Senin, Mei 26, 2008

Malam

Saya sering bergelut senda dengan malam. Kadang, dengan amat sadar, saya lebih memilih memicingkan mata tinimbang memejamkannya. Memilih terjaga daripada terlelap. Tapi, belakangan, rasa-rasanya bukan saya yang memilih. Sekarang malam yang sepertinya lebih sering memilih saya.

Maka terjagalah saya. Sepanjang malam, sepanjang kelam. Juga malam ini. Susah benar membenamkan mata pada kelopaknya. Padahal lampu sudah dipadamkan, buku-buku sudah dirapikan, tempat tidur sudah dihamparkan dan badan sudah dibaringkan.

Butuh kesabaran untuk terus menahan diri tetap telentang di pembaringan, melawan naluri tubuh yang menjompak-jompak selalu ingin bangkit dan terjaga. Saya jadi mengerti kenapa Chairil memberi salah satu sajaknya judul: “Kesabaran”.

Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur

Saya pernah menganggap “Kesabaran” adalah judul sajak Chairil yang paling ganjil, untuk tak menyebutnya yang terburuk. Tapi, pertarungan untuk terlelap yang selalu tergelar malam demi malam membuatku lebih mengerti kenapa Chairil memilih kata “Kesabaran” sebagai judul sajaknya. Sebab, tak mudah bagi para pengidap insomnia untuk terlelap. Butuh kesabaran tak sederhana untuk mengirim sepasang mata di bawah naungan keteduhan kelopaknya.

Mungkin saya memang bukan orang yang cukup penyabar. Jika setelah setengah jam tak juga terlelap, saya kadang menyerah, lalu bangkit dari pembaringan, menyalakan rokok, menyeduh kopi dan kemudian menyeruputnya. Lalu, seperti yang sudah-sudah dan memang selalu begitu, buku-buku menjadi sasaran pelampiasan kegagalan menaklukkan dorongan tubuh yang selalu ingin terjaga. Musyawarah buku pun tergelar. Kadang lama. Kadang singkat. Tak tentu.

Jika sudah begini, giliran otak yang minta dipuaskan. Dengan segera kening berdenyut, menyusun garis-garis tipis di jidat –tanda bahwa saya sedang memikirkan sesuatu, dari yang berat hingga yang ringan, dari yang serius sampai yang sepele, dari yang suci hingga yang jorok.

Ritus selanjutnya mudah ditebak: notebook kembali menjadi altar tempat aku menghaturkan hio berupa deretan aksara yang kujejalkan dengan paksa. Hampir semua postingan di blog ini dilahirkan di tengah ritual malam yang –sejujurnya—begitu melelahkan.

Kadang, jika tenaga masih berlebih, saya sempatkan menyusuri jalanan Jakarta dengan mengayuh sepeda berwarna kuning. Jika tidak, saya hanya berjalan kaki mengikuti arah angin: mungkin duduk-duduk di gigir jalan Veteran yang tua sembari menatap jejeran lampu merkuri yang tergantung di sesela semak Ciliwung, kadang pergi ke Stasiun Juanda menyantap mie rebus atau roti bakar, sesekali –terutama jika bulan sedang penuh—saya senang duduk di bangku taman Monas sembari membaca beberapa buku cerita dan mencuri-curi pandang pada purnama yang bulat --lalu ingat sajak Rendra “Bulan Kota Jakarta” yang ditulis pada 1955: “Bulan telah pingsan/ di atas kota Jakarta/ tapi tak seorang menatapnya”.

Tapi, semua pengalaman yang sepintas terasa menyenangkan itu sebetulnya sering terasa meletihkan, terutama pada saat di mana saya sebenarnya benar-benar ingin istirahat. Tapi kantuk selalu datang terlambat. Ia seperti sedang memusuhi saya. Sementara malam rasanya berubah menjadi pencemburu yang tak sudi jika hanya siang saja yang bisa memperkosaku. Tubuhku seperti menjadi panggung di mana waktu begitu bersemangat memamerkan kuasanya.

Inilah yang sedang saya hadapi: diperkosa siang dan digagahi malam!

Ini berakibat buruk, tentu saja. Wajah makin tirus. Mata lebih sering memerah. Berat badan saya sebenarnya tak menciut drastis, tapi hampir semua orang yang mengenalku bertahun-tahun lalu menyebutku tampak lebih kurus. Selera makan anjlok. Sudah lebih dari dua minggu rasa lapar baru datang sekitar jam 7 malam.

Anehnya, emosi saya stabil. Marah karena hal-hal yang memang menjengkelkan tentu masih kadang datang. Tapi itu tak pernah lama hinggap. Kemarahan bisa punah tak sampai sepenghisapan kretek.

Beberapa tulisan yang cukup bagus bisa saya hasilkan. Beberapa di antaranya berhasil memenuhi ekspektasi saya, standar yang saya tetapkan sendiri. Bulan ini ada empat tulisan yang muncul di koran. Itu bagus, saya kira. Sebab, beberapa bulan yang lalu, paling banter cuma sebiji yang dimuat. Karena memang sebanyak itu pula yang saya kirimkan. Sejak setahun terakhir, saya enggan sembarang mengirimkan tulisan. Jika tak memenuhi standar yang saya tetapkan, tak akan pernah saya kirimkan. Jika hanya sebiji yang dimuat dalam sebulan, artinya sebiji itu pula tulisan yang memenuhi standar pribadi yang berhasil aku buat selama sebulan. Dan sebulan ini ada empat tulisanku yang muncul di koran.

Di sini saya menjumpai paradoks. Di satu sisi saya begitu jengkel dengan susahnya saya tidur –sebentuk kejengkelan yang kadang membuat saya merasa begitu letih dan frustasi. Tapi, di tengah keletihan dan kejengkelan itu, saya kok bisa lebih jernih menulis, bisa lebih sabar menatah kata dan menyungging makna.

Malam, barangkali, tak sejahat seperti yang saya bayangkan sewaktu jengkel karena kantuk begitu enggan mendekat. Jangan-jangan, tubuh saya memang tahu benar bahwa sekaranglah saatnya saya bekerja sekuat-kuatnya. Mungkin, ya… mungkin, saya tak pandai membaca isyarat tubuh saya.

Pertaruhannya memang tidak kecil. Amat bisa jadi kelak saya akan ambruk dan mesti berbagi ranjang dengan penyakit. Membayangkan itu bukan hal yang mudah. Menyedihkan rasanya tergolek tanpa daya, menjadi tuna karya.

Tapi malam mungkin memang telah memilih saya sebagai sahabatnya. Tak ada pilihan lain: saya menerimanya!

Kebetulan ada buku yang mesti kuselesaikan secepat-cepatnya. Ini janji sekaligus kewajiban pada kantor yang sudah terlalu lama tertunda. Ada sekitar 100-an naskah sepanjang 700 kata yang mesti saya tulis untuk melunaskannya. Bukan soal mudah karena sebagian terbesar buku-buku yang kubutuhkan masih ada di Jogja, sementara saya tak punya cukup alasan untuk mendatangi kota tua itu hanya sekadar untuk mengambil buku.

Bulan depan, bulan Juni, sepertinya akan menjadi bulan yang dipenuhi oleh malam-malam panjang yang riuh. Selain hutang buku yang belum terlunaskan, Piala Eropa yang dimulai pada 8 Juni hampir pasti akan membuat saya makin akrab dengan malam. Saya tak ingin melewatkan satu pun pertandingan. Bukan semata karena saya amat senang nonton bola, tapi juga karena saya mesti menulis sejumlah esai tentang (kebudayaan) bola di sebuah surat kabar.

Saya berpikir untuk tak lagi mengutuki insomnia ini. Jika memang malam sedang mesra dengan saya, maka nikmati sajalah. Jika memang belum ngantuk, kenapa harus jengkel jika mesti terus terjaga?

“Aku menghitung prajuritku pada malam hari,” kata Napoleon.

Saya tak punya prajurit, tentu saja. Saya hanya punya kata-kata. Saya mengeluarkannya. Saya menatahnya. Saya menyunggingnya. Saya menghitungnya. Semuanya berlangsung pada malam, yang kadang terang, kadang kelam.

--------------
post-script: gambar di atas diambil pada dini hari pukul 02.20, tepat di depan kantor saya.

24 komentar:

Anonim mengatakan...

aku dulu menyukai malam, karena malam adalah peristirahatan dari perbudakan, sekaligus awal dari sebuah perjalanan yang menyenankan. tapi sekarang? aku takut malam, seperti kutakutkan ketika pagi datang.

Anonim mengatakan...

baiklah...
kalau begitu saya akan berkawan dengan pagi, kabut dan embun...
menyeduh teh, menikmati sinar pertama mentari...
dan, tidak lupa membaca tulisan dari blog ini :P
meruapkan makna, menelusuri kata
tabik!

Anonim mengatakan...

Siang-Malam stigma yang bisa berputar manusia karena kelelawar sudah untuk hidup disiang bolong. Kawan, pilihanmu akan malam ada waktunya dan siang mungkin pula akan menemui momennya.

Ka Jogja atuh, urang Sabtu-Selasa di Jogja.
Salam

Anonim mengatakan...

ah, kenapa tidak bilang dari dulu kalau kamu juga insomnia.. :)

hmm..aku jadi teringat, beberapa jenis obat tidur itu masih tersimpan rapi dan aku masih cukup kuat menahan diri untuk tak menelannya...

seorang teman berkata padaku, "insomnia datang ketika kamu tak bisa berdamai dengan dirimu sendiri.."

mungkin benar...mungkin..:)

selamat menikmati malam, Zen..

Anonim mengatakan...

Dulu setiap kali saya terserang insomnia dan mengeluhkannya pada seorang teman, dia selalu menjawabnya dengan : sesungguhnya kamu beruntung. Karena ada hak istimewa untuk memperpanjang waktu, hak yang tak dimiliki oleh orang2 yang mudah terlelap...

Tapi kalo boleh, saya sih tetep milih nggak insomnia.

Haris Firdaus mengatakan...

bung, setidaknya penerimaan thd malam berhasil menghasilkan sesuatu yang amat berarti

Anonim mengatakan...

Hati-hati menjadi ringkih tanpa disadari, Kang...

Saya merasa powerfull dan segar sepanjang hari, dengan setiap malam setia terjaga. Tetapi teman-teman lama malah mengatakan saya semakin tirus dan kusam...

The Bitch mengatakan...

everything has its cost, beib.
keep on alive and kicking. dat's what we all do.

c ya on Friday nite!

Unknown mengatakan...

malam yang belum pernah kurengkuh perawannya, terasaing dan kuasingkan. berhenti, kuhirup desahmu, ya zen hidup penuh pertaruhan

Anonim mengatakan...

buku, kopi dan radio yang menyalak-nyalak hingga pagi mendendangkan lagu-lagu slow rock...

Ngatini mengatakan...

malam adalah derita..

turabul-aqdam mengatakan...

ada 5 teori:
1. karena banyak dosa ;)
2. efek samping dari vegan don juan :p
3. risiko bujangan (ingat syair lagu bang roma) XD
4. kamu mulai ingin tidur di "rumah"
5. kamu perlu pendamping tidur. pietz??? will u?? wakaakakakakak...

coba baca ini

Anonim mengatakan...

malam, waktu paling nyaman untuk melupakan. :) konon tidur 4 jam sudah cukup ko. selebihnya kebiasaan aja.

Admin mengatakan...

Salut buat kamu zen...Setiap postingan kamu, buat aku takjub.

Sebelum baca postingan yg ini, aku bertanya2 sendiri, mengapa seorang zen tidak menulis di koran saja dengan kualitas menulisnya yang seperti ini, ternyata "Bulan ini ada empat tulisan yang muncul di koran" pengen tau koran apa zen...pengen baca tulisan kamu...:)

Anonim mengatakan...

Inilah yang sedang saya hadapi: diperkosa siang dan digagahi malam!..

aku suka kalimat mu ini zen,,

Anonim mengatakan...

Aku sekarang juga sedang mengalami hal yang serupa. Tapi mungkin tak separah anda. Aku jarang sekali tidur dibawah jam 00.00, bahkan aku kadang tidur hingga jam 1 malam. Menurutku ada yang tak beres pada diriku, karena dulu aku selalu bisa tidur jam 22.00. Tapi ada juga hikmah dibaliknya. Tugas-tugas kuliahku, bisa beres malam hari. Mang Tuhan tak pernah memberikan sesuatu tanpa ada hikmah dibaliki semuanya. Pasti ada hallain yang ingin Tuhan tunjukkan. Walaupun disisi lain ada hal yang membuat kita tak nyaman.

Yessi Pratiwi Surya Budhi mengatakan...

Wah wah, sayang sekali.

Padahal, sejak tidur adalah surga, saya pun gak mau kehilangan surga itu.

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

saya pikir ngatini benar
hahahha

living silence mengatakan...

buat gue, senja adalah turbulence besar, makin malam akan semakin reda, pagi hari akan menjadi laut yang damai

Bernando J Sujibto mengatakan...

zen....
malam itu duri lho

Anonim mengatakan...

Bagiku, malam adalah saat dimulainya perjalananku, sendirian. Malam menyediakan rentang waktu dan keheningan yang cukup bagiku untuk menjadi diriku sendiri dan menelusurinya dengan nikmat.

Pernah aku berusaha meninggalkan malam, tuk kembali pada pagi pun siang. Dan hasilnya, aku kehilangan diriku sendiri.

Mungkin tanpa sadar kamu juga merasa begitu, Zen?

ydh mengatakan...

makane to lek, mbokep karo ngebir'e di kurangi, ben iso turu.

M. Rifki Maulana mengatakan...

menerima kenyataan dia tidak bisa tidur adalah sebenarnya hal terindah bagi si susah tidur

Unknown mengatakan...

malam selalu begitu, menyamput dinihari. selamat pagi Pak Zen