Kamis, Februari 02, 2006

Mengintai Anak dari Jauh

Wangsa Aidit (2)

Dr. Sutanti, dokter spesialis akupunktur pertama yang dimiliki Indonesia, mematung di balik jendela sebuah rumah. Matanya nanar memandangi pekarangan tak seberapa luas yang ada di seberang jalanan yang sepi. Hari itu tak banyak yang berlalu-lalang.

“Syukurlah,” batin Tanti, “ini memudahkanku memandang lekat anak-anakku.”

Tanti sudah demikian lama tak bersua dengan tiga anak lelakinya. Ia juga sudah lama sekali tak pernah pulang ke rumahnya. Dari tempat-tempat persembunyian yang berpindah-pindah, ia mendengar sehembusan kabar tak menyenangkan: rumahnya di Jalan Pegangsaan (Cikini) sudah digerebek tentara. Isi rumah dikeluarkan. Sebagian disita. Sebagiannya lagi dimusnahkan.

Nestapa memang sedang mengakrabi Tanti. Sejak 5 Oktober 1965, ia putus kontak dengan semua keluarga terdekatnya. Suami tercinta, Dipa Nusantara Aidit, entah bagaimana kabarnya. Dari sejumlah informasi yang ia dapat di pengujung November 1965, sang suami telah dieksekusi di daerah Jawa Tengah. Mungkin di Boyolali atau Solo. Ada juga yang bilang di Tegal. Entahlah.

Tak begitu jelas kapan Aidit menikahi Sutanti. Tapi, berdasar informasi yang didapat dari tulisan Kohar Ibrahim, seorang eksil yang menetap di Brusell, Belgia, yang berjudul Aidit Pelita Nusantara? Sebuah Catatan dari Brusell yang dimuat di harian Batam Pos, Riau, diketahui bahwa keduanya menikah pada 1947. Leclerc menyebut perjumpaan perdana keduanya itu berlangsung ketika Aidit sedang memberikan ceramah tentang Marxisme. Ketika itu Aidit memang sedang menunaikan tugasnya sebagai anggota CC PKI yang membawahi bidang Agitprop.

Sutanti adalah anak dari pasangan aktivis pergerakan yang cukup radikal. Ayahnya bernama Mudigdio, seorang ningrat keturunan bangsawan Tuban. Mudigdio adalah seorang pembangkang keluarga. Ia memberontak sikap kolot-konservatif keluarganya dan terutama sikap keluarga besarnya yang sangat pro-Belanda. Setelah menyelesaikan HBS-nya, Mudigdio segera bekerja sebagai pegawai negeri di Kantor Pajak. Ketika bertugas di Medan, ia bertemu dengan Siti Aminah yang di kemudian hari menjadi istrinya. Ketika bertugas di Semarang pada 1927, Mudigdio msauk ke dalam PNI dan kemudian bergabung ke Partindo. Akibat aktivisme politik yang ditekuninya, ia dipecat sebagai pegawai negeri sebagaimana dialami isemua pegawai pemerintahan Hindia-Belanda yang terlibat dalam aktivitas pergerakan nasional.

Menjelang penyerbuan Jepang, ia menjadi guru MULO Muhammadiyah di Yogyakarta. Ketika ia kembali ke Semarang, Mudigdio bekerja untuk PUTERA, dan selanjutnya bekerja di Jawa Hokokai. Sesudah proklamasi, dia masuk dinas kepolisian yang baru. Pada 1948, Mudigdio menjadi anggota Partai Sosialis pimpinan Amir Syarifuddin yang lantas tergabung ke dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terlibat dalam peristiwa Madiun Affair. Mudigdio tetap berpihak ke kubu Amir. Atas inisiatif sendiri, Mudigdio bahkan berusaha mendirikan Korps Polisi Merah di ddaaerah Pati. Pada 21 November 1948, dia dan pembantu-pembantunya ditangkap dan ditembak mati.

Siti Aminah, janda Mudigdio, ketika itu menjadi anggota KNIP mewakili Partai Sosialis. Kematian suaminya justru membikin gairahnya untuk berpolitik makin menjompak-jompak. Ia berkonsentrasi di bidang pergerakan perempuan, sehingga ia terpilih menjadi wakil ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sambil tetap menjadi anggota parlemen sampai kemudian ditahan dan diberhentikan sesuai pageblug 1965.

Tanti jelas akrab dengan aktivitas politik. Pernikahannya dengan Aidit kian meneguhkan darah aktivis yang ia warisi dari kedua orangtuanya. Ia tahu benar resiko menjadi aktivis politik sekaligus menjadi istri pemimpin tertinggi PKI,. Partai komunis terbesar ketiga di dunia.

Tapi peristiwa September 1965 betul-betul tak ia duga akan terjadi dengan begitu cepatnya. Dalam nyaris satu tarikan nafas saja, Tanti harus berpisah dengan orang-orang yang dicintanya. Ia juga terpaksa berpisah dengan tiga anak lelakinya. Menjelang pelariannya, Tanti dan suaminya masih sempat mengirim Iwan, Ilham dan Irfan ke Bandung. Kabar terakhir, tiga anak lelakinya itu dipelihara oleh Moeliono, salah seorang kerabat jauh Tanti yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Kabar itu sedikit melegakan Tanti.

Tapi kesedihan tentu saja tak berkurang. Luar biasa sedihnya Tanti membayangkan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil itu harus menanggung bala akibat pertarungan politik yang melibatkan ayahnya. Apalagi Ilham dan Irfan. Keduanya lahir di sebuah negeri yang jauh, Rusia, tepatnya di Moskow, pada 18 Mei 1959. Enam bulan kemudian barulah si kembar Ilham-Irfan merasakan teriknya matahari Indonesia. Jadi, ketika pecah pageblug 1965, si kembar itu baru berusia enam tahun. Masih sangat kecil untuk mengerti pergulatan politik. Mereka tidak tahu apa-apa.

Di puncak rasa kangen yang tak mungkin lagi dibendungnya, Tanti berhasil mengontak keluarga Moeliono, karabat yang selama ini memelihara tiga anak lelakinya. Dia sampaikan betapa kangen dan berharap sangat bisa bersua dengan anak-anaknya. Tanti tentu saja sedang tak berniat pergi ke Bandung, dan menyambangi kediaman keluarga Moeliono untuk dapat memeluk tiga anak lelakinya. Itu rencana bunuh diri namanya. Itu sama saja menyerahkan diri untuk ditangkap dan dieksekusi tentara. Tanti sepenuhnya insyaf akan situasi. Dan Tanti memang tak pernah bermimpi bisa memeluk tiga anaknya.

“Sekadar memandang lekat-lekat anak-anak dari kejauhan pun rasanya sudah nikmat,” pikir Tanti.

Maka disusunlah rencana. Moeliono akan membawa tiga anak lelaki Tanti ke suatu tempat. Di sekitar situ, Tanti sudah menunggu dalam jarak yang cukup jauh yang masih memungkinkannya menatap lekat sepuasnya anak-anaknya tanpa harus diketahui orang lain, bahkan juga oleh tiga anak lelakinya itu.

Tanti masih duduk mematung. Matanya memandang pekarangan tak seberapa luas yang dijanjikan menjadi tempat bermain tiga anaknya hari itu. Waktu serasa tak berhenti. Menit seperti enggan beranjak. Tanti masih menanti.

Dan ketiga anak kecil yang dirindukannya itu pun akhirnya datang. Mata Tanti nyalang memandang ke depan. Air mata akhirnya tumpah.

Detik itu juga Tanti mendadak ingat dua anak perempuannya yang sedang belajar di Moskow. Ibaruri dan Ilya. Apa kabar mereka?

Rasa kangen lagi-lagi membuncah. Air mata lagi-lagi tumpah. (bersambung)

0 komentar: