Jumat, Januari 04, 2008

Membayangkan Neraka

Saat membongkar buku-buku lama yang berdebu saya menemukan sebuah paragraf panjang yang menarik. Di tepi sebelah kanan halamannya, terdapat tulisan tangan yang merupakan respons sekaligus komentar spontan saya sewaktu pertama kali membacanya pada 2004 silam, di sesela KKN di sebuah kampung di kaki Merapi.

Di situ saya tuliskan juga sepucuk nama yang terkenal: Heidegger. Saya bilang di sana: Bahasa dalam paragraf macam inikah yang dimaksudkan oleh Heidegger sebagai “House of Being” atau “Rumah Maujud”?

Baiklah saya tulis ulang paragraf tersebut untuk Anda. Saya harap Anda cukup bersabar dan punya daya tahan untuk membaca paragraf panjang ini. Jika boleh menyarankan, Anda jangan hanya membaca, tapi coba kerahkan juga imajinasi hingga batas terjauh yang bisa dijangkau:

“Siksaan terakhir yang paling dahsyat dari segala siksaan di tempat yang mengerikan itu adalah keabadian neraka! Oh, sungguh kata yang mengerikan dan menakutkan. Keabadian! Pikiran manusia yang seperti apa yang yang dapat memahami ini semua? Meski pun rasa sakit di neraka dulu tidaklah begitu mengerikan jika dibandingkan dengan sekarang, tetapi rasa sakit akan benar-benar nyata saat siksaan itu ditakdirkan untuk berlangsung selamanya. Tetapi, di samping rasa sakit itu tiada pernah berhenti, pada saat itu juga,sebagaimana kalian ketahui, rasanya sangat kuat dan tak dapat ditanggulangi, terus bertambah hingga tak tertanggungkan. Menanggung rasa sakit karena sengatan serangga selama-lamanya saja sudah bisa menjadi siksaan yang mengerikan. Lalu bagaimana rasanya jika harus menerima siksaan yang berlipat-lipat sakitnya di neraka selamanya? Selamanya! Tidak setahun atau seabad, tapi selamanya. Coba bayangkan arti ucapan mengerikan ini. Kalian sering kali melihat pantai. Betapa bagusnya butir-butir pasir itu! Dan betapa banyak butir pasir yang dibutuhkan untuk menjadi segenggam pasir yang diambil anak kecil saat bermain. Kini, bayangkan segunung pasir satu juta mil tingginya, menjulang dari bumi hingga ke langit yang terjauh, dan satu juta mil lebarnya, membentang dari ruang yang terpencil, dan satu juta mil terbalnya: bayangkan gundukan besar partikel pasir yang tak terhitung jumlahnya dilipatgandakan dengan jumlah daun yang ada di hutan, tetes air di samudera luas, bulu-bulu pada burung, sisik-sisik pada ikan, bulu-bulu pada binatang, atom di udara bebas: dan bayangkan pada akhir setiap satu juta tahun seekor burung kecil datang ke gunung itu dan membawa pergi sebutr pasir dari sana dengan paruhnya. Berapa juta abad yang dibutuhkan burung itu untuk memindahkan, bahkan cuma satu kaki persegi pasir dari gunung itu, berapa banyak eon abad untuk memindahkan seluruh gunung itu. Namun pada akhir rentang tahun yang sangat panjang itu kita masih belum bisa menyebutnya sepersekian kejap dari keabadian. Saat berbilyun-bilyun dan bertrilyun-trilyun tahun itu telah berakhir, kita tahu bahwa itu masih belum dkatakan sebagai awal keabadian. Dan jika gunung itu muncul dan tenggelam sesering terbit dan tenggelamnya bintang di langit, atom di udara, tetes air di lautan, daun di pepohonan, bulu pada burung, sisik pada ikan, rambut pada binatang, pada akhir setiap kemunculan dan kesirnaan gunung yang luasnya tak terukur itu tak bisa dikatakan sekejap dari keabadian telah berakhir, bahkan pada saat itu, pada akhir setiap masa sepanjang itu, setelah eon waktu yang bisa membuat kita pusing meski hanya memikirkannya saja, kita belum bisa mengatakan bahwa keabadian telah dimulai!”

Pengarang yang sama melanjutkan “teror bahasa” yang sudah ia gelar tadi dengan mengisahkan satu cerita bahwa orang-orang yang pernah singgah di neraka hanya bisa melihat kegelapan di mana-mana, kegelapan yang begitu besar. Hanya ada bunyi yang berasal dari sebuah jam raksasa yang berdetak tanpa henti seperti gemuruh.

Mari kita simak metafora apa yang digunakan pengarang ini untuk menjelaskan detik-detik dari jam raksasa itu: “…suara detik itu seperti pengulangan tanpa henti atas kata-kata: Selamanya, tiada pernah, selamanya, tiada pernah, selamanya, tiada pernah, selamanya, tiada pernah…..”

Bahasa dan kata-kata dalam paragraf panjang itu melampaui realitas. Paragraf itulah yang bisa diajukan sebagai contoh betapa bahasa bukan hanya mimesis atau penggambaran atau representasi atau apalah namanya dari realitas/kenyataan. Bahasa bukanlah medium di mana dunia (di)hadir(kan). Bahasa yang justru menetapkan konstruksi atas dan bagi dunia, bukan sebaliknya.

Bahasa bukan sekadar representasi dari dunia. Di tangan pujangga yang sudah menyelam ke dalam lautan kata-kata dan berhasil mengenal dan mendayagunakan semua potensi yang diperam oleh kekuatan kata-kata, bahasa justru bisa menjelma dunia itu sendiri.

Bahasa dalam pragraf di atas seperti serentetan kejadian yang menciptakan tata tentang dunia imaji yang sama sekali berbeda dengan yang kita lihat di keseharian.

Kita tak pernah tahu seperti apa neraka karena tak satu pun dari kita yang pernah menyaksikannya. Kitab suci yang kita baca sejak kecil sudah memberi garis besar tentang neraka: panas, siksa, derita, selamanya. Paragraf di atas seperti menyempurnakan garis besar kalam Illahi itu ke dalam satu ruang imaji yang nyaris tanpa batas dan bisa jadi –maaf—malampaui semua pemerian tentang neraka yang pernah didedahkan kitab suci.

Neraka dalam paragraf itu masih menguarkan aura kengerian yang tak terperi, tetapi kengerian itu tersublimasi sedemikian rupa menjadi sebentuk kengerian yang menyebar sekaligus memuai, melebar sekaligus memanjang, dan karenanya hadir seperti keringat yang keluar dari semua lubang pori, dan bukan seperti darah yang mengalir deras dari satu luka yang mengangga.

Lukisan tentang neraka di atas lebih bersifat inkarnasi tinimbang deskripsi. Perbandingan konsep waktu “selamanya” dengan menghamparkan detail mengenai pasir, bulu, atom, tetes air dan sebagainya itu –bagi saya—menyentuh nyaris semua indera yang dianugerahkan Tuhan pada manusia.

Saya pernah membaca Cala Ibi dan –terus terang saja—saya nyengir sendiri membaca puja-puji yang diberikan para kritikus pada karya perdana Nukila Amal itu.

Oh ya, tahukah Anda siapa pengarang yang sedang saya bicarakan ini? Ya, Anda benar, dia adalah James Joyce. Paragraf yang saya bicarakan tadi aku unduh dari bab III novelnya yang berjudul A Portrait of the Artist as a Young Man.

Milan Kundera menyebut Joyce sebagai salah satu dari tiga orang yang membentuk seni novel Eropa. Bersama Franz Kafka dan Cervantes, tentu saja!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ah om jamess...
bahkan dubliners pun belum selesai saya baca..
*sambil lirik buku di tumpukan atas meja*

zen mengatakan...

dubliners saya malah belum baca.masih nangkrin di sebelahnya iris murdoch.kapan ya bs baca ullyses?