Rabu, Oktober 03, 2007

Malam Lebaran

Bulan tak pernah akrab dengan malam lebaran, bahkan kendati seorang penyair pernah menulis puisi yang misterius tentang hubungan rahasia antara malam lebaran, bulan dan kuburan.

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

Sajak yang muncul pertama kali di majalah Zenith pada Juni 1953 itu begitu pendek. Bukan yang terpendek, memang. Sutardji pernah menulis dua sajak yang lebih pendek. Yang pertama sajak Luka yang isinya hanya: “ha ha”. Yang kedua sajak Kalian yang isinya hanya: “Pun”. Hamid Jabbar pernah pula menulis sajak berjudul Doa Terakhir Seorang Musafir yang isinya hanya: “Amin”.

Tapi, di antara ketiga sajak itu, saya lebih menyukai sajak Malam Lebaran kepunyaan Sitor Situmorang. Saya punya kumpulan sajak lengkap Sitor dalam dua bahasa, Indonesia dan Prancis, yang dijuduli Paris La Nuits. Ada beberapa sajak Sitor yang bagus di situ, seperti Gadis Itali dan Bunga Di Atas Batu.

Tapi, entah kenapa, sajak Malam Lebaran lebih sering mampir di kepalaku. Ini tak ada urusannya dengan betapa besarnya perhatian kritikus terhadap sajak ini, sampai-sampai Pamusuk Eneste, Soebagio Sastrowardoyo, Umar Junus, dll., pernah membincangkan sajak ini.

Yang saya tahu, saya menyukai sajak itu, salah satunya karena aku pernah bertanya soal ini pada ibu.

Pada satu malam lebaran, mungkin sewaktu aku masih duduk di bangku kelas 3 SD, di tengah ritmisnya suara bedug dan syahdunya gema takbir, aku mendekati ibu yang sedang duduk di dekat tungku. Tangan ibu begitu cekatan mengisi ketupat yang masih kosong dengan butir-butir beras.

“Bu, kenapa kalau lebaran gak ada bulan ya?”

Ibu sibuk memberi penjelasan. Ibu tidak menjelaskan bagaimana dan di mana posisi bulan dan bumi di malam lebaran. Mungkin karena ia menganggap itu terlalu rumit buatku. Ibu, seingatku, menjelaskan bahwa bulan selalu muncul penuh di pertengahan “bulan”. Tapi, di awal dan akhir “bulan”, bulan tak akan pernah kelihatan. Bukannya bulan menghilang, kata ibu. Kelak, kata ibu lagi, kalau kamu sudah besar, kamu bisa melihat bulan di malam lebaran dengan teropong.

Aku tidak pernah melihat bulan di malam lebaran, baik dengan mata telanjang maupun teropong. Tapi, bertahun-tahun kemudian, aku tahu bahwa pada malam lebaran, pada 1 Syawal, bulan memang berada pada titik terjauh dari bumi. Karena itulah bulan terlalu samar untuk ditangkap mata. Dan karena itu pula, orang-orang berpolemik tentang kapan awal puasa dan kapan pula hari lebaran. Ada yang mencari tahu dengan metode ruk’yah (mencari tahu langsung dengan mata melalui bantuan teropong) atau dengan metode hisab (menggunakan kalkulasi astronomik).

Jika pun ada yang melihat bulan dengan mata telanjang, biasanya itu terjadi di sore yang masih dini, itu pun tak lama. Sewaktu malam makin penuh, seperti tengah malam dalam pengalaman Sitor, bulan hampir mustahil bisa ditemukan mata telanjang.

Karena itulah, saya yakin, malam itu Sitor tak pernah melihat bulan. Lantas, apa yang dilihat Sitor di malam lebaran ketika itu sewaktu ia sedang melintasi kuburan? Entahlah.

Jika dibacakan, sajak itu akan terasa ritmis. Huruf “n” di akhir judul dan di akhir sajak membuat sajak Sitor ini enak dibaca. Kendati ritmis dan enak di baca, huruf “n” membuat suasana ritmis itu terasa sedikit berat, mungkin karena bawaan huruf konsonan. Lain soal jika setiap larik dalam sebuah sajak berakhiran dengan huruf vokal. Suasana ringan atau mungkin riang, dalam cita rasa saya, kemungkinan akan lebih mendominasi.

Sitor, sepertinya, memang mencoba menghadirkan suasana muram dan berat. Tak hanya itu, saya juga merasakan aroma kesunyian. Tapi kesunyian di situ bukan sunyi yang terang, sunyi yang khidmat seperti yang mungkin dirasakan para hamba Tuhan yang sedang bertakzim dan berkhalwat di dekat mihrab. Sunyi di situ adalah sunyi yang sedih. Sunyi yang durja. Saya tak menangkap ada kegembiraan di sana.

Saya juga menangkap ada “kehadiran” yang justru “tak hadir”: bulan.

Seperti kata ibu saya, bulan tak menghilang karena memang bulan tak akan pernah hilang. Ia berada di tempatnya pada satu titik yang terlalu jauh untuk ditangkap oleh mata telanjang. Bulan ada di sajak itu, tapi saya jutru merasakan ketidakhadiran bulan di situ.

Bulan di sajak Sitor seperti menandai ada mimpi dan keinginan yang tak tergapai, tapi mimpi dan keinginan yang tak tergapai itu justru terus membayangi dari jauhan. Kita tak tahu apa itu. Dan kita mungkin tak perlu menghabiskan tenaga untuk memikirkan apa obsesi, mimpi dan keinginan Sitor yang tak kabul malam lebaran itu.

Bagi saya sendiri, sajak Sitor ini seperti sebuah cercah kesadaran untuk menahan diri untuk tidak terlalu bergembira di malam lebaran. Ini bukan soal puasa kita bolong-bolong atau tidak, karena lebaran sudah jamak menjadi momen bergembira bagi siapa saja, bagi yang puasa atau tidak, bagi yang muslim atau bukan.

Ini adalah soal tentang bagaimana saya mencoba memahami betapa lebaran selalu tak dinikmati dengan penuh kegembiraan oleh orang-orang lain. Oleh mereka yang bersedih karena kehilangan. Oleh mereka yang bersedih karena tak berkumpul dengan keluarganya. Oleh mereka yang tak bisa menikmati pakaian yang baik. Oleh mereka yang tak bisa mencicipi opor yang lezat. Oleh mereka yang tinggal di barak pengungsian. Oleh mereka yang….

Ah, terlalu banyak untuk disebutkan. Terlalu penuh untuk dideretkan.

Itulah sebabnya, sejauh yang saya tahu, sebaik-baiknya zakat adalah yang diberikan antara bedug maghrib dan sesaat menjelang shalat Ied. Kenapa? Karena pada saat-saat seperti itulah, pada malam lebaran itulah, kesedihan bagi yang bersedih terasa sungguh berlarat-larat.

Di titimangsa itu, zakat bukan lagi sekadar urusan beras 2,5 kilo atau duit 2,5 ribu atau juta atau milyar. Zakat di situ menjadi tetabuhan bedug yang mengingatkan siapa pun ihwal betapa banyaknya orang yang tak sangup bergembira dengan penuh di malam lebaran. Zakat memaksa kita ingat untuk tak gembira sehabis-habisnya karena nun entah di mana masih sangatlah banyak orang yang tak bisa berpesta.

Jika puasa adalah zakatnya rohani, maka sepertinya zakat adalah puasanya materi.

Seharusnya, bulan muncul di malam lebaran, seperti juga seharusnya kegembiraan menjadi milik semua orang di malam lebaran. Biar langit lebih benderang, supaya hati semua orang lebih lapang. Tapi tidak begitu kenyataannya, bukan?

Mungkin orang-orang yang tak sepenuhnya gembira itu bukan kerabat kita, bukan kekasih kita, bukan sahabat kita, bukan orang yang kenal kita. Tapi, sebaik-baiknya menghayati lebaran, bagi saya, adalah dengan membiarkan wajah-wajah sedih yang tak sepenuhnya kita kenal itu membayangi kita, memenuhi salah satu sudut hati kita, mengaliri salah satu urat nadi kita.

Ya, seperti bulan yang tak tampak di mata Sitor, tapi sebenarnya membayangi Sitor, nun di jauhan sana. Entah di mana.

Jangan-jangan, saya berpikir dalam hati, sebaik-baiknya orang yang berlebaran adalah justru tidak dengan bergembira terlalu ria.


5 komentar:

Okky Madasari mengatakan...

deuh...,si zen...:)

Anonim mengatakan...

sajak sitor pada akhirnya kembali pada pengalaman pribadi pembacanya. jika malam lebaran ada bulan di atas kuburan, maka anggap saja bulan itu sebagai cahaya yang menerangi kegelapan. dan anggap saja kuburan itu sebagai masa lalu yang memang akan ditinggalkan. sebab setelah satu bulan itu, seseorang akan kembali menjadi fitri.

anggap saja cahaya bulan itu akan menyerap segala kegelapan dalam diri kita. dan semua kembali suci. bercahaya.

salam untukmu Zen. semoga kita semua menjelma bulan di malam lebaran.

Anonim mengatakan...

hmm zen, tahukah kamu bulan menjauhi bumi 3,8 cm setiap tahunnya.. tuk kemudian sungguh2 hilang..


-muridmu-

Anonim mengatakan...

mungkin comment ini tak terbaca...

bagiku, bulan tak hanya sekedar bulan si satelit bumi.
bagiku bulan adalah cahaya yang menerangi hati.
may pak sitor merasa saat itu, di malam lebaran itu, ada secercah cahaya yang menerangi hatinya dan juga para orang-orang yang terkubur.


-hanya pengagum Zen Rahmat-

Jual Kue kering lebaran mengatakan...

mantab