Jumat, Mei 23, 2008

Indonesia (2)

Jika hari ini masih ada yang percaya bahwa Indonesia adalah “pusaka abadi yang jaya”, mungkin tak ada salahnya jika saya menuliskan kembali syair Rene de Clerque yang pernah dikutip Hatta dalam pledoi berjudul “Indonesie Vriij” yang dibacakannya di muka pengadilan Belanda di Den Haag:

“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku.
Ia tumbuh dari perbuatan,
dan perbuatan itu adalah usahaku.”

Kutipan syair de Clerque itu sudah cukup jelas menunjukkan kehendak kuat seorang Hatta untuk melibatkan diri dalam proses sejarah –sebuah proklamasi pelibatan diri untuk merealisasikan apa yang disebut sebagai “tanah air yang merdeka”.

Tetapi bukan itu yang pokok. Hal terpenting yang patut dicatat dari kutipan syair de Clerque itu adalah keyakinan Hatta yang begitu penuh ihwal arti penting “perbuatan dan usaha”. Dengan itu Hatta ingin mengatakan bahwa Indonesia bukanlah satu takdir, bukanlah satu wahyu dari langit dengan kepastian yang presisi, bukan pula sesuatu yang lahir secara alamiah dan karenanya cukup hanya dengan menengadahkan tangan. Ia hanya mungkin jika diusahakan.

Indonesia yang merdeka, itulah terjemahan judul pledoi Hatta, ketika itu masih belum begitu jelas akan seperti apa bentuknya, tetapi kolonialisme bagi Hatta sudah nyaris mendekati akhirnya.

Dengan nada yang kencang dan dengan persistensi yang begitu meyakinkan, Hatta menguarkan ramalannya pada pledoi yang sama: “…penjajahan Belanda di Indonesia akan berakhir, buat saya telah merupakan kepastian. Persoalannya hanya waktu, cepat atau lambat, ya atau tidak! Bangsa Belanda harus menerima hukum besi sejarah ini, terlepas dari apakah dia mau menerimanya atau tidak.”

Kehancuran kolonialisme adalah hukum sejarah yang tak bisa ditolak, tetapi –Hatta mengingatkan— kepastian itu tidak serta merta akan melahirkan satu tanah air yang merdeka, bangsa yang berdaulat dan negara yang kuat. Semua itu hanya mungkin lahir (dengan menyitir lagi syair de Clerque) “dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku”.

Jika pokok-pokok itu diletakkan dalam situasi hari ini, maka bolehlah jika logika Hatta itu diturunkan menjadi begini: “Tidak ada satu pun yang bisa memastikan bahwa Indonesia akan tetap ada di masa mendatang. Kepastian ada atau tidaknya Indonesia kelak hanya mungkin jika diusahakan dengan usaha, dan usaha itu adalah usahaku!”

Semua itu berpangkal dari satu keyakinan bahwa Indonesia bukanlah satu takdir, satu kepastian, satu wahyu yang wingit, bukan pula satu postulat yang berada di luar sejarah. Indonesia adalah sesuatu yang menyejarah, dibentuk oleh banyak sekali peristiwa, ditatah oleh ribuan tangan yang berusaha, disungging oleh entah berapa banyak kebetulan sejarah.

Genesis Indonesia tidak sepasti syair lagu “Indonesia Tanah Air Beta” yang digubah Ismail Marzuki: lagu indah yang menghamparkan fiksi ihwal Indonesia sebagai negeri yang “sejak dulu dipuja-puja bangsa” sekaligus menyandang predikat laksana “pusaka abadi yang jaya”.

Indonesia juga bukanlah negeri yang sudah ada sejak 6000 tahun lalu seperti yang dibayangkan Yamin dalam buku “6000 Tahun Sang Saka Merah Putih”. Tidak ada Indonesia yang dipuja-puja berbagai-bagai bangsa sejak dahulu kala. Indonesia adalah temuan abad-20. Sebelum itu, hanya ada Tarumanegara, Sriwijaya, Samudera Pasai, Majapahit, Mataram….

Indonesia juga bukanlah “pusaka”, karena sebuah negeri tidak lahir dengan wahyu keprabon yang melesat seperti lintang kemukus pada dini hari atau yang memancar dari paha Ken Dedes atau seperti air kelapa yang ditenggak --moyang Dinasti Mataram-- Ki Ageng Pemanahan. Juga tidak ada yang bisa memastikan bahwa Indonesia akan “abadi dengan jaya” hingga entah kapan, karena toh belum genap seabad riwayat Indonesia, Timor Leste ternyata sudah merdeka, Papua masih terus bergolak dan suara perlawanan dari Aceh masih jauh untuk disebut sayup-sayup.

Indonesia sebagai sebuah kepastian, sebagai sebuntal takdir, sebagai segugus wahyu, adalah bagian dari pasangnya arus besar nasionalisme pada masa pergerakan. Di situ, Ismail Marzuki dan Muhammad Yamin tidak sendiri. Keduanya wakil dari satu semangat zaman yang sedang bergemuruh yang –terkadang—mengunduh apa saja yang bisa menginjeksi semangat, entah itu babad, serat-serat, legenda, mite atau fiksi sekali pun.

Pada 1928, dalam artikel di “Soeloeh Keadilan” yang ditulis untuk menyanggah tulisan Agoes Salim, Bung Karno merumuskan nasionalisme Indonesia sebagai “...suatu nasionalisme yang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa hidupnya itu sebagai suatu bakti.”

Soekarno, seperti banyak yang lainnya juga, menerima Indonesia sebagai “wahyu” dan menjalankan “wahyu” tak ubahnya sebagai “bakti”. Jika “wahyu” dimengerti sebagai sesuatu yang dijatuhkan dari “langit”, maka “bakti” terhadap Indonesia tidak hanya menjadi laku yang sifatnya historis belaka, tetapi juga sesuatu yang transenden.

Jika Ben Anderson benar ketika menyebut nasionalisme sebagai sebuah hasil pembayangan, saya percaya, nyaris menjadi suatu yang mustahil jika pembayangan akan Indonesia itu sama levelnya antara orang yang berada di Aceh, Jambi, Batam, Jogja, Bali, Ambon dan Manokrawi. Pembayangan akan Indonesia antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, yang dipisahkan oleh laut dan dipertajam oleh perbedaan sejarah, peradatan, agama dan bahasa, niscaya mengandung selisih dan marjin, dan karenanya tidak pernah (akan) bulat 100%.

Menerima kenyataan itu dengan terbuka jauh lebih baik ketimbang menganggapnya sebagai aib yang merusak kesucian NKRI sebagai “wahyu” yang suci nan wingit. Ini bisa menghindarkan kita dari obsesi ihwal Indonesia yang rapi, mulus, dan utuh; sebuah kemulusan, kerapihan dan keutuhan yang mungkin hanya bisa kita lihat dalam jejeran rumah-rumah adat di Taman Mini.

Kesadaran itu akan membuat kita tak terobsesi menambal segala keretakan, ketidakpuasan, penolakan dan perlawanan sekali pun melalui operasi plastik yang mengerahkan segala “alat bedah”yang tajam lagi menyakitkan, macam sangkur dan senapan.

Sejarah sudah cukup memberi kita pelajaran: alih-alih membuat Indonesia menjadi betul-betul utuh, bulat dan mulus, operasi plastik macam itu (seperti yang dilakukan Orde Baru pada malam Natal 1975 dengan mengirim balatentara ke Timor) justru membuat wajah Indonesia menjadi makin tidak mulus dan makin tidak cantik.

Jika obsesi akan Indonesia yang rapi, utuh, dan bulat itu masih terus dipelihara, yang pada gilirannya akan menganggap segala macam perlawanan dan ketidakpuasan sebagai aib yang menodai kesucian “wahyu”, saya khawatir, Indonesia bukan hanya menjadi pipih dan lonjong, tapi juga bopeng. Mungkin seperti wajah yang baru saja gagal dioperasi plastik.

Bung Hatta menyebutnya sebagai “persatean”.

14 komentar:

Anonim mengatakan...

Bung, tapi saya yakin kita akan tetap satu. Walaupun isu-isu perpecahan sudah mulai terdengar. Walau apapun yang terjadi. Bangsa kita tidak ingin tercerai.

Nasionalisme, sebenarnya sudah tertanam kepada kita sejak kecil. Cuma kita saja yang tidak menyadarinya.
-sepenggaljejak

Anonim mengatakan...

kita mungkin butuh Hatta2 baru ya..yang bisa menggugah optimisme dan memberikan teladan berupa kerja keras...

Anonim mengatakan...

menjadi Indonesia (merdeka) sebenarnya sudah dirintis (seperti proses) dari 1908 (komunal -- jawa), 1928 (satu suara dan bahasa) dan 1945.

Syaratnya satu, ada satu suara sebagai bangsa, bukan hanya komunal. Konsep kebangkitan nasional 2008 ini baru sebatas komunal, mungkin berikutnya tahun nasional sehingga kita bener2 bangkit (yang kedua). entah kapan...

Haris Firdaus mengatakan...

memang yang perlu dibuktikan adalah sebuah usaha yang nyata, bukan retorika. jaman bung karno, mngkn retorika masih bisa menggerakkan. sekarang, sy kira, ia mesti masuk tempat sampah

Anonim mengatakan...

ahh.. dab, mbuh piye tapi ko rasa-rasanya saya makin yakin untuk bisa memahami tulisanmu saya harus baca dari paragraph akhir trus flashback ke paragraph awal??!!

oya sedikit komen: bangsa kita tetep yg terhebat, menyatukan beragam latar belakang etnis, ras, ideologi, agama, dalam satu wadah..entah apapun hasilnya, sepertinya patut diapresiasi lho..tinggal poles caranya jadi lebih ciamik lagi..

salam hormat

ipungmbuh sh

Anonim mengatakan...

Indonesia? Rasanya ada yang berutang pada Belanda yang mempersatukan nusantara dengan Hindia Belanda-nya. Tanpa mereka tanah ini adalah kumpulan negeri-negeri kecil....(yang mungkin lebih baik?)

Btw, posting Indonesia (1) itu re-post bukan Zen? Perasaan pernah baca dulu.

zen mengatakan...

@sepenggaljejak: yakin itu harus, bro, tp ndak cukup dg itu. puisi yg dikutip hatta jelasin bahwa dibutuhkan usaha dan perbuatan, dan itu adalah usaha serta perbuatanku/mu/kita.

@cewek-tulen: satu lagi dari hatta: disiplin dan konsisten

@hedi: ya, entah kapan, mas hedi. tergantung usaha dan perbuatan.

@haris: retorika? tetap ada yg harus ber-retorika, bro. hehehehe....

@ipungmbuh: jelas, pung. ngurusi indonesia ki pancen angel, jauh-jauh lbh ribet daripada ngurusi malaysia, singapura, timor leste opo maneh brunei.

@anusapati: "berhutang", iya. tp berhutang, ndak.

Anonim mengatakan...

kalau Hatta punya istilah persatean, kau kan punya perbopengan...haaaa!
tafsir kemerdekaan versimu terasa pesimis dan menusuk jentung untuk harakiri, kenapa? kawan, membayangkan Indonesia memang berbeda tapi bingkai-bingkai bangsa telah ditetapkan oleh kesepakatan bersama semua anak bangsa (walaupun mungkin belum 100% dikatakan demokratis) tapi itulah realitas bangsa pasca-demokrasi terpimpin dan pasca diktator militer, semua memerlukan waktu. AS saja membutuhkan berpuluh ganti presiden dan kita hanya baru berganti 6 kali. Indonesia itu memang tak perlu bulat tapi Indonesia harus tetap utuh dalam bingkai NKRI, pancasila sebagai dasar negara, dan Bendera Merah Putih tetap jadi benderanya. Maka ketika ada Syariah-syariahan yang mendesak masuk (baik lewat legal maupun dipaksakan) untuk menancapkan kaki Negara Islam Indonesia, anak bangsa termasuk aku mungkin tak akan rela kawan. wah....jadi kepanjangan, jarang-jarang aku kasih komentar sigini panjang kawan. Sabtu-Minggu-Senin besok sy di Jogja, kau dimana?

Anonim mengatakan...

kang selamat tulisan ini dimuat di koran tempo khan..?aku sudah membacanya lewat koran, la ki kawan mangan2ne..ditunggu je..

Anonim mengatakan...

seperti lintang kemukus dini hari,,ah jadi ingat ronggeng dukuh paruknya ahmad tohari,,nggak nyambung ya,,he he he ...salam kenal kaki langit

Anonim mengatakan...

"...Indonesia bukan hanya menjadi pipih dan lonjong, tapi juga bopeng. Mungkin seperti wajah yang baru saja gagal dioperasi plastik".

*seperti wajahmu, bung?*

huahahehehehehe1000x!!!

SABARSUBUR mengatakan...

SABAR ITU SUBUR TAPI DIAM ITU MATI LANTAS BAGAIMANA? HARUS PERCAYA YANG MAHA ADIL ITU ALLAH YANG AKAN MENGADILI DAN DIHARAPKAN RAHMAT DAN KASIH SAYANGNYA KEMBALI TURUN KE INDONESIA, SEHINGGA CITA-CITA PEJUANG "INDONESIA ABADI NAN JAYA" MENDAPAT RIDHONYA. AAMIIN.

SABARSUBUR mengatakan...

indonesiaku memang merintih,pedih campur gatal. Merintih pedih karena kulitnya dikuliti, merintih gatal karena jiwa yang hidup dikulitnya loncat kesana kemari. padahal dijiwanya ada nasionalis yang tinggi, mungkin erosi. Tuhan tak akan membiarkan ini. Kalau yang kini tak pasti janjiNya akan diganti. Insya Allah Indonesia akan bersemi, seperti tetesan embun di daun hijau , kemilau seperti permata dan saat berikutnya mentari pagi tersenyum mengucapkan assalamu'alaikum.Selamat Pagi Warga Indonesia. Insya Allah.

SABARSUBUR mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.