Sabtu, Februari 18, 2006

Kabar Kematian!

Wangsa Aidit (4)

Sobron masih ingat kapan, bagaimana, dari mana dan di mana ia pertama kali mendengar kabar kematian abangnya, D.N. Aidit. Ketika itu Sobron sedang menetap di Peking. Ia bekerja sebagai tenaga pengajar di IBA, sebuah akademi yang dibiayai Partai Komunis Cina. Sebelum menjadi pengajar, Sobron sempat pula menjadi penerjemah majalah Peking Review yang diterbitkan oleh Penerbitan Pustaka Bahasa Asing Peking. Selama menjadi tanaga pengajar, Aidit dan sejumlah koleganya diinapkan di Hotel Persahabatan, Friendship Hotel.

Ketika itu warsa 1965 sudah sampai pengujung. Desember 1965. Sobron dan semua ekspatriat asal Indonesia sudah tahu banyak ihwal kondisi yang terjadi di tanah air. Mereka tahu bagaimana aktivis PKI serta segenap anggota keluarganya dicari-cari, ditangkapi, diasingkan dan sebagian lagi dibunuh. Kabar tak mengenakkan tentang tanah air terus berseliweran makin kencang. Sobron tak bisa membayangkan bagaimana nasib keluarganya di Jakarta. Bagaimana kabar Aidit? Murad? Basri? Apa yang menimpa Tanti dan tiga anak lelaki kecilnya: Iwan, Irfan dan Ilham?

Di salah satu malam di bulan Desember yang mencekik itu, Sobron dan kolega-koleganya keluar dari hotel. Ada pertemuan penting yang harus dihadiri. Ternyata Sobron dipertemukan dengan delegasi Cina yang baru saja menghadiri sebuah Konferensi Internasional di Havana, Kuba. Ketika delegasi Cina berkesempatan bersua dengan pemimpin Kuba, Fidel Castro, mereka beroleh kabar tak mengenakkan tentang Indonesia, persisnya kabar tertembak matinya Dipa Nusantara Aidit, pemimpin tertinggi PKI. Castro sendiri yang mengatakannya.

Awalnya Sobron tak percaya. Bagaimana bisa abangnya itu bisa dengan mudahnya mati? Mungkinkah seorang pemimpin partai besar yang dihuni tiga juta anggota setianya bisa dengan mudah tumpas? Bukankah abangnya adalah orang yang sangat lihai bersembunyi? Reputasi Aidit sebagai seorang yang memiliki intuisi kuat sering membawanya berhasil lolos dari lubang jarum yang sempit sekalipun. Sobron tahu betul bagaimana abangnya itu berhasil keluar dari kejaran musuh ketika peristiwa Madiun Affair 1948 meledak.

Ia juga tak akan melupakan kepandaian abanganya itu dalam hal menyamar atau menyaru. Dia sendiri pernah menjadi korban dari kelicikan abangnya itu. Ketika itu di Jakarta sedang terjadi razia besar-besaran terhadap aktivis-aktivis PKI yang dilakukan oleh Kabinet Sukiman. Sobron sering menyebutnya sebagai Razia Agustus karena rentetan razia itu memang berlangsung gigih-gigihnya pada bulan Agustus 1951. Di suatu malam ketika Sobron sedang berjalan di sekitar Pasar Matraman, ia melihat sesosok tubuh yang lamat-lamat ia kenal. Lelaki itu tampak tua. Berkacamata. Rambutnya putih penuh dengan uban. Berkopiah. Jalannya agak terbungkuk dan terpincang-pincang. Lelaki tua itu berjalan dengan menggunakan tongkat. Dicobanya memanggil ingatan. Tapi gagal. Sobron tetap lupa di mana dan kapan pernah betemu.

Sobron nekat mendekati lelaki tua itu. Begitu jarak makin rapat, lelaki tua itu malah memercepat jalannya. Makin Sobron mengejar, makin cepat lelaki tua itu menghindar. Ketika akhirnya lelaki tua itu berhasil didekati oleh Sobron, dia malah berbisik pelan. “Sana, mengapa kau mengikutiku. Sana jauh, nanti ketemu!” hardik lelaki tua itu dengan setengah berbisik sambil tak lupa mengernyitkan kening dan memelototkan matanya. Tahulah Sobron kalau lelaki tua itu adalah abangnya sendiri, D.N. Aidit, yang sedang menyaru.

Sejak itulah Sobron sadar kalau situasi memang sedang gawat. Beberapa kali, lewat kode ketukan pintu yang khas, abangnya itu datang ke kamarnya. Di malam-malam seperti itulah kedekatan Sobron dengan Aidit terjalin baik. Mereka sering bercerita. Saling memberi kabar. Di malam-malam seperti itu Aidit seringkali menitipkan pesan agar Sobron berhati-hati. Aidit biasanya langsung terlelap. Waktu istirahat betul-betul ia maksimalkan untuk mengumpulkan tenaga demi kerja-kerjanya esok hari.

Seringkali Sobron terbangun di pagi hari dan abangnya itu sudah lennyap tak berbekas. Hampir benar-benar tanpa bekas. Abanganya itu tahu betul menjaga rahasia. Sekalipun ia tak pernah meninggalkan sesuatu yang bisa membuktikan kalau dirinya pernah dan sering mampir ke kamar Sobron. Itulah sebabnya penggeledehan yang dilakukan tentara di kamarnya tak membuahkan hasil. Tak ada sedikit pun jejak yang terendus. Nihil.

Wajar jika Sobron meragukan informasi tentang kematian Aidit. Tetapi akhirnya Sobron pun menerima kebar kematian abangnya itu dengan ikhlas. Entah bagaimana caranya, Sobron mendadak yakin dan percaya kalau abang sulungnya itu memang telah tumpas kelor. Sobron tak mampu menjelaskannya secara logis. Ia percaya kalau abangnya itu telah menemui ajal karena sesuatu yang irrasional: intuisi.

“Perasaan saya, kedekatan saya selama ini dengan Bang Amat,” lirih Sobron, “…mengatakan, merasakan, ada feeling kejiwaan, memang Bang Amat sudah meninggal.”

Hal lain yang menambah keyakinan Sobron adalah sejumlah media internasional memang telah melansir berita kematian Aidit di sebuah daerah di Jawa Tengah. Salah satu media yang memberitakan itu adalah Asahi Shimbun, media dengan reputasi baik dari Jepang.

Belum lagi kenyataan di mana Mao Tse-Tung telah mengucapkan langsung pernyataan belasungkawa atas kematian Aidit. Dalam perhitungan Sobron, Mao tak mungkin mengeluarkan pernyataan bohong yang bisa melemahkan semangat perjuangan kaum komunis sedunia.

Sebagai pelengkap pernyataan belasungkawanya, Ketua Mao bahkan menuliskan sajak yang dimuat di sebuah majalah di Peking. Inilah sajaknya:

Belasungkawa Untuk Aidit
(Dalam Irama Pu Suan Zi).

Di jendela diringin berdiri reranting jarang
beraneka bunga di depan semarak riang
apa hendak dikata kegembiraan tiada bertahan lama
di musim semi malah jatuh berguguran

Kesedihan tiada bandingan
mengapa gerangan diri mencari kerisauan
Bunga telah berguguran, di musim semi nanti
pasti mekar kembali
simpan harum-wanginya hingga di tahun mendatang

Ketika Sobron telah dengan lapang dada menerima kematian Aidit, anehnya, sebagian besar ekspatriat asal Indonesia yang tinggal di Beijing justru sangat susah diyakinkan. Mereka yakin D.N. Aidit masih hidup. Salah seorang yang paling sukar menerima kabar kematian itu adalah Wati, istri Sobron sendiri. Sobron bahkan sempat sedikit bersitegang leher dengan istrinya itu. Wati memarahi Sobron karena penerimaan Sobron akan kabar kematian Aidit justru akan melemahkan semangat rekan-rekannya.

Yang lebih gila, ketika Sobron pulang kampung ke Belitung untuk yang keduakalinya pada November 2004 dan berkumpul dengan keluarga besarnya, sebagian besar keluarga besar Aidit, terutama para perempuan, masih yakin kalau Aidit masih hidup hingga sekarang. Mereka percaya Aidit hidup dengan cara bersembunyi entah di mana. Ada yang menyebut di Malaysia. Sebagian lagi meyakini di Filipina. (bersambung)

0 komentar: