Selasa, Februari 05, 2008

Sepatu, Sepatu, Sepatu....

Tiga hari saya kehilangan sandal gunung berwarna hitam yang sudah mengawani sepasang kakiku selama 4 bulan. Saya lalu berpikir untuk membeli sepatu dan ingat kalau sejak 1999 saya tak pernah membeli sepatu. Satu-satunya sepatu yang saya punya hanya sepatu bola “diadora” yang –itu pun—sudah amat lama tak pernah kupakai.

Sepatu. Sepatu. Ya, sepatu. Sepasang sepatu boot yang kuat, tulis Maxim Gorky, “Akan lebih banyak membantu kejayaan sosialisme daripada… mata berwarna hitam.”

Tentu saja parafrase Gorky itu metaforik, tapi bukan berarti Gorky sedang membual. Russia, kita tahu, adalah negeri yang berdekatan dengan kutub utara, situasi yang membuat negeri para Tsar itu jauh lebih akrab dengan salju tinimbang sinar matari. Dalam film “Dokter Zhivago”, saya ingat, salju bertebaran di mana-mana, di mana-mana, di mana-mana. Bisakah kita membayangkan Revolusi Oktober 1917 bisa digelar tanpa sepatu boot yang kokoh?

Terus terang saja bagi saya jawabannya: tidak! Dan bukan kebetulan jika salah satu kastil yang diserbu oleh tentara merah adalah Istana Hermitage di St. Petersburg, yang kondang dengan sebutan Istana Musim Dingin, milik keluarga Tsar dari Dinasti Romanov.

“Every shoe tells a story,” tulis Cathy Newman dalam artikelnya di National Geographic edisi September 2006. Tapi cerita apa yang bisa dikisahkan sepasang sepatu?

Sepatu, sepatu, sepatu. Sejarah semua peperangan besar di abad 20 juga bisa dibaca sebagai sejarah sepatu. Ya, di atas topangan sepatu boot yang perkasa, balatentara NAZI menyerbu Polandia dan merebut Paris. Dari sisi yang tak pernah dibicarakan orang, Biltzkrieg pastilah mengikutsertakan ratusan ribu pasang sepatu boot.

Bagi para serdadu, sepasang sepatu barangkali bisa mengisahkan mayat-mayat yang mereka singkirkan dari jalanan dengan menggunakan boot-boot mereka, sebab sepasang tangan mesti tetap mengokang senapan, berjaga terhadap serangan para sniper yang sembunyi di loteng-loteng atau di balik gordyn sebuah kamar apartemen.

Dulu, saya pernah diberi kaos oblong hitam yang didadanya bergambar bekas telapak sepatu tentara. Di bawahnya, ada tulisan besar berbunyi: “Jangan injak demokrasi”.

Sepatu lars, di sekitar 1998, menjadi salah satu simbol paling populer dari otoritarianisme Orde Baru yang militeristik. Karena sepatu lars itu pula yang digunakan untuk menendang para demonstran di jalanan Yogyakarta, di jalan Solo, di jalan Gejayan yang memisahkan kampus UNY dan Sanata Dharma (yang kini menjadi jalan Affandi), di Semanggi, dan di mana saja para demonstran mengacungkan tangan kiri, membentangkan spanduk dan menyorongkan megaphone.

Saya bayangkan, polisi yang menembak mati Mozes Gatotkoco (kini jadi nama jalan yang membelah Sanata Dharma dan Atmajaya) juga mengokang senapannya sembari berdiri dengan kaki yang ditopang oleh sepatu lars yang dingin.

Bagi manusia purba yang tinggal di sekitar kawasan Oregon, sepatu bisa mengisahkan keberadaan sebuah peradaban gua sekitar 10 ribu tahun silam. Di salah satu gua di Oregon itu, ditemukan sebiji sepatu dari serat kayu sisa peninggalan peradaban tua di sana. Sepatu yang kini tampak seperti tersusun dari jerami itu bisa disaksikan di Museum of Natural and Cultural History di Universitas Oregon; itulah sepatu paling tua yang masih bisa disaksikan sekarang.

Bagi para sosialita yang semerbak melati mewangi, sepatu pastilah bisa dibaca sebagai penanda posisi dan status sosial mereka.

Olga Berutti, seorang perancang sepatu khusus pria yang mendirikan Swann Club (aih… aih… bahkan nama klubnya pun dicuri dari nama tokoh utama “Remembrance of Things”, mahakarya Marcel Proust), bahkan selalu menyiapkan sampanye berkualitas nomer satu untuk para tamunya, bukan hanya untuk diminum, tapi juga untuk membersihkan sepatu.
“Alkohol membuat mereka (sepatu) bersinar, tetapi harus dingin, harus sangat kering, (dan harus) sampanye berkualitas,” ucap Berlutti.

Jika sampeyan pernah menonton film “Infamous”, yang bercerita tentang proses Truman Capote menuliskan novel terbaiknya, “In Cold Blood”, ada salah satu monolog di awal film yang mengisahkan bagaimana perlakuan terhadap sepatu bisa menggambarkan seberapa unik karakter seseorang.

“Saya unik,” ucap seorang perempuan eksentrik yang jadi karib Capote, “Karena saya selalu menyemir sepatu setiap hari, termasuk selalu menyemir bagian bawah sepatu, tak peduli setelah itu sepatu saya akan menginjak kotoran di jalanan.”

Che Guevara, seperti juga tokoh Wyatt dan Bill dalam film klasik tahun 1960-an yang menggugah, “Easy Riders”, pastilah menggelar perjalanan panjangnya melintasi Amerika Selatan (atau menuju Mardi Gras di New Orleans dalam cerita film “Easy Riders”) dengan bantuan yang tulus dari sepasang sepatu. Ah, novel “On the Road”, yang memicu gelombang perjalanan anak-anak muda di Amerika dan kelak melahirkan generasi Beat, pastilah tak mungkin ditulis Kerouac tanpa sepasang sepatu yang menemaninya menggelar perjalanan panjang melintasi Amerika bersama petualang kharismatik Nell Cassady dan penyair legendaris Alan Ginsberg.

[Ah, saya membayangkan, berapa kali Fa-Hsien mesti berganti sepatu sewaktu menggelar perjalanan panjang dan meletihkan dari Cina menuju India untuk berziarah ke tempat kelahiran Buddha dan untuk membawa naskah dari kitab-kitab penting ajaran Budhis untuk ia terjemahkan. Dengan melewati 27 negara, 4 gurun dan kembali dengan jalan laut –dan sempat singgah di Jawa—Fa Hsien menghabiskan waktu sekitar 15 tahun, dimulai dari tahun 399]

Mendiang Sir Edmund Hilary tak mungkin bisa mencapai pucuk Mount Everest tanpa bantuan sepatu yang bukan hanya melindungi kakinya dari dingin yang mencucuk, tapi juga yang mampu membantu kakinya menancap lebih kuat di salju-salju yang keras dan bukan sekadar menempel begitu saja di atas permukaannya.

Sepatu melindungi kaki dari kerasnya aspal di jalanan kota, dari pasir-pasir di gurun yang membakar, dari dinginnya salju di Himalaya dan dari permukaan bulan yang asing. Sepatu membuat manusia jadi lebih tangguh di setiap perjalanan, tapi dengan itu sepatu juga mengungkap kelemahan manusia di hadapan alam yang beragam tipikal dan keganasannya.

Bicara tentang kekurangan manusia di hadapan sepatu, saya ingat dongeng klasik Cinderella, dongeng yang barangkali menjadi cerita paling populer yang mengisahkan sepatu.

Cinderella tak akan pernah menjadi memikat pangeran jika ia tak mengenakan sepatu kaca. Sepatu kaca yang membuat Cinderella menjadi cantik dan memesona. Mestikah diherankan jika pangeran dalam dongeng itu akan memilih perempuan yang telapak kakinya bisa pas dengan sepatu kaca tersebut. Lihat, sepatu kaca bahkan menjadi standar laik tidaknya seorang menjadi kekasih. Sepatu kaca, bagi saya, adalah pemeran utama, dan Cinderella tak lebih sebagai tokoh pembantu (sama seperti film “Dead Poets Soeciety”, manusia di situ hanya pemeran pembantu, sebab tokoh utama film itu adalah puisi).

Lalu, adakah benda selain sepatu yang bisa mengisahkan dengan baik bagaimana sejumlah manusia menganggap tinggi badan sebagai persoalan genting?

Ini bukan gejala yang muncul hanya setelah “stiletto”, sepatu bertumit tinggi, menjadi tren di awal 1950-an. Jauh sebelum itu, sepatu bertumit adalah solusi terbaik bagi siapa saja yang menganggap tinggi badan sebagai persoalan genting, mungkin sama gentingnya dengan kemunculan sebiji jerawat atau sebintik komedo bagi Luna Maya. Kabarnya, Ratu Elizabeth I, pada 1595, pernah membayar mahal seorang pembuat sepatu yang berhasil memberinya sepatu kulit indah yang bertumit tiggi dan tapak yang melengkung.

Seorang profesor paedagogi di bekas kampus saya, yang tubuhnya memang mini, pernah berkisah tentang “kebodohan” yang dilakukan selama puluhan tahun. Dia selalu mengenakan sepatu bertumit tinggi untuk mendongkrak kepercayaan dirinya dan di usia tuanya, pada saat ia mengajari saya mata kuliah Dasar-dasar Paedagogi, dia divonis memiliki persoalan dengan tulang punggungnya. Ya, itu karena ia selalu mengenakan sepatu bertumit tinggi selama puluhan tahun.

Tapi saya tak punya sepatu dan sangat… sangat… jarang mengenakan sepatu. Terakhir kali saya punya sepatu sekira tahun 2005, sepasang sepatu kulit hitam “Jongki Komaladi”, itu pun karena diberi editor saya yang –mungkin- jengah karena ke mana-mana saya selalu mengenakan sandal. Sepatu itu pun kini entah di mana….

Saya memang tak senang mengenakan sepatu. Tidak praktis, begitu kira-kira alasannya. Saya mesti melepaskan sepatu jika main ke rumah seseorang dan mesti mengenakannya lagi jika hendak pergi.

Tapi, pada periode-periode tertentu, sepatu pernah menjadi simbol dari keteraturan dan kekuasaan. Di kampus, sepatu menjadi salah satu standar sopan-santun. Tak mengenakan sepatu, sampeyan mesti siap untuk diusir dari ruang kelas. Itulah sebabnya saya makin tak senang mengenakan sepatu. Sekali dua diusir, tapi karena membandel, lama-lama beberapa dosen membiarkannya, tentu saja ada sejumlah dosen yang tak terlalu peduli dengan urusan sepatu. Sandal, bagi saya ketika itu, adalah salah satu cara termudah untuk menyatakan bahwa saya majal dari aturan-aturan, bahwa saya bisa melakukan apa yang saya mau, setidaknya dalam urusan mau bersepatu atau tidak.

Tentu saja, kadang-kadang, saya mesti berkompromi. Prof. Suyanto, sekarang jadi Dirjen Dikdasmen (deputi menteri dengan anggaran belanja terbesar di pemerintahan), selalu memelototi kaki saya lebih dulu tiap kali saya hendak menemuinya untuk berbagai urusan (wawancara untuk buletin kampus, minta dispensasi penundaan/pengurangan pembayaran SPP atau sekadar untuk memeriksa lemari bukunya sembari memilih-milih buku apa saja yang bisa saya “rampok”).

Karena beberapa kali diusir, saya akhirnya selalu mampir di bagian keuangan rektorat lebih dulu, menemui seorang pegawai di sana yang selalu menguruskan honor tulisan saya, dan memaksanya meminjamkan sepatu barang setengah jam. (Ah, apa kabar dirimu, mas? Adakah mahasiswa bekelakuan miring yang meneruskan kelakuan saya yang sering memaksamu melepaskan sepatu? Jika ada, bantulah dia. Hahaha…)

Sekarang saya sedang kelimpungan mencari sandal gunung berwarna hitam yang tiba-tiba raib selama tiga hari, sandal yang berjasa besar mengawani saya menelusuri 20-an kota di Borneo beberapa bulan silam.

Saya mulai berpikir untuk membeli sepatu. Tiba-tiba saja saya berpikir itu, tanpa alasan. Hanya ingin saja. Saya akan melakukannya jika Tempo sudah mengirimiku duit 5oo ribu. Minggu depan sepertinya. Jika tidak di Jakarta, saya akan mencarinya di Jogja atau Semarang atau Surabaya. 3 kota itu akan saya datangi satu per satu mulai minggu depan.

Bukankah momen terbaik untuk membeli sepatu justru pada saat kita sedang berada di perjalanan?

8 komentar:

Lida Handayani mengatakan...

Aha, kalau aku hampir selalu pakai sepatu. Kecuali ke toilet, ke warung dan tetangga, tentu saja. Nggak tahu deh, aku kurang bakat pakai sandal. Sering aja sandalnya ketinggalan kalau lagi jalan.

Oya, sepatu merupakan produk fashion yang paling banyak menggiurkanku, lebih dari kaos atau celana jeans!

Anonim mengatakan...

Tadi sempat bengong pas baca, dari rencana beli sepatu sampai kemana-mana..

Tapi memang bener sih, dalam peperangan kadang sepatu merupakan rampasan perang yang cukup penting (setelah senjata, tentunya).

Selamat beli sepatu deh Mas. Kmaren saya juga beli sepatu setelah sekian lama, merek Boogie dan kebetulan tinggal satu-satunya dan harganya udah naik T_T

Anonim mengatakan...

selamat bersepatu baru zen..aku tak harus bersepatu pula saat menemuimu kan? hahaha :D

Haris Firdaus mengatakan...

sepatu memang jadi sebuah kisah yang oanjang, mas. benda2 dlm kehidupan sehari2 manusia ternyata punya pengaruh yang signifikan pada manusia itu sendiri.

kw mengatakan...

punya sepatu satu aja. hemat ruang. pengen beli sii, tapi blum ada diskon. maklum... :)

pakai sepatu lebih nyaman dan aman, bisa dipakai lari... kalau sandal ribet.

astrid savitri mengatakan...

Jadi inget satu cerita, thn 77 presiden Soeharto muncul di hlmn1 Kompas sdg menengok lahan pertanian, yg menarik perhatian adl sepatunya – barang baru di Ind. Berupa buts setinggi mata kaki dgn sol bergerigi, yg kemudian diketahui bermerk Kickers dan berharga 22.000 (saat itu setara dgn dua bulan uang makan anak kos) – segera saja sepatu mahal itu jadi simbol kemewahan ditengah2 ketimpangan ekonomi – simbol kaum borjuis, mgkn mirip wabah Docmart awal 90an atau saat ini; Manolo Blahnik, yg gak mau saya beli – bukan menolak kemewahan, tapi blm ada bujet utk hedonisme macam itu, hehe..

JOGJA-JAKARTA mengatakan...

Kaos kakinya masih ndak Zen?? Segeralah kau buang...sudah lebih dari 2 minggu :) :)

melur mengatakan...

"shoes is the new girls' best friend instead of diamond"