Senin, Oktober 29, 2007

Indonesia Raya Berkumandang di Moskwa

Bapak Utuy pasti menyambut kedatangan kita. Dia pasti tersenyum di atas sana. Jadi kita taburkan saja bunga-bunga ke makan-makam yang tidak diperhatikan, makam-makam yang sudah tidak ada namanya.

Kata-kata itu diucapkan Prof. Ludmilla Demidyuk, pengajar sastra Indonesia di Universitas Moskwa. Ludmilla siang itu datang ke pemakaman umum Moskwa untuk berziarah ke makam Utuy Tatang Sontani, pengarang terkemuka Indonesia pada masa Orde Lama yang dikenal lewat novel berjudul Tambera. Sayangnya, seusai habis-habisan mencari, makam Utuy tak juga kelihatan. Ludmilla akhirnya ambil keputusan untuk menaburkan bunga-bunga setaman yang dibelinya ke makam-makam tak terawat atau (dalam kata-kata Ludmilla sendiri) “makam-makam yang sudah tak diperhatikan dan tak ada namanya.”

Ludmilla, saya kira, tepat sekali mengatakan itu. Utuy Tatang Sontani adalah satu dari sekian banyak anak negeri ini yang punya karya besar dan dihormati orang tetapi justru tak pernah dihargai secara adil oleh bangsanya, tak diperhatikan, seakan-akan seperti orang-orang tak bernama. Utuy ada di deret terdepan dari para anonim sejarah Indonesia.

Siapa yang kini ingat, misalnya, Semaoen atau Alimin atau Darsono? Mereka adalah nasionalis-nasionalis generasi awal yang bergerak lebih dulu daripada Soekarno-Hatta atau Sjahrir. Hanya karena mereka dianggap eksponen komunis, kita seperti memberi permakluman jika mereka tak diberi tempat yang lapang dan apa adanya dalam narasi sejarah Indonesia.

Maka sungguh mengejutkan jika film Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan (salah satu film buatan anak negeri yang diputar dalam Jogja Netpac Asian Film Festival yang berlangsung pada 7-12 Agustus 2006) produksi Indonesian Council for Caulture Relation (ICCR) bisa mewawancarai saksi hidup bagaimana para penubuh nasionalisme Indonesia generasi pertama itu beraktivitas dan hidup di pembuangan Rusia. Beberapa di antaranya bahkan pernah menjadi murid Semaoen.

Yuri Sholomov dan Lev Dyomin adalah salah dua murid Semaoen yang masih hidup dan berhasil diwawancarai. Keduanya adalah generasi pertama orang Rusia yang memelajari bahasa Indonesia. Semaoen bahkan merelakan diri menjadi pengajar bahasa Indonesia dan ia sendiri turun tangan langsung menyusun buku/diktat tata bahasa Indonesia khusus bagi murid-muridnya (buku itu ditunjukkan di salah satu adegan film ini). Siapa yang menyangka, Semaoen, penulis brosur Penoentoen Kaoem Boeroeh yang termasyhur itu pernah menulis buku jenis begini?

Semaoen sadar kerja macam itu bukan kerja sepele. Ia meletakkan penulisan buku itu dalam kerangka diplomasi politik kebudayaan. Dengan menulis itu, Semaoen setidaknya sedang menyiapkan sekelompok orang yang kelak bisa diharapkan menjadi jembatan dari saling pengertian dan kerjasama kedua negara. Semaoen paham Rusia (dulu Sovyet) adalah salah satu kekuatan yang potensial bisa men-support Indonesia. Itulah sebabnya, selain mengajar bahasa Indonesia, ia menulis surat pada Stalin untuk memperhatikan perjuangan Indonesia.

Surat itu berhasil. Indikasinya jelas: Stalin memerintahkan dibangunnya seksi Indonesia dalam kementrian penerangan Rusia. Dan hubungan politik dan kebudayaan kedua negara pun dimulai.

*****
Saya tak tahu bagaimana rasanya jika saya menyaksikan kejadian seperti ini langsung dengan mata saya sendiri. Lima orang lelaki tua berdiri di pojok sebuah taman di Moskwa. Cuaca ketika itu lumayan cerah. Dengan sisa-sisa tenaga renta, kelimanya menenteng klarinet. Tangan kiri memegang sehelai buku kecil. Dan mulailah mereka memainkan lagu.

“Indonesia, tanah air ku
Tanah tumpah darahku….”

Ya, mereka memainkan lagu Indonesia Raya. Saya yang hanya menyaksikannya lewat film mungkin tak tergetar-getar amat. Tapi bisakah anda bayangkan, ketika sedang menaiki taksi di Moskwa, tiba-tiba sopir taksi yang anda tumpangi bersenandung kecil memainkan nada yang begitu anda kenal, misalnya lagu Rayuan Pulau Kelapa. Atau ketika menyusuri rak-rak di sebuah toko buku, tiba-tiba salah satu penjaga toko, di sesela melayani anda, mendadak bersenandung lagu Rayuan Pulau Kelapa.

Adegan itu direkam dengan dingin dalam film ini. Menyaksikan Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan persis ketika kita hendak menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-61 mendatangkan sebuntal rasa haru. Sayangnya, itu rasa haru yang mengganggu. Mungkin juga malu.

Alexandra Kasatkina, misalnya. Anak muda Rusia yang sedang menyelesaikan program doktoralnya ini paham bahasa Jawa Kuna. Dia teliti kitab Kunjarakarna untuk memahami soal “agama asli Jawa” yang belum tersentuh Hindu/Buddha. Kasatkina kini fokus dalam subjek “atma” (dia menerjemahkannya sebagai soul/jiwa). “Agama asli Jawa”, kata Kasatkina, “percaya manusia terdiri dari lima lapis atma.”

Di bawah bimbingan Prof. Alexander Oglobin, Kasatkina dan sejumlah karib seusianya kerap mendiskusikan Ngarakrtagama, Kunjarakarna, hingga Pararaton (berapa anak muda kita yang pernah mendiskusikannya?).

Atau simak juga wawancara dengan DR Elena Revunenka, peneliti dan salah seorang pimpinan Museum Kuns Kamera St. Petersburg. Kini, entah ada berapa orang yang punya kompetensi macam dia: menguasai bahasa dan tulisan Batak Kuna sekaligus mahir menerangkan soal dunia (ke)batin(an) orang Batak.

Berkali-kali DR. Elena mengatakan bahwa di Batak nyaris sudah tak ada lagi yang bisa berbahasa dan membaca aksara Batak Kuna. Sepintas ada rasa bangga saat Elena mengucapkan itu. Tapi dari helaan nafasnya, kita juga tahu, Elena seperti menyesali kemungkinan lenyapnya lagi satu bahasa dan aksara dari muka dunia.

Film ini memang tak berpretensi gagah. Film yang disutradarai oleh wartawan budaya majalah Tempo, Seno Joko Suyono, ini meluncur tanpa narasi dan teks. Isinya hanya kelebatan gambar-gambar dan serangkaian wawancara. Tapi dari sana, dari rangkaian wawancara yang sinambung dan tak terputus itu, kita jadi mengerti betapa lumpuhnya strategi kebudayaan kita.

Kita bisa melacaknya dari Museum Kuns Kamera. Museum yang didirikan pada masa Peter I yang berkuasa di pergantian abad 17-18 ini punya kenangan hebat tentang Indonesia. Ketika hubungan Indonesia-Rusia masih kuat-kuatnya, koleksi tentang Indonesia (baik buku atau benda-benda) ditempatkan di sebuah ruang utama. Koleksi tentang Indonesia ketika itu menjadi koleksi Ketimuran yang terbesar.

Sayangnya itu sudah berlalu. Sebagian terbesar koleksi tentang Indonesia kini sudah “digudangkan”. Pelan tapi pasti, koleksi dan tema-tema tentang Jepang atau Korea mulai menggantikan subyek kebudayaan Indonesia. Mereka membangun pusat studi atau pusat kebudayaanya sendiri-sendiri. Studi atas Jepang atau Korea kini lebih diminati.

Kita terharu menyaksikan Indonesia Raya dimainkan serombongan lelaki tua di pojok lapangan St. Petersburg, sama terharunya ketika kita mendengar seorang lelaki tua supir taksi dan perempuan paruh baya penjaga toko bersinar-sinar parasnya ketika mereka menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga merasa malu begitu menyadari kita tak pandai merawat hubungan kebudayaan yang hangat itu dengan sebaik-baiknya.

Kita mungkin senang dan syaraf kebanggan nasional kita pun akan terangkat menyaksikan sejumlah kecil orang tua di Rusia dan lebih sedikit lagi sejumlah anak muda di Rusia mendiskusikan kitab Batak Kuna, Ngarakrtagama, Pararaton atau Kunjarakarna. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga juga disergap rasa sedih yang mencengkau begitu menyadarai makin punah saja orang Indonesia yang bisa membaca kitab-kita tua.

Tanpa strategi kebudayaan yang lebih agresif dan serius, orang-orang seperti Elena atau Kasatkina bisa jadi akan menjadi orang-orang terakhir di luar negeri yang bisa membaca aksara Jawa atau Batak Kuna. Kita sedih jika mereka menjadi semacam the Last Mohicans-nya kebudayaan-kebudayaan kuna nusantara di dunia manca.

Selengkapnya......

Kamis, Oktober 18, 2007

Mudik sebagai Negosiasi Identitas

Mudik adalah gerak sentrifugal “mendekati” apa yang dianggap sebagai asal muasal diri, sementara arus balik kembali ke rantau menjadi gerak sentripetal “menjauhi” “sumur” asal muasal.

Mustofa W. Hasyim pernah menulis cerpen berjudul Mudik. Cerpen itu bercerita tentang kehidupan menjelang lebaran di sebuah kompleks perumahan kumuh di pinggiran rel di Jakarta. Di situ digambarkan bagaimana penghuni rumah di sepanjang rel merasa gelisah tiap sebuah kereta melintas ke arah timur. Seakan ada yang bergerak-gerak dalam dada dan seperti terdengar teriakan yang memberi peringatan bahwa mereka memiliki tanah asal, punya masa lampau, kerabat yang sedang menunggu.

Gemuruh suara kereta yang bergerak ke timur, dalam cerita itu, adalah panggilan untuk kembali ke tanah asal yang primordial: kampung halaman, tanah kelahiran, rahim yang melahirkan, puak dan kerabat, teman masa kecil, dan sehimpun kenangan tentang periode kehidupan yang tak bisa lagi (di)kembali(kan).

Di situ, kampung halaman menjadi titik berangkat, semacam fondasi kedirian; sesuatu yang oleh Amin Maalouf sebut sebagai “afiliasi vertikal”. Dalam kosa kata Maalouf, “afiliasi vertikal” bisa disederhanakan sebagai primordialisme, sesuatu yang sifatnya given dan tak tertampik, datang dari “langit”, mak mbedundu –kata orang Jawa: saya lahir dari rahim siapa, di kampung mana, berjenis kelamin apa, berwarna kulit apa, berambut lurus atau kriting, berpuak apa, dll.

Di situ, kampung halaman hadir sebagai sesuatu yang berkaitan dengan asal usul tiap orang. Bagi orang Jawa, misalnya, prosesi mudik lebaran adalah manifestasi dari keinginan diri untuk merenungkan dan menelusuri sangkan paraning dumadi: mengingat-ingat kembali jejak-jejak awal sejarah dirinya dan mencoba menikmati “fiksi” mengenai (dalam kata-kata Franz Fanon) “kecantikan dan keaslian diri”.

Itulah sebabnya, prosesi mudik pasti ditingkahi kegiatan yang meleburkan para pemudik dengan sebuah himpunan bernama puak, semacam aktivitas mengumpulkan balung pisah: momen di mana puak yang tercerai-berai di tanah rantau yang terpisah-pisah, coba disatukan dan direkatkan kembali. Inilah saat di mana segenap sanak anggota puak bersemuka di ruang dan waktu yang sama.

Mudik selama sepekan, setelah hidup di rantau selama sebelas bulan, menjadi momen di mana asal usul identitas coba di-refresh, diperteguh, mungkin coba dikekalkan kembali.

Selama kurang lebih setahun lamanya, “afiliasi vertikal” itu mesti berhadapan dengan kehidupan rantau yang menawarkan afiliasi-afiliasi baru: bergabung dengan komunitas baru, membangun relasi-relasi sosial baru, bergaul dengan orang baru dari pelbagai daerah dan peradatan.

Inilah yang disebut Amin Maalouf sebagai “afiliasi horizontal” yang berarti ikatan-ikatan sosial yang bisa kita tolak, mampu kita pilih, serta bisa kita cabut kapan saja kita mau dan semua anyaman afliasi horizontal ini berlangsung dalam kendali kesadaran kita: menjadi anggota partai mana, memilih agama apa, masuk pada komunitas apa, menghayati satu kutub ideologi tertentu, dll.

Arus mudik kembali ke tanah asal dan arus balik kembali ke tanah rantau adalah periode transisi di mana negosiasi antara afiliasi horizontal dan vertikal berlangsung dengan begitu jelas.

Dengan memahami keberadaan dua model afiliasi identitas ini berikut proses negosiasi yang keras antara keduanya, membuat kita lebih memahami (1) identitas kita bukan cuma diturunkan secara vertikal dari para moyang (afiliasi vertikal), melainkan juga dibentuk pengaruh yang datang dari samping (afiliasi horizontal); sekaligus (2) memahami kalau anasir yang memengaruhi dan membentuk identitas itu juga beragam, tidak tunggal: bisa agama, bahasa, ras, etnisitas, istiadat, jenis kelamin, hingga afiliasi parpol.

Afiliasi identitas itu, antara yang horizontal dan vertikal, bernegosiasi sedemikian rupa, kerap berkompromi, tapi kadang bertarung dengan keras. Ada saat di mana afiliasi yang sifatnya horizontal lebih kuat, tapi di momen-momen tertentu afiliasi yang sifatnya vertikal lebih berpengaruh.

Mudik saat lebaran, yang sudah menjadi ritus sosial, adalah perayaan besar-besaran atas afiliasi vertikal, momen di mana semua pemudik mengakui bahwa afiliasi vertikal tetap mereka panggul ke mana-mana, di rantau yang jauh dan dalam rentang waktu yang tak sepenuhnya diketahui di mana ujungnya.

Selama setahun lamanya, mereka hidup di kota, di rantau yang jauh, membangun afiliasi vertikal, merajut ikatan-ikatan sosial yang baru, dan menatah relasi sosial dengan orang-orang yang baru. Selama prosesi itu, afiliasi vertikal kerap kali berada dalam situasi kritis, di mana ia di/terbentur(kan) dengan afiliasi horizontal.

Hasil dari perserawungan antara yang horizontal dan vertikal itulah yang mewarnai atau bahkan membentuk identitas. Tapi warna atau bentukan identitas itu sendiri tak akan pernah final, karena di lain waktu pasti ia akan mengalami benturan baru, negosiasi baru, atau mungkin pertarungan baru, dengan afiliasi horizontal yang lebih mutakhir.

Identitas, dengan demikian, adalah sebuah medan pertemuan dan saling pengaruh, saling mewarnai, dan (kadang) saling mengalahkan.

Per definisi, identitas karenanya agak sukar untuk disepadankan dengan “jati diri”; karena memang tidak ada diri yang sejati, diri yang original, diri yang esensial, diri yang ajek dan stabil; model pemahaman atas identitas yang disindir oleh Amartya Sen sebagai “identitas yang soliter”.

Dan karena itulah, identitas tidak hadir sebagai sesuatu yang tetap, tetapi sebagai sesuatu yang terus bergerak, bukan semata yang kasat tapi juga yang tak kasat, bukan hanya yang tergapai tapi juga yang tak terjangkau, bukan hanya yang terwujud tapi juga yang sedang diwujudkan sekaligus yang sudah gagal diwujudkan, bukan hanya yang berkelanjutan tapi juga yang terputus, bukan hanya kesadaran tapi juga ketidaksadaran.

Di udik itulah, di tanah asal yang jauh dari kerkahan hiruk-pikuk kota, para pemudik mencoba menjaga jarak terhadap kehidupan kota yang kompetitif, mencoba menyatu dengan–dan bukan sedang mencoba menaklukkan-- ruang dan waktu.

Maka, bagi para pemudik yang menggelar mudik setiap tahun, kehidupan bisa dimengerti ke dalam dua model: siklis atau spiral.

Kehidupan hanya menjadi siklis pada saat mudik dan arus balik tidak cukup mampu memberi perubahan yang signifikan. Sebagai gerak siklis, hidup dimengerti sebagai gerak baku menjauhi tanah asal (gerak sentriptetal) untuk kemudian kembali mendekati tanah asal (gerak sentrifugal), dan seterusnya, dan seterusnya, tanpa ada perubahan yang cukup berarti.

Sementara kehidupan menjadi satu gerak spiral ketika gerak ulang-alik mudik ke tanah asal dan arus balik kembali ke kota mampu memberi corak perubahan yang cukup berarti, menjadi bekal untuk melangkah maju setahap demi setahap menapaki jenjang kemanusiaan yang lebih baik. Mungkin juga lebih tinggi.

Hanya para pemudik itu sendiri yang tahu seperti apa gerak hidupnya: spiral atau siklis?

Selengkapnya......

Kamis, Oktober 11, 2007






to err is human, to forgive is divine
(alexander pope)




puasa adalah zakatnya rohani dan zakat adalah puasanya materi. lebaran menggenapkan keduanya. selamat lebaran. maaf lahir batin.












Selengkapnya......

Minggu, Oktober 07, 2007

Bulan di Dalam Kuburan

[cerpen pertama buat Arief Debukaki: "Rief, jika pun kita pernah menjadi anak mursal, setidaknya sekarang kita sudah sadar ihwal ke-mursal-an kita ini. Dari situ, kita sadar bahwa "bulan" selalu ada di dalam diri kita."]

Bulan tak pernah akrab dengan malam lebaran, bahkan kendati sebuah sajak pernah menulis puisi yang misterius tentang hubungan rahasia antara bulan dengan malam lebaran.

Aku sudah melewati 25 kali lebaran. Dan, sungguh, aku tak pernah melihat bulan menampakkan cahayanya di malam lebaran. Aku tidak tahu kenapa. Padahal aku sangat ingin malam lebaran disempurnakan oleh cahaya bulan. Tidak perlu cahaya yang benderang seperti saat purnama, cukuplah selarik cahayanya saja. Tapi harapan itu tak pernah terkabulkan.

Sewaktu masih ingusan, aku pernah membicarakan soal ini dengan ibu. Di kepung suara bedug dan gema takbir, aku mendekati ibu yang sedang duduk di dekat tungku. Tangan ibu begitu cekatan mengisi ketupat yang masih kosong dengan butir-butir beras.

“Kenapa kamu tidak berkumpul dengan teman-temanmu di mesjid? Kau kan senang sekali menabuh bedug. Apa kamu sudah tidak suka lagi memukul bedug?”

Aku menggeleng. Aku duduk di sebelah ibu. Tanganku memain-mainkan kayu bakar yang dilalap api tungku. Bau daging yang dijereng oleh air yang sudah dicampuri rempah-rempah menelusup diam-diam ke hidungku. Ibu, seperti juga semua ibu teman-temanku, menghabiskan malam lebaran di dapur, menanak nasi, menyiapkan ketupat, memasak opor, dan setelah itu menyetrika baju, sarung dan sajadah yang akan dibawa oleh suami dan anaknya ke lapangan besok.

“Kenapa ibu selalu di dapur kalau malam lebaran?”

Ibu menoleh sambil tersenyum. Dirangkulnya pundakku. Bau keringat dan asap tercium olehku.

“Katanya bapak dulu pintar nabuh bedug. Betul ya, Bu?”

“Kamu sendiri jadi anak yang paling pintar nabuh bedug. Coba tebak, dari siapa asalnya kepintaranmu itu? Dari bapak, kan? Tadi waktu shalat maghrib berdo’a buat bapak tidak?”

Lagi-lagi aku menggeleng. “Kenapa? Bapak sedih lho kalau kamu nggak berdo’a.”

“Arief sudah berdo’a, tapi bukan buat bapak.”

“Buat siapa?”

“Buat bulan.”

“Kok?”

“Arief berdo’a pada Tuhan supaya malam ini mengirim bulan ke langit. Arief ingin mengajak ibu ke halaman dan menunjukkan pada ibu kalau do’a Arief itu manjur. Biar ibu tahu, kalau Arief anak yang sholeh. Kan ibu sendiri yang bilang kalau do’a anak yang baik pasti dikabulkan Tuhan.”

Ibu makin merapatkan rangkulannya ke pundakku. Aku merasa badan ibu sedikit bergetar. Sayup-sayup aku dengar ibu terisak.

“Arief ingin bulan datang malam lebaran ini. Dari dulu bulan kan gak pernah kelihatan kalau malam lebaran. Siapa tahu kalau bulan datang, ibu gak sedih lagi. Soalnya kalau malam lebaran ibu suka diam saja. Ibu susah sekali senyum kalau malam lebaran.”

Kali ini ibu tidak terisak, tapi benar-benar menangis. Aku melihat bulir-bulir air mata meleleh di dua pipi ibu yang kempis.

“Arief gak mau ke mesjid, Bu. Biar Arief di sini saja. Kasihan ibu sendirian. Nanti kalau bulan muncul, aku mau mengajak ibu ke halaman.”

Ibu memegang kedua pipiku. Aku diciumnya berkali-kali. Air matanya makin deras.

“Bu, Arief gak berdoa buat bapak karena bapak jahat meninggalkan ibu di dapur sendirian tiap malam lebaran.”

Air mata ibu mengucur makin deras. Kali ini, aku sendiri yang menyekanya dengan tanganku.

******

Malam itu aku tertidur di pangkuan ibu. Di depan tungku. Sewaktu adzan subuh terdengar, aku terbangun. Aku cari ibu. Seperti yang sudah kuduga, ibu ada di dapur. Dengan mata yang masih sembab dan mulut yang menguap, aku bertanya pada ibu apakah semalam bulan muncul di langit.

“Sudah, kamu mandi sana. Agak cepat mandinya. Biar kamu bisa shalat Subuh berjamaah di mesjid. Habis itu kamu langsung pulang. Makan ketupat dan opor dulu sebelum shalat Ied. Itu sunnah, lho….”

Dari jawaban itu aku tahu bulan tak muncul malam itu. Sejak itu aku tak pernah lagi bertanya pada ibu soal bulan yang selalu menghilang di malam lebaran. Tak hanya itu, sejak itu aku tak pernah benar-benar khusyuk lagi berdo’a. Belasan tahun kemudian, hingga malam lebaran yang ke-25 ini, aku bahkan tak pernah lagi berdo’a.

Lebaran itu menjadi lebaran yang paling menyedihkan. Aku merasa Tuhan begitu pelit dan tak mau tahu. Masak minta supaya bulan muncul saja tak dikabulkan? Padahal bulan itu tidak untukku, tapi untuk ibu. Aku berdo’a agar bulan muncul karena aku pikir kehadiran bulan bisa membuat itu tersenyum di malam lebaran. Aku ingin ibu berbahagia.

Karena itu pula aku merasa sebagai anak yang tak berbakti, anak yang tak mampu membahagiakan ibunya. Doa yang tak terkabul itu membuatku merasa aku bukanlah anak yang shaleh. Sebab, jika aku anak shaleh, doa ku pasti dikabulkan Tuhan. Ibu sendiri yang bilang. Lagipula, doa itu kan untuk membahagiakan ibu?

Lebaran itu juga menjadi awal dari permusuhan diam-diam dengan bapakku yang sekali pun tak pernah aku lihat. Aku marah pada bapak yang tak bisa membuat ibu tersenyum di malam lebaran. Marah karena bapak meninggalkan ibu sendirian di dapur, di depan tungku, di setiap malam lebaran.

Setelah shalat Ied di lapangan, aku mendatangi ibu. Aku menciumnya lama sekali, lebih lama dari lebaran-lebaran sebelumnya. Aku menangis keras-keras dan terus memeluk ibu dengan sekuat-kuatnya. Ibu sepertinya sampai sesak nafas. Tapi rasa bersalah memberiku tenaga berlebih untuk memeluk ibu lebih kuat dari biasanya. Lebih lama dari biasanya.

Ibu sampai harus memaksa agar aku melepaskannya. Ibu memaksa tanganku melepaskan pelukan. Dan aku makin sedih karenanya. Aku merasa, ibu tak memaafkanku. Dan ibu juga tak memahamiku.

Seharian aku menghilang dari rumah. Seharian pula ibu mencariku.

*****

Sudah 7 lebaran aku tak pulang. Sudah 25 lebaran aku hidup. Selama itu pula aku tak pernah melihat bulan muncul di malam lebaran. Dan seperti malam-malam lebaran sebelumnya, sejak doa yang tak terkabul itu, aku tak pernah lagi berharap bulan akan muncul di malam lebaran.

Kini aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah menjadi lelaki dewasa yang mandiri, hidup dari keringatnya sendiri, berkelana dari satu kota ke kota lainnya, dari satu pulau ke pulau lainnya. Aku telah menjadi seorang pemuda yang kepalanya dipenuhi cita-cita yang besar dan dada yang disuburkan oleh ambisi yang juga besar.

Kendati aku tetap bekerja dengan mendatangi kota dan pulau-pulau yang jauh, tapi situasi sudah mulai berubah. Aku bekerja dengan hati yang tak lagi penuh. Aku bukan lagi seorang idealis, tapi sudah menjadi seorang realis yang pahit.

Lebih-lebih, aku gagal membahagiakan ibu. Ya, aku tak pernah menjadi sarjana seperti yang ibu inginkan. Bacaan-bacaanku, cita-cita dan ambisiku membuatku menjadi orang yang begitu jengah dengan aktivitas duduk di ruang kuliah.

Aku baru sadar bahwa kuliahku tak mungkin terselamatkan di tahun ketiga kuliahku. Itu sudah cukup untuk membuatku enggan pulang ke rumah. Padahal, sudah tiga tahun itu pula aku tak pulang. Aku merasa gagal menjadi sarjana bukan dosa, tapi aku sangat tahu ibu pasti kecewa. Lagi pula, ketika itu aku berpikir bahwa ibu pasti bangga jika aku ceritakan bahwa anaknya ini sudah berhasil menyelamatkan puluhan anak dari buta aksara.

Tapi aku juga tak bisa berdusta bahwa aku memang tak tega membuat ibu tahu kegagalanku memenuhi harapannya. Aku sangat tahu, ibu bekerjakeras mencari nafkah untuk memenuhi biaya kuliahku. Kendati sejak tahun kedua kuliah aku sudah mengirim surat pada ibu untuk tak lagi mengirimiku wesel, ibu tetap saja membandel.

Dalam salah satu suratnya, ibu bilang, wesel itu adalah satu-satunya kebahagiaan ibu. “Ibu merasa bahagia tiap kali pergi ke kantor pos mengirimu wesel. Kalau kamu memang sudah bisa mencari uang sendiri, simpan saja uang kiriman ibu. Siapa tahu kamu butuh,” tulis ibu di salah satu suratnya.

Tiap kali aku membayangkan ibu berjualan di pasar, aku selalu saja merasa berdosa dan bersalah, betapa pun aku bisa menenangkan diri dengan ratusan argumen tentang betapa tidak pentingnya sekolah. Dalam hal seperti ini, rasa bersalah itu tak bisa ditawar oleh berapa pun banyaknya aforisma.

Kadang aku mengirim surat untuk sekadar menanyakan kabar dan memberitahu keberadaanku. Dari situ ibu tahu aku sering berkelana. Ibu pernah memintaku untuk menyambangi kampung halaman bapak jika aku sedang di Kalimantan. Beberapa kali aku sudah menyambangi Kalimantan, tapi aku tak pernah memenuhi permintaan ibu. Diam-diam aku masih memelihara kemarahan pada Bapak yang meninggalkan ibu dan membiarkannya sendirian membesarkanku.

Dan selama itu pula aku tak pernah pulang. Aku kehilangan semangat untuk pulang, bukan hanya karena aku tak akan pernah bisa menjadi sarjana, tapi lebih-lebih karena aku masih terusik dengan adegan ketika ibu bersikeras melepaskan pelukanku sewaktu aku menangis keras-keras sembari memeluknya di hari lebaran. Ya, hari lebaran ketika aku berdoa agar bulan muncul di malam lebaran. Aku tidak dendam karenanya. Aku hanya merasa, ada jurang pengertian di antara kami berdua.

*****

Lebaran yang ke-25 ini aku pulang untuk pertama kalinya. Tapi aku tak akan pernah bisa melihat ibu. Aku hanya bisa melihat pusaranya. Dan untuk keperluan itulah aku pulang.

Ibu wafat delapan bulan yang lalu. Telegram datang ke kontrakanku yang terakhir selang seminggu setelah aku berangkat ke Kalimantan. Selama di Kalimantan aku tak punya firasat apa-apa. Hanya saja, entah kenapa, aku memenuhi permintaan ibu untuk menyambangi kampung halaman bapak. Tentu saja aku tak menemui siapa-siapa, karena bapak memang sebatang kara sejak kecil, tak punya kerabat satu pun. Tapi, setidaknya, aku sudah pernah menginjakkan kaki di kampung di mana bapak dilahirkan. Itu pasti sudah lebih dari cukup bagi ibu karena dengan itu ibu tahu aku sudah mulai mencoba memaafkan bapak.

Dengan memanfaatkan jasa kurir yang mahal, aku mengirimi Ibu anggrek biru. Ya, itu bunga yang selalu ingin dilihatnya. Kata ibu, dulu bapak pernah berjanji akan mengajak ibu ke kampung halamannya dan akan membawa ibu ke hutan di mana anggrek biru tumbuh. Bapak tak pernah menunaikan janji.

Sekarang aku tahu, kiriman anggrek biru itu tak pernah sampai ke tangan ibu. Dia tak pernah tahu kalau aku sudah mengunjungi kampung halaman bapak. Dan itu artinya ibu juga tak akan perna tahu aku sudah mencoba berdamai dengan bapak.

Aku tiba di rumah satu jam menjelang maghrib terakhir di bulan Ramadhan. Atik, seorang anak yatim yang sejak aku SMP diangkat oleh ibu sebagai anak angkatnya, menyambutku di depan pintu. Ia memerkenalkanku pada Barkah, lelaki yang menikahinya tiga tahun lalu. Seorang bocah lelaki muncul di balik pintu dengan malu-malu.

“Iwan, salam sama Uwa Arief,” panggil Atik pada bocah itu. Ah, aku sudah punya keponakan rupanya.

Senja itu juga aku memutuskan untuk berziarah. Atik menyarankanku untuk menundanya sampai besok. Tapi aku menolak. Dorongan itu terlalu kuat. Sangat kuat. Lebih kuat daripada pelukanku pada ibu dahulu yang membuatnya terpaksa menarik tanganku karena kesulitan bernafas.

Langit sudah mulai gelap. Tapi sisa cahaya senja masih cukup untuk menuntunku pada pusara ibu yang berada persis di sebelah pusara bapak.

Aku berdiri di samping pusaranya. Anggrek biru yang kukirim dulu ternyata tumbuh dengan mekar di atas makam ibu. Mungkin Atik yang menanamnya. Sebisa dan sekuat mungkin aku mencoba tak sentimental. Kubiarkan dadaku berdetak dengan wajar. Tak ada isak. 15 menit kemudian aku beranjak pulang. Hari makin gelap.

Aku tengadahkan kepalaku, melihat langit. Dan seperti lebaran-lebaran sebelumnya, tak ada dan tak akan pernah ada bulan di langit pada malam lebaran. Tak mengapa, karena malam lebaran ini, aku sudah merasakah kehadiran bulan. Tapi tidak di atas kuburan. Bulan itu ada di dalam kuburan.

Malam ini, aku merasa dadaku begitu lapang.

Selengkapnya......

Sabtu, Oktober 06, 2007

Pledoi Si Malin Kundang

Tak enak menjadi Malin Kundang. Bukan hanya karena telanjur dikutuk menjadi batu, tetapi juga karena ia selalu disalahpahami atau bahkan tak pernah dicoba untuk dipahami.

Malin Kundang telah menjadi rujukan imajinatif tentang anak durhaka, manusia yang mursal, pendosa kelas wahid, anak celaka yang tak tahu berterimakasih. Seperti tak tersisa sedikit pun ruang permaafan, tak ada secuilpun kehendak untuk mencoba memahaminya, berikhtiar mengerti dunia batinnya, atau mencoba mengetahui dilema dan pilihan-pilihan dilematis yang ditanggungnya. Malin Kundang dibiarkan sendirian di pantai, menahan gigil yang tak tertahankan, menanggung sangsai yang tak terpetakan, memanggul kesunyian yang tak terperikan.

Seorang penyair yang saya kenal dengan baik menuliskan sebuah pledoi untuknya. Dan atas ijinnya, saya berniat memajangnya utuh di blog ini.

Seumur-umur “memelihara” blog ini, saya tak pernah memajang tulisan orang lain. Jika kali ini saya melakukannya, tulisan itu pastilah lebih dari sekadar bagus, tapi juga memiliki hubungan yang intim dengan suasana dan momen kehidupan yang sedang berlangsung sekarang, setidaknya bagi saya sendiri.

Coba simak salah satu pasase dalam sajaknya ini:

celaka? siapa yang celaka sesungguhnya?
dulu aku tak minta dilahirkan. dengan melupakanmu
aku berharap masa lalu segera padam. tapi kau tak kunjung hilang ibu.
maka, izinkan aku mencintaimu dengan kesombongan ini
agar semua terlunaskan
agar dendam terbayarkan

Penyair yang masih amat muda ini, mengajak saya –dan pada gilirannya saya mengajak Anda semua—untuk mencoba memahami Malin Kundang, mencoba mengerti dunia batinnya, mencoba mengetahui getar pikirannya.

Puisi ini saya pajang khusus buat siapa pun yang tak bisa mudik, yang tak mampu mudik, dan terutama yang tak ingin mudik. Sungkem di haribaan ibu memang laku yang menggetarkan. Tapi, memilih secara sadar untuk tidak sungkem pada ibu, pastilah jauh lebih menggetarkan, karena pilihan itu dibayangi oleh sekian rasa takut. Apalagi jika bukan rasa takut dikutuk menjadi seperti Malin Kundang, Si Anak Mursal?

Sila dibaca dan direnungkan!

Puisi Indrian Koto
Pledoi Malin Kundang

i
karena jarak mengajarkan rindu
maka, izinkan aku mengangkat sauh, ibu
sejak dulu, aku ingin karam di laut yang jauh
agar aku tak melulu diserbu sesal yang gaduh
sebagaimana kau tahu,
tanah ini menyimpan kesakitan masa lalu
bagi lelaki seperti aku

maka, aku mencipta masa depan dalam ingatan
menghijaukannya diam-diam

aku celaka ibu, kutuk saja menjadi batu
agar lunas utang sangsaiku
agar padam segala keluh
agar sejarah tak perlu mencatatku
mengekalnya di balik cadas

“duh, yang bernama keberangkatan
betapa ranum di matamu. hingga kau hapus
segala yang sisa.” sedumu di sebuah subuh.

tidak ibu, segala tempat, segala waktu
dan untuk seluruh peristiwa setelahnya, hidup
adalah belajar melupakan dan selalu ditinggalkan
lalu aku, untuk sebuah keberangkatan
kurasa bukan lagi sejarah baru.

laut itu ibu, laut itu selalu memanggilku
aku seperti mencium tanah lain di kedalamannya
jika kelak mati –di tanah mana pun – aku ingin
berkubur di karang saja
sebab laut selalu jujur, di pantai mana pun kau berdiri
akan kau rasa warna yang sama. juga camar itu.

menangislah, dan sesalilah segala bernama masa lalu
karena pagi ini aku akan menulis sejarah baru
dan kelak, semoga tangismu mengembalikan aku
pada halamanmu dan api tungku

oh, laut mengapa mengambil segala yang sisa
dan menghanyutkan ke tempat jauh?
dan aku, si celaka ini diam-diam telah membenamkan
segala riwayat bersama sauh. laut mengajarkanku
untuk membakar segala biru. dan kapal ini
segala yang bernama pelayaran adalah jalan lain
membakar ingatan.

ii
kupasrahkan hidup pada yang baru
merawatnya sebagai kelahiran lain
sebab hidup meringsek maju dan aku, lelaki yang dibalur
dendam mengeja, ibu, pada setiap sudut jalan.

ini tanah lain yang kamu percaya sebagai rumah lain
padanya aku temukan wajah bapak yang lupa kau ceritakan
–duh, mengapa aku juga tak pernah mempertanyakan?
betapa sumbingnya kisah yang kau gariskan di tubuhku.

di pantai yang lain kutanam riwayat baru di pasir yang sama pucatnya
kukirim kenangan yang bersisa kepadamu
-semoga laut akan sampai padamu dan membisikkan diam-diam
lewat sepotong malam yang kau rawat di kolong ranjang.
kuproklamirkan kesendirian ini tanpa bendera
dan tanda cinta. Dengan sisa jahitan luka
cukuplah kupetakan nasib sendiri
padanya segala masa depan kukaitkan tanpa sisa.

iii
bukankah sudah sejak lama kau kehilangan?
aku tak menumbuhkan apa yang sempat padam ibu
jika itu membuatmu nyeri, membuatmu perih
hapuslah aku dan sudahi saja si celaka ini
sebab darimu segalanya dan engkaulah yang kelak mengambilnya

“aku tak menemukan lagi anakku,
siapa yang telah menguburnya di pulau lain? ia yang sempat
memeras habis susuku menyudahi kisah tentang kami.
celaka, celakalah ia yang durhaka.”

siapa sebenarnya yang durhaka? tak kau ajarkan aku
tentang dosa dan rindu
selain patahan ranting, deru ombak, merawat dendam
“jangan tersedu, sebab lelaki dilahirkan bukan untuk itu
sebab bapakmu, dulu sambil tersedu menumpangkanmu di rahimku
tapi begitu saja ia berlalu.” katamu dulu
lalu aku belajar kejam pada yang bernama kehilangan dan masa lalu

celaka? siapa yang celaka sesungguhnya?
dulu aku tak minta dilahirkan. dengan melupakanmu
aku berharap masa lalu segera padam. tapi kau tak kunjung hilang ibu.
maka, izinkan aku mencintaimu dengan kesombongan ini
agar semua terlunaskan
agar dendam terbayarkan

“pada jejakmu yang membatu, pohonpohon tumbuh serupa lelatu
dan ibu, tak pernah sangsi anakku, atas segala nasib buruk.
jika kesenangan mengembalikan dirimu pada yang paling jahiliah
sungguh, ibu tak rela.”

tidak ada yang pulang sebenarnya, ibu
tubuhku, kapal baru yang dimuati segala baru
dengan tanah lain yang melulu biru

“bukankah ibu, tak pernah mengambil
apa pun setelah semua dilahirkan?
ia yang sungai, mengembalikan semua ke laut jua.
lalu aku, si anak hilang, kau kalungkan sumpah dan petaka.”

“setiap kehilangan adalah satu kepulangan lain
dan kau tak pernah pergi sesungguhnya.”

“keberangkatan, adalah kehilangan.
juga aku.”

“sungguh celaka.”

celakalah, enyahkan aku dari hidupmu
dari hasrat dan rasa malu

“kukembalikan kau pada segala asal
pada segala kepulangan.”

inilah aku si celaka itu
yang kekal oleh hasrat dan rasa malu.

Yogyakarta, 2007


Catatan:
Puisi ini adalah tafsir atas legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat


Tentang Penyair
Indrian Koto, lahir 19 Februari 1983, di Teratak, sebuah desa kecil di pesisir selatan Sumatera Barat. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini bergiat di Rumah Lebah dan Rumah Poetika. Karya-karyanya, baik yang berupa puisi maupun cerpen, tersebar di beberapa media massa, seperti Suara Karya, Kompas, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, serta beberapa antologi bersama.

Selengkapnya......

Rabu, Oktober 03, 2007

Malam Lebaran

Bulan tak pernah akrab dengan malam lebaran, bahkan kendati seorang penyair pernah menulis puisi yang misterius tentang hubungan rahasia antara malam lebaran, bulan dan kuburan.

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

Sajak yang muncul pertama kali di majalah Zenith pada Juni 1953 itu begitu pendek. Bukan yang terpendek, memang. Sutardji pernah menulis dua sajak yang lebih pendek. Yang pertama sajak Luka yang isinya hanya: “ha ha”. Yang kedua sajak Kalian yang isinya hanya: “Pun”. Hamid Jabbar pernah pula menulis sajak berjudul Doa Terakhir Seorang Musafir yang isinya hanya: “Amin”.

Tapi, di antara ketiga sajak itu, saya lebih menyukai sajak Malam Lebaran kepunyaan Sitor Situmorang. Saya punya kumpulan sajak lengkap Sitor dalam dua bahasa, Indonesia dan Prancis, yang dijuduli Paris La Nuits. Ada beberapa sajak Sitor yang bagus di situ, seperti Gadis Itali dan Bunga Di Atas Batu.

Tapi, entah kenapa, sajak Malam Lebaran lebih sering mampir di kepalaku. Ini tak ada urusannya dengan betapa besarnya perhatian kritikus terhadap sajak ini, sampai-sampai Pamusuk Eneste, Soebagio Sastrowardoyo, Umar Junus, dll., pernah membincangkan sajak ini.

Yang saya tahu, saya menyukai sajak itu, salah satunya karena aku pernah bertanya soal ini pada ibu.

Pada satu malam lebaran, mungkin sewaktu aku masih duduk di bangku kelas 3 SD, di tengah ritmisnya suara bedug dan syahdunya gema takbir, aku mendekati ibu yang sedang duduk di dekat tungku. Tangan ibu begitu cekatan mengisi ketupat yang masih kosong dengan butir-butir beras.

“Bu, kenapa kalau lebaran gak ada bulan ya?”

Ibu sibuk memberi penjelasan. Ibu tidak menjelaskan bagaimana dan di mana posisi bulan dan bumi di malam lebaran. Mungkin karena ia menganggap itu terlalu rumit buatku. Ibu, seingatku, menjelaskan bahwa bulan selalu muncul penuh di pertengahan “bulan”. Tapi, di awal dan akhir “bulan”, bulan tak akan pernah kelihatan. Bukannya bulan menghilang, kata ibu. Kelak, kata ibu lagi, kalau kamu sudah besar, kamu bisa melihat bulan di malam lebaran dengan teropong.

Aku tidak pernah melihat bulan di malam lebaran, baik dengan mata telanjang maupun teropong. Tapi, bertahun-tahun kemudian, aku tahu bahwa pada malam lebaran, pada 1 Syawal, bulan memang berada pada titik terjauh dari bumi. Karena itulah bulan terlalu samar untuk ditangkap mata. Dan karena itu pula, orang-orang berpolemik tentang kapan awal puasa dan kapan pula hari lebaran. Ada yang mencari tahu dengan metode ruk’yah (mencari tahu langsung dengan mata melalui bantuan teropong) atau dengan metode hisab (menggunakan kalkulasi astronomik).

Jika pun ada yang melihat bulan dengan mata telanjang, biasanya itu terjadi di sore yang masih dini, itu pun tak lama. Sewaktu malam makin penuh, seperti tengah malam dalam pengalaman Sitor, bulan hampir mustahil bisa ditemukan mata telanjang.

Karena itulah, saya yakin, malam itu Sitor tak pernah melihat bulan. Lantas, apa yang dilihat Sitor di malam lebaran ketika itu sewaktu ia sedang melintasi kuburan? Entahlah.

Jika dibacakan, sajak itu akan terasa ritmis. Huruf “n” di akhir judul dan di akhir sajak membuat sajak Sitor ini enak dibaca. Kendati ritmis dan enak di baca, huruf “n” membuat suasana ritmis itu terasa sedikit berat, mungkin karena bawaan huruf konsonan. Lain soal jika setiap larik dalam sebuah sajak berakhiran dengan huruf vokal. Suasana ringan atau mungkin riang, dalam cita rasa saya, kemungkinan akan lebih mendominasi.

Sitor, sepertinya, memang mencoba menghadirkan suasana muram dan berat. Tak hanya itu, saya juga merasakan aroma kesunyian. Tapi kesunyian di situ bukan sunyi yang terang, sunyi yang khidmat seperti yang mungkin dirasakan para hamba Tuhan yang sedang bertakzim dan berkhalwat di dekat mihrab. Sunyi di situ adalah sunyi yang sedih. Sunyi yang durja. Saya tak menangkap ada kegembiraan di sana.

Saya juga menangkap ada “kehadiran” yang justru “tak hadir”: bulan.

Seperti kata ibu saya, bulan tak menghilang karena memang bulan tak akan pernah hilang. Ia berada di tempatnya pada satu titik yang terlalu jauh untuk ditangkap oleh mata telanjang. Bulan ada di sajak itu, tapi saya jutru merasakan ketidakhadiran bulan di situ.

Bulan di sajak Sitor seperti menandai ada mimpi dan keinginan yang tak tergapai, tapi mimpi dan keinginan yang tak tergapai itu justru terus membayangi dari jauhan. Kita tak tahu apa itu. Dan kita mungkin tak perlu menghabiskan tenaga untuk memikirkan apa obsesi, mimpi dan keinginan Sitor yang tak kabul malam lebaran itu.

Bagi saya sendiri, sajak Sitor ini seperti sebuah cercah kesadaran untuk menahan diri untuk tidak terlalu bergembira di malam lebaran. Ini bukan soal puasa kita bolong-bolong atau tidak, karena lebaran sudah jamak menjadi momen bergembira bagi siapa saja, bagi yang puasa atau tidak, bagi yang muslim atau bukan.

Ini adalah soal tentang bagaimana saya mencoba memahami betapa lebaran selalu tak dinikmati dengan penuh kegembiraan oleh orang-orang lain. Oleh mereka yang bersedih karena kehilangan. Oleh mereka yang bersedih karena tak berkumpul dengan keluarganya. Oleh mereka yang tak bisa menikmati pakaian yang baik. Oleh mereka yang tak bisa mencicipi opor yang lezat. Oleh mereka yang tinggal di barak pengungsian. Oleh mereka yang….

Ah, terlalu banyak untuk disebutkan. Terlalu penuh untuk dideretkan.

Itulah sebabnya, sejauh yang saya tahu, sebaik-baiknya zakat adalah yang diberikan antara bedug maghrib dan sesaat menjelang shalat Ied. Kenapa? Karena pada saat-saat seperti itulah, pada malam lebaran itulah, kesedihan bagi yang bersedih terasa sungguh berlarat-larat.

Di titimangsa itu, zakat bukan lagi sekadar urusan beras 2,5 kilo atau duit 2,5 ribu atau juta atau milyar. Zakat di situ menjadi tetabuhan bedug yang mengingatkan siapa pun ihwal betapa banyaknya orang yang tak sangup bergembira dengan penuh di malam lebaran. Zakat memaksa kita ingat untuk tak gembira sehabis-habisnya karena nun entah di mana masih sangatlah banyak orang yang tak bisa berpesta.

Jika puasa adalah zakatnya rohani, maka sepertinya zakat adalah puasanya materi.

Seharusnya, bulan muncul di malam lebaran, seperti juga seharusnya kegembiraan menjadi milik semua orang di malam lebaran. Biar langit lebih benderang, supaya hati semua orang lebih lapang. Tapi tidak begitu kenyataannya, bukan?

Mungkin orang-orang yang tak sepenuhnya gembira itu bukan kerabat kita, bukan kekasih kita, bukan sahabat kita, bukan orang yang kenal kita. Tapi, sebaik-baiknya menghayati lebaran, bagi saya, adalah dengan membiarkan wajah-wajah sedih yang tak sepenuhnya kita kenal itu membayangi kita, memenuhi salah satu sudut hati kita, mengaliri salah satu urat nadi kita.

Ya, seperti bulan yang tak tampak di mata Sitor, tapi sebenarnya membayangi Sitor, nun di jauhan sana. Entah di mana.

Jangan-jangan, saya berpikir dalam hati, sebaik-baiknya orang yang berlebaran adalah justru tidak dengan bergembira terlalu ria.


Selengkapnya......