Sabtu, Oktober 06, 2007

Pledoi Si Malin Kundang

Tak enak menjadi Malin Kundang. Bukan hanya karena telanjur dikutuk menjadi batu, tetapi juga karena ia selalu disalahpahami atau bahkan tak pernah dicoba untuk dipahami.

Malin Kundang telah menjadi rujukan imajinatif tentang anak durhaka, manusia yang mursal, pendosa kelas wahid, anak celaka yang tak tahu berterimakasih. Seperti tak tersisa sedikit pun ruang permaafan, tak ada secuilpun kehendak untuk mencoba memahaminya, berikhtiar mengerti dunia batinnya, atau mencoba mengetahui dilema dan pilihan-pilihan dilematis yang ditanggungnya. Malin Kundang dibiarkan sendirian di pantai, menahan gigil yang tak tertahankan, menanggung sangsai yang tak terpetakan, memanggul kesunyian yang tak terperikan.

Seorang penyair yang saya kenal dengan baik menuliskan sebuah pledoi untuknya. Dan atas ijinnya, saya berniat memajangnya utuh di blog ini.

Seumur-umur “memelihara” blog ini, saya tak pernah memajang tulisan orang lain. Jika kali ini saya melakukannya, tulisan itu pastilah lebih dari sekadar bagus, tapi juga memiliki hubungan yang intim dengan suasana dan momen kehidupan yang sedang berlangsung sekarang, setidaknya bagi saya sendiri.

Coba simak salah satu pasase dalam sajaknya ini:

celaka? siapa yang celaka sesungguhnya?
dulu aku tak minta dilahirkan. dengan melupakanmu
aku berharap masa lalu segera padam. tapi kau tak kunjung hilang ibu.
maka, izinkan aku mencintaimu dengan kesombongan ini
agar semua terlunaskan
agar dendam terbayarkan

Penyair yang masih amat muda ini, mengajak saya –dan pada gilirannya saya mengajak Anda semua—untuk mencoba memahami Malin Kundang, mencoba mengerti dunia batinnya, mencoba mengetahui getar pikirannya.

Puisi ini saya pajang khusus buat siapa pun yang tak bisa mudik, yang tak mampu mudik, dan terutama yang tak ingin mudik. Sungkem di haribaan ibu memang laku yang menggetarkan. Tapi, memilih secara sadar untuk tidak sungkem pada ibu, pastilah jauh lebih menggetarkan, karena pilihan itu dibayangi oleh sekian rasa takut. Apalagi jika bukan rasa takut dikutuk menjadi seperti Malin Kundang, Si Anak Mursal?

Sila dibaca dan direnungkan!

Puisi Indrian Koto
Pledoi Malin Kundang

i
karena jarak mengajarkan rindu
maka, izinkan aku mengangkat sauh, ibu
sejak dulu, aku ingin karam di laut yang jauh
agar aku tak melulu diserbu sesal yang gaduh
sebagaimana kau tahu,
tanah ini menyimpan kesakitan masa lalu
bagi lelaki seperti aku

maka, aku mencipta masa depan dalam ingatan
menghijaukannya diam-diam

aku celaka ibu, kutuk saja menjadi batu
agar lunas utang sangsaiku
agar padam segala keluh
agar sejarah tak perlu mencatatku
mengekalnya di balik cadas

“duh, yang bernama keberangkatan
betapa ranum di matamu. hingga kau hapus
segala yang sisa.” sedumu di sebuah subuh.

tidak ibu, segala tempat, segala waktu
dan untuk seluruh peristiwa setelahnya, hidup
adalah belajar melupakan dan selalu ditinggalkan
lalu aku, untuk sebuah keberangkatan
kurasa bukan lagi sejarah baru.

laut itu ibu, laut itu selalu memanggilku
aku seperti mencium tanah lain di kedalamannya
jika kelak mati –di tanah mana pun – aku ingin
berkubur di karang saja
sebab laut selalu jujur, di pantai mana pun kau berdiri
akan kau rasa warna yang sama. juga camar itu.

menangislah, dan sesalilah segala bernama masa lalu
karena pagi ini aku akan menulis sejarah baru
dan kelak, semoga tangismu mengembalikan aku
pada halamanmu dan api tungku

oh, laut mengapa mengambil segala yang sisa
dan menghanyutkan ke tempat jauh?
dan aku, si celaka ini diam-diam telah membenamkan
segala riwayat bersama sauh. laut mengajarkanku
untuk membakar segala biru. dan kapal ini
segala yang bernama pelayaran adalah jalan lain
membakar ingatan.

ii
kupasrahkan hidup pada yang baru
merawatnya sebagai kelahiran lain
sebab hidup meringsek maju dan aku, lelaki yang dibalur
dendam mengeja, ibu, pada setiap sudut jalan.

ini tanah lain yang kamu percaya sebagai rumah lain
padanya aku temukan wajah bapak yang lupa kau ceritakan
–duh, mengapa aku juga tak pernah mempertanyakan?
betapa sumbingnya kisah yang kau gariskan di tubuhku.

di pantai yang lain kutanam riwayat baru di pasir yang sama pucatnya
kukirim kenangan yang bersisa kepadamu
-semoga laut akan sampai padamu dan membisikkan diam-diam
lewat sepotong malam yang kau rawat di kolong ranjang.
kuproklamirkan kesendirian ini tanpa bendera
dan tanda cinta. Dengan sisa jahitan luka
cukuplah kupetakan nasib sendiri
padanya segala masa depan kukaitkan tanpa sisa.

iii
bukankah sudah sejak lama kau kehilangan?
aku tak menumbuhkan apa yang sempat padam ibu
jika itu membuatmu nyeri, membuatmu perih
hapuslah aku dan sudahi saja si celaka ini
sebab darimu segalanya dan engkaulah yang kelak mengambilnya

“aku tak menemukan lagi anakku,
siapa yang telah menguburnya di pulau lain? ia yang sempat
memeras habis susuku menyudahi kisah tentang kami.
celaka, celakalah ia yang durhaka.”

siapa sebenarnya yang durhaka? tak kau ajarkan aku
tentang dosa dan rindu
selain patahan ranting, deru ombak, merawat dendam
“jangan tersedu, sebab lelaki dilahirkan bukan untuk itu
sebab bapakmu, dulu sambil tersedu menumpangkanmu di rahimku
tapi begitu saja ia berlalu.” katamu dulu
lalu aku belajar kejam pada yang bernama kehilangan dan masa lalu

celaka? siapa yang celaka sesungguhnya?
dulu aku tak minta dilahirkan. dengan melupakanmu
aku berharap masa lalu segera padam. tapi kau tak kunjung hilang ibu.
maka, izinkan aku mencintaimu dengan kesombongan ini
agar semua terlunaskan
agar dendam terbayarkan

“pada jejakmu yang membatu, pohonpohon tumbuh serupa lelatu
dan ibu, tak pernah sangsi anakku, atas segala nasib buruk.
jika kesenangan mengembalikan dirimu pada yang paling jahiliah
sungguh, ibu tak rela.”

tidak ada yang pulang sebenarnya, ibu
tubuhku, kapal baru yang dimuati segala baru
dengan tanah lain yang melulu biru

“bukankah ibu, tak pernah mengambil
apa pun setelah semua dilahirkan?
ia yang sungai, mengembalikan semua ke laut jua.
lalu aku, si anak hilang, kau kalungkan sumpah dan petaka.”

“setiap kehilangan adalah satu kepulangan lain
dan kau tak pernah pergi sesungguhnya.”

“keberangkatan, adalah kehilangan.
juga aku.”

“sungguh celaka.”

celakalah, enyahkan aku dari hidupmu
dari hasrat dan rasa malu

“kukembalikan kau pada segala asal
pada segala kepulangan.”

inilah aku si celaka itu
yang kekal oleh hasrat dan rasa malu.

Yogyakarta, 2007


Catatan:
Puisi ini adalah tafsir atas legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat


Tentang Penyair
Indrian Koto, lahir 19 Februari 1983, di Teratak, sebuah desa kecil di pesisir selatan Sumatera Barat. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini bergiat di Rumah Lebah dan Rumah Poetika. Karya-karyanya, baik yang berupa puisi maupun cerpen, tersebar di beberapa media massa, seperti Suara Karya, Kompas, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, serta beberapa antologi bersama.

1 komentar:

dee mengatakan...

keren.. memahami org lain itu emang ga gampang ya..

si penyair punya blog ga?