Minggu, Februari 26, 2006

Melamar Anak Tentara

Wangsa Aidit (5)

Empat orang tentara berseragam loreng hijau dari Divisi Siliwangi mendatangi sebuah rumah dengan langkah bergegas. Seorang lelaki paruh baya menyambutnya. Baik-baik dipersilakan empat tentara itu masuk. Tapi yang ditangguknya adalah ancaman kasar.

“Saudara jangan coba-coba menyimpan dan memelihara anak setan. Segera tunjukkan di mana mereka. Akan kami bunuh!”

Lelaki paruh baya itu tampak tak gusar. Tenang. Ia membalas gertakan itu dengan kata-kata pelan: “Silakan kalau kalian ingin menembak anak-anak setan yang kalian sebutkan itu. Saya antar kepada mereka.”

Lelaki paruh baya itu bersicepat berlalu. Dengan langkah tak kalah cepat, empat tentara mengikuti, lengkap dengan dengusan tak sabar yang terdengar jelas. Mereka menuju sebuah pekarangan yang tanahnya berpasir.

“Itu anak setan yang hendak kalian bunuh!” lelaki paruh baya itu menunjuk kseorang anak lelaki yang masih sangat kecil. Ia terlihat sedang bermain kelereng. Anteng seakan tak peduli sekeliling.

Pucatlah wajah empat tentara berseragam itu. Mereka tak menyangka anak setan yang mereka cari ternyata masih sangat kecil. Anak-anak. “Leutik keneh euy (masih kecil-kecil ternyata),” seru salah seorang tentara itu dalam bahasa Sunda.

Tak ada yang bisa mereka lakukan. Keempatnya kontan berlalu begitu saja. Moncong senjata yang sudah disiapkan urung menyalak.

Anak kecil itu menyaksikan apa yang terjadi. Ia rekam semuanya baik-baik. Ia trauma akan moncong senjata api.

Anak kecil itu kini telah dewasa. Sekarang usianya telah menginjak 46 tahun. Perkawinanya dengan Yuyun, teman semasa kuliah di Institut Teknologi Bandung, menghasilkan dua anak perempuan yang lucu dan cerdas. Putri pertamanya telah duduk di bangku SMA, sedang adiknya masih kelas VI SD.

Anak kecil yang hampir didor dan kini telah berputri dua itu bernama Ilham. Lengkapnya Ilham Aidit. Dia adalah anak keempat pasangan D.N. Aidit-Sutanti. Ilham lahir kembar bersama Irfan, adiknya, pada 18 Mei 1959 di Moskow. Ketika pecah pegeblug 1965, Ilham, Irfan plus abangnya, Iwan, sempat dititipkan ibunya ke seorang saudaranya di Bandung. Saudara ibunya itulah yang dikisahkan di awal menghadapi empat tentara Siliwangi yang hendak menghabisi Ilham. Tak lama kemudian Iwan, Ilham dan Irfan dipelihara oleh DR. Moeliono hingga dewasa.

Ketika kuliah di ITB, Ilham memilih aktif di kegiatan pecinta alam. Ia tergabung dengan kelompok pecinta alam bergengsi, Wanadri. Pilihan Ilham untuk aktif di kegiatan pecinta alam merupakan konsekuensi logis dari pilihannya untuk menjauhi kegiatan yang berbau politik. Beban sebagai anak D.N. Aidit tidak memungkinkannya mengambil banyak pilihan. Semuanya serba terbatas. Segalanya serba dibatasi. Itu pun Ilham masih sering menerima teror dan makian.

Ketika hendak menyunting Yuyun, Ilham dihadapkan pada sebuah pilihan berat: membuka rahasia kepada keluarga Yuyun ihwal siapa dirinya dengan resiko ia tidak direstui menikahi Yuyun ataukah memilih untuk menyembunyikan rahasia siapa dirinya. Pilihan makin sulit mengingat ayah Yuyun adalah seorang tentara aktif yang jelas garis politiknya. Tapi pilihan pertama yang diambilnya. Ilham nekat. Ia temui ayah Yuyun. Sendirian. Tanpa perantara.

“Om saya ingin cerita siapa saya,” tutur Ilham memulai perbincangan.

“Oh ya…yaa.”

“Om tahu PKI, kan?”

“Oh, ya,” kata sang calon mertua

“Saya anak D.N. Aidit!”

Ayah Yuyun kaget bukan kepalang. Selama beberapa kerjap waktu ia diam seribu bahasa. Bungkam. Ilham membiarkannya. Ia memberi kesempatan ayah Yuyun untuk berpikir. Ilham, tentu saja, tegang setegang-tegangnya. Ia sudah bersiap mengubur impiannya menikahi Yuyun. Akhirnya….

“Ya sudahlah. Itu kesalahan orang tua kamu. Kamu kan tidak bersalah.”

Mereka akhirnya menikah. (Bersambung)



1 komentar:

udin mengatakan...

pejalan jauh, ini sudah seri keempat, masih ada berapa seri lagi, ha2