Jumat, Februari 22, 2008

Philautia

Cinta dan altruisme bukan hanya ekspresi kelemahan dan penolakan diri, tapi bahkan menjadi tanda dari degenerasi.

Cinta orang di luar Anda, tulis Nietzsche dengan telengas, “Adalah cinta yang buruk buat Anda. Anda menyelamatkan diri ke orang luar lain dan akan merasa senang ketika membuat sebuah kebajikan (bagi orang lain).”

Atau dalam kata-kata Erich Fromm: “Mencintai orang lain hanya akan menjadi sebuah kebajikan ketika keluar dari batin ini, tetapi ia menjadi sangat menjijikkan jika ia ungkapan dari ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri!”

Individuasi, individualisme dan --mungkin- egoisme, per definisi, diberi tempat yang cukup lapang di sini. Sikap mencintai diri sendiri dan mengarahkan kebaikan pada diri sendiri ini oleh Immanuel Kant disebut sebagai “philautia”.

Ada baiknya saya nukilkan sedikit teori narsis-me Freudian. Bagi Freud, semakin banyak cinta yang diarahkan ke luar diri sendiri, maka pada saat yang sama makin sedikit cinta bagi diri sendiri. Jatuh cinta, bagi Freud, adalah sebuah pemiskinan diri dari cinta untuk diri sendiri menjadi seluruhnya dihibahkan pada orang di luar dirinya.

Pandangan macam itu menjadi antinomi dari doktrin altruisme (mencintai orang lain atau kemanusiaan) yang sepintas lalu terkesan menjadi dominan dalam nyaris seluruh ajaran teologi dan filsafat. Dalam pandangan dominan, mementingkan diri sendiri adalah anak panah yang diluncurkan iblis sehingga harus dihindari.

Doktrin “jangan mementingkan diri sendiri” sering direproduksi di mana-mana dalam pelbagai bentuk dan modelnya. Doktrin “jangan mementingkan diri sendiri” ini, terkadang, ditafsirkan sebagai “jangan menjadi egois, kurang hormat atau tidak memedulikan orang lain”. Dalam banyak kasus, bukan sekali dua doktrin “jangan mementingkan diri sendiri” ini berakhir dengan tragis: individu diminta mengurangi otonominya di hadapan banyak otoritas, entah itu agama, masyarakat, norma, dll.

Belakangan, saya makin percaya, bahwa doktrin “jangan mementingkan diri sendiri” bisa menjadi senjata ideologis paling kuat yang bisa menekan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian, individuasi dan otonomi diri.

Kemerdekaan dan kebebasan memang menggoda tapi pada saat yang sama juga bisa begitu menggetarkan sekaligus menggentarkan.

Bayangan sebuah kehidupan tanpa bantuan orang lain, tanpa perlindungan dari masyarakat, tanpa kehangatan dari komunitas, tanpa jaminan sedikit pun dari keluarga, tanpa asupan finansial yang pasti dari tempat bekerja, membuat kebebasan dan kemerdekaan individual menjadi begitu menggetarkan sekaligus menggentarkan.

Bayangan muram terhadap kehidupan yang soliter macam itu membuat banyak individu bersedia berkompromi dengan banyak hal: menaati aturan komunitas, menghormati norma masyarakat, menandatangani sekian pasal beleid perjanjian kerja, dll.

Erich Fromm, jika ingatan saya tak berkhianat, menyebutnya sebagai “lari dari kebebasan”!

Selengkapnya......

Selasa, Februari 19, 2008

Saya Memang Individualis

“Suatu perasaan yang luas dan dalam, tidak pernah eksklusif.
…Sebab itu kukira kebahagian-pribadi yang setinggi-tingginya yang bisa kita raih, mestilah berbarengan dengan kebahagiaan umat manusia.” (Soetan Sjahrir)


Sjahrir mengatakan itu dalam surat yang ditulisnya pada 22 Juli 1934. Agak mengharukan, barangkali, karena pasase yang sarat visi humanistik itu ditulis sewaktu ia berada dalam pengasingan yang rudin di Tanah Merah, Boven Digoel, Papua.

Lima tahun kemudian, Erich Fromm yang sama sekali tak pernah disebut dan dikenal Sjahrir, melansir paper “Selfishness and Self Love” dalam jurnal Psychiatri yang terbit di Washington.

Sikap mencintai diri, tulis Fromm dalam salah satu baris papernya, “Hanya ditemukan dalam diri orang-0rang yang sanggup mencintai orang lain.”

Paper itu sebenarnya menguraikan distingsi antara “cinta diri” dan “cinta orang lain” (cinta umat manusia, dalam kata-kata Sjahrir), termasuk meletakkan distingsi itu dalam pelbagai konteks, dari masyarakat yang demokratis hingga yang totalitarian ala Jerman pada masa Hitler.

Fromm memberi peringatan bahwa doktrin “cinta orang lain” bisa jadi –dan seringkali-- mereduksi kekuatan dan otonomi individu. Semangat komunitarian ini bisa menjadi sado-masokis jika dikelola rezim totalitarian, ambil misal NAZI di Jerman. Atas nama bangsa atau ras, warga negara diminta menganulir kemerdekaan individualnya.

****
Enam tahun setelah paper Fromm terbit, Mohammad Hatta bersikeras mencantumkan secara eksplisit klausul mengenai hak-hak dasar warga negara ke dalam konstitusi yang sedang dibahas Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Klausul itu, ungkap Hatta, amat penting untuk memastikan negara tidak semena-mena memerlakukan warganya.

Hatta berhadapan dengan mayoritas yang tahu betul pengalaman dijajah Eropa, peradaban yang secara pukul rata dianggap menjunjung tinggi individualisme. Dengan plastis, Soekarno menarik garis lurus antara hak warga negara, kemerdekaan individu, individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Kemerdekaan individu, kata Soekarno ketika itu, “…menjadi sumber malapetaka-malapetaka di dunia ini.”

Dengan reputasi sebagai mahaguru hukum adat, Soepomo menjlentrehkan hipotesis yang mendukung Soekarno. Soepomo melihat susunan masyarakat Hindia-Belanda sebagai sekumpulan masyarakat, bukan individu. Soepomo lebih melihat hubungan negara dengan masyarakat, bukan dengan individu seperti dibayangkan John Locke.

Dalam bagian kedua magnum opusnya, Two Treatise of Civil Government, Locke menyebut tiap individu “dari kodratnya bebas, sama sederajat dan mandiri. Tidak ada orang yang dapat dilepaskan dari keadaan ini dan ditundukkan kepada kekuasaan politis orang lain tanpa kesepakatannya sendiri.”

Usul Hatta akhirnya dimasukkan dalam Pasal 28 UUD 1945. Tapi, pasal itu bukan hanya ada di ujung terjauh dari rumusan Locke, melainkan juga terlalu minimal dan mudah ditafsir-ulang sesuai kebutuhan penguasa; kondisi yang kelak terbukti pada tujuh tahun terakhir kekuasaan Soekarno maupun 32 tahun kekuasaan Soeharto.

****

Soekarno merayakan dimulainya otoritarianisme Demokrasi Terpimpin dengan pidato Redicovery of Our Revolution pada 17 Agustus 1959. “Buatlah Undang-undang Dasar jang tjotjok dengan Djiwa Revolusi,” tegas Soekarno.

Soekarno memancangkan tekad mengerahkan semua instrumen, termasuk manusia Indonesia, sebagai “mesin revolusi” yang akan memerangi kekuatan neo-kolonialisme. Manusia Indonesia mesti menjadi bagian alunan (pinjam parafrase Soekarno) “simfoni revolusi yang menjebol dan membangun”.

Itulah sebabnya pada awal Juni 1965, selama 10 hari digelar pendidikan massal Kader Kilat Nasakom yang wajib diikuti anggota partai, organisasi massa, pegawai negeri, anggota ABRI, mahasiswa, hingga karyawan swasta. Dalam arus besar revolusi itu, tidak ada individu karena yang ada hanya kerumunan massa (crowded).

Orde Baru mengulang kembali perlakuan Soekarno terhadap individu. Pada Orde Baru penolakan atas “individualisme liberal” menemukan bentuknya yang ekstrem karena pada saat yang sama Orde Baru juga menolak pentingnya otonomi individu.

Dalam tulisan The Acceleration and Modernization of 25 Years Development yang dilansir pada 1972, Ali Moertopo (salah satu tokoh kunci Orde Baru) menulis: “Rakyat di desa-desa dialihkan perhatiannya dari masalah-masalah politik… dan diarahkan kepada usaha… pembangunan masyarakat desanya masing-masing.”

Tulisan yang menjelaskan konsep Massa Mengambang Orde Baru itu bukan hanya menguarkan depolitisasi manusia Indonesia, tapi menggemakan kembali semangat komunalisme. Moertopo secara eksplisit hanya menyebutkan “massa” dan meluruhkan begitu saja individu ke dalam kerumunan massa pedesaan. Massa di situ pun dipangkas tak lebih sebagai “aset pembangunan ekonomi”.

Di sinilah ironi terbesar komunalisme Orde Baru: ekonomi sama sekali tidak “gotong-royong”, tapi dikuasai individu yang berhasil membangun korporasi-korporasi besar yang melahirkan kartel-oligarkis yang sukar ditembus.

****

Sejarah Indonesia memang dibayang-bayangi prasangka yang laten terhadap individualisme. Prasangka itu akhirnya berimbas pada sempitnya ruang otonomi bagi individu.

Padahal antara “individu” dan “individualisme” terbentang jarak pengertian yang lebar. Individu merujuk seorang manusia, sementara individualisme merupakan paham politik. Seorang individu yang kuat sangat bisa jadi menolak individualisme sebagai pendirian politiknya.

Kebebasan perorangan memang ditekankan dalam individualisme, tetapi yang menentukan adanya individu adalah otonominya. Orang yang tak memiliki otonomi tak dapat berbuat banyak, baik dalam pikiran atau perbuatan, kendati dia diberi kebebasan yang tanpa batas sekali pun. Sebaliknya, orang yang memiliki otonomi yang kuat tetap mampu berbuat seperti yang ia inginkan kendati dipenjara atau pun dibuang ke Boven Digul dan Buru sekali pun.

Kesadaran akan arti penting memberi ruang yang lapang bagi individu bukannya tak pernah ada. St. Takdir Alisjahbana dan para pendukungnya dalam Polemik Kebudayaan adalah contoh. Tetapi St. Takdir yang terlalu bersemangat itu membuatnya diserang, bahkan oleh orang-orang yang memberi tempat lapang bagi proses individuasi, seperti Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya. (lihat Polemik Kebudayaan yang disunting Achdiat K. Mihardja, 1948).

Soetan Sjahrir, seperti yang terbaca dari kutipan di awal tulisan, adalah orang yang dikenal jernih menyatakan optimismenya pada kemunculan individu yang kesadarannya dibangun oleh proses pendidikan yang menempa otonomi individu. Bersama Hatta, Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), satu-satunya partai pada masa pergerakan yang mengedepankan pendidikan kader, ketimbang rapat-rapat akbar (vergadering) ala Soekarno. Tapi, Sjahrir ini pula yang paling tahu rasanya dicap ke-Barat-Barat-an.

Pendidikan yang menempa otonomi individu, seperti yang dibayangkan Sjahrir, inilah yang melahirkan –dengan menyebut John Dewey-- sebagai “moralitas reflektif” yang didasarkan pada pemikiran sendiri yang dibangun secara sadar. Ia bersifat eksperimental dan sengaja, karena tiap orang merumuskan kembali aturan dan tuntutan yang sifatnya komunal, yang oleh Dewey disebut “maksima eksterna”.

Dari situlah akan lahir pribadi-pribadi kuat yang dicirikan –dengan mengutip pasasenya Nietzsche—“keramahan yang nyata, kehormatan, kebesaran jiwa, yang tidak memberi kemudian meminta, yang tidak ingin dihargai (hanya) karena ramah” dan –tentu saja—mampu memandang secara kritis ikatan-ikatan sosial, baik yang sifatnya primordial (SARA) maupun dari ideologi yang didesakkan secara eksesif serta tak mau berlelah-lelah mengikuti opini dan kehendak orang lain.

Prek!

* Anyer, 20 Januari 2008 (Ditulis saat sendirian di tengah malam dan keyboard di laptop diperciki darah dari batuk yang keluar tiba-tiba. Sedikit banyak, saya menulisnya dengan darah.)

Selengkapnya......

Senin, Februari 18, 2008

Mangkel Tuenannnnn.....

Dino iki aku mangkel tenan. Mangkele rak umum. Juengkel puollllll. Kampret tenan.

Mergane pelem The Sun Also Rise karyane sutradare Jiang Wen. Pelem sik judule podho plek ambek judul novele Hemingway iki isine ono papat fragmen. Tiap fragmen kejadiane ning musim sik bedho-bedho: summer (kesumuk’en), spring (mecothot), autum (tepar), winter (kademen). Settingane pas jaman Revolusi Kebudayaan nang tlatah Cino.

Sinematografine uapik. Omong-omongane mbulet. Plot-e (bahasa Jawa-ne plot opo yo?) mbolak-mbalik. Ceritane rodho misterius lan wingit. Nontone kudu tenanan. Gak entuk meleng. Aku wae sok-sok mundurke meneh ben rodo dong karepe opo.

Sik marakke juengkel kuwi pas fragmen sik keri. Opo sebabe? Sebabe mung siji: fragmen kepapat kuwi blas gak ono terjemahane. Ojo maneh terjemahan bahasa Indonesia, terjemahan bahasa Inggris wae gak ono. Anane mung bahasa Thailand ambek bahasa Cino. Lha aku kan ora reti bahasa Cino, opo maneh bahasa Thailand. Padahal aku wes mbelan-mbelani niteni ben adegan lan omong-omongane. Lha pas wayahe fragmen terakhir (kiro-kiro 30 menit engkas) sik arep njelaske misteri lan rahasia-rahasia liyane, wealah.... terjemahan Indonesia lan Inggris-e malah bablas. Padahal pelem iki kebak mbek omong-omongan.

Bar kuwi, laptop bosok-ku yo melu-melu mutung. Lha laptop-ku gak iso diuripke maneh. Adaptor lan charger-e isih iso urip. Tapi setrum-e kuwi gak iso mlebu nang baterei. Opo rak soyo mangkeli?

Aku yo dadine muangkel tenan. Juengkel pol-polan. Iki dino opo toh? Senin, ya? Ketoke aku kudu puoso Senin-Kemis meneh. Pancen, Dog!

Selengkapnya......

Sabtu, Februari 16, 2008

A Whiter Shade of Pale

[Ini catatan lama. Entah kenapa saya ingin memajangnya lagi di front page.]



Seseorang yang pernah menyaksikan klip lagu ini di youtube meninggalkan sepucuk testimoni. Dia bilang, A Whiter Shade of Pale-nya Procool Harum telah membuatnya sembuh dari penyakit doyan mabuk.

Lagu ini syairnya begitu puitis juga misterius. Judul lagunya pun aneh. Menurut pengakuan Keith Reid, ia memberikan judul lagu setelah secara tak sengaja mendengar percakapan orang lain di sebuah pesta. "Ada seorang lelaki menatap pacarnya sembari mengatakan, ’you’ve gone a whiter shade of pale’. Kalimat itu terngiang-ngiang terus di kepala saya," kata Reid

Tapi bagi saya, lagu ini justru seperti panggilan untuk mabuk. Saya pernah mengalami momen yang pas, waktu yang tepat dan tempat yang sempurna untuk mendengarkan lagu ini sambil menghabiskan sejumlah gelas vodka yang sudah cukup membuat kepala pening orang yang bukan pemabuk sepertiku.

Waktu itu dentang pukul menunjuk angka jam 8 malam. Kaliurang di lereng Merapi diseraki gerimis tipis yang sudah lebih dari cukup untuk membuat gigil.

Saya duduk sendiri di sebuah ruangan bekas mini-bar. Meja bartender masih berdiri kokoh di sudut ruangan. Juga gelas-gelas yang masih tertata cukup rapi. Di sana ada beberapa meja dan kursi yang letaknya tak beraturan.

Tempat ini terletak di bagian belakang sebuah penginapan yang sepi. Penginapan ini tak begitu jauh dari villa tempat menginap anggota Komisi Tiga Negara pada tahun 1948. Bung Hatta sedang berada di sini ketika Belanda pada pagi 19 Desember 1948 menggelar operasi militer yang dikenal sebagai Agresi Militer II. Setelah ditelfon, Bung Hatta langsung turun ke Jogja menuju Istana Negara di ujung Malioboro.

Tak banyak orang yang tahu ada ruang kecil seisitimewa ini di kawasan Kaliurang. Ruangan ini begitu tersembunyi. Saya beruntung menemukan tempat ini lewat sebuah koinsidensi yang tak perlu saya ceritakan. Biarlah tempat ini tetap tersembunyi.

Saya duduk di sebuah kursi yang menghadap ke arah selatan. Di hadapanku bentangan kaca bening membuat pandanganku yang nanar bisa dengan leluasa menikmati kerlap-kerlip lampu malam kota Jogja yang berjarak 30-an km.

Hujan makin deras. Perjumpaan rinai hujan dengan daun-daun bambu yang berada di depan ruangan ini melahirkan simfoni bebunyian yang menyenangkan didengar oleh orang yang sedang letih.

Acer butut kepunyaanku mulai ikut ambil peran. A Whiter Shade of Pale mengalun dengan pasti. Lagu itu sengaja diputar terus menerus. Tanpa jeda.

We skipped the light fandango
And turned cartwheels across the floor
I was feeling kind of seasick….


Saya bukan peminum yang tangguh. Hanya sesekali saja saya minum. Tak heran jika baru beberapa tenggak kepala sudah mulai berat.

Tentu saja di sini tak ada yang menari fandango, tarian dansa yang pernah begitu populer di Spanyol pada abad 17. Kadang saya ingin menjajal seperti apa rasanya berdansa dengan seorang perempuan cantik yang bermata indah. Ingin tahu apa sebenarnya yang membuat para pasangan yang berdansa bisa demikian masyuk merapatkan badannya dengan pandangan mata yang mencoba menggeledah isi hati pasangannya.

Saya selalu ingat bagaimana pensiunan Letkol. Franks Slade yang buta dalam film Scent of Woman berdansa dengan begitu sempurna bersama seorang perempuan muda yang tak dikenalnya; sebuah peragaan kemampuan akting kelas wahid yang sepenuhnya digambarkan lewat gerak oleh seseorang yang sebenarnya bukan seorang penari. Adegan ini akan kukenang sebagai fragmen terbaik yang pernah saya lihat dari seorang Al Pacino.

Tapi tentu saja itu cuma khayal karena berjoget dangdut pun saya tak becus. Saya memilih mengangkat kedua kaki saya dan mendaratkannya di jendela kaca. Punggung saya sandarkan ke kursi yang sebenarnya sudah terasa rapuh di makan usia dan rayap.

The crowd called out for more
The room was humming harder
As the ceiling flew away
Whe we called out for another drink
The waiter brought a tray


Tentu saja tidak ada yang memanggilku. Di ruangan ini juga tak ada “kami”, yang ada hanya “saya” yang sendiri. Minuman pun tidak disuguhkan oleh seorang pelayan, karena ruangan ini hanya sebuah mini-bar yang sudah tak lagi dipakai. Saya yang menuangnya, seperti juga saya sendiri yang menenggaknya pelan-pelan.

Tapi cukup jelas, ruangan memang seperti berputar-putar dengan langit-langit yang pelan-pelan seperti bergerak menjauh menuju angkasa. Saya coba menengadahkan kepala, menikmati ruangan yang seakan berputar. Minuman ini jelas mulai merusak kestabilan pandanganku.

Saya mencoba menikmati pertemuan antara sisa-sisa “kesadaran” dan gelombang “ketidaksadaran” yang mulai mengulurkan tangan menjemputku. Saya ada di cakrawala perbatasan. Situasi inikah yang oleh Gadamer pernah sebut sebagai “peleburan cakrawala”?

Pada momen seperti inilah momen puncak mabuk. Ya, pada saat “ketidaksadaran” mencoba merenggut sisa-sisa “kesadaran”. Ketika “ketidaksadaran” sudah sepenuhnya ambil alih, kita tak pernah lagi bisa menikmati seperti apa rasanya mabuk. Sementara ketika “kesadaran” masih cukup kokoh, itu artinya kita belum mabuk.

Garisnya begitu tipis. Barangkali seperti hisapan penghabisan dari kretek terakhir yang dihisap di puncak Ciremai pada dini hari yang begitu dingin. Ah, sudah lama saya tak menyambangi puncak gunung. Sudah 3 tahun. Ciremai adalah puncak terakhir yang kusambangi.

And so it was that later
As the miller told his tale
That her face at first just ghostly
Turned a whiter shade of pale


Saya tak melihat ada bayangan wajah serba putih dan pucat. Di sela-sela mata yang terus memberat, saya memang melihat warna putih yang menyebar rata di kejauhan. Tapi itu bukan wajah seseorang, bukan pula raut muka sesosok hantu. Warna putih yang menyebar itu adalah kabut tebal yang turun dengan meyakinkan dari puncak Merapi.

Kerlap-kerlip lampu kota Jogja pun sayup-sayup saja terlihat. Rasanya seperti berada di pantai sembari melihat kelip-kelip tipis lampu nelayan di lautan yang naik turun dipermainkan ombak.

Lantas, siapa apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Keith Reid, penulis lirik A Whiter Shade of Pale, sebagai seraut wajah putih-pucat itu?

Saya ingat kata-kata di bait sebelumnya tentang lantai yang berputar dan langit-langit yang seperti menjauh ke angkasa. Jangan-jangan seraut wajah putih-pucat itu adalah Dia yang menampakkan diri di hadapan para penari sama’ dari tarekat Mawlani yang didirikan el-Jalaluddin Rumi? Jika benar demikian, berarti lagu ini tak sedang bercerita tentang seorang pemabuk, melainkan mengisahkan bagaimana para penari sama’ sedang mulai memasuki fase trance? Jika dalam lirik A Whiter Shade of Pale disebutkan adanya minuman yang dibawakan para pelayan, bukankah tarekat Mawlani juga terbiasa akrab dengan minuman anggur?

Saya pernah membaca pemeriaan suasana trance para penari dari tarekat Mawlani yang agak mirip seperti dalam bait lagu ini: lantai seperti berputar, langit-langit seperti bergerak menjauh ke angkasa dan setelah itu pandangan laksana dipenuhi oleh lanskap putih lagi bening dan tak berbatas. Dalam situasi itulah samar-samar Dia, Sang Maha Kekasih, menampakkan diri pelan-pelan dalam “ujud yang tak berwujud”. Jika tak salah, Roger Houdson menuliskan pemerian itu dalam buku tipis Chasing Rumi yang sampulnya kuning itu.

Seorang anggota tarekat Mawlani pernah pula memerikan seperti apa rasanya menari sama’ sembari berputar-putar itu. Tangan kanan membuka ke arah atas dan tangan kiri menelungkup ke bawah. Dia bilang: “Kita tak pernah merasa berputar. Yang berputar itu semesta. Makin kencang putaran makin terbuka pula pintu penyatuan.”

She said there is no reason
And the truth is plain to see


Kebenaran terbuka dengan sendirinya. “Bukannya tak ada penjelasan, tapi karena memang tak lagi dibutuhkan penjelasan. Semuanya begitu jelas,” kata dia.

Tentu saja dia benar. Orang yang tak mengalaminya langsung tak akan pernah tahu persis seperti apa rasanya berputar-putar dengan cepat tanpa sedikit pun muncul rasa mabuk. Makin keras putarannya, makin terbuka pula pintu penyatuan itu. Barangkai seperti pusaran air. Makin keras pusaran air, makin cepat pula benda-benda yang melintasinya terhisap… dan kemudian lenyap, lenyap, dan menyatu sepenuhnya dengan Sang Pemusar yang telah menciptakan pusaran.

Tak ada penjelasan, seperti juga tak ada pemerian. Itulah sebabnya prosesi penyatuan dengan-Nya, Sang MahaKekasih, disebut sebagai zawq. Cita rasa. Orang tak akan pernah tahu dengan persis seperti rasanya kecap tanpa sekali pun pernah mencecap kecap.

But I wandered through my playing cards
Would not let her be
One of sixteen vestal virgins
Who were leaving for the coast
At the moment my eyes were open
They might just as well have been closed


Tapi mabuk karena vodka adalah “mabuk” yang tak sama dengan pengalaman para penari sama’ yang meminum anggur.

Saya sangat ingin memainkan kartu-kartu nasib yang dari sanalah barangkali ranting-ranting kehidupan sudah disusun menjadi serangkaian koinsidensi yang kelak akan kusebut sebagai sejarah. Ya, sejarah hidupku.

Saya tak ingin menyerahkan nasibku kepada siapa pun kecuali pada pundakku sendiri. Jika benar kartu-kartu nasib itu memang ada, saya tetap bersikukuh memertaruhkan nasibku sendiri. Tak akan saya serahkan nasib-nasib itu pada siapa pun, apalagi pada Latta dan Uzza.

Jika tempatku memang berada di lautan yang bergemuruh oleh gelombang pasang naik turun yang tanpa henti, saya akan tetap tinggal di sana. Bertarung dengan segala macam ombak pasang yang datang susul-menyusul tanpa henti.

Saya tidak mau menjadi satu dari enambelas dayang-dayang perawan yang nasibnya diserahkan untuk menemani dan menuangkan gelas-gelas anggur Sang Penentu Nasib hanya karena ingin tinggal di pantai yang indah lagi tenang.

Ketenangan dan keindahan hanya sebagian kecil dari mosaik hidup. Selebihnya adalah pertarungan dan pertaruhan. Siapa yang tak kuat bersiaplah untuk terhempas. Siapa yang kuat akan tetap berdiri di buritan, memegang tali-tali layar, dan menunggu untuk menantang hempasan ombak selanjutnya. Begitu dan begitu seterusnya.

Mabuk adalah hal biasa dalam hidup, seperti muntah dalam sebuah pelayaran panjang yang kita tak pernah tahu di mana ujungnya. Sesekali kita akan menemui peristiwa di mana kita tak sepenuhnya mampu mengendalikan kesadaran kita sendiri. Itulah saat di mana ketakutan dan rasa gentar tiba-tiba datang dan mencoba mengambil alih kekuasaan atas kehidupan kita sendiri.

And so it was that later
As the miller told his tale
That her face at first just ghostly
Turned a whiter shade of pale


Gelombang kabut putih untuk kesekian kalinya datang dengan meyakinkan dari puncak Merapi. Mataku yang makin memberat dan nyaris tertutup kembali menyaksikan hamparan warna putih dan memucat.

Saya paksakan menatap lurus ke arah selatan, menjajal seberapa kuat pandanganku menerobos hamparan warna putih dan memucat. Saya menyaksikan di kejauhan kerlap-kerlip lampu yang menyala dari arah kota Jogja.

Kali ini saya tak merasa sedang berada di pantai dan menyaksikan kerlip lampu yang dibawa para nelayan yang sedang berlayar. Kerlap-kerlip lampu di kejauhan itu sekarang seperti kerlip lampu rumah atau warung-warung yang berjejer di pantai. Sebab saya sudah memutuskan untuk berlayar menantang ombak dan memertaruhkan nasib dan hidup pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Sebab sayalah yang kini berlayar itu.

A Whiter Shade of Pale terus mengalun entah untuk keberapa belas kali. Tapi kali ini kudengar makin pelan. Makin pelan.

(post-script:
Fahrie, thanks sudah memerkenalkanku pada lagu hebat ini. “She said there is no reason And the truth is plain to see,” kata Procol Harum

Pito, thanks sudah membantuku memahami lirik lagu yang kata John Lennon sangat misterius dan ia merasa tak akan pernah sanggup menulis lagu dengan lirik seperti lagu ini. “Would not let her be, One of sixteen vestal virgins, Who were leaving for the coast,” kata Procol Harum.

Selengkapnya......

Kamis, Februari 14, 2008

Di Atas Gajayana

Lelaki itu tak sadar kalau ponselnya bergetar. Novel Marquez, "The General in His Labyrinth", terlalu kuat mencocok mata dan pikirannya. Setengah jam kemudian, ia baru menyadari ada panggilan yang tak dijawabnya. Aha... seseorang yang lama tak ia dengar kabarnya ternyata muncul, orang yang pernah dia hadiahi kumpulan puisi "Romansa Kaum Gitana"-nya Federico Garcia Lorca.

Lelaki itu segera mengirim pesan pendek yang benar-bernar pendek, tanpa pernah bisa menyadari bahwa pesan pendek yang dikirimnya akan membuka satu kotak pandora yang sudah lama tak ia pikirkan.

"Piye?" (08529*******)

"Gak piye2. Cm pgn tau disana ujan gak. Kalo ujan kluarlah, rasakan bnyknya air hujan yg menimpamu, sebnyak itulah rasa syukurku saat tau kalo km baik2 aja :)..." (08158******)

"Kalo aku keluar,brarti aku mesti loncat keluar dr kereta. Waduh, repot, euy! Hehehe... Ya, aku baik2 saja." (08529*******)

"Loncat aja biar aku tetap bs bersykur, hehe... gak dink! Mau kmana emang? Ya, dilanjutin prjalananmu, moga ktmu sama yang km cari. Take care ya...." (08158******)

"Di atas kereta Jkrt-Malang. Ya, mudah2an ada yg bs kutemukan, syukur2 kl aku yg ditemukan. Thanks ya!" (08529*******)

"Apa km gak nyadar ada org yg dulu mpe kecapean nyariin dan nangisin kprgianmu? Hilang ky diculik UFO... Aku cm pgn tau alasanmu yg make sense itu, itu aja.... ((08158******)

[Lelaki itu bungkam. Ia tak menyangka kotak pandora dari yang silam itu masih mengeram dan kini meronta-ronta minta konfirmasi]

"Knp diem? Ada bnyk hal yg buat seseorang pergi, tp km ilang tnp alasan dan jwbn, cm meninggalkan hati utk dicaci... Hmmm... Mantab! Yawda met nikmatin mlm diprjalanmu...." (08158******)

[Lelaki itu masih saja diam dan tak menjawab entah hingga kapan.Dia tahu, tanpa menjelaskan duduk perkara, ia akan sangat mudah disalahpahami. Lelaki itu sepertinya mengambil resiko untuk disalahpahami. Sudah biasa disalahpahami, begitu lelaki itu bergumam di tengah gemuruh suara kereta dan bunyi deras hujan di luaran sana]

Selengkapnya......

Selasa, Februari 12, 2008

Buku dan Kenangan yang Dipanjangkan

Selain setumpuk kenangan yang kadang manis tapi mungkin pula pahit, hal terbanyak yang bisa saya “wariskan” pada sejumlah nama yang (pernah) mesra dengan saya adalah berbiji-biji buku.

Jumlah buku yang saya “hibahkan” selalu lebih banyak ketimbang kartu pos, film apalagi pas foto. Saya bisa menghibahkannya begitu saja, tanpa alasan. Sesekali sebagai hadiah ulang tahun, sesekali sebagai referensi kuliah, sesekali sebagai bahan tulisan (jika ia berminat menulis), sesekali untuk meredakan pertengkaran. Oleh-oleh yang selalu saya bawa dari perjalanan pun pastilah berbentuk buku, biasanya buku-buku bekas, yang saya dapatkan dari toko buku loak yang saya jumpai di kota yang sedang saya singgahi. Bukan sekali dua mereka membawa buku tiap kali habis mampir di kontrakanku dan saya tak pernah dan memang enggan memintanya lagi. Biarlah, mungkin buku itu bisa lebih berguna.

Lalu saya ingat salah satu sajak Joko Pinurbo yang terdapat dalam antologi “Pacar Senja” (2005; h. 145). Sajak berjudul “Ibuku” itu bercerita ihwal sosok yang begitu penting dalam kehidupan “Aku-lirik” bisa ber-reinkarnasi menjadi sebiji buku. Saya kutipkan bait terakhirnya:

Ketika suatu saat aku pulang ke rumah, ibu sudah
menjadi buku yang tersimpan manis dalam rak buku


Sajak di atas, terutama bait terakhir yang saya kutipkan, terasa sederhana dan karena itulah –seperti juga sajak Joko Pinurbo yang lain—justru terasa segar, manis dan rasanya begitu tulus.

Di situ ada suasana “kefanaan” (tentang ibu yang sudah menghilang, mungkin sudah mendiang), ada suasana “kerinduan” (setelah lama tak pulang), tapi pada saat yang sama semuanya sudah “raib”, bukan hilang tak berjejak, melainkan “raib” karena semuanya –terutama sosok “ibu”-- sudah bersalin rupa atau bermetamorfosa atau ber-reinkarnasi atau mungkin sudah mengalami lompatan kualitatif menjadi “buku yang tersimpan manis dalam rak buku”.

Tentu saja “ibu” tak pernah benar-benar menjelma menjadi buku laiknya Malin Kundang yang menjadi batu. “Buku yang tersimpan manis dalam rak buku” tak lebih sebagai sederet tanda-tanda (“trace”, dalam kosa kata Derrida) yang menghubungkan sosok “Aku-lirik” dengan “ibu” yang (mungkin) telah mendiang.

Di situ buku tak sekadar menjadi berhelai-helai kertas yang dibasahi tinta, tapi juga telah menjelma menjadi “kenangan”.

Kadang saya berpikir, buku-buku yang dulu saya hibahkan begitu saja menjadi salah satu (barangkali satu-satunya) medium yang bisa mengekalkan jejak saya dalam kehidupan dan ingatan mereka.

Hanya buku. Dan saya sama sekali tak menyesal. Pertama, saya tak pandai memilih barang untuk dijadikan kado. Saya tak tahu menahu soal parfum, baju, sweater, dan barang-barang sejenisnya. Pernah sekali saya keluar masuk toko dan mall untuk mencari kado buat pacar. Hasilnya nihil. Saya tak cukup cermat dan –mungkin—tak cukup berbakat mencari barang-barang macam itu.

Kedua, saya tak cukup memiliki banyak uang, terlebih selama periode 2000-2006. Jika ada uang, lebih sering saya belikan buku. Boro-boro buat beli kado, untuk makan saja kadang mesti kelayaban dari satu kos ke kos teman yang lain, terutama teman kuliah berjenis kelamin perempuan yang senang memasak. Mereka dengan senang hati memberi saya makan karena mereka tahu saya selalu siap meminjamkan buku apa saja yang saya punya untuk keperluan kuliah mereka. Kadang mereka memberi tahu lewat sms dan memintaku datang jika mereka kebetulan memasak.

Setelah memiliki penghasilan tetap, saya sebenarnya bisa saja membelikan benda lain selain buku. Sesekali saya menjanjikan sesuatu yang bukan buku. Tapi, entah kenapa, saya tak pernah memenuhi janji itu. Pada akhirnya, lagi-lagi, selalu buku dan buku yang bisa dan terus saya berikan.

Bahkan, terkadang, perpisahan pun saya rayakan dengan menyerahkan beberapa buah buku, bukan kecupan. Paling banter hanya tepukan ringan di bahu. Lalu semuanya berlalu; persis seperti salah satu paragraf dalam cerita Seno berjudul "Senja di Balik Jendela":

"Terus terang aku tidak pernah tahu ke mana dia pergi. Hidup mempertemukan kita dengan seseorang, lantas memisahkannya lagi. Tidak selalu kita bisa berpisah dengan lambaian tangan. Tidak selalu kita bisa berdiri di tepi dermaga, melambaikan tangan kepada seseorang di atas kapal yang juga melambaikan tangan kepada kita sambil berseru, “Jangan lupakan aku!”. Tidak selalu. Kadang-kadang kita bertemu begitu saja dengan orang yang tidak pernah kita kenal, menjadi begitu lengket seperti ketan, lantas mendadak berpisah begitu saja tanpa penjelasan apa-apa."

Mungkin ini sebentuk kutukan karena -–kadang— saya “diberkahi” perempuan manis dan baik dan tulus juga karena buku. Jadi wajar pula jika pertemuan terakhir pun dirayakan dengan mengikutsertakan buku. Tapi ini jenis kutukan yang manis dan sedikit lucu.

Ya, dari debu kembali ke debu, dari buku kembali ke buku.

Anehnya, sejak bertahun-tahun dulu, saya amat jarang sekali (mungkin tak pernah) menerima hadiah buku dari pacar. Entah kenapa. Memang ada beberapa biji buku, tapi itu tak diniatkan untuk dihibahkan, melainkan tertinggal dan belum sempat diambil si empunya sewaktu terakhir bersua. Kapan hari pasti saya akan mengembalikannya.

Jadi, jika saya barangkali dikenang oleh mereka melalui –pinjam kalimat Joko Pinurbo-- “buku yang tersimpan manis dalam rak buku”, saya pastilah akan mengenang mereka dengan cara yang tak sama dengan cara mereka mengenang saya. Ini soal bagaimana dan dengan cara apa berbuntal-buntal kenangan itu dirajut untuk kemudian dibuat lantak sembari tersenyum dengan ringan, mungkin sambil bersiul sya la la la la.... [duhai buku-bukuku, layanilah "tuan dan puanmu" yang baru dengan sebaik-baiknya]

Selamat merayakan “fucklentine day”! hehehehe.... :p

---------------------

Selengkapnya......

Jumat, Februari 08, 2008

Mulih

Di kota yang berjarak sekira 400 km dari Jakarta, saya menerima pesan pendek yang ringkas: “Gak perlu terburu-buru pulang. Santai sajalah!”

Ini salah satu pesan terbaik yang saya terima di tahun 2008. Kaki ini rasanya makin ringan melangkah. Menyenangkan rasanya. Sebab salah satu hal yang diinginkan orang yang sedang kelayaban adalah tak ada yang memintanya pulang secepat-cepatnya.

Saya jadi ingat kutipan mendiang Gie yang paling terkenal. Saya memelesetkannya sedikit:

“Nasib terbaik adalah menggelar perjalanan tanpa pernah disuruh pulang, yang kedua hanya sesekali ditanya kapan pulang dan yang tersial adalah terus menerus ditanyai kapan pulang.”

Selengkapnya......

Selasa, Februari 05, 2008

Sepatu, Sepatu, Sepatu....

Tiga hari saya kehilangan sandal gunung berwarna hitam yang sudah mengawani sepasang kakiku selama 4 bulan. Saya lalu berpikir untuk membeli sepatu dan ingat kalau sejak 1999 saya tak pernah membeli sepatu. Satu-satunya sepatu yang saya punya hanya sepatu bola “diadora” yang –itu pun—sudah amat lama tak pernah kupakai.

Sepatu. Sepatu. Ya, sepatu. Sepasang sepatu boot yang kuat, tulis Maxim Gorky, “Akan lebih banyak membantu kejayaan sosialisme daripada… mata berwarna hitam.”

Tentu saja parafrase Gorky itu metaforik, tapi bukan berarti Gorky sedang membual. Russia, kita tahu, adalah negeri yang berdekatan dengan kutub utara, situasi yang membuat negeri para Tsar itu jauh lebih akrab dengan salju tinimbang sinar matari. Dalam film “Dokter Zhivago”, saya ingat, salju bertebaran di mana-mana, di mana-mana, di mana-mana. Bisakah kita membayangkan Revolusi Oktober 1917 bisa digelar tanpa sepatu boot yang kokoh?

Terus terang saja bagi saya jawabannya: tidak! Dan bukan kebetulan jika salah satu kastil yang diserbu oleh tentara merah adalah Istana Hermitage di St. Petersburg, yang kondang dengan sebutan Istana Musim Dingin, milik keluarga Tsar dari Dinasti Romanov.

“Every shoe tells a story,” tulis Cathy Newman dalam artikelnya di National Geographic edisi September 2006. Tapi cerita apa yang bisa dikisahkan sepasang sepatu?

Sepatu, sepatu, sepatu. Sejarah semua peperangan besar di abad 20 juga bisa dibaca sebagai sejarah sepatu. Ya, di atas topangan sepatu boot yang perkasa, balatentara NAZI menyerbu Polandia dan merebut Paris. Dari sisi yang tak pernah dibicarakan orang, Biltzkrieg pastilah mengikutsertakan ratusan ribu pasang sepatu boot.

Bagi para serdadu, sepasang sepatu barangkali bisa mengisahkan mayat-mayat yang mereka singkirkan dari jalanan dengan menggunakan boot-boot mereka, sebab sepasang tangan mesti tetap mengokang senapan, berjaga terhadap serangan para sniper yang sembunyi di loteng-loteng atau di balik gordyn sebuah kamar apartemen.

Dulu, saya pernah diberi kaos oblong hitam yang didadanya bergambar bekas telapak sepatu tentara. Di bawahnya, ada tulisan besar berbunyi: “Jangan injak demokrasi”.

Sepatu lars, di sekitar 1998, menjadi salah satu simbol paling populer dari otoritarianisme Orde Baru yang militeristik. Karena sepatu lars itu pula yang digunakan untuk menendang para demonstran di jalanan Yogyakarta, di jalan Solo, di jalan Gejayan yang memisahkan kampus UNY dan Sanata Dharma (yang kini menjadi jalan Affandi), di Semanggi, dan di mana saja para demonstran mengacungkan tangan kiri, membentangkan spanduk dan menyorongkan megaphone.

Saya bayangkan, polisi yang menembak mati Mozes Gatotkoco (kini jadi nama jalan yang membelah Sanata Dharma dan Atmajaya) juga mengokang senapannya sembari berdiri dengan kaki yang ditopang oleh sepatu lars yang dingin.

Bagi manusia purba yang tinggal di sekitar kawasan Oregon, sepatu bisa mengisahkan keberadaan sebuah peradaban gua sekitar 10 ribu tahun silam. Di salah satu gua di Oregon itu, ditemukan sebiji sepatu dari serat kayu sisa peninggalan peradaban tua di sana. Sepatu yang kini tampak seperti tersusun dari jerami itu bisa disaksikan di Museum of Natural and Cultural History di Universitas Oregon; itulah sepatu paling tua yang masih bisa disaksikan sekarang.

Bagi para sosialita yang semerbak melati mewangi, sepatu pastilah bisa dibaca sebagai penanda posisi dan status sosial mereka.

Olga Berutti, seorang perancang sepatu khusus pria yang mendirikan Swann Club (aih… aih… bahkan nama klubnya pun dicuri dari nama tokoh utama “Remembrance of Things”, mahakarya Marcel Proust), bahkan selalu menyiapkan sampanye berkualitas nomer satu untuk para tamunya, bukan hanya untuk diminum, tapi juga untuk membersihkan sepatu.
“Alkohol membuat mereka (sepatu) bersinar, tetapi harus dingin, harus sangat kering, (dan harus) sampanye berkualitas,” ucap Berlutti.

Jika sampeyan pernah menonton film “Infamous”, yang bercerita tentang proses Truman Capote menuliskan novel terbaiknya, “In Cold Blood”, ada salah satu monolog di awal film yang mengisahkan bagaimana perlakuan terhadap sepatu bisa menggambarkan seberapa unik karakter seseorang.

“Saya unik,” ucap seorang perempuan eksentrik yang jadi karib Capote, “Karena saya selalu menyemir sepatu setiap hari, termasuk selalu menyemir bagian bawah sepatu, tak peduli setelah itu sepatu saya akan menginjak kotoran di jalanan.”

Che Guevara, seperti juga tokoh Wyatt dan Bill dalam film klasik tahun 1960-an yang menggugah, “Easy Riders”, pastilah menggelar perjalanan panjangnya melintasi Amerika Selatan (atau menuju Mardi Gras di New Orleans dalam cerita film “Easy Riders”) dengan bantuan yang tulus dari sepasang sepatu. Ah, novel “On the Road”, yang memicu gelombang perjalanan anak-anak muda di Amerika dan kelak melahirkan generasi Beat, pastilah tak mungkin ditulis Kerouac tanpa sepasang sepatu yang menemaninya menggelar perjalanan panjang melintasi Amerika bersama petualang kharismatik Nell Cassady dan penyair legendaris Alan Ginsberg.

[Ah, saya membayangkan, berapa kali Fa-Hsien mesti berganti sepatu sewaktu menggelar perjalanan panjang dan meletihkan dari Cina menuju India untuk berziarah ke tempat kelahiran Buddha dan untuk membawa naskah dari kitab-kitab penting ajaran Budhis untuk ia terjemahkan. Dengan melewati 27 negara, 4 gurun dan kembali dengan jalan laut –dan sempat singgah di Jawa—Fa Hsien menghabiskan waktu sekitar 15 tahun, dimulai dari tahun 399]

Mendiang Sir Edmund Hilary tak mungkin bisa mencapai pucuk Mount Everest tanpa bantuan sepatu yang bukan hanya melindungi kakinya dari dingin yang mencucuk, tapi juga yang mampu membantu kakinya menancap lebih kuat di salju-salju yang keras dan bukan sekadar menempel begitu saja di atas permukaannya.

Sepatu melindungi kaki dari kerasnya aspal di jalanan kota, dari pasir-pasir di gurun yang membakar, dari dinginnya salju di Himalaya dan dari permukaan bulan yang asing. Sepatu membuat manusia jadi lebih tangguh di setiap perjalanan, tapi dengan itu sepatu juga mengungkap kelemahan manusia di hadapan alam yang beragam tipikal dan keganasannya.

Bicara tentang kekurangan manusia di hadapan sepatu, saya ingat dongeng klasik Cinderella, dongeng yang barangkali menjadi cerita paling populer yang mengisahkan sepatu.

Cinderella tak akan pernah menjadi memikat pangeran jika ia tak mengenakan sepatu kaca. Sepatu kaca yang membuat Cinderella menjadi cantik dan memesona. Mestikah diherankan jika pangeran dalam dongeng itu akan memilih perempuan yang telapak kakinya bisa pas dengan sepatu kaca tersebut. Lihat, sepatu kaca bahkan menjadi standar laik tidaknya seorang menjadi kekasih. Sepatu kaca, bagi saya, adalah pemeran utama, dan Cinderella tak lebih sebagai tokoh pembantu (sama seperti film “Dead Poets Soeciety”, manusia di situ hanya pemeran pembantu, sebab tokoh utama film itu adalah puisi).

Lalu, adakah benda selain sepatu yang bisa mengisahkan dengan baik bagaimana sejumlah manusia menganggap tinggi badan sebagai persoalan genting?

Ini bukan gejala yang muncul hanya setelah “stiletto”, sepatu bertumit tinggi, menjadi tren di awal 1950-an. Jauh sebelum itu, sepatu bertumit adalah solusi terbaik bagi siapa saja yang menganggap tinggi badan sebagai persoalan genting, mungkin sama gentingnya dengan kemunculan sebiji jerawat atau sebintik komedo bagi Luna Maya. Kabarnya, Ratu Elizabeth I, pada 1595, pernah membayar mahal seorang pembuat sepatu yang berhasil memberinya sepatu kulit indah yang bertumit tiggi dan tapak yang melengkung.

Seorang profesor paedagogi di bekas kampus saya, yang tubuhnya memang mini, pernah berkisah tentang “kebodohan” yang dilakukan selama puluhan tahun. Dia selalu mengenakan sepatu bertumit tinggi untuk mendongkrak kepercayaan dirinya dan di usia tuanya, pada saat ia mengajari saya mata kuliah Dasar-dasar Paedagogi, dia divonis memiliki persoalan dengan tulang punggungnya. Ya, itu karena ia selalu mengenakan sepatu bertumit tinggi selama puluhan tahun.

Tapi saya tak punya sepatu dan sangat… sangat… jarang mengenakan sepatu. Terakhir kali saya punya sepatu sekira tahun 2005, sepasang sepatu kulit hitam “Jongki Komaladi”, itu pun karena diberi editor saya yang –mungkin- jengah karena ke mana-mana saya selalu mengenakan sandal. Sepatu itu pun kini entah di mana….

Saya memang tak senang mengenakan sepatu. Tidak praktis, begitu kira-kira alasannya. Saya mesti melepaskan sepatu jika main ke rumah seseorang dan mesti mengenakannya lagi jika hendak pergi.

Tapi, pada periode-periode tertentu, sepatu pernah menjadi simbol dari keteraturan dan kekuasaan. Di kampus, sepatu menjadi salah satu standar sopan-santun. Tak mengenakan sepatu, sampeyan mesti siap untuk diusir dari ruang kelas. Itulah sebabnya saya makin tak senang mengenakan sepatu. Sekali dua diusir, tapi karena membandel, lama-lama beberapa dosen membiarkannya, tentu saja ada sejumlah dosen yang tak terlalu peduli dengan urusan sepatu. Sandal, bagi saya ketika itu, adalah salah satu cara termudah untuk menyatakan bahwa saya majal dari aturan-aturan, bahwa saya bisa melakukan apa yang saya mau, setidaknya dalam urusan mau bersepatu atau tidak.

Tentu saja, kadang-kadang, saya mesti berkompromi. Prof. Suyanto, sekarang jadi Dirjen Dikdasmen (deputi menteri dengan anggaran belanja terbesar di pemerintahan), selalu memelototi kaki saya lebih dulu tiap kali saya hendak menemuinya untuk berbagai urusan (wawancara untuk buletin kampus, minta dispensasi penundaan/pengurangan pembayaran SPP atau sekadar untuk memeriksa lemari bukunya sembari memilih-milih buku apa saja yang bisa saya “rampok”).

Karena beberapa kali diusir, saya akhirnya selalu mampir di bagian keuangan rektorat lebih dulu, menemui seorang pegawai di sana yang selalu menguruskan honor tulisan saya, dan memaksanya meminjamkan sepatu barang setengah jam. (Ah, apa kabar dirimu, mas? Adakah mahasiswa bekelakuan miring yang meneruskan kelakuan saya yang sering memaksamu melepaskan sepatu? Jika ada, bantulah dia. Hahaha…)

Sekarang saya sedang kelimpungan mencari sandal gunung berwarna hitam yang tiba-tiba raib selama tiga hari, sandal yang berjasa besar mengawani saya menelusuri 20-an kota di Borneo beberapa bulan silam.

Saya mulai berpikir untuk membeli sepatu. Tiba-tiba saja saya berpikir itu, tanpa alasan. Hanya ingin saja. Saya akan melakukannya jika Tempo sudah mengirimiku duit 5oo ribu. Minggu depan sepertinya. Jika tidak di Jakarta, saya akan mencarinya di Jogja atau Semarang atau Surabaya. 3 kota itu akan saya datangi satu per satu mulai minggu depan.

Bukankah momen terbaik untuk membeli sepatu justru pada saat kita sedang berada di perjalanan?

Selengkapnya......

Sabtu, Februari 02, 2008

Artaud

Artonin Artaud, penulis-penyair-dramawan Prancis yang begitu terpikat dengan para penari Bali, punya fantasi seks yang liar dan menggidikkan. Fantasi-fantasi Artaud yang tak terperi itu bahkan sudah muncul jauh sebelum ia akhirnya dirawat di sebuah asylum atau rumah sakit jiwa di kota Rodez pada awal 1940-an.

Pada Februari 1932, Artaud menulis surat pada seorang dokter yang menjadi kawannya, George Soulie de Morant. Di situ Artaud mengisahkan kondisi kejiwaannya yang penuh kecemasan sekaligus mendedahkan obsesinya yang sangat ingin menyelami sensasi-sensasi yang tak terperi, tak peduli itu mengerikan sekali pun.

Im overwhelmed by an immense and constant anxiety, tulis Artaud, “(and) I am obsessed by a terrible sensation of emptiness, incapable of summouning up any image obsessed.”

Ketika akhirnya Artaud dikirim ke asylum karena simptoma skizofrenia, hampir bersamaan dengan direbutnya Paris oleh tentara NAZI, Artaud akhirnya bisa menyelami sensasi-sensasi yang diinginkannya itu dalam bentuk fantasi-fantasi seksual yang menggigilkan. Dan Artaud seringkali meracau dan berteriak histeris karena merasa fantasi-fantasi itu betul-betul nyata, khas seorang pengidap skizo.

Artaud, misalnya, pernah berteriak-teriak karena merasa ribuan lelaki di sepanjang Syiria hingga London menggelar masturbasi massal lantas menumpahkan seisi cairan dari kantung testis mereka semua ke tubuhnya. Artaud juga pernah berlar-lari penuh ketakutan karena ia merasa setan-setan bergentayangan di sekelilingnya untuk merampok testis yang ia miliki.

Sekali waktu, Artaud juga pernah histeris karena ia merasa telah melihat ribuan rabbi di Yerusalem dan para lama di Tibet melakukan masturbasi non-stop selama satu pekan. Artaud disebut-sebut awalnya mengalami ekstase tapi kemudian dia mengalami paranoia gara-gara fantasi yang tak mampu ia bedakan nyata atau tidaknya.

Artaud memang seorang avant-garde teater dunia yang pada masanya mencoba meloloskan diri dari cengkeraman standar dan kode-kode budaya yang dibentuk oleh tradisi borjuasi yang penuh sopan-santun tapi pada saat yang sama sebenarnya begitu represif terhadap hasrat dan naluri-naluri bawah sadar. Seluruh kerja-kerja kreatif Artaud memang diarahkan untuk menemukan bentuk-bentuk baru teater yang lebih mampu mengeksplorasi potensi fantasmagoria dan surealisme alam bawah sadar manusia.

Bukunya yang paling terkenal, The Theatre and Its Double, menjadi salah satu bacaan yang bisa menggambarkan kemunculan perlawanan para seniman di Eropa terhadap kebudayaan borjuis berikut segala macam standar dan kode-kodenya, yang dari sana bermunculan bentuk-bentuk baru dalam teater, tari dan seni rupa, yang kelak banyak disebut sebagai gerakan avant-garde, dadaisme, dan banyak sebutan lainnya.

Bagi Artaud sendiri, The Theater and Its Double bisa dibaca sebagai manifesto dari visi dan orientasi artistiknya. Salah satu yang mengejutkan adalah Artaud ternyata begitu terpesona oleh gerak tari para penari Bali yang dikirim oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk pentas dalam “Paris Expo”.

Buku The Theater and Its Double juga mencerminkan dengan baik visi dan orientasi artistik Artaud yang –sekali lagi—terobsesi dengan perayaan sensasi dan banalitas perayaan tubuh yang menerabas standar dan kode moralitas borjuasi yang sok sopan. Di situ, Artaud memerkenalkan apa yang disebutnya sebagai “theater of cruelty” yang ia bayangkan bisa menghancurkan kepalsuan realitas denan cara –dalam kata-kata Artaud sendiri—“a violent and phisicyal determination”.

17 tahun setelah buku Artaud diterbitkan, Michel Foucoult menerbitkan Discipline and Punish yang mengobrak-abrik proses pembentukan kode dan standar peradaban Eropa mengenai moralitas, seksualitas dan tubuh. Setahun kemudian, ia juga menerbitkan jilid pertama buku The History of Sexuality (total tiga jilid), yang menelusuri bagaimana pengalaman kebertubuhan manusia Eropa sejak zaman Yunani antik hingga modern.

Di sini saya hanya ingin merangkum bagaimana dalam jilid ke 2 dan 3 buku di atas Foucoult dengan menarik menguraikan bagaimana orang-orang Yunani dan Roma pada periode klasik memiliki pengalaman kebertubuhan yang begitu kaya, yang akhirnya berakhir sewaktu modernitas muncul dan merepresi pengalaman kebertubuhan dan segala perayaannya.

Seni, bagi Foucoult, sebenarnya berpeluang untuk membebaskan represi macam itu, dan baginya itulah salah satu peran penting yang dipanggul seni. Baginya, seni berpeluang untuk menggelar aksi transgresif mencari sensasi-sensasi yang dibenamkan atas nama tabu dan moralitas. Seni bisa dan seharusnya mampu menjadi pelopor usaha pelebaran terus-menerus terhadap batas-batas yang dipancangkan oleh kebudayaan modern terhadap tubuh manusia.

Seno Joko Suyono, dalam esainya yang panjang dan memikat tentang sejarah pergulatan dunia fotografi nudis, dengan amat baik menunjukkan bagaimana upaya menerabas batas-batas itu seringkali dilakukan dengan mengeksplorasi dan menemukan sudut-sudut baru dari tubuh manusia, semacam forbidden body. Upaya ini bukan hanya mendapat restriksi dari editor-editor fashion yang bekerja di majalah Bazzar atau Vogue (dalam kasus dunia fotografi), tetapi seringkali juga mesti ditebus dengan kegilaan.

Di sini kita bisa kembali menoleh kepada Artaud, salah seorang yang mengalami benar pahit-getirnya pergulatan-pergulatan macam itu.

Selengkapnya......