Rabu, September 26, 2007

Tidak Setiap....

Jika air dipanaskan, ia memuai. Jika air didinginkan, ia menjadi es. Tetapi, tidak setiap dusta jadi dosa. Dan, tidak setiap tangis jadi derita. Ada sekian banyak keniscayaan. Tapi, tidak kalah banyak pula ketidakpastian.

Sajak Sutardji pernah menjadi kawan yang khidmat menemani saya memahami ini.

Hidup adalah serentetan gelombang kejut yang kadang kala tak sepenuhnya bisa kita mengerti tapi pasti tak bisa kita elakkan. Kita tak akan mampu memprediksi secara presisi apa yang akan terjadi esok hari.

Jika hidup seumpama buku, kita hanya tahu persis isi halaman yang sudah kita baca dan tak akan pernah mampu menebak secara presisi halaman berikutnya sampai kita sendiri usai membacanya.

Sewaktu Sydney Sheldon hampir saja menenggak berbelas-belas pil tidur untuk mengakhiri hidupnya, jauh sebelum ia menjadi penulis best-seller, ayahnya datang memergokinya dan mengajak ia berjalan-jalan. Di sebuah tikungan, ayah Sydney Sheldon yang seorang salesman itu berujar dengan ringkas:

“Kalau kau benar-benar ingin bunuh diri, Sydney, aku mengerti. Tapi aku tidak suka melihatmu terburu-buru menutup bukumu dan melewatkan kesenangan yang mungkin terjadi padamu di halaman selanjutnya –halaman yang akan kau tulis.”

Dan begitulah. Sydney Sheldon memutuskan menunda rencana bunuh diri yang sudah ia persiapkan dengan matang. Kita tahu Sydney Sheldon kemudian banyak melahirkan novel-novel yang menjadi best-seller. Tapi hari itu, Sydney pastilah tak tahu –mungkin tak yakin—bahwa nasibnya akan segemilang ini.

Karena tidak setiap derita panjang hari ini sudah pasti jadi derita pula di esok hari, setidaknya seperti kata Sutardji:

JADI

tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap tanya
jadi ragu
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap seru
jadi mau
tidak setiap tangan
jadi pegang
tidak setiap luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahku!



Tidak perlu kita berpikir njlimet dengan merujuk dekonstruksi Derrida yang memajang papan pengumuman sedang berambisi membongkar oposisi-biner dalam semua teks filsafat Barat untuk memahami ini.

Cukuplah saya katakan: sajak itu, sehemat saya, amat pantas menjadi kawan tiap kali kita sedang dilamun pesimise yang paling menggidikkan atau sewaktu sedang dibuai optimisme yang paling memabukkan.

Pesimisme dan optimisme sejajar dalam satu hal: keduanya berangkat dari satu perhitungan bahwa ada hal-ihwal yang sudah bisa kita ramal/prediksi akan sungguh terjadi. Bedanya, pesimisme melihat ramalan/prediksi itu dengan cara yang muram dan durja, sementara optimisme menempatkan ramalan/prediksi itu dalam suasana yang terang dan penuh keyakinan.

Karena tidak setiap derita menjadi luka dan karena tidak setiap sepi jadi duri, mengapa kita mesti pesimis? Karena tidak setiap jawab jadi sebab dan tidak setiap kabar jadi tahu, kenapa kita harus optimis?

Sekali lagi, jika hidup seumpama buku, hari ini adalah halaman yang sedang kita baca, hari kemarin adalah halaman yang sudah terlewat dan hari esok adalah halaman berikutnya yang belum kita baca.

Tapi, jika perumpamaan hidup sebagai buku itu bisa diterima, saya lebih percaya buku yang jadi perumpamaan itu semestinya adalah buku puisi, dan bukan prosa.

Puisi menjadi hidup karena ambivalensi maknanya dapat ditarik ke titik yang yang satu atau ke titik yang lain, dari ujung yang satu hingga ujung yang lainnya lagi. Dari satu sajak yang sama, tiap orang dalam keadaan yang amat berbeda dan bahkan bertentangan, dapat memeroleh makna yang cocok dan relevan untuk situasi masing-masing. Denotasi bahasa prosa yang (relatif) tunggal-makna, ditranformasi menjadi konotasi bahasa yang poli-makna.

Sebuah puisi hanya bisa dimengeri dengan memadai jika kita sudah usai membaca keseluruhannya, itu pun kadang kurang cukup, karena masih dibutuhkan pembacaan berulang-ulang, dengan tingkat resepsi yang terkadang pula mesti kian ditinggikan.

Kita urai dan cecap makna dari satu larik ke larik berikutnya, dari satu bait ke bait berikutnya. Kita tak akan pernah tahu kejutan apa yang akan diberikan pada larik atau bait berikutnya. Dan, terkadang, begitu kita tiba di ujung sebuah puisi, bangunan pengertian dan makna yang sudah kita anyam pelan-pelan dari hasil pembacaan sedari kata pertama bisa jadi harus dicairkan kembali, dirombak lagi untuk kemudian kita bangun susunan pengertian baru yang bisa jadi jauh beda dengan sebelumnya.

Karena tidak setiap seru jadi mau dan tidak setiap tanda jadi makna, kenapa tidak kita jalani saja hidup ini? Mengapa tidak kita hadapi suspense atau kejutan yang akan diberikan hidup esok hari?

Menggetarkan tentu saja menunggu sesuatu dengan penuh cemas, menanti sesuatu yang tak sepenuhnya mampu kita kira-kira apa itu bentuknya. Tapi kita memang tak bisa berharap terlalu banyak pada misterium hari depan, selain menikmati saja setiap debar di setiap penantiannya.

Karena kita memang hanya bersandar pada angin, kata sebuah sajak yang lain.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

nice view, as always.

Tabik

Arkhadi Pustaka mengatakan...

wew ... keren.

saya jadi semakin kecewa karena melewatkan Sutardji Calzoum Bachri tanggal 17 Maret yang lalu di Maiyahan ...

Okky Madasari mengatakan...

pejalan jauh..akankah tidak setiap perjalanan kita bisa sampai di tempat tujuan?

penunggu fajar mengatakan...

aku jadi banyak mengerti tentang arti perjalanan hidup ini. nuwun, mas zen.

Anonim mengatakan...

aku menunggu cerita perjalanan selanjutnya...