Rabu, Agustus 29, 2018

Masih Ada Becak di Jogja

Masih Ada Becak di Jogja
Sepenggal cerita bagaimana Malioboro dan becak bahu membahu menghidupkan pariwisata dan memperpanjang nafas banyak orang
 [1]
Ia biasa dipanggil John Tatto. Di dada kirinya terpacak tatto bergambar donald bebek. Di lengan kanannya terlihat gambar tatto yang mulai kabur tapi masih cukup jelas menampakkan tiga huruf: PAS. “Itu singkatan Perkumpulan Anak Pasar,” katanya.
Kami duduk di bangku panjang di trotoar depan Gedung Agung di ujung Malioboro. Tangan kanannya menggenggam sebotol AO, sebutan untuk salah satu merk minuman beralkohol. Saya menyimak semua geraknya: tangan kiri memegang botol dengan bagian bawah menghadap ke atas, lalu telapak tangan kanannya memukul bagian bawah botol, prak…. Sejurus kemudian, tutup botol dengan mudah dibuka hanya dengan mengulirnya. Dia menuang isi botol ke gelas kecil hingga penuh. Ia menyodorkannya pada saya seraya berujar: “Harus habis!”
Sosok John sudah saya kenal sejak hari pertama menginjakkan kaki di Malioboro. Dia tukang becak dengan riwayat hidup menarik. Ia datang ke Jogja pada 1994 berbekal keahlian membuat tatto. John adalah satu dari sedikit seniman tatto di Malioboro yang bisa membuat tatto permanen. Ia mengaku pernah menatto artis Kiki Fatmala.
Setahun terakhir, John mulai menarik becak. Ia tergabung dengan paguyuban becak Benteng Vredeburg. Becak miliknya ia beli seharga Rp. 600.ooo. “Belakangan saya lebih banyak dapat pemasukan dari mbecak ketimbang tatto,” lanjutnya.
John tinggal bersama istri dan seorang anaknya di jalan Godean. Ia pulang ke rumah mengendarai sepeda motor Suzuki Shogun. Terakhir saya melihatnya ia sedang menjajal handphone motorolla seri C26i yang baru dibeli dari temannya.
John tak sendiri. Selama seminggu lebih menelusuri Malioboro dan bertemu dengan puluhan tukang becak, saya sering menemukan tukang becak sedang sibuk memainkan handphone. Acara minum-minum yang dilakukan John dan teman-temannya dari Benteng Vredeburg juga sering dilakukan tukang becak lainnya.
Rujito, tukang becak yang mangkal di gerbang selatan Hotel Inna Garuda, sering minum-minum di dekat Pasar Kembang bersama beberapa temannya selepas waktu menarik becak selesai. Ia tak pernah kehabisan pulsa. Sms-sms saya selalu dibalasnya. Jika saya terlambat membalas smsnya, ia dengan sigap menelpon saya.
Giman, ketua paguyuban becak Pendopo Bringharjo yang mangkal di pintu belakang Bringharjo, mengisahkan bagaimana ia sering minum bersama teman-temannya, baik tukang becak, calo pasar maupun kuli angkut. Mereka bisa berangkat bersamaan, masing-masing membawa becaknya, beriringan mereka menuju tempat minum di sebelah barat Malioboro. Giman kini mengaku jarang menenggak minuman keras.
Tukang becak seperti Rujito atau John Tatto ini seperti menjadi antinomi dari sterotipe yang sering dilekatkan pada tukang becak sebagai simbol kemelaratan, kemiskinan dan hidup yang mengenaskan. Nasib tukang becak di Indonesia sering digambarkan sama menyesakkannya dengan nasib Ram Chandler atau Hasari Pal, dua penarik rickshaw dari Calcutta dalam novel “City of Joy” karya Dominic Lapiere.
Khusus untuk tukang becak di Jogja, mereka juga dilekati sterotype lain: pasrah, nrimo, ikhlas, tak banyak menuntut apa yang memang tidak diberikan hidup; gambaran yang kadang saya pikir terasa komikal jika tidak lebih mirip pemerian pribadi seorang sufi. Buku “Waton Urip” (yang teksnya dikerjakan Sindhunata, fotografinya disediakan Agus Leondardus dan desainnya digarap seniman Hary “Ong” Wahyu) dipenuhi gambaran stereotipikal macam ini.
Stereotipe memang memudahkan membangun pengertian tentang sebuah subjek persoalan. Tapi stereotipe seringkali mengecoh.
[2]
“Becak di Jogja suatu saat hanya ada di objek wisata dan untuk memenuhi kebutuhan wisata. Seperti di Malaka, tukang becaknya necis-necis dan becaknya dihias. Kita berharap lama kelamaan becak tak lagi jadi jadi alat transportasi yang mengangkut beban yang berat-berat. Eksploitasi tidak akan terjadi lagi. Becak akan makin dekat turisme bukan dengan trade yang mangkalnya di pasar Bringharjo,” kata Tazbir SH. M.Hum., Kepala Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Jogja.
Jika benar demikian, Malioboro dan kawasan di sekitarnya pastilah menjadi benteng terakhir bagi becak-becak di Jogja. Kawasan inilah  yang menjadi tempat utama mangkalnya “becak wisata”. Istilah ini merujuk pada becak-becak yang pasar utamanya para wisatawan.
Inilah yang membuat becak di Malioboro tumbuh menjadi “spesies” tersendiri. 
Mereka lebih mampu bertahan ketimbang tukang becak yang biasa mangkal di pasar-pasar tradisional atau mulut-mulut gang. Jumlah becak di Malioboro relatif stabil dari tahun ke tahun. Mereka pernah menikmati penghasilan melimpah sewaktu turis asing mulai berdatangan ke Jogja semenjak awal dekade 1980-an hingga akhir 1990-an.
 “Pada masa itu, kalau sedikit pun tidak bisa bahasa Inggris, susah dapat penghasilan besar, Mas,” terang Pak Kardi (63), tukang becak dari Imogiri yang sering mangkal dekat Kantor Pos Besar. Pak Kardi mengaku belajar bahasa Inggris secara otodidak melalui kamus.
Kardi bisa diajukan sebagai contoh bagaimana tukang becak mampu mengais rezeki dari orang-orang asing yang datang ke Jogja. Saya melihatnya pertama kali di depan Pos Polisi di perempatan Kantor Pos Besar. Saya penasaran dengan tulisan yang terpampang di samping becak Pak Kardi. Di sana tertulis: “Joox Melger” dan “Utrecht”, nama kota di Belanda.
“Juragan sampeyan orang Londo, ya, Pak? Kok namanya Belanda?”
“Lha, iya. Dia yang ngasih saya becak.”
Pak Kardi bertemu dengan Joox Melger persis di tempat saya pertama kali melihat Pak Kardi. Peristiwa itu berlangsung sekitar 1992. Tahun itu dikenang oleh beberapa tukang becak di Malioboro sebagai puncak kedatangan turis asing ke Jogja. Tahun itu pemerintah Indonesia memang menggelar program Visit Indonesia Year 1992.
Joox berada di Indonesia untuk melakukan penelitian di Universitas Gadjah Mada. Selama enam bulan, Pak Kardi selalu mengantar Joox ke mana pun ia pergi. Setahun kemudian Joox berlibur kembali ke Jogja bersama ayahnya, Frank Melger, yang penasaran dengan cerita anaknya mengenai Pak Kardi. Sejak itu, tiap kali datang ke Jogja, keduanya selalu ditemani Pak Kardi.
Dari bantuan Joox ini pula Pak Kardi bisa membangun rumah yang ia tinggali bersama istri dan 7 anaknya. Uang dikirim melalui atm yang dikeluarkan Postbank. Atm atas nama Joox Melger itu dikirimkan ke Jogja untuk dijadikan pegangan Pak Kardi. Joox sering mengirimi Pak Kardi uang dengan besaran yang beragam. Kolega Joox yang berkunjung ke Jogja juga sering ditemani Pak Kardi. Mereka biasa membayar ongkos melalui atm tersebut.
Joox ini pula yang mengajari Pak Kardi cara menggunakan e-mail. Sewaktu Jogja diguncang gempa pada Mei 2o06, inbox e-mail Pak Kardi dipenuhi surat dari beberapa kenalannya di luar negeri yang menanyakan kabar Pak Kardi sekeluarga. Dari mereka pula Pak Kardi mendapat bantuan dana untuk merehab rumahnya yang rusak.
Pak Kardi beruntung sempat mengalami masa-masa boming kedatangan turis asing. Dia bisa meraup rezeki yang tidak sedikit. Tapi Pak Kardi tak seorang diri. Hampir semua tukang becak juga menikmati rezeki yang cukup berlimpah pada periode itu.
Pak Kardi tak sendiri. Banyak tukang becak yang bisa meraup rezeki berlimpah dari kedekatan dengan turis asing yang terkesan dengan pelayanan tukang becak.
Wito (43), bendahara paguyuban becak Mulia Bumi Artha, kenal baik dengan seorang turis asing asal Australia bernama Peter Horizon. Selama dua tahun, Wito sering dimintai tolong menjadi koordinatr travel guide dari rombongan turis yang dibawa Peter. Sekali perjalanan, becak-becak yang dikerahkan Wito menerima bayaran paling sedikit 50.ooo rupiah, belum terhitung tips. Wito sering menanggung untung jutaan dari penjualan kamus Inggris-Indonesia bajakan yang diperolehnya dari Shopping Center. Kamus yang harganya sekitar 50.000 rupiah ia jual sekitar 100.ooo rupiah. Wito pernah menangguk uang sebesar 5 juta hanya dalam beberapa hari dari pekerjaan ini.
Tapi itu dulu. Sekarang, jumlah turis asing merosot drastis. Banyak tukang becak yang bahkan sudah lupa persisnya kapan terakhir kali mereka membawa turis asing. Data yang dikeluarkan Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Provinsi Yogyakarta  pada 2006 lalu menunjukkan jumlah turis asing di Jogja hanya sekitar 10 persen (103.224 orang) dari total turis domestik (1.146.197 orang).
[3]
Bergesernya orientasi para tukang becak pada turis domestik mungkin membuat tukang becak susah bisa mendapat pengalaman seperti Pak Kardi atau Wito. Tapi bukan berarti sama sekali tak ada penghasilan tambahan. Tips yang diberikan toko-toko menjadi harapan selanjutnya.
“Tapi betul mau belanja?” John Tatto selalu mengajukan pertanyaan itu jika berhadapan dengan penumpang yang menawar ongkos becak. Jika jawabannya “ya”, tidak jarang John dan para tukang becak di Malioboro bersedia hanya dibayar 1-2 ribu rupiah. Apa pasal?
Kepastian bahwa calon penumpang akan belanja oleh-oleh ini yang dicari para tukang becak di Malioboro. Dari oleh-oleh yang dibeli para penumpang itulah para tukang becak bisa berharap menangguk tips yang jumlahnya bisa berlipat-lipat dibandingkan ongkos naik becak.
Toko kaos khas Jogja, Dagadu, rata-rata mengajukan besaran angka 25 persen dari total uang yang dibelanjakan. Besaran angka yang sama saya dengar dari toko-toko yang menjual batik. Sementara studio-studio lukis di seputaran Taman Sari bahkan memberi tips dengan besaran angka 50 persen dari total harga yang dibelanjakan.
Outlet-outlet bakpia memberikan tips yang sedikit beragam, antara 3-4 ribu per dos. Harga termurah bakpia per sekitar 15 ribu dan termahal sekitar 25 ribu. Rata-rata setiap pembeli yang datang ke outlet Bakpia “25” membeli minimal 4 dos. Ini artinya dari setiap penumpang tukang becak rata-rata bisa membawa pulang tips sebesar 16 ribu per penumpang.
Inilah yang menyebabkan tukang becak di Malioboro bersedia memberi ongkos becak yang murah dan bahkan bersedia menarik tiga hingga empat penumpang sekaligus jika ia yakin para calon penumpang tersebut memang hendak berbelanja cukup banyak. Mereka mesti pandai berpromosi, mencoba membangkitkan minat penumpang mereka untuk membeli sebanyak mungkin barang dan oleh-oleh.
Jika sedang beruntung, tukang becak bisa meraup uang ratusan ribu dalam sekali tarikan. John Tatto, misalnya, mengaku pernah meraup uang 300 ribu dalam sehari. Modasir, ketua paguyuban Mulia Bumi Artha mengaku pernah mendapat tips dengan besaran yang kurang lebih sama. Kismowiyono, tukang becak yang saya temui sewaktu menunggu penumpangnya selesai berbelanja di outlet Bakpia “25” mengaku pernah mendapat tips hingga 500 ribu.
Angka-angka di atas belum seberapa. Slamet, ketua paguyuban becak Benteng Vredeburg, mengaku pernah mendapat tips sebesar 2,5 juta. Ketika itu ia mengantar Bupati Bojonegoro yang memborong kaos dagadu dan batik sutra. Tips dari toko dagadu mencapai sekitar 780 ribu. Dari outlet batik sutra ia mendapat tips sebesar 1,8 juta rupiah. Pulang ke rumah ia menggondol sekitar 2 juta karena 5oo ribu sisanya ia bagikan kepada teman-temannya. Slamet memang butuh uang lebih besar. Ia punya tujuh anak dari dua orang istri. Istri keduanya punya darah Kraton. “Ada garis keturunan dari Pangeran Diponegoro,” katanya bangga.
Gandung, tukang becak yang siang hari lebih banyak kongkow-kongkow dengan para seniman di bekas kampus ASRI (Akademi Seni Rupa) di Gampingan (1,5 kilometer ke arah barat dari Malioboro), bahkan mengaku pernah mendapat uang tips sebesar 4 juta dalam dua kali narik penumpang yang menginap di salah satu hotel di Malioboro.
Kini Gandung mencoba melakukan terobosan selain mengharap tips besar dari toko-toko. Ia tahu banyak galeri-galeri dan studio lukis seniman-seniman Jogja sebaik ia mengenal Malioboro. Pergaulannya di bekas kampus ASRI sejak ia kecil membuatnya kenal dengan baik beberapa seniman dan pegiat seni di Jogja, seperti Heri Dono, Arahmaiani hingga pegiat komik dan mural Samuel Indratma.
Barangkali Gandung menjadi satu-satunya tukang becak yang mengiklankan dirinya di internet. Coba ketik “Gandung Jogja Art Trip” di mesin pencari, sosok Gandung akan diperkenalkan sebagai tukang becak yang siap mengantar penumpang yang berminat mengunjungi museum, galeri dan studio lukis di wilayah Kota Jogja.
Teman-teman seniman yang dikenal Gandung, terutama Samuel Indratma, menjadi otak dari kampanye “Gandung Jogja Art Trip”. Mulanya kampanye dimulai di milis yang banyak diikuti alumni ASRI. Dari sana, kampanye “Gandung Jogja Art Trip” menyebar ke banyak blog. Kendati belum banyak menghasilkan, Gandung boleh sedikit berharap. Jogja, yang memang dikenal sebagai kota seni(man), memungkinkan ide macam itu untuk dicoba.
Tukang becak lainnya tak seberuntung Gandung yang punya banyak teman seniman. Jika periode libur panjang masih jauh, mereka kadang bekerja serabutan. Ada yang menjadi kuli bangunan atau bekerja di sawah milik orang lain. Yang masih memiliki sawah bisa menyibukkan diri dengan bercocok tanam apa saja. Mereka kerap disebut sebagai tukang becak musiman. Jumlah mereka tak sedikit.
[4]
Arlen Sanjaya, pemilik pabrik Bakpia “25”, biasa dipanggil oleh tukang-tukang becak di Malioboro dengan sebutan “Bos”. Hubungan Arlen dan para tukang becak di Malioboro bisa menunjukkan seberapa penting arti tukang becak bagi pertumbuhan toko-toko souvenir, oleh-oleh dan cinderamata di seputaran kawasan Malioboro.
Tan Aris Nio, ibunda Arlen, merintis Bakpia “25” sejak akhir 1970-an. Arlen belajar dari mamanya dalam hal memanfaatkan jasa para tukang becak untuk mengembangkan Bakpia “25”. Ketika bakpia buatan Nio mulai dikenal, ia selalu memberi hadiah satu atau dua batang rokok bagi para tukang becak yang mengantarkan pembeli ke tempatnya.
Pada 1995, sewaktu harga bakpia masih berada di kisaran Rp. 2500 rupiah, Arlen untuk pertama kali menawarkan besaran komisi yang jelas bagi setiap dos yang dibeli penumpang yang dibawa tukang becak yaitu sebesar 10%.
Menyusul kemunculan pabrik-pabrik bakpia, Arlen mulai menghadapi kendala. Beberapa saingannya berani memberi tips bagi tukang becak sebesar 1ooo rupiah per dos bakpia. Bakpia “25” dengan serta merta redup. Tukang-tukang becak lebih memilih mengantar penumpangnya ke produsen bakpia yang memberi tips lebih besar.
Arlen membalas dengan menyodorkan tips Rp. 1500 dari harga per dos Rp. 2500. Tukang becak mulai berdatangan lagi ke tempatnya. Persaingan merebut hati tukang becak terus berlanjut. Sewaktu harga satu dos bakpia mencapai Rp. 5000  tips mencapai Rp. 2ooo. Harga bakpia menjadi 6000 rupiah, tips naik menjadi Rp. 3000. Persaiangan merebut hati tukang becak berakhir menyusul munculnya krisis moneter pada 1997. Ketika itu harga satu dos bakpia mencapai 8000 rupiah dan tips sebesar 4000 rupiah. Di fase ini, usaha saingan Arlen merosot jauh. Arlen sendiri, hingga kini tetap berpegang pada tips sebesar 4000 rupiah.
Tak ingin para tukang becak itu lari dari tempatnya, Arlen mulai membangun hubungan yang lebih intens dengan para tukang becak, lebih dari sekadar soal tips sebesar 4000 rupiah. Sejak 2001, ia mulai membeli becak satu demi satu.
Siapa pun bisa menggunakan becak milik Arlen. Bukan sekali dua tukang becak yang menjual becaknya bisa kembali menggunakan becak yang sama. Semuanya tak perlu setoran. Jika ada komponen becak yang rusak, mereka cukup datang ke pabrik pembuatan Bakpia “25”. Anak buah Arlen dengan sigap mengurusnya.
Mereka hanya perlu menandatangani surat pernyataan yang berisi kesediaan menjaga dan merawat becak serta kesediaan mengembalikan becak jika dikehendaki oleh Arlen dengan tanpa syarat apa pun. Menariknya, dalam Surat Pernyatan tersebut tak ada pasal yang mengharuskan tukang becak untuk membawa penumpang yang hendak membeli bakpia dan oleh-oleh makanan khas Jogja lainnya ke pabrik atau outlet Bakpia “25”.
Kendati demikian, setiap tukang becak yang menggunakan becak Arlen sudah sadar bahwa ia mesti membawa penumpang yang hendak membeli bakpia ke pabrik atau outlet Bakpia “25”. Jika membandel, anak buah Arlen yang tersebar di seantero kawasan Malioboro akan memeringatkan tukang becak termaksud.
Arlen juga selalu siap dimintai bantuan cat, kaos paguyuban hingga uang konsumsi untuk rapat bulanan yang digelar paguyuban-paguyuban becak. Setiap lebaran, Arlen juga selalu membagikan bingkisan berupa sarung, sajadah hingga uang 50.ooo rupiah bagi setiap tukang becak yang menggunakan becaknya. Bingkisan yang sama bisa didapatkan tukang becak yang tak menggunakan becak Arlen. Asal datang ke pabrik Bakpia “25” yang juga menjadi kediaman Arlen, bingkisan lebaran sudah disediakan.
Mestikah diherankan jika banyak tukang becak di Malioboro biasa memanggilnya: “Bos”.
[5]
Di Malioboro juga muncul istilah “becak hotel”. Istilah ini merujuk pada becak-becak yang biasa mangkal di depan hotel. Hotel-hotel berbintang di Malioboro biasanya menjalin kerjasama dengan paguyuban becak yang mangkal di depan hotel mereka.
Paguyuban-paguyuban becak seperti itu memiliki tingkat soliditas yang lebih baik ketimbang paguyuban-paguyuban lainnya. Mereka memiliki aturan organisasi yang tertulis berikut sanksi-sanksi yang akan dikenakan jika anggotanya melanggar aturan.
Iuran bulanan bukan hanya dilaksanakan secara ketat, tapi besarnya pun lebih besar ketimbang iuran di paguyuban lain. Paguyuban becak Mulia Bumi Artha, yang mangkal di gerbang selatan Hotel Inna Garuda, pernah memiliki saldo mencapai 26 juta rupiah. Dari saldo itulah mereka bisa membeli becak bagi semua anggotanya. Tukang becak dari paguyuban Hotel Inna Garuda, yang mangkal di gerbang utara Hotel Inna Garuda, juga mampu membelikan becak kepada semua anggotanya dari hasil iuran bulanan itu.
Lebaran kemarin, masing-masing anggota Mulia Bumi Artha mendapat bagian 800.ooo rupiah. Modasir, ketua paguyuban, diberi tambahan uang sehingga total ia kebagian uang sebesar satu juta rupiah. Biasanya mereka menyimpan uang iuran itu di bank. Paguyuban Mulia Bumi Artha maupun “saudara tuanya” paguyuban Hotel Inna Garuda sama-sama menyimpan uang hasil iuran mereka ke Bank Rakyat Indonesia.
Tingkat disiplin mereka patut dipuji. Siapa pun anggota yang datang tanpa mengenakan seragam, mereka tak boleh mencari penumpang. Anggota juga dilarang meminta tambahan ongkos di luar kesepakatan awal kepada setiap penumpang.
Dari pihak hotel mereka bukan hanya mendapat ijin mangkal. Jatah cat untuk memerbaiki penampilan becak rutin mereka terima. Mereka juga mendapat bingkisan hari raya berupa pakaian, sembako hingga amplop berisi 50 ribu rupiah. Jika hari raya, tukang-tukang becak di Malioboro lainnya bisa berkelimpahan bingkisan. Dari toko-toko souvenir dan oleh-oleh, semisal toko penjual kaos “Dagadu”, toko batik “Luwes” di Rotowijayan atau Bakpia “25”, mereka menerima bingkisan berupa barang maupun uang dengan besaran yang beragam, dari 30.000-50.ooo.
Hotel Ibis bisa diajukan sebagai contoh bagaimana hotel di Malioboro memerlakukan paguyuban becak hotel laiknya karyawan. Manajemen hotel sering melakukan meeting bulanan dengan pengurus paguyuban becak untuk membahas banyak hal, terutama mengenai event-event yang akan digelar pihak hotel. Sejak tahun kemarin, manajemen Hotel Ibis bahkan memberi beasiswa kepada tiga anak tukang becak dari paguyuban becak Hotel Ibis.
Dengan memberikan perhatian semaksimal mungkin, manajemen hotel berharap paguyuban becak yang berada di bawah naungan mereka bisa menjaga reputasi hotel dan bisa ikut memberikan layanan tambahan secara memuaskan kepada tamu hotel yang hendak jalan-jalan di seputar Malioboro.
Manajemen hotel biasanya selalu merekomendasikan becak-becak dari paguyuban kepada tamu hotel. “Kami jamin tidak akan menipu, meminta ongkos tambahan di luar kesepakatan, menurunkan penumpang di sembarang tempat dan jaminan keamanan terhadap barang milik tamu yang tertinggal,” kata Natalia Surbakti, Manajer Public Relations Hotel Inna Garuda.
Paguyuban becak bukan hanya dibentuk oleh becak-becak hotel. Ada puluhan paguyuban becak di Malioboro kendati mereka tak sesolid paguyuban becak hotel. Tidak sedikit paguyuban becak di Malioboro yang hanya mengurusi soal kapling tempat mangkal saja. Iuran anggota pun beberapa di antara mereka sudah tak jalan. Misalnya, paguyuban becak Benteng Vredeburg.
Data yang dimiliki Dinas Perhubungan Kota Jogja pada 2006 menunjukkan ada 142 paguyuban becak di wilayah kota Jogja. Jumlah terbanyak paguyuban berada di Malioboro. Masing-masing paguyuban mengorganisir becak-becak di satu titik tertentu. Khusus di Malioboro, nyaris semua titik di sepanjang Malioboro sudah dikapling sebuah paguyuban. Di setiap gang, setiap pintu mall dan toko dan setiap lorong di Pasar Bringharjo punya paguyubannya masing-masing.
Pembagian area operasi dan mangkal ini memungkinkan sesama tukang becak tahu di mana ia boleh menawari penumpang dan di mana ia tak boleh melakukannya. Aturan tidak tertulis ini tidak sekaku yang dibayangkan. Tukang becak dari area lain boleh saja menawari dan mengangkut penumpang di luar arenya. Tetapi biasanya tukang becak dari luar area itu mesti menunggu giliran. Jika semua tukang becak di tempat tersebut sudah menarik penumpang semua, barulah tukang becak dari area lain bisa mengangkut penumpang.
Memang benar, jarang terjadi gesekan antar paguyuban apalagi yang sampai berahir dengan tawuran. Tapi ini bukan semata merefleksikan sikap tepo seliro yang sering dianggap sebagai karakter orang Jawa. Jarangnya gesekan antar paguyuban tukang becak disebabkan oleh pembagian area operasi dan tempat mangkal ini. Melanggar aturan tidak resmi dengan semena-mena inilah yang memicu gesekan antar tukang becak maupun antar paguyuban.
Selama saya berada di Malioboro, saya tak pernah melihat ada pertengkaran atau rebutan penumpang di antara sesama tukang becak. Tapi saya sering mendengar cerita pertengkaran antara tukang becak yang kadang berakhir dengan kekerasan.
Setengah tahun silam, paguyuban becak Mulia Bumi Artha sempat nyaris baku tawuran dengan tukang-tukang becak dari kawasan Alun-alun Utara, tepatnya dari sekitar Kandang Macan. Persoalan dipicu tukang becak dari Alun-alun Utara yang mengangkut penumpang tanpa ijin di gerbang selatan Hotel Inna Garuda.
Ketegangan sempat bertahan selama seminggu dan sempat membikin heboh karena tukang becak dari Alun-alun utara sempat nggruduk dan membekali diri dengan senjata tajam. Beberapa anggota paguyuban Mulia Bumi Artha sendiri tak tinggal diam.
“Saya sudah menyiapkan senjata tajam di belakang jok becak,” cerita Giman, anggota paguyuban Mulia Bumi Artha yang berasal dari Wonosari.
Biar bagaimana pun kehidupan di Malioboro tidak berbeda dengan kehidupan jalanan di tempat lain. Hidup jauh lebih keras. Saya mendengar refleksi macam itu dari mulut Slamet, ketua paguyuban becak Benteng Vredeburg.
[6]
Tidak semua tukang becak di Malioboro bisa menikmati kebaikan hati “Bos” Arlen, juragan toko atau perhatian istimewa dari petinggi hotel. Salah satunya adalah tukang-tukang becak yang mangkal di pintu belakang pasar Bringharjo.
Becak-becak di sini penampilannya lebih kumal. Catnya sudah banyak yang mengelupas. Pakaian mereka relatif lebih lusuh. Bau keringat menghumbalang di mana-mana. Tentu saja ini bukan persoalan besar karena kebanyakan para penumpang yang mereka bawa belum tentu lebih wangi.
Salah satu pemandangan paling menarik yang bisa Anda saksikan di sini adalah cara mereka menunggu penumpang. Sukar menemukan tukang becak yang menawari calon penumpang dengan agresif. Mereka duduk dengan rapi di lantai keramik berwarna putih di muka tangga yang menuju lantai dua. Mereka duduk bersila dengan penuh takzim. Pada satu momen, saya menyaksikan 12 tukang becak duduk bersila dengan rapi dari utara ke selatan. Tawaran pada penumpang disampaikan tetap dalam posisi duduk.
Mereka lebih sering menanti dan menanti. Saya selalu menyaksikan pemandangan yang sama jika sore-sore berkunjung ke sana. Kadang saya teringat sosok tukang becak dalam puisi Joko Pinurbo berjudul “Himne Becak” yang mengisahkan profil seorang tukang becak yang bertahun-tahun selalu duduk menunggu penumpang di depan restoran “Sabar Menanti”.
Kerja mereka lebih berat karena mesti siap membantu membawakan barang belanjaan penumpang yang terkadang berkarung-karung. Mereka juga sukar mengharapkan tips karena penumpang mereka bukan wisatawan yang membawa uang berlebih. Sebagian terbesar dari penumpang mereka adalah para pedagang kecil di kampung-kampung yang kulakan barang dagangan yang akan dijual kembali di warung kecil masing-masing.
Jam kerja mereka pun lebih pendek. Jika rekan-rekan mereka di Malioboro masih bisa menunggu penumpang hingga –setidaknya—pukul 22.00, mereka tak mungkin menunggu penumpang selepas pukul 17.00.
Kehidupan para tukang becak di pintu belakang pasar Bringharjo mulai terasa begitu berat setelah pasar Shopping di sebelah selatan pasar yang buka 24 jam dipindahkan ke Giwangan, 4 kilometer ke arah tenggara Malioboro pada 2004. Kepindahan ini memangkas penghasilan mereka hingga separuh.
Di tempat inilah, Dwi Oblo, fotografer yang menggarap foto untuk laporan ini, pernah menjumpai seorang tukang becak yang saking laparnya mesti mengikat perutnya dengan tali rafia.
Inilah potret tukang-tukang becak yang tak tersangkut dengan dunia pariwisata kendati tempat mangkal mereka dengan Malioboro hanya dipisahkan gedung pasar Bringharjo. Profil-profil becak yang ditampilkan dalam buku “Waton Urip” yang banyak memotret kesederhanaan dan kemelaratan tukang-tukang becak di Jogja nyaris seluruhnya berasal dari tipikal tukang becak seperti ini.
Saya sempat bercakap-cakap dengan Giman (ketua paguyuban yang berasal dari Karanganyar) dan Maryadi (bendahara paguyuban). Saya bertanya pada keduanya tentang arti tulisan di badan becak masing-masing.
Pada badan becak Maryadi terdapat tulisan “An-nas”. “Itu nama anak saya yang terakhir. Saya tulis di becak sebagai tanda bahwa becak itu pekerjaan saya yang terakhir, kerjaan mentok,” terang Maryadi.
Pada badan becak Giman tertulis kata “Usaha”. Giman menjelaskan: “Ya, itu memang satu-satunya usaha saya!”
[7]
Ketika hari masih begitu dini, Malioboro selalu tampak letih dan tua. Saya beberapa kali menyusuri Malioboro pada dini hari yang sepi. Sampah-sampah berserakan. Tubuh-tubuh letih bergeletakan di banyak tempat hanya beralas koran atau terpal yang tak terpakai. Jika sudah begini, bangunan-bangunan di sepanjang Malioboro tampak lebih jujur “mengatakan” usia yang sebenarnya.
Sesekali terdengar gerombolan anak muda yang bernyanyi diiringi suara gitar yang chord-nya kadang meleset. Saya pernah mendengar lima orang pemuda Papua duduk melingkar sembari menyanyikan lagu lama dari Panber’s, “Di Gereja Tua”. Di tengah mereka terlihat sejumlah botol bir dan serakan kulit kacang. Sempurna sudah aura Malioboro yang tua dan letih.
Tapi, dari semua pemandangan itu, tak ada yang lebih kontras melebihi puluhan becak yang diparkir sembarangan. Kadang becak-becak itu naik hingga berdempetan dengan rolling door toko-toko. Sebagian lagi diparkir di tepian troatoar. Di atasnya, para tukang becak tidur dalam posisi yang mustahil bisa dinikmati oleh siapa pun yang terbiasa tidur di ranjang dan kasur yang empuk. Saya selalu tak habis pikir, bagaimana mereka bisa tidur dengan begitu nyenyak di ruang yang sempit dengan kepala bertelekan badan becak yang terbuat dari kayu dan dua kaki yang mesti ditekuk sedemikian rupa dengan rumitnya.
Malioboro dan becak memang seperti sepasang kekasih yang setia, melebihi kesetiaan andong, saudara tua becak sebagai sesama mode transportasi non-mesin, yang selalu dibawa pulang ke rumah oleh kusirnya di waktu malam. Tak ada sedetik pun waktu di Malioboro berlalu tanpa becak.
Carilah tukang-tukang becak berusia lanjut. Dari mulut mereka, seperti apa wajah Malioboro pada masa lalu bisa dikorek. Mereka pula yang menjadi saksi sejarah jatuh-bangunnya sejumlah toko di sepanjang Malioboro.
Diakui atau tidak, becak memang sudah menjadi ikon Jogja. Sewaktu Pangeran Akishino, putra kedua Kaisira Akihito dari Jepang, berkunjung ke Jogja pada Januari silam, Walikota Herry Zudianto memberi cinderamata berupa syal batik dan miniatur becak. Momen itu bisa menunjukkan bahkan pemerintah pun mengakui becak sebagai ikon Jogja paling populer. Tapi, cinderamata miniatur becak itu bisa terasa komikal karena cinderamata diberikan pada pangeran dari negeri tempat kelahiran becak.
Rebecca Lamiere menyebut becak pertama kali muncul di Jepang pada 1870 sebagai hasil perpaduan antara “sedan-chair” (becak tandu) dan “pull rickshaw” (becak tarik). Menariknya, pada periode yang ditengara sebagai titimangsa masuknya becak ke Indonesia dari Jepang itu, rickshaw masih banyak ditemukan di Jepang. Ini bisa ditemukan, misalnya, dalam novel hasil riset sejarah, “Memoirs of Geisha”.
Hanya saja, sejarah becak di Jogja sendiri sebenarnya masih samar, seperti halnya sejarah becak di Indonesia. Belum ada data yang bisa menjelaskan secara akurat kapan masuknya becak. Profesor Sartono Kartodirdjo hanya bisa memberi ancang-ancang titimangsa: “…Shortly before World War II it appeared on the traffic scene and after the war it came in great number and became very popular and widespread.”
Jika tengara Sartono benar, becak sudah muncul pada akhir dekade 1930-an atau awal 1940-an. Informasi ini hampir berdekatan dengan titimangsa yang diajukan Setyawati, pemilik bengkel Sinar Laut yang pada era 70-an hingga 80-an menjadi produsen becak terbesar di Jogja. Ia menyebutkan becak masuk ke Jogja dari Semarang pada era pendudukan Jepang (antara 1942-1945).
Henk Ngantunk, seniman Lekra yang sempat menjadi Gubernur Jakarta pada 1964-1965, sudah membuat lukisan berjudul “Pengemudi Becak” pada 1947. Dalam lukisan cat minyak itu becak tampak lebih rendah ketimbang becak yang biasa terlihat di Jogja sekarang. Lukisan itu juga menggambarkan bahwa becak masa itu belum memiliki atap yang bisa dibuka-tutup.
Dokumen tertua yang mengatur becak di Jogja yang berhasil saya temukan adalah Peraturan Daerah No. 3/Tahun 1961 yang hingga kini belum diperbaharui. Perda itu mewajibkan semua pemilik becak untuk memiliki surat kepemilikan kendaraan dan ijin mengemudi (pada tengahan 1980-an, surat semacam ini banyak dimiliki para tukang becak, kendati sekarang tidak banyak lagi yang memerpanjangnya). Tukang becak juga diwajibkan memeriksa kesehatannya minimal setahun sekali. Tidak ada satu pun pasal yang membatasi area operasi becak. Ini berbeda dengan nasib becak di Bandung yang sudah mengalami pembatasan area operasi sejak 1975.
Jika pun ada pembatasan hanya menyangkut jam operasi. Pada pertengahan 1980-an, otoritas kota membagi jam operasi becak. “Becak-becak berwarna merah hanya boleh narik siang hari dan becak berwarna putih hanya boleh narik malam hari,” tutur Narto (38 thn), tukang becak yang biasa mangkal di depan Toko Mirota Batik. Sejak awal 1990-an, peraturan itu sudah tak lagi berlaku dan cukup kuat bukti untuk menyatakan bahwa otoritas kota Jogja tak pernah berusaha menerbitkannya kembali.
Data tertua yang bisa ditemukan mengenai jumlah becak di Jogja berasal dari tahun 1975 yang besarannya berada di kisaran 4-7 ribu. Becak yang terdaftar sendiri berjumlah 5.971 becak. Menariknya, studi yang dilakukan Danang Parikesit dari UGM tentang jumlah becak di Jogja pada 1995 mengajukan angka di kisaran 4.515-6.379 buah. Ini artinya, jumlah becak di Jogja antara 1975-1995 relatif konstan.
Krisis moneter pada 1997 dan kasus bom Bali pada 2002 sepertinya berimbas pada penurunan jumlah becak secara drastis. Data yang saya peroleh dari Dinas Perhubungan Kota Jogja menunjukkan bahwa pada 2006 jumlah becak berkurang nyaris separuh menjadi hanya 2.473 buah.
Ini seperti mengkonfirmasi keluhan nyaris semua tukang becak di Jogja, baik itu becak wisata di Malioboro maupun becak di pasar-pasar, termasuk pasar Bringharjo. Semua mengeluhkan penumpang yang makin sedikit dan pendapatan yang terus menurun.
[8]
Rujito (32) memacu motornya tanpa sekali pun berani menoleh ke belakang. Malioboro terlalu penting bagi hidupnya sehingga ia khawatir menengok ke belakang bisa membuat perasaannya menjadi sentimentil.
“Saya hampir berkaca-kaca,” kata Jito, begitu saya biasa memanggil, dengan suara sedikit bergetar.
Malam itu, Jum’at (29/2), menjadi malam terakhir Jito menjadi tukang becak, profesi yang digelutinya sejak 1993. Besok sore Jito akan berangkat ke Papua. Di ujung timur Indonesia ia mencoba peruntungan baru dengan bekerja pada “Restoran Malioboro” di Pelabuhan Sorong.
Tak banyak yang dilakukan Rujito di hari terakhirnya sebagai tukang becak. Beberapa saat sebelum meninggalkan Malioboro, ia sempat “ngulon”, istilah di tempatnya mangkal untuk merujuk tempat minum-minum yang biasa ia datangi bersama sejumlah temannya sesama tukang becak yang biasa mangkal di gerbang selatan Hotel Inna Garuda. Ia “ngulon” bersama Joko dan Wito. Sekitar pukul 10 malam, Jito pulang ke rumahnya di Pajangan, Bantul.
Saya yang sedari sore sudah berada di tempat Jito biasa mengkal menyaksikan ia lebih sibuk dengan handphone miliknya. Ia mengenakan jaket kulit tebal berwarna hitam. Rambutnya yang ikal ditutupinya dengan topi hitam. Malam itu dandanannya terlihat dandy.
Seperti hari-hari yang lain selama seminggu terakhir, hujan sudah turun sejak siang. Malioboro cukup sepi. Hanya satu dua yang sudah mendapat penumpang, selebihnya, hingga menjelang Isya’, lebih banyak yang belum menarik penumpang satu pun, termasuk Jito. Hari terakhir Jito sebagai tukang becak dinikmatinya tanpa mengayuh pedal.
Baginya tak ada tempat mangkal terbaik selain tempatnya sekarang. “Kalo begitu, kenapa pergi ke Papua?” tanya saya.
“Ini bukan soal betah atau nggak. Saya ingin perubahan. Mosok dari dulu sampai besok punya anak cucu terus-terusan mbecak. Kalau dulu mungkin masih bisa. Cari penumpang gampang. Dulu, mas, istilahnya itu penumpang yang cari kita. Sekarang kalau kita ndak rajin cari penumpang ya ndak bakal dapat penumpang. Lha, rajin nawarin penumpang saja belum tentu bisa dapat, apalagi kalau cuma diam. Saya pernah berhari-hari ndak dapat penumpang”
“Lagipula, hidup di jalanan itu godaannya banyak. Saya sudah mencoba menjauhi hal-hal negatif dari jalanan, tapi ternyata susah. Jadi, ya… memang harus menjauh sekalian.”
Jito lantas menunjukkan salah satu sms dari temannya yang ia panggil Toge. Begini salah satu bunyinya: “Suk nek nang kono ra mung dolan nang TMB BERLIN lho! Nek ngedan nang omah wae, raono gunane.” (artinya: Besok kalau di sana jangan hanya main ke TMB BERLIN, lho. Kalau mau edan-edanan di rumah saja, tak ada gunanya.)
Ketika saya tanya apa itu TMB BERLIN, Jito menjawabnya dengan perumpamaan: “Semacam Sarkem-nya di sana.”
Sarkem merupakan akronim dari Pasar Kembang, nama jalan yang berada di sebelah selatan Stasiun Tugu. Akronim Sarkem merujuk pada satu-satunya lokalisasi pelacuran di Jogja yang memang berada di sisi selatan jalan Pasar Kembang. Istilah “ngulon” yang digunakan Jito juga merujuk tempat ini. 
Esoknya saya masih sempat bertemu dengan Jito untuk terakhir kali. Ia mengajak saya bertemu di depan Gedung Agung, sebutan untuk Istana Kepresidenan RI yang berada di ujung selatan Malioboro, berseberangan dengan Benteng Vredeburg. Kendati ia tak mau terlihat sentimentil, tapi wajah dan ekspresinya tak bisa disembunyikan. Matanya selalu mengawasi setiap sudut jalan, seperti mencoba mengabadikan suasana sore di Malioboro dalam ingatannya, mungkin untuk menjadi bekal jika ia kelak merindukan Malioboro.
Tepat pukul 16.oo Jito pamit. Ia mesti segera pulang ke rumahnya. Saya menemaninya menunggu bus.
“Malioboro itu sudah seperti rumah bagi saya, Mas!”
Itu kalimat terakhir yang saya dengar dari Jito. Saya memerhatikannya dari jauhan. Sedikit pun Jito tak menoleh. Mulai sore itu, Malioboro dan becak sudah menjadi sejarah baginya.
Tapi Jito tak tahu akan seperti apa peruntungan barunya di Sorong. Jika tak lebih baik, Jito belum tahu hendak bekerja apa lagi. Mungkin kembali mengayuh becak. Jika itu pilihannya, jangan pernah ragukan Malioboro. Ia akan selalu menerima Jito kembali.
=====
*) Feature ini ditulis untuk National Geographic Indonesia. Saya bekerja bersama fotografer kantor berita Reuter, Dwi Oblo. Selama 2 pekan, kadang pagi buta kadang dini hari, saya menelusuri area di seputaran Malioboro, mengumpulkan satu demi satu cerita-cerita tentang manusia dan becak. Feature ini tayang di National Geographic edisi April 2008.

Selengkapnya......

Jumat, Agustus 17, 2018

Pergeseran Teks pada Bambu-Bambu Joko

Saat menyaksikan karya Joko Avianto, "Infinity", di NuArt Sculpture Park, saya teringat esai Aminuddin TH Siregar (Kompas, 16 Agustus 2003). Kritik Aminuddin terhadap karya-karya Joko dan Handy Hermansyah yang bermaterikan bambu dalam pameran /'baembuw/ di Selasar Seni Sunaryo Art Space (2003) itu bisa diringkas menjadi: "karya-karya itu masih menampilkan bambu sebagai bambu".
Sudah 12 tahun berlalu sejak pameran /'baembuw/ itu. Perupa Bandung yang terpilih untuk memamerkan karyanya di Museum Kunstverein (sebagai bagian dari agenda Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015) ini berhasil memperlihatkan bahwa pilihan untuk mengeksplorasi bambu baginya bukan semata sebagai (keberpihakan terhadap) material lokal (yang diabaikan/diremehkan). Di tangan Joko, bambu telah menjadi suatu rupa yang khas, dan bukan sekadar material. Aminuddin dulu menyebut "pergeseran teks", ketika bambu tidak sekadar menjadi bambu an sich, yang secara tersirat ia sebut belum tampak dalam karya-karya Joko (dan Handy).
Karya "Infinity" sendiri dibuat Joko untuk merespons Sasikirana Dance Camp (SKDC), workshop yang dihelat Bengkel Tari Ayu Bulan (24-28 Juni 2015). "Infinity" inilah yang disiapkan sebagai panggung bagi 25 peserta SKDC mempresentasikan karya akhir bertajuk "Menjaring Bulan".
Mulanya Joko membayangkan angka "8" sebagai bentuk "Infinity". Setelah jadi, karya berukuran berukuran 10x6x5 meter ini lebih menyerupai keranjang buah, beberapa orang menyebutnya mangkuk, sementara Galuh Pangestri (salah satu penampil "Menjaring Bulan") menyebutnya mirip kapal, ketimbang angka "8". Di kedua sisi, tepat pada bagian lengkungan, Joko membuat dua lubang (satu-satunya elemen yang mungkin masih menautkan "Infinity" dengan bentuk angka "8"). Lubang di sisi kiri tidak tembus keluar, namun lubang di sisi kanan dibuat tembus sebagai pintu masuk para penampil "Menjaring Bulan".
Di bagian tengah, Joko membuat ruang yang datar dengan dialasi palupuh (bambu yang dibelah, dicacah-cacah, diratakan, menyerupai permukaan amben). Palupuh ini membuat para penampil dalam "Menjaring Bulan" bisa leluasa bergerak karena permukaannya yang relatif rata dan solid.
Ini kali pertama Joko memasukkan palupuh dalam karyanya. Pada karya "Sacred Platform" yang berbentuk kapal, yang menjadi panggung bagi pertunjukan Sardono W. Kusumo berjudul "Legenda Ratu Nusantar" di Ratu Boko (2013), Joko tidak menggunakan palupuh. Bagian permukaan kapal, yang menjadi tempat utama para penampil, dibiarkan tersusun dari batang-batang bambu utuh yang disusun dengan rapat. Ini sempat menyulitkan para penampil saat bergerak karena permukaannya yang tidak rata dan gerinjulan mengikuti bentuk bambu yang bulat.
Menggunakan 1500 bambu dari jenis bambu tali, plus 25 bambu bitung dan gombong untuk pilar-pilar utama, "Infinity" akan menyita perhatian siapa pun yang berkunjung ke NuArt Sculpture Park milik perupa Nyoman Nuarta itu. Kecuali 25 pilar utama, semua bambu itu tidak ada yang lurus bentuknya. Semuanya melengkung, berbelok, bengkok, berpilin-pilin, muntir. Ribuan bambu itu sambung menyambung sedemikian rupa membentuk kompleks yang -- jika diikuti oleh mata-- kadang membuat saya tersesat.
Sebenarnya ini bukan hal baru bagi Joko. Karya-karyanya yang terdahulu, seperti "Wrap Java", "Songgo", atau "The Gate", juga menyodorkan pilinan bambu-bambu yang nyaris semuanya tidak ada yang lurus. Hanya saja, ukuran "Infinity" yang massif memberi sensasi kompleksitas yang lebih kuat.
Beberapa karya penting Joko, yang ukurannya memang gigantik, seperti "The Lost Vegetations" (ArtJog2012), "Sacred Platform" atau "The Theatre of Ship" (George Town Festival 2013), masih sangat banyak menampilkan batang-batang bambu yang dibiarkan lurus. Jika pun agak dibentuk, banyak di antaranya hanya sedikit dibengkokkan saja sehingga kesan anyaman masih kuat.
Ukurannya yang terhitung gigantik -- dibanding ukuran berbagai sculpture karya Nuarta yang bertebaran di luar ruangan -- membuat pilinan ribuan batang bambu yang masih utuh itu terlihat menakjubkan. Ditatap dari jarak tertentu, katakanlah sekitar lima meteran, ribuan batang yang dipilin-pilin dengan rapat dan membentuk lingkaran (agak lonjong), menghadirkan imaji kompleksitas yang -- untuk saya-- menggiring untuk mengitarinya.
Sayang sekali masih ada beberapa ujung bambu yang mencuat keluar. Andai semua ujung bambu itu dilesakkan ke bagian dalam, sehingga tidak ada yang terlihat mencuat keluar, boleh jadi kompleksitas pilinan ribuan bambu itu bisa menyodorkan imaji labirin yang tak berujung bagi yang mengitarinya.
Batang-batang bambu dengan ujung yang mencuat keluar itu akibatnya menjadi semacam retakan dalam “teks” ketidakterhinggaan (infinity) yang hendak dipresentasikan Joko. Di situlah saya akhirnya menyaksikan adanya ujung, tepi, atau akhir.
Infinity sebagai Panggung
Retakan itu menjadi tidak terlihat ketika "Infinity" berperan sebagai panggung tempat para penampil "Menjaring" Bulan mementaskan dirinya. Material bambu yang sederhana, mudah didapat, dan terjangkau, juga tanpa properti dan dekorasi tambahan, tak membuat "Infinity" terlihat sederhana. Dengan pencahayaan yang bagus, juga cahaya bulan yang mendekati purnama, "Infinity" justru tampil wah namun terlihat wajar dan tidak berlebihan.
Memang tidak semegah "Sacred Platform" yang menjadi panggung pertunjukan "Legenda Para Ratu". Wah-nya "Infinity" terasa pas, fungsional, dan cukup tahu diri untuk tidak lebih menonjol dari para penampil dan pertunjukannya sendiri.
Di situlah "Infinity" berhasil berdialog dengan para penampil "Menjaring Bulan". Ketika merancang dan membuat "Infinity", Joko tidak tahu akan seperti apa pertunjukannya. Sebagaimana para penampil juga tidak dikunci oleh "Infinity". 25 peserta workshop Sasikirana Dance Camp, yang “dibiarkan” para mentornya untuk mencari dan menemukan bentuk serta gerak yang tepat sebagai tafsiran atas tema “menjaring bulan”, terlihat bisa memaksimalkan setiap jengkal "Infinity".
Kedua sisi "Infinity" yang melengkung ke atas, juga dua lubang di kedua sisi, bisa dimaksimalkan sebagai elemen panggung. "Infinity" menjadi tidak terlalu sesak saat menampung gerak 25 penampil, tapi juga tidak terlalu luas sehingga menghadirkan kelewat banyak ruang kosong yang mungkin terpaksa akan/mesti diisi dekorasi atau properti tambahan.
Eksotisme Lagi?
Tentu tak salah-salah amat menghidupkan lagi imaji eksotisme. Namun, dengan niatan untuk memperkenalkan wajah kekinian dari (kebudayaan) Indonesia di ajang Frankfurt Book Fair 2015, pilihan kepada Joko sebagai salah satu perupa yang karyanya akan ditampilkan di Frankfurt merupakan hal yang rasanya pas. Sebab eksotisme itu tak hendak disangkal layaknya anak haram, namun diakui tanpa harus terbebani oleh keharusan merawat sembari bersikap mengapurancang.
Boleh jadi masih ada yang akan mencium bebauan eksotisme dalam karya Joko Avianto. Bambu sebagai material utama memang lekat dalam ingatan kita sebagai sesuatu yang lokal, sehari-hari, dan – dalam beberapa hal—terasa “timur”. Kita ingat bagaimana Ang Lee menyodorkan atau menghidupkam lagi citraan itu melalui adegan pertarungan yang indah, molek - pendeknya: mooi- di pucuk-pucuk bambu dalam "Crouching Tiger Hidden Dragon".
Namun rasanya eksotisme itu tidak terlihat (atau tidak menonjol). Ia tidak sedang membuat propaganda tentang keberpihakan terhadap material lokal (yang mungkin sempat diremehkan dalam praktik seni rupa), sesuatu yang disindir Aminuddin dalam esainya sebagai “material yang tersingkir dan (karenanya) harus dibela”.
Menatap karya-karya Joko dengan seksama, rasa-rasanya, tidak lagi menghidupkan eksotisme semacam itu.
Joko tidak menganggap karya-karyanya sebagai bentuk “konservasi” terhadap yang-lokal-yang-mentradisi, katakanlah bambu sebagai material maupun teknik pengolahan. Tekniknya dalam mengolah bambu (melakukan sayatan-sayatan pada ruas bambu di antara buku-buku, keengganannya membuat sambungan dengan melubangi ruas, misalnya) sepintas membuatnya terlihat sedang memuliakan bambu; namun itu hanya sekadar pilihan yang baginya terbaik untuk saat ini (tanpa embel-embel eksotisme).
Ia mempelajari berbagai teknik pengolahan bambu dari berbagai kebudayaan, namun ia merasa tidak sedang atau dibebani tugas melanjutkan atau mengkonversi teknik-teknik itu. Ia tidak mentabukan teknik-teknik tradisional, misalnya menggunakan pasak, sebagaimana yang dengan keukeuh dilakukan Tatsuri Kawana, perupa Jepang yang juga menekuni bambu. Dia rileks saja jika harus memakai yang seperti itu jika memang tidak ada cara lain (dalam "Infinity" ia menggunakan kawat di beberapa titik).
Diperkaya eksplorasi yang menjelajahi berbagai bentuk (dari yang konkrit seperti kapal, gajah atau gerbang hingga yang “abstrak” seperti bencana alam – misal karya "The Lost Vegetations", "Catastrophe Under Construction" -- dan tentu saja "Infinity") dan tampilan-tampilan yang kompleks serta kadang terlihat semrawut (chaos), eksotisme yang lekat dengan citraan yang statis, beku dan tenang menjadi sepenuhnya absen. Imaji kegelisahan, chaos, menjadi lebih menonjol.
Dan dengan itulah rasa-rasanya Joko telah berhasil melakukan “pergeseran teks” atas bambu.

======

Tayang perdana di Jawa Pos pada 9 Agustus 2018.

Selengkapnya......