Sabtu, Februari 02, 2008

Artaud

Artonin Artaud, penulis-penyair-dramawan Prancis yang begitu terpikat dengan para penari Bali, punya fantasi seks yang liar dan menggidikkan. Fantasi-fantasi Artaud yang tak terperi itu bahkan sudah muncul jauh sebelum ia akhirnya dirawat di sebuah asylum atau rumah sakit jiwa di kota Rodez pada awal 1940-an.

Pada Februari 1932, Artaud menulis surat pada seorang dokter yang menjadi kawannya, George Soulie de Morant. Di situ Artaud mengisahkan kondisi kejiwaannya yang penuh kecemasan sekaligus mendedahkan obsesinya yang sangat ingin menyelami sensasi-sensasi yang tak terperi, tak peduli itu mengerikan sekali pun.

Im overwhelmed by an immense and constant anxiety, tulis Artaud, “(and) I am obsessed by a terrible sensation of emptiness, incapable of summouning up any image obsessed.”

Ketika akhirnya Artaud dikirim ke asylum karena simptoma skizofrenia, hampir bersamaan dengan direbutnya Paris oleh tentara NAZI, Artaud akhirnya bisa menyelami sensasi-sensasi yang diinginkannya itu dalam bentuk fantasi-fantasi seksual yang menggigilkan. Dan Artaud seringkali meracau dan berteriak histeris karena merasa fantasi-fantasi itu betul-betul nyata, khas seorang pengidap skizo.

Artaud, misalnya, pernah berteriak-teriak karena merasa ribuan lelaki di sepanjang Syiria hingga London menggelar masturbasi massal lantas menumpahkan seisi cairan dari kantung testis mereka semua ke tubuhnya. Artaud juga pernah berlar-lari penuh ketakutan karena ia merasa setan-setan bergentayangan di sekelilingnya untuk merampok testis yang ia miliki.

Sekali waktu, Artaud juga pernah histeris karena ia merasa telah melihat ribuan rabbi di Yerusalem dan para lama di Tibet melakukan masturbasi non-stop selama satu pekan. Artaud disebut-sebut awalnya mengalami ekstase tapi kemudian dia mengalami paranoia gara-gara fantasi yang tak mampu ia bedakan nyata atau tidaknya.

Artaud memang seorang avant-garde teater dunia yang pada masanya mencoba meloloskan diri dari cengkeraman standar dan kode-kode budaya yang dibentuk oleh tradisi borjuasi yang penuh sopan-santun tapi pada saat yang sama sebenarnya begitu represif terhadap hasrat dan naluri-naluri bawah sadar. Seluruh kerja-kerja kreatif Artaud memang diarahkan untuk menemukan bentuk-bentuk baru teater yang lebih mampu mengeksplorasi potensi fantasmagoria dan surealisme alam bawah sadar manusia.

Bukunya yang paling terkenal, The Theatre and Its Double, menjadi salah satu bacaan yang bisa menggambarkan kemunculan perlawanan para seniman di Eropa terhadap kebudayaan borjuis berikut segala macam standar dan kode-kodenya, yang dari sana bermunculan bentuk-bentuk baru dalam teater, tari dan seni rupa, yang kelak banyak disebut sebagai gerakan avant-garde, dadaisme, dan banyak sebutan lainnya.

Bagi Artaud sendiri, The Theater and Its Double bisa dibaca sebagai manifesto dari visi dan orientasi artistiknya. Salah satu yang mengejutkan adalah Artaud ternyata begitu terpesona oleh gerak tari para penari Bali yang dikirim oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk pentas dalam “Paris Expo”.

Buku The Theater and Its Double juga mencerminkan dengan baik visi dan orientasi artistik Artaud yang –sekali lagi—terobsesi dengan perayaan sensasi dan banalitas perayaan tubuh yang menerabas standar dan kode moralitas borjuasi yang sok sopan. Di situ, Artaud memerkenalkan apa yang disebutnya sebagai “theater of cruelty” yang ia bayangkan bisa menghancurkan kepalsuan realitas denan cara –dalam kata-kata Artaud sendiri—“a violent and phisicyal determination”.

17 tahun setelah buku Artaud diterbitkan, Michel Foucoult menerbitkan Discipline and Punish yang mengobrak-abrik proses pembentukan kode dan standar peradaban Eropa mengenai moralitas, seksualitas dan tubuh. Setahun kemudian, ia juga menerbitkan jilid pertama buku The History of Sexuality (total tiga jilid), yang menelusuri bagaimana pengalaman kebertubuhan manusia Eropa sejak zaman Yunani antik hingga modern.

Di sini saya hanya ingin merangkum bagaimana dalam jilid ke 2 dan 3 buku di atas Foucoult dengan menarik menguraikan bagaimana orang-orang Yunani dan Roma pada periode klasik memiliki pengalaman kebertubuhan yang begitu kaya, yang akhirnya berakhir sewaktu modernitas muncul dan merepresi pengalaman kebertubuhan dan segala perayaannya.

Seni, bagi Foucoult, sebenarnya berpeluang untuk membebaskan represi macam itu, dan baginya itulah salah satu peran penting yang dipanggul seni. Baginya, seni berpeluang untuk menggelar aksi transgresif mencari sensasi-sensasi yang dibenamkan atas nama tabu dan moralitas. Seni bisa dan seharusnya mampu menjadi pelopor usaha pelebaran terus-menerus terhadap batas-batas yang dipancangkan oleh kebudayaan modern terhadap tubuh manusia.

Seno Joko Suyono, dalam esainya yang panjang dan memikat tentang sejarah pergulatan dunia fotografi nudis, dengan amat baik menunjukkan bagaimana upaya menerabas batas-batas itu seringkali dilakukan dengan mengeksplorasi dan menemukan sudut-sudut baru dari tubuh manusia, semacam forbidden body. Upaya ini bukan hanya mendapat restriksi dari editor-editor fashion yang bekerja di majalah Bazzar atau Vogue (dalam kasus dunia fotografi), tetapi seringkali juga mesti ditebus dengan kegilaan.

Di sini kita bisa kembali menoleh kepada Artaud, salah seorang yang mengalami benar pahit-getirnya pergulatan-pergulatan macam itu.

2 komentar:

ibn ghifarie mengatakan...

Memang sangat asyik bila membicarakan tubuh perempuan. Namun, kadang kita lupa mengeja sosok kaum hawan hanya sebatas seksualitas semata.

Bila, perilaku ini yang terjadi, maka kelompok Ibu hanya sembatas pelengkap dalam mengarungi samudra kehidupan ini.

Ironis memang.

zen mengatakan...

thanks...