berhubungan dan dirayakan (saya paling suka kutipan Schpenhauer yang ini: “Kehendak adalah pengetahuan apriori tentang tubuh dan tubuh adalah pengetahuan aposteriori tentang kehendak”. Pancen jenius! Pantesan Nietzsche sering merujuknya.)

Seperti biasanya diskusi rak mutu, bukannya makin meruncing dan mengerucut, omong-omong makin melebar ke mana-mana. Kalo pinjam istilahnya Markenun alias Emha Ainun Najib di kumpulan esainya yang berjudul “Dari Pojok Sejarah”, diskusi rak mutu kaya gini disebut diskusi nggladrahisme, makin lama makin nggladrah.

Bastian juga bilang bahwa Freud itu diinspirasi oleh Schopenhauer. Saya manggut-manggut setuju, karena begitu juga yang saya tahu. Schopenhauer, di buku itu, memang berbicara tentang kehendak, baik kehendak yang pasif atau Blind Will maupun aktif.

“Pengetahuan tentang manusia itu gak mungkin sempurna karena separuh persepsi manusia atas dunia dan realitas itu dibentuk oleh Blind Will,” kata Bastian.

Blind Will itu, dalam konsep psikoanalisinya Freud, barangkali bisa disebut sebagai "alam bawah sadar".

“Kata Schopenhauer, Blind Will itu susah dipetakan dan pada saat ia masih hidup belum pernah dibahas secara serius. Sebab, kalo ada filsuf yang mau membahas Blind Will, dia bukannya menganalisis pemikirannya Socrates, tapi adik kecilnya Socrates!” ujar Bastian serius.

Saya kebingungan. “Kapan Socrates punya adik kecil? Perasaan Shcpenhauer gak pernah menganalisis adiknya Socrates?”

Sambil tertawa-tawa, dia bilang: “Sana pergi ke toilet, kamu pasti bakalan nemu adik kecilnya Socrates, walau pun dengan ukuran Melayu!”

Woalah, jebule kuwi, toh! Kalo masih belum ngeh maksud dari "adik kecil"-nya Sicrates, mari mari.... saya antar ke toilet. hehehe....

----------------
Moral cerita: Sopan santun dan rasa jengah berbicara vulgar yang merupakan karakter sehari-hari Bastian, ternyata bisa membuat metafora yang sederhana bisa bikin lawan bicaranya terlihat culun, macam saya ini. Hehehe…..

Selengkapnya......

Selasa, Januari 15, 2008

Sebuah Nisan Penuh Cinta

Paper Henri Chambert Loir, sejarawan Prancis yang sempat dididik oleh mahaguru Dennys Lombard, membuat saya kembali membaca sebuah kisah cinta yang melankolik.

Paper itu membicarakan sebuah teks yang susunan hurufnya diacak sedemikian rupa sehingga teks tersebut bukan hanya tak bisa dipahami, tetapi sekaligus juga tak bisa dibaca. Untuk membaca dan memahaminya, kita mesti mengerti lebih dulu polanya. Dan itulah kesulitannya.

Teks yang dibicarakan di situ merupakan sebuah inskripsi yang ditemukan di nisan tua dari awal abad-20 yang ditemukan di Desa Sinderan yang sekarang berada di wilayah Pacitan. Siapa yang menyangka jika inskripsi yang susunan hurufnya diacak sedemikian rupa itu ternyata sebuah pasase penuh pujian dan pernyataan cinta untuk jenazah yang dikubur di bawahnya?

Saya ketikkan satu baris saja dari inskripsi yang tergurat di nisan itu sebagai contoh:

Z ? G JX F X F N T B D F W E F
D X W B U J H R V W W G Z E B Q
Z Z Z B ? G K B M A G X B Z M Q

Coba, apa yang bisa dibaca dari deretan huruf yang susunannya begitu acak itu?

Nisan yang digurati inskripsi melankolik itu berada di sebuah kuburan yang dinaungi oleh atap yang ditopang dengan sejenis candi kecil bergaya Neo-Yunani. Menurut cerita penduduk setempat, di situ dikubur seorang perempuan Jawa bernama Jamiyah. Dia disebut-sebut meninggal pada usia yang masih relatif muda, sekira 35 tahun. Kuburan, berikut candi, nisan dan inskripsi yang diguratkan di situ dibangun oleh suaminya, seorang Belanda totok bernama Marcus Jacobus van Erp Taalman-Kip. Orang-orang di sekitar kuburan menyebutnya Meneer Gip.

Kebangsaan pasangan suami istri itu, lingkungan setempat yang Jawa serta sudah mulai berkembangnya bahasa Melayu membuat siapa pun yang ingin memahami inskripsi ini mesti tahu lebih dulu bahasa apa yang digunakan. Belanda? Jawa? Melayu? Belum lagi persoalan untuk menemukan pola susunanan hurufnya yang jelas-jelas lebih rumit.

Banyak orang yang penasaran dengan inskripsi itu dan sudah banyak peneliti yang mencoba memecahkannya. Hingga nyaris satu abad, rahasia yang membekap inskripsi itu masih juga tak terkuak. Sampai kemudian, datanglah sejarawan Belanda, Willem Remmelink, yang salah satu bukunya pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Jendela, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743.

Dia berhasil memecahkan inskripsi itu. Caranya, dia lebih dulu mencari polanya, dan ia berhasil menemukannya. Dari jurnal Archipel edisi 49 tahun 1995, saya menemukan kalimat apa yang sebenarnya tergurat di nisan Nyai Jamiyah itu. Seluruhnya ternyata menggunakan bahasa Belanda. Saya kutipkan di sini:

“Aan myne innig geliefde vrouwe Djamilah. Geboren in achttien hondred drie en zeventig, overleden den twaalf den December wegentien hondred en een. O myn Djamiyah myn roos van Saron, hoe meet ik U myne liefde en hoogachting betuigen? De heele wereld is my daartoe te klein. Zal ik U ooit wederzien? Als er een leven is hierna maals moet gy thans in het paradyz zyn. Gy waart zoo goeden wee zoo met vuil gegoid. Daarom ik zal den moeilyken weg over Golgotha nemen en uw eer terug vinden, Tot weder ziens!”

Karena nilai kuliah bahasa Belanda saya sedang-sedang saja, saya percayakan terjemahannya pada Henri Chambert Loir. Begini terjemahannya:

“Kepada istriku yang sangat tercinta, Djamiyah. Lahir pada tahun 1873, meninggal pada 12 Desember 1901. O Djamiyah, mawarku dari Saron, bagaimana cinta dan hormatku harus kunyatakan? Dalam hal ini, seluruh dunia terlalu kecil buatku. Apakah aku akan bertemu lagi denganmu? Kalau ada kehidupan di akherat, maka kamu pasti ada di sorga sekarang. Kamu begitu baik, kamu begitu saja dilempari kotoran. Oleh akrena itu, jalan sulit di atas bukit Golgotta akan kutempuh untuk mencarimu. Sampai jumpa lagi!”

Romantik bukan? Mungkin sampeyan-sampeyan sekalian pernah membayangkan untuk mengguratkan sebait puisi romantik di nisan orang yang sampeyan cintai. Tapi pernah terpikirkan tidak untuk mengguratkannya dengan susunanan huruf yang diacak? Jika itu dilakukan, saya kira, romantisme itu bisa lebih kuat. Ya, seberapa dalam cinta sampeyan hanya sampeyan sendiri yang tahu. Liris dan personal, bukan?

Kecuali jika ada sejarawan macam Remmelink sudi jauh-jauh datang dari Belanda untuk keluyuran di kuburan dan memecahkan bait puisi yang sudah sampeyan acak lebih dulu, itu lain soal.

Saya sih gak kepikiran untuk menulis inskripsi yang romantik di nisan kekasih atau istri saya jika mereka wafat lebih dulu. Paling banter saya akan menulis inskripsi yang susunannya begini:

E I R U C R E M E I D D E R F A M A S N A R A C A P K O K H E L O B U M A K A N A S I D AY HARAM N A G N A J I T N A G G N E P U M G N A B A N A K N I J I I N I I L A K H A L A P A K A T I P A T N A I R I D N E S U K A I N I K U K I U U L U H A D N E M U A K A Y N A G E T N A G N I D N A B A D A I T K I T N A C G N A Y U K H I S A K E K O R T S A S N A I D

Itulah susunan huruf yang mungkin akan aku tulis di nisan kekasih atau istriku jika dia meninggal lebih dulu. Coba tebak, apa kalimat dari susunan huruf-huruf yang sudah kuacak itu?

Daripada sampeyan pusing, mendingan aku terjemahkan sekalian di sini deh. Gini nih kalimatnya:

“Dian Sastro, kekasihku yang cantik tiada bandingan, teganya kau mendahuluiku. Kini aku sendirian. Tapi, tak apalah. Kali ini, ijinkan abangmu mencari pengganti. Jangan marah, ya. Di sana kamu boleh kok pacaran sama Freddie Mercurie. Muach!”

Hahahaha….

Selengkapnya......

Minggu, Januari 13, 2008

Dua Orang Kakek Haji Rebutan Seorang Nenek Haji

Sewaktu membaca majalah Pandji Poestaka edisi 17 Juli 1930, saya menemukan berita yang bikin saya tertawa terpingkal-pingkal. Coba lihat dan baca kliping di bawah ini:



Kalau berita ini bener, saya geli sendiri. Belum sampe ke tanah air, dua haji yang sudah kakek-kakek ini masih sempet-sempetnya rebutan nenek-nenek. Soal mabrur nggaknya haji mereka emang Tuhan yang atur, tapi kalo gini kejadiannya, sampe tikam-tikaman segala, waduhhh....

Apa nenek haji yang direbutin itu secantik Sophia Loren atau Barbara Streisand yang awet muda itu kali?

Selengkapnya......

Jumat, Januari 11, 2008

Berapa Presiden RI yang Sudah Wafat?

Soeharto sedang sekarat. Mari berhitung, ada berapa mantan presiden RI yang sudah meninggal?

Jika jawabannya satu orang, maka pastilah itu merujuk pada Presiden Soekarno. Ya, dia wafat pada 21 Juni 1970.

Jika jawabannya dua orang, maka pastilah itu merujuk pada Mr. Assa'at. Ya, dia wafat pada 16 Juni 1976. Dia juga Presiden RI loh, persisnya antara Desember 1949 sampai Agustus 1950. Ibukota RI waktu itu ada di Yogyakarta. Lha, terus Soekarno ngapain kalau Assa'at yang jadi Presiden? Soekarno tetap jadi Presiden, kok. Cuma waktu itu dia jadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS, bukan RI).

Jika jawabannya tiga, maka pastilah itu merujuk pada Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Ya, dia wafat pada 15 Februari 1989. Dia juga bisa dianggap presiden loh, persisnya antara Desember 1948 sampai pertengahan 1949. Lha, terus ngapain Soekarno kalau Sjafruddin jadi Presiden? Soekarno tetap jadi presiden, kok. Cuma berhubung dia lagi ditahan Belanda gara-gara Agresi Militer II, maka Soekarno dan Hatta sempat mengirim telegram kepada Sjafruddin yang sedang berada di Sumatera untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (DPRI) di Sumatera. Sjafruddin inilah yang menjadi Ketua PDRI dan memimpin pemerintahan Indonesia dengan bergerilya.

Nah, jadi jika Soeharto meninggal, tebaklah, sudah berapa Presiden RI yang wafat? Mau pilih versi yang umum atau versi yang barusan saya paparkan?

Saya gak lagi do'ain Soeharto meninggal. Saya cuma mendadak ingat sama Pram. Mungkin dia sudah tak sabar menunggu untuk mengucapkan kalimat: "Welcome, bro...."

[akhirnya saya bisa menulis pendek, jadi gak perlu read more. hehehe....]

Selengkapnya......

Kamis, Januari 10, 2008

Risalah tentang Kehendak

[:: pito, ini secangkir kopi buatmu, bonus untuk pertanyaanmu kemarin]


“Jika kita puas dengan kelemahan tubuh,” kata Hazrat Inayat Khan dalam kumpulan ceramahnya yang berjudul In the Eastearn Rose Garden, “Boleh jadi kita juga puas tanpa memiliki kekuatan kehendak.”

Buku itu betul-betul sedang berada di tangan saya sewaktu tadi malam sedang menyaksikan film Amazing Grace yang mengisahkan perjuangan politisi Inggris yang menjadi pelopor Anti Perdagangan Budak pada akhir abad 18, William Wilberforce.

Wilber tahu tubuhnya berkualitas buruk, tapi ia menolaknya, mungkin lebih tepat mengabaikannya. Ketika akhirnya dia jatuh sakit, dokter pribadinya berkomentar tentang Wilber kepada Perdana Menteri Inggris yang sedang datang menjenguk: “Dia selalu merasa jiwanya terpisah dari tubuh fisiknya.”

Wilberforce adalah politisi muda Inggris yang menjadi inisiator UU Anti Perdagangan Budak. Setiap tahun, dengan dukungan diam-diam William Pitt, Perdana Menteri Inggris yang merupakan kawan lamanya, Wilber mengajukan RUU Anti Perdagangan Budak.

Yang menakjubkan, dia tetap saja mengajukan RUU Anti Perdagangan Budak kendati dia tahu dirinya akan gagal. Selama lima tahun berturut-turut, setelah mengerahkan kemampuan retoris dan sehimpun strategi lainnya, RUU yang diajukannya tetap saja kandas.

Wilber, tentu saja, manusia biasa. Dia juga mengenal rasa letih, kekecewaan, pesimisme, dan amarah yang nyaris tak terkatakan. Tapi, toh, dia tetap bertahan dengan apa yang diyakininya, bahkan kendati fisiknya sudah jauh menurun, dihajar insomnia setiap malam dan mesti menenggak laudanum menjelang tidur.

Wilber yakin ia dilahirkan ke muka bumi ini untuk menghancurkan perdagangan budak. Itulah sebabnya ia mengorbankan masa muda dan kesehatan tubuhnya untuk menyempurnakan kehendak yang teguh dipeluknya semenjak ia membaca buku The Rise and Progress of Religion in the Soul.

Dia sering ditertawakan dan diejek sebagai pengkhayal yang kacau. Seringkali dia melawan tapi kadang dia mendiamkannya. Barangkali Wilber ingat dengan kata-kata Yesus sewaktu ditanyai oleh tentara Yahudi yang menangkapnya bahwa jika ia memang seorang Raja di mana kerajaannya berada. Yesus yang kepalanya sudah berdarah karena dimahkotai duri itu menjawab: “My Kingdom is not of this world!”

[Kata-kata Yesus yang amat terkenal itu kelak digunakan oleh Julien Benda untuk merumuskan posisi dan tanggungjawab kaum intelektual dalam bukunya yang terkenal, Pengkhianatan Kaum Intelektual. Dengan mengutip kalimat Yesus, Benda hendak menegaskan konsep suci kaum intelektual yang mesti bersih dari carut marut dunia, berjarak dari dunia politik yang baunya sengak, dan mestinya duduk merenung di singgasananya di ketinggian. Sindiran kepada kaum intelektual yang diam di menara gading lahir dari sini. Lalu Antonio Gramsci memerkenalkan konsep “intelektual organik” yang menyerukan pentingnya intelektual merasakan lumpur dan sengaknya dunia untuk bersama-sama massa rakyat mengusahakan perubahan, dan bukannya tinggal di apartemen dan perpustakaan.]

Dengan mengabaikan kondisi tubuhnya yang memburuk, Wilber seperti hendak menegaskan bahwa kerja-kerja politiknya bukanlah diperuntukkan bagi sesuatu yang kasat mata, melainkan sesuatu yang melampaui dunia fisik, barangkali itu soal moralitas, jiwa yang agung atau juga soal spiritualitas. Menentang perdagangan budak, baginya, adalah soal menyiapkan panggung sejarah yang lebih baik, lebih wangi, dan bersih dari kekotoran memalukkan memerlakukan manusia tak ubahnya fauna.

“Jika hari ini RUU yang saya ajukan tak berhasil, suatu saat pasti berhasil,” begitu saya membayangkan Wilber menggumamkannya terus menerus tiap kali menemui kegagalan.

Ada kekuatan kehendak di situ. Kehendak itu tentu mengalami pasang surut, tapi cukup jelas kehendak itu tak pernah benar-benar musnah dari kepala dan dada Wilber. Saya bertanya pada diri sendiri: Bagaimana kehendak itu bisa mengeram dengan begitu kuat hingga tak tergoyahkan oleh serentetan kegagalan sekali pun?

Saya belum tahu jawaban pastinya. Tapi, saya pikir, tak ada salahnya saya mengira-ngira.

Saya berpikir, jangan-jangan kehendak yang tak tergoyahkan itu dimungkinkan karena keyakinan yang bulat akan kebenaran dan arti penting kehendak itu untuk disempurnakan. Dalam hal seorang Wilberforce, kehendak untuk menghancurkan perdagangan budak itu pastilah (1) sudah diyakini sebagai sesuatu yang benar dan tak tertawar, (2) sebagai kehendak yang harus disempurnakan karena (3) ia juga meyakini dirinya –memang-- dilahirkan untuk memanggul tugas itu.

Poin pertama di atas barangkali menyangkut soal yang sifatnya ontologis, soal apa yang benar dan apa yang salah, soal apa yang diyakini sebagai kebenaran. Poin kedua barangkali menyangkut keyakinan yang sifatnya aksiologis, soal bagaimana menyempurnakan dan merealisasikan apa yang sebelumnya sudah tuntas dianggap sebagai kebenaran.

Poin ketiga, mungkin, menjadi kunci yang menyebabkan tak semua orang bisa bertahan dalam kehendak yang sama secara konsisten ketika bayangan kegagalan terus menerus menghantui.

Kita, barangkali, relatif bisa menilai apa yang benar dan apa yang salah, sama halnya dengan kita mungkin bisa dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa kita mesti menyempurnakan dan merealisasikan apa yang kita yakini sebagai kebenaran itu. Tapi tidak semua dari kita mampu terus menerus bertahan dengan kehendak yang sama jika kita sudah mengalami kegagalan yang terus menerus ketika hendak menyempurnakan dan merealisasikan apa yang kita yakini.

Itulah sebabnya Hazrat Inayat Khan, mistikus besar dari India yang dikenal dengan konser-konser musiknya, pernah mengajukan sebuah pertanyaan retoris: “Berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya karena kita menginginkan sesuatu tapi kemudian tak menginginkannya lagi?”

Inayat, bagi saya, benar. Menginginkan sesuatu itu hal yang mudah, tapi betapa beratnya menginginkan sesuatu secara terus menerus pada saat kita tak kunjung sampai pada keinginan yang kita impikan.

Apakah ini soal daya tahan? Mungkin. Tapi, dalam kasus Wilberforce, ini bukan soal daya tahan. Ini adalah soal bagaimana ia yakin bahwa dirinya memang dilahirkan untuk menyempurnakan tugas menghancurkan perdagangan budak. Ia yakin bahwa dirinya diturunkan ke muka bumi untuk memanggul tugas yang pada masanya begitu berat itu. Kadang ia merasa memanggul tugas itu sendirian, setapak demi setapak memanggulnya, barangkali seperti Yesus yang memanggul salib suci di sepanjang via dolorosa menuju bukit Golgotta untuk disalib dan kemudian ditombak lambungnya.

Karena ia yakin hidup untuk tugas itu, maka betapa sia-sianya jika dirinya tak menghabiskan semua waktunya untuk memerjuangkan dan menyempurnakan tugas tersebut, sebab –sekali lagi—ia memang hidup dan diturunkan ke bumi untuk itu.

Para pembaca yang budiman, Anda yang sudah menghabiskan novel The Alchemist pasti mengerti apa yang dimaksud Paulo Coelho sebagai “takdir”. Saya berpikir, keyakinan Wilber bahwa ia dilahirkan untuk menghancurkan perdagangan budak sebagai sebentuk takdir dalam pengertian yang dimaksudkan Coelho.

Ketimbang novel perjalanan spiritual Coelho ini, sebenarnya saya lebih tersentuh dengan novel perjalanan Soul of Mountain-nya Gao Xingjian atau Chasing Rumi-nya Roger Housden. Tapi, harus saya akui, The Alchemist berhasil menyusupkan keyakinan kepada banyak pembaca bahwa “takdir” tidaklah sekaku seperti yang dipikirkan Jahm bin Shafwan, teolog yang menjadi salah satu penubuh aliran Jabariyah.

Coelho, jika ingatan saya tak berkhianat, tak secara ekstrim menyebut bahwa takdir itu ditentukan oleh manusia. Coelho hanya bilang bahwa takdir itu hanya mungkin bekerja dan sempurna jika manusia meyakininya dan lantas bekerja sekuat tenaga dengan setengah mati dan separuh hidup untuk menyempurnakannya. Di sini kekuatan kehendak, seperti yang sudah ditunjukkan oleh Wilberforce, mengambil peran penting.

Jika kita sudah menginginkan sesuatu dengan begitu kuat dan mengusahakannya dengan sepenuh keyakinana, alam semesta pasti akan mendukungmu. Itu kata-kata Coelho yang pasti akan selalu terngiang di telinga pembacanya. Herlienatiens, kawan lama di kampus sejak semester I, terus menerus menggumamkan kata-kata Coelho itu layaknya mantra ketika ia sedang menuliskan manuskrip novelnya yang kelak menjadi best-seller, Garis Tepi seorang Lesbian.

[Profesor Yohennes Surya pernah menulis buku tipis berjudul “Mestakung”. Itu kependekan dari Semesta Mendukung. Dia mengadaptasinya dari konsep fisika yang mendeskripsikan bagaimana partikel-partikel secara serentak bekerja sekuat tenaga untuk mencapai titik ideal ketika situasi kritis tiba-tiba datang. Saya masih punya pertanyaan penting untuk Yohannes Surya, tolong sampaikan jika Anda bertemu dengannya: Jika global warming membuat suhu bumi terus melonjak, bisakah bumi dan semua partikelnya bisa menyembuhkan dirinya sendiri? Bagaimana caranya?]

Pertanyaannya, bagaimana kita mendeteksi bahwa alam semesta sedang mendukung kita? Coelho mengajarkan bahwa kita mesti membuka indera kita untuk mengenal tanda-tanda alam. Saya mengajukan satu tawaran lain. Apa itu? Kekuatan pikiran.

Kali ini, biarlah saya mengisahkan satu percakapan dengan seseorang yang sudah saya anggap seperti adik sendiri. Dia sedang mengalami titik terendah dalam hidupnya. Dia yang bermimpi menjadi seorang penulis bahkan tak sanggup menulis barang satu paragraf pun. Blognya tak pernah di-update. Jangankan update, menjenguk dunia maya pun ia tak berani.

Apa pasal? Dia baru saja dikirimi sepucuk imel oleh seseorang yang dianggapnya orang hebat. Imel itu menghajar dengan telak argumen-argumennya sendiri. Tak hanya itu, imel itu juga menyerangnya sebagai orang-orang yang sedang berkampanye dengan semangat rasis. Dia malu sekaligus rontok begitu tahu imel untuknya itu diposting di website orang itu, website yang dikunjungi oleh banyak sekali pengunjung. Ia bayangkan dirinya ditertawakan oleh banyak orang. Ia merasa teledor sekaligus tak lagi punya apa-apa.

Pada satu dini hari yang gerimis, di warung kopi yang terletak persis di pertigaan pasar Ngasem, kami berdua bercakap-cakap. Sehari sebelumnya saya memberinya novel Chasing Rumi dan meminta untuk dibacanya hingga usai. Lalu saya katakan padanya:

“Jika kamu ingin menjadi penulis dan yakin itu adalah takdirmu, semestinya kamu tidak rontok begini hanya karena ada beberapa orang yang menyerangmu dengan agresif sekali pun, bahkan kendati serangan itu dibangun oleh argumen yang benar sekali pun. Penting untuk yakin bahwa orang-orang yang membuatmu jatuh itu adalah bagian dari alam semesta yang sedang membantumu menyempurnakan takdirmu.

Jika kamu gagal karena serangan kali ini, berarti orang-orang itu merupakan kepanjangan alam semesta yang hendak mengingatkan bahwa takdirmu bukan menjadi penulis. Tapi jika kamu masih sangat yakin bahwa takdirmu menjadi penulis, orang-orang itu mesti kamu perlakukan sebagai sahabat-sahabat yang dikirimkan alam semesta untuk mendukungmu menyempurnakan takdir sebagai penulis.

Jika kamu bisa bangkit dari krisis ini dan kembali menulis, maka mentalmu pasti akan lebih siap. Besok-besok kamu pasti tak akan serontok ini jika diserang oleh orang-orang yang lain. Jika ini membuatmu menjadi lebih kuat, maka benar, orang-orang itu adalah bagian dari alam semesta yang sedang mendukungmu menyempurnakan takdir.”

Saya mencoba menunjukkan padanya bahwa dalam momen-momen krisis seperti ini pikiran harus diperkuat. Kekuatan pikiran yang akan menentukan bagaimana realitas hadir di hadapan kita dan menelusup ke dalam kesadaran kita. Kekuatan pikiran yang akan menentukan bagaimana respons kita tiap kali menghadapi krisis dan kegagalan.

Coelho mungkin benar ketika menganjurkan pembacanya untuk tanggap terhadap semua petanda yang diberikan semesta. Tapi, tanggap pada sasmita yang diberikan semesta adalah satu soal, sementara mendayagunakan sasmita itu untuk memertebal keyakinan itu adalah soal yang lain, dan itu membutuhkan pikiran yang kuat, pikiran yang positif, yang mencecap dan menafsirkan realitas dengan cara yang positif, bukan dengan persepsi yang penuh dengan syak wasangka.

Karena alam kadang bekerja tidak dengan mengirimkan badai, tapi cukup dengan gerimis yang tipis, seperti waktu aku mengantarmu menunggu taksi di dekat stasiun Juanda. Ya pada suatu pagi di hari Natal yang sepi.

Kapan-kapan, saya akan menceritakan padamu tentang Rupert Scheldrake dengan konsep “morfogenesis” yang ditemukannya. Ini lebih hebat ketimbang omong-omong tentang Mestakung. Kendati saya tak tahu apakah itu bisa menjawab pertanyaanmu yang menjengkelkan dan mengganggu yang kau ajukan kemarin malam. Itu pertanyaan paling brengsek yang pernah kamu ajukan!

Selengkapnya......

Senin, Januari 07, 2008

Fabregas Tahu Tapi Menunggu

[Ini esai bola yang pertama saya tulis. Dibuat beberapa jam setelah leg pertama perempatfinal liga champions 2005/2006 antara Arsenal-Juventus pada 29 Maret 2006. Ini juga menjadi saat pertama di mana Viera, eks kapten Arsenal, kembali ke kandang Arsenal dalam status sebagai lawan. Esai ini menjadi penting artinya buat saya karena menjadi persiapan/latihan yang baik ketika beberapa bulan kemudian saya menjadi kolomnis bola di Jawa Pos selama Piala Dunia 2006 berlangsung]

Arsenal kini mengenang Patrick Viera tak lebih sebagai sebentuk nostalgia yang menghibur. Jika pun kerinduan terhadapnya kemarin-kemarin masih sering hadir tiap kali anak-anak London ini melewati sebuah pertandingan dengan buruk, pekan ini mereka paham bahwa kerinduan itu tak lebih sebuah déjà vu.

Sehari menjelang leg pertama partai perempatfinal Liga Champions yang memertemukan Viera dengan klub yang membesarkan namanya itu, Viera sempat berujar bahwa ia pindah ke klub yang tepat. Kelebihan Juventus dari Arsenal, kata Viera, terletak pada kenyataan bahwa segenap pemain, pengurus dan pendukung Juventus adalah orang-orang yang lapar akan kemenangan dan gelar juara. Arsenal, kata Viera, “adalah klub yang tak punya rasa lapar.”

Fabregas, anak ingusan yang mendadak diserahi tanggungjawab besar di Arsenal sepeninggal Viera, tahu betul kalau Viera keliru. Dan ia menunggu-nunggu hari pembuktian itu.

Omong-omong soal lapar, Sophocles, penulis naskah Antigone yang terkenal, pernah melahirkan sebuah kalimat bersayap yang kurang lebih berbunyi: “Anak-anak muda adalah mahluk dengan rasa lapar yang selalu mengendap di ujung kerongkongannya.”

Malam itu Sophocles terbukti benar. Fabregas, pemuda ingusan berusia 18 tahun, yang selisih usianya nyaris 10 tahun dengan Viera, bertinggi badan hanya 176 cm, badan yang tak terlalu kekar, kulitnya yang bersih menopang raut wajahnya yang lebih mirip anak mama ketimbang seorang jagal. Tetapi karena seperti anak itulah maka ia begitu lapar dan rakus. Seperti anak kecil yang selalu ingin tahu, tiba-tiba ia begitu saja ada di dalam kotak penalti lawan yang tak menduga kehadirannya. Ia beroleh bola. Dan ia tendang dengan dingin. Seperti itulah proses gol pertama Arsenal yang dicetak Fabregas tercipta.

Viera jelas keliru. Ternyata bukan dirinya dan Juventus yang kelaparan. Seperti kata Sophocles, yang lapar biasanya adalah anak-anak muda. Dan malam itu, Juventus adalah kumpulan orang-orang tua yang dipaksa berlari-lari mengikuti kemauan dan minat ingin tahu serombongan anak muda asuhan Arsene Wenger. Kelihatan betul Juventus bukan lagi menjadi seorang Nyonya Besar, La Vecchia Signora, melainkan menjadi seoran Nyonya Tua yang kepayahan dan dibayang-bayangi ilusi kehebatan masa mudanya dulu.

Dan mereka tumbang, 2-0, lewat sebuah gol dan sebuah asist dari seorang anak ingusan yang menggantikan peran Viera, pemain liat yang malam itu berada di pihak Juventus.

Yang menyedihkan, Viera harus menerima kartu kuning akibat menendang paha Reyes, kartu kuning yang membuat Viera kehilangan kesempatan membalas kekalahan memalukkan di leg kedua nanti. Kekalahan makin komplit karena Camoranesi lebih suka menendang kaki van Persie ketimbang menndang bola, hal yang membuatnya diusir oleh wasit dan juga absen di leg kedua. Zebina, palang pintu yang terlihat begitu renta malam itu, juga melakukan aksi yang tak kalah konyol dengan Camoranesi, dan akhirnya sama-sama dikartumerah.

Dan Fabregas keluar dari lapangan di akhir pertandingan dengan seringai kemenangan. Ia berjalan tegak. Para kompatriot seniornya memeluknya. Sementara Viera berjalan gontai. Ia sempat menerbitkan senyum tipis ketika bersalaman dengan Wenger. Selebihnya, Viera pulang dengan rasa getir yang membuatnya tak bisa tidur semalaman: Ya…. dirinya bukan lagi raja di Highbury.

Dan bagi Viera, malam itu seperti sengaja diciptakan Tuhan sebagai malam di mana seorang raja, dirinya, secara resmi dimakzulkan.

****

Jika dua tahun lalu jagat sepakbola disibukkan oleh aksi liat anak muda bernama Wayne Rooney, musim ini dunia membicarakan dua anak muda secara bersamaan: Lionel Messi dan Cesc Fabregas.

Dua pemain muda ini pernah berlatih bareng semasa Fabregas masih berkostum Barcelona yunior. Keduanya menghabiskan waktu latihan bersama dan seringkali menghabiskan waktu luang dengan bermain playstation bersama pula. Siapa yang menyangka jika kini keduanya juga bersama-sama menjadi perhatian pemerhati bola?

Sekali waktu, dua pemuda belia ini sempat bersua. Ketika itu, Messi bercerita bahwa dirinya diperlakukan dengan begitu baik oleh klub dan para seniornya. Jika aku melakukan kesalahan, kata Messi bercerita, “semua orang akan bilang, ‘tidak apa-apa karena kamu masih sangat muda’.”

Fabregas tersenyum mendengarnya. Di Highbury, ia tak pernah mendapatkan perlakukan emas itu. Di bawah telunjuk Arsene Wenger, semua pemain diperlakukan sama. Tak ada istilah pemain senior atau yunior. Yang melakukan kesalahan pasti akan ditegur.

Tak terbayangkan rasanya apa jadinya Fabregas jika diperlakukan selembut Messi di Barcelona dan di saat yang bersamaan ia mendadak diserahi tugas menggantikan peran Viera yang di awal musim hijrah ke Juventus. Fabregas memang pernah sekali waktu bermain bersama Viera atau menggantikan perannya tiap kali Viera absen. Tetapi menggantikan secara penuh peran Viera tak terbayangkan akan datang begitu cepatnya.

Dan Fabregas memang sempat kelimpungan kepayahan menanggung bebas. Hingga pertengahan musim, Arsenal goyah. Jangankan bersaing dengan Chelsea dan Menchester United, berebut peringkat keempat pun mereka harus kepayahan bersaing dengan Tottenham Hostspurs, Bolton dan Blackburn.

Publik Highbury menyesali kepergian Viera dan menganggap keputusan membiarkannya pergi sebagai blunder fatal. Gulberto Silva, punggawa lini tengah Arsenal dari Brasil, bahkan meragukan Fabregas. Ia merasa dibebani tugas yang demikian berat, selain haru mengamankan lini vital itu, ia juga mesti membimbin Fabregas. Terlalu riskan menyerahkan tampuk kepemimpinan lini tengah pada sorangg yang masih minim pengalaman, kata Gilberto.

Dan Fabregas tahu Gilberto keliru. Dan ia menunggu. Tentu saja sambil terus bekerja keras. Berkali-kali di partai-partai Liga Inggris kita lihat Fabregas mencoba tampil seberingas Viera di lini tengah. Ia mencoba keampuhan tackle-nya. Ia sering menangguk kartu karenanya. Berkali-kali ia juga mencoba sesangar Viera tiap kali berseteru dengan pemain lawan. Sering kali Fabregas kedapatan mencoba mengganggu dan memprovokasi lawannya.

Alih-alih berhasil, Fabregas justru kelihatan lucu. Dengan tampangnya yang imut, sungguh pemandangan yang mengharukan melihatnya mencoba tampil galak segalak Viera, mencoba tampil beringas seberingas Viera.

Lambat laun tampaknya Fabregas sadar bahwa untuk menggantikan peran Viera tak perlu harus bermain seperti Viera. Ia harus menemukan permainannya sendiri, atau dalam kata-kata tokoh caddy dalam film The Legend of Bagger Vance, setiap orang diberkahi pukulan otentiknya masing-masing, dan tiap orang mesti menemukan pukulan otentiknya dan menggunakannya untuk memenangkan pertandingan.

Dan pertandingan melawan Juventus pekan kemarin adalah tilas yang menunjukkan betapa Fabregas telah menemukan permainan otentiknya. Ia tak lagi berada di bawah bayang-bayang Viera dengan mencoba bermain laiknya Viera. Ia telah menjadi dirinya sendiri dan bermain dengan permainan otentiknya sendiri.

Ya… Fabregas tidak bermain dengan semangat sok dewasa dan sok sangar demi menjadi seorang the New Viera melainkan bermain dengan semangat anak-anak yang selalu ingin tahu apa yang terjadi di setiap inci lapangan hijau.

Mestikah diherankan jika malam itu Fabregas seperti ada di mana-mana? Dan mestikah mengherankan jika sebuah statistik menunjukkan bahwa ia memberi kontribusi 61% untuk pertandingan itu, berbanding 21% untuku Henry, 2% untuk Trezeguet dan Gilberto dan 16% sisanya pemain lain?

Malam itu, Arsene Wenger, Gilberto dan segenap pendukungnya sadar bahwa mencari pengganti Viera tidak harus dengan pemain yang bermain seperti Viera; sesuatu yang tampaknya masih belum dimengerti benar oleh Sir Alex Ferguson yang masih kebingungan mencari pemain pengganti Roy Keane, seorang kapten inspiratif dengan terjangan tak kenal ampun.

Fabregas memang bukan Viera dalam arti yang sesungguhnya. Dia tak setinggi dan sekekar Viera. Ia juga bukan tukang jagal dengan kekokohan sekuat Viera. Raut mukanya juga kalah sangar dari Viera. Fabregas lebih mengandalkan gerakannya. Dan setiap gerakan Fabregas ternyata memang penuh kejutan.

Ia memang tak punya dribling sebaik Gilberto, tapi ada hal yang tak dimiliki Gilberto: Fabregas bermain seperti didampingi malaikat yang selalu memberinya informasi ke mana ia mesti bergerak. Malaikat itu bernama, pinjam istilahnya Luis Cesar Menotti, adalah “insting gerakan”. Dan permainan otentik Fabregas dibimbing oleh insting gerakan itu.

Gerakan-gerakan penuh kejutan. Itulah permainan otentik Fabregas. Dan ia sendiri sudah membuang jauh-jauh mimpi menjadi seorang Viera yang beringas.


Selengkapnya......

Jumat, Januari 04, 2008

Membayangkan Neraka

Saat membongkar buku-buku lama yang berdebu saya menemukan sebuah paragraf panjang yang menarik. Di tepi sebelah kanan halamannya, terdapat tulisan tangan yang merupakan respons sekaligus komentar spontan saya sewaktu pertama kali membacanya pada 2004 silam, di sesela KKN di sebuah kampung di kaki Merapi.

Di situ saya tuliskan juga sepucuk nama yang terkenal: Heidegger. Saya bilang di sana: Bahasa dalam paragraf macam inikah yang dimaksudkan oleh Heidegger sebagai “House of Being” atau “Rumah Maujud”?

Baiklah saya tulis ulang paragraf tersebut untuk Anda. Saya harap Anda cukup bersabar dan punya daya tahan untuk membaca paragraf panjang ini. Jika boleh menyarankan, Anda jangan hanya membaca, tapi coba kerahkan juga imajinasi hingga batas terjauh yang bisa dijangkau:

“Siksaan terakhir yang paling dahsyat dari segala siksaan di tempat yang mengerikan itu adalah keabadian neraka! Oh, sungguh kata yang mengerikan dan menakutkan. Keabadian! Pikiran manusia yang seperti apa yang yang dapat memahami ini semua? Meski pun rasa sakit di neraka dulu tidaklah begitu mengerikan jika dibandingkan dengan sekarang, tetapi rasa sakit akan benar-benar nyata saat siksaan itu ditakdirkan untuk berlangsung selamanya. Tetapi, di samping rasa sakit itu tiada pernah berhenti, pada saat itu juga,sebagaimana kalian ketahui, rasanya sangat kuat dan tak dapat ditanggulangi, terus bertambah hingga tak tertanggungkan. Menanggung rasa sakit karena sengatan serangga selama-lamanya saja sudah bisa menjadi siksaan yang mengerikan. Lalu bagaimana rasanya jika harus menerima siksaan yang berlipat-lipat sakitnya di neraka selamanya? Selamanya! Tidak setahun atau seabad, tapi selamanya. Coba bayangkan arti ucapan mengerikan ini. Kalian sering kali melihat pantai. Betapa bagusnya butir-butir pasir itu! Dan betapa banyak butir pasir yang dibutuhkan untuk menjadi segenggam pasir yang diambil anak kecil saat bermain. Kini, bayangkan segunung pasir satu juta mil tingginya, menjulang dari bumi hingga ke langit yang terjauh, dan satu juta mil lebarnya, membentang dari ruang yang terpencil, dan satu juta mil terbalnya: bayangkan gundukan besar partikel pasir yang tak terhitung jumlahnya dilipatgandakan dengan jumlah daun yang ada di hutan, tetes air di samudera luas, bulu-bulu pada burung, sisik-sisik pada ikan, bulu-bulu pada binatang, atom di udara bebas: dan bayangkan pada akhir setiap satu juta tahun seekor burung kecil datang ke gunung itu dan membawa pergi sebutr pasir dari sana dengan paruhnya. Berapa juta abad yang dibutuhkan burung itu untuk memindahkan, bahkan cuma satu kaki persegi pasir dari gunung itu, berapa banyak eon abad untuk memindahkan seluruh gunung itu. Namun pada akhir rentang tahun yang sangat panjang itu kita masih belum bisa menyebutnya sepersekian kejap dari keabadian. Saat berbilyun-bilyun dan bertrilyun-trilyun tahun itu telah berakhir, kita tahu bahwa itu masih belum dkatakan sebagai awal keabadian. Dan jika gunung itu muncul dan tenggelam sesering terbit dan tenggelamnya bintang di langit, atom di udara, tetes air di lautan, daun di pepohonan, bulu pada burung, sisik pada ikan, rambut pada binatang, pada akhir setiap kemunculan dan kesirnaan gunung yang luasnya tak terukur itu tak bisa dikatakan sekejap dari keabadian telah berakhir, bahkan pada saat itu, pada akhir setiap masa sepanjang itu, setelah eon waktu yang bisa membuat kita pusing meski hanya memikirkannya saja, kita belum bisa mengatakan bahwa keabadian telah dimulai!”

Pengarang yang sama melanjutkan “teror bahasa” yang sudah ia gelar tadi dengan mengisahkan satu cerita bahwa orang-orang yang pernah singgah di neraka hanya bisa melihat kegelapan di mana-mana, kegelapan yang begitu besar. Hanya ada bunyi yang berasal dari sebuah jam raksasa yang berdetak tanpa henti seperti gemuruh.

Mari kita simak metafora apa yang digunakan pengarang ini untuk menjelaskan detik-detik dari jam raksasa itu: “…suara detik itu seperti pengulangan tanpa henti atas kata-kata: Selamanya, tiada pernah, selamanya, tiada pernah, selamanya, tiada pernah, selamanya, tiada pernah…..”

Bahasa dan kata-kata dalam paragraf panjang itu melampaui realitas. Paragraf itulah yang bisa diajukan sebagai contoh betapa bahasa bukan hanya mimesis atau penggambaran atau representasi atau apalah namanya dari realitas/kenyataan. Bahasa bukanlah medium di mana dunia (di)hadir(kan). Bahasa yang justru menetapkan konstruksi atas dan bagi dunia, bukan sebaliknya.

Bahasa bukan sekadar representasi dari dunia. Di tangan pujangga yang sudah menyelam ke dalam lautan kata-kata dan berhasil mengenal dan mendayagunakan semua potensi yang diperam oleh kekuatan kata-kata, bahasa justru bisa menjelma dunia itu sendiri.

Bahasa dalam pragraf di atas seperti serentetan kejadian yang menciptakan tata tentang dunia imaji yang sama sekali berbeda dengan yang kita lihat di keseharian.

Kita tak pernah tahu seperti apa neraka karena tak satu pun dari kita yang pernah menyaksikannya. Kitab suci yang kita baca sejak kecil sudah memberi garis besar tentang neraka: panas, siksa, derita, selamanya. Paragraf di atas seperti menyempurnakan garis besar kalam Illahi itu ke dalam satu ruang imaji yang nyaris tanpa batas dan bisa jadi –maaf—malampaui semua pemerian tentang neraka yang pernah didedahkan kitab suci.

Neraka dalam paragraf itu masih menguarkan aura kengerian yang tak terperi, tetapi kengerian itu tersublimasi sedemikian rupa menjadi sebentuk kengerian yang menyebar sekaligus memuai, melebar sekaligus memanjang, dan karenanya hadir seperti keringat yang keluar dari semua lubang pori, dan bukan seperti darah yang mengalir deras dari satu luka yang mengangga.

Lukisan tentang neraka di atas lebih bersifat inkarnasi tinimbang deskripsi. Perbandingan konsep waktu “selamanya” dengan menghamparkan detail mengenai pasir, bulu, atom, tetes air dan sebagainya itu –bagi saya—menyentuh nyaris semua indera yang dianugerahkan Tuhan pada manusia.

Saya pernah membaca Cala Ibi dan –terus terang saja—saya nyengir sendiri membaca puja-puji yang diberikan para kritikus pada karya perdana Nukila Amal itu.

Oh ya, tahukah Anda siapa pengarang yang sedang saya bicarakan ini? Ya, Anda benar, dia adalah James Joyce. Paragraf yang saya bicarakan tadi aku unduh dari bab III novelnya yang berjudul A Portrait of the Artist as a Young Man.

Milan Kundera menyebut Joyce sebagai salah satu dari tiga orang yang membentuk seni novel Eropa. Bersama Franz Kafka dan Cervantes, tentu saja!

Selengkapnya......