Selasa, Februari 28, 2006

Mengenang yang Telah Beranjak Jauh

Wangsa Aidit (8)

Mengenang yang Telah Beranjak JauhMalam itu Sobron betul-betul merasa sepi. Sekaligus malu. Juga terhina. Jauh-jauh datang dari Paris, ia sama sekali tak beroleh sambutan. Genangan rasa kangen akan kampung halaman dan kerabat lindap dengan cara yang aneh sekaligus menyesakkan.

Itulah kali pertama Sobron menginjakkan kembali tanah Belitung. Ia datang dengan Laura, cucunya yang baru berusia 10 tahun. Malam itu Laura dibawa beberapa kerabat Sobron. Akan dibawa keliling. Begitu katanya.

Sobron betul-betul merana. Malam itu ia sendirian di Hotel Melati. Tak tahu hendak ke mana ia. Tak ada tujuan. Tak ada satu pun kerabatnya yang menawarinya menginap. Kerabat-kerabat Sobron hanya datang ke hotel. Itu pun tak lama. Setelah dirasa cukup, mereka pergi satu per satu.

Selengkapnya......

Bertemu Pelarian

Wangsa Aidit (7)

Budi Kurniawan, salah seorang penulis buku Menolak Menyerah: Menyingkap Tabir Keluarga Aidit, dihubungi oleh Ilham Aidit pada salah satu hari di bulan April 2005. Ilham mengundang Budi ke sebuah pertemuan. "Bung datang ya. Ada pertemuan keluarga. Ibaruri datang dari Prancis." Begitu bunyi undangannya.

Pada pertemuan itu, hadir sekitar 50 orang keluarga Aidit. Di sana ada Murad Aidit bersama beberapa anak dan cucunya, beberapa sepupu dan ponakan Ilham pun hadir. Beberapa saudara jauh DN Aidit yang datang dari Pulau Belitung pun terlihat hadir. Dan seperti yang dijanjikan Ilham, Ibaruri Aidit, anak sulung D.N. Aidit benar-benar hadir.

Selengkapnya......

Senin, Februari 27, 2006

Kisah Sepotong Nama

Wangsa Aidit (6)

Persoalan nama bisa menjadi persoalan tak penting bagi Shakespeare. What Is an a name? Apakah arti sebuah nama? Tapi cobalah tanyakan apa arti sebuah nama kepada semua anggota keluarga D.N. Aidit. Bersiaplah menerima jawaban yang berbanding terbalik dengan cemooh Shakespeare yang termasyhur itu.

Bagi adik, anak, cucu, keponakan dan semua kerabat D.N. Aidit, nama bisa menjadi persoalan hidup mati. Kata Aidit yang melekat di belakang namanya menjadi password yang telah membawa mereka pada sebuah jalan hidup yang sungguh berliku, pedih, dan sangat… sangat… tidak menyenangkan.

Aidit. Selembar nama itu menjadi bala bagi siapapun yang mengenakannya. Tak pandang bulu. Apakah anak kecil atau orang tua yang sudah renta. Bahkan orang-orang yang tak ada nama Aidit di identitasnya tetap akan menanggung bala jika diketahui bersangkut, langsung atau tidak, dengan siapa pun yang memiliki nama Aidit. Bala itu macam-macam bentuknya: dari mulai ditangkap, dipenjara, diasingkan ke pulau yang jauh, diawasi, dan diekskomunikasi dari kerabatnya yang lain.

Selengkapnya......

Minggu, Februari 26, 2006

Melamar Anak Tentara

Wangsa Aidit (5)

Empat orang tentara berseragam loreng hijau dari Divisi Siliwangi mendatangi sebuah rumah dengan langkah bergegas. Seorang lelaki paruh baya menyambutnya. Baik-baik dipersilakan empat tentara itu masuk. Tapi yang ditangguknya adalah ancaman kasar.

“Saudara jangan coba-coba menyimpan dan memelihara anak setan. Segera tunjukkan di mana mereka. Akan kami bunuh!”

Lelaki paruh baya itu tampak tak gusar. Tenang. Ia membalas gertakan itu dengan kata-kata pelan: “Silakan kalau kalian ingin menembak anak-anak setan yang kalian sebutkan itu. Saya antar kepada mereka.”


Selengkapnya......

Sabtu, Februari 18, 2006

Kabar Kematian!

Wangsa Aidit (4)

Sobron masih ingat kapan, bagaimana, dari mana dan di mana ia pertama kali mendengar kabar kematian abangnya, D.N. Aidit. Ketika itu Sobron sedang menetap di Peking. Ia bekerja sebagai tenaga pengajar di IBA, sebuah akademi yang dibiayai Partai Komunis Cina. Sebelum menjadi pengajar, Sobron sempat pula menjadi penerjemah majalah Peking Review yang diterbitkan oleh Penerbitan Pustaka Bahasa Asing Peking. Selama menjadi tanaga pengajar, Aidit dan sejumlah koleganya diinapkan di Hotel Persahabatan, Friendship Hotel.

Ketika itu warsa 1965 sudah sampai pengujung. Desember 1965. Sobron dan semua ekspatriat asal Indonesia sudah tahu banyak ihwal kondisi yang terjadi di tanah air. Mereka tahu bagaimana aktivis PKI serta segenap anggota keluarganya dicari-cari, ditangkapi, diasingkan dan sebagian lagi dibunuh. Kabar tak mengenakkan tentang tanah air terus berseliweran makin kencang. Sobron tak bisa membayangkan bagaimana nasib keluarganya di Jakarta. Bagaimana kabar Aidit? Murad? Basri? Apa yang menimpa Tanti dan tiga anak lelaki kecilnya: Iwan, Irfan dan Ilham?

Selengkapnya......

Selasa, Februari 07, 2006

Raksasa Berkaki Lempung

Wangsa Aidit (3)

Aidit lahir di kampung Pagaralang, Tanjungpandan, pulau Belitung, dengan nama lengkap Ahmad Aidit. Informasi yang didapat dari biografi Aidit di majalah bulanan PKI berbahasa Inggris, Review of Indonesia vol 7, dan dari memoir Sobron, adik kandung Aidit, diketahui Aidit lahir pada 30 Juli 1923. Tetapi informasi ini sukar dikonfirmasi akurasinya. Itulah sebabnya Jacques Leclerc, dalam esai panjangnya di majalah Prisma edisi Juli 1982, lebih memilih jalan aman dengan menulis: Aidit lahir di awal tahun duapuluhan.

Nama Aidit diambil dari nama belakang ayahnya, Abdullah Aidit. Abdullah adalah seorang bekas kuli pelabuhan yang kemudian diangkat menjadi mantri kehutanan, pegawai menengah pada Jawatan Kehutanan pemerintah Hindia Belanda. Ia dikenal sebagai seorang muslim yang taat. Ketaatannya itu tercermin pada dua hal: (1) ia menamai semua anaknya dengan nama yang ke-Arab-arab-an dan (2) keterlibatannya secara aktif sebagai pendiri Perguruan Nurul Islam, sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang kecenderungannya dekat dengan Muhammadiyah.

Selengkapnya......

Kamis, Februari 02, 2006

Mengintai Anak dari Jauh

Wangsa Aidit (2)

Dr. Sutanti, dokter spesialis akupunktur pertama yang dimiliki Indonesia, mematung di balik jendela sebuah rumah. Matanya nanar memandangi pekarangan tak seberapa luas yang ada di seberang jalanan yang sepi. Hari itu tak banyak yang berlalu-lalang.

“Syukurlah,” batin Tanti, “ini memudahkanku memandang lekat anak-anakku.”

Tanti sudah demikian lama tak bersua dengan tiga anak lelakinya. Ia juga sudah lama sekali tak pernah pulang ke rumahnya. Dari tempat-tempat persembunyian yang berpindah-pindah, ia mendengar sehembusan kabar tak menyenangkan: rumahnya di Jalan Pegangsaan (Cikini) sudah digerebek tentara. Isi rumah dikeluarkan. Sebagian disita. Sebagiannya lagi dimusnahkan.

Selengkapnya......

Rabu, Februari 01, 2006

Tertangkap!

Wangsa Aidit (1)

Kampung Sambeng dikepung dari delapan penjuru mata angin. ABRI dan pasukan-pasukan eks Tentara Pelajar dikerahkan. Tampuk komando operasi dipegang langsung Kolonel Jazir Hadibroto. Mereka yakin, buronan yang mereka cari-cari bersembunyi di kampung itu.

Sejak sore tadi Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Solo, diguyur deras hujan. Ketika malam datang, Sambeng tak cuma terasa dingin dan temaram melainkan juga mencekam. Lewat sebuah operasi yang cepat, semua lelaki Kampung Sambeng diperintahkan keluar dari rumahnya masing-masing. Semua dikumpulkan di lapangan. Malam itu, Kampung Sambeng steril dari lelaki. Satu per satu mereka diperiksa. Hasilnya nihil: buronan kelas wahid yang dicari tak ditemukan!

Selengkapnya......

Wangsa Aidit (Sebuah Pengantar Seri Tulisan)

Aidit sedang bercakap dengan DN Aidit di Istana Negara

Pada masa Orde Baru, nama Dipa Nusantara Aidit pernah menjadi nama (yang di)jahanam(kan. Stigma yang disandang oleh “Aidit” demikian parah. Ia tidak hanya dianggap sebagai otak nomer satu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dalang dari peristiwa G-30-S semata, tetapi lebih dari itu ia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga namanya seakan-akan sinonim dengan segala macam laku lancung: penjahat, kejam, brutal dan tak berprikemanusiaan.

Itulah sebabnya tak ada orang yang mau menamai anaknya “Aidit”. Bahkan keluarga Aidit sendiri, baik kerabat jauh hingga beberapa anaknya, memilih untuk menanggalkan nama Aidit. Sebab nama Aidit pada masa Orde Baru adalah paspor yang bisa mengantarkan siapapun ke labirin kesengsaraan yang tiada putus.

Blog ini segera akan menghadirkan kisah siapa sebetulnya Aidit, bagaimana kiprahnya di PKI, dan apa saja yang telah ia lakukan. Tetapi tak cuma itu, blog ini juga mencoba memaparkan bagaimana kisah perjuangan keluarga Aidit untuk bertahan hidup di masa Orde Baru yang begitu doyan membikin mereka nestapa.

Itulah sebabnya, maka seri tulisan tentang Aidit dan keluarganya saya beri judul: WANGSA AIDIT!

Nantikan!