Kamis, September 13, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (7)

: Martapura... Martapura....

Senin, 3 September 2007 (14.30-18.00)

Hujan telah benar-benar reda. Aku memberi isyarat pada ojek yang ku sewa untuk bersiap berangkat. (Aku naik ojek. Lagi banyak duit kah? Siang tadi, Kompas menghubungiku dan memberitahu esai panjangku muncul sendirian di halaman 14 hari Sabtu kemarin. Ku pikir, sesekali menyenangkan hati tak apalah. Sudah bisa dikira-kira pundi rekeningku bertambah lumayan. Hehehe….)

Martapura masih sekitar 22 pal lagi.

Aku masih sempat melihat kayu rapuh yang menopang rumah kayu di sebelah kanan mesjid. Adakah Martapura, kota yang tua itu, juga sudah mengelupas seperti kayu tadi?

Beberapa tempo lagi, aku bisa mencari jawabannya, langsung di jantung kota Martapura.

****

Martapura menyambutku dengan suara orang mengaji yang disuarkan dari mesjid.

Saya tidak tahu persis itu rekaman kaset ataukah suara langsung orang yang mengaji. Jika boleh saya mengira, sepertinya itu suara yang disuarkan langsung dari orang yang memang sedang mengaji.

Perkenalanku dengan Martapura, dengan demikian, berlangsung dengan cara yang konservatif.

Martapura, sudah sejak lama, dikenal sebagai kota yang religius. Kota ini menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan. Hingga saat ini, Martapura masih dipenuhi puluhan pondok pesantren yang menjadi tempat belajar ribuan santri dari pelbagai penjuru Kalimantan.

Jika harus dicari di mana kota yang paling pantas disebut sebagai Serambi Mekkah di Kalimantan, tak ada yang lebih pantas selain Martapura.

Jadi, jika kedatangan saya di Martapura langsung disambut dengan suara orang mengaji, pastilah ini perkenalan yang konservatif, setidaknya koheren dengan imajinasi awal saya tentang Martapura.

Saya langsung menuju pasar Martapura. Pasar ini terletak di seberang jalan kantor bupati Martapura. Di mukanya, berdiri kokoh gerbang yang di atasnya terpacak kalimat: PASAR WADAI TRADISIONAL “MARTAPURA”. Di bagian bawah tulisan itu terlihat logo harian “Banjarmasin Post” dan tabloid “Ummah”.

Saya agak kecewa sebenarnya. Saya berharap, gerbang pasar Martapura itu mengambil bentuk arsitektur khas Martapura. Tapi yang saya lihat hanyalah gerbang yang sepenuhnya terbuat dari dari besi dan seng. Gerbang itu ditopang oleh besi-besi dan tulisan PASAR WADAI TRADISIONAL “MARTAPURA” terpacak di sebilah seng. Tak ada penanda yang bisa menghadirkan Martapura sebagai sebuah kota yang punya umur yang tak pendek.

Di sebelah kiri pasar itu berderet-deret warung makanan. Warung-warung itu didirikan tidak permanen sehingga bisa dibongkar pasang. Atapnya terbuat dari plastik terpal yang umumnya berwarna biru. Antara warung yang satu dengan warung yang lain tidak dipisahkan oleh sekat atau tembok. Warung-warung makanan itu berjejer sedemikian rupa. Sambung menyambung.

Sementara di belakang gerbang pasar, persisnya di belakang bagian kanan, berderet-deret kios-kios permanen. Beberapa saya lihat ada kios handphone yang juga menyediakan voucher pulsa. Beberapa saya jumpai juga kios-kios yang menjual pakaian, kaos dan kain-kain. Tapi 80% kios-kios permanen itu menjual permata. Ya, kios-kios permata.

Kios-kios itu menjual perhiasan-perhiasan dan cenderamata yang matanya terbuat dari permata atau tiruan dari permata, dengan pelbagai kadarnya. Tidak beda dengan kios-kios kerajinan perak di Kota Gede Yogyakarta. Bedanya, di Martapura, kios-kios itu berkumpul di satu tempat, di Pasar Martapura, dan ukuran kios itu satu sama lain hampir sama. Beberapa kios, saya lihat, sanggung menyewa lebih dari satu kios.

Di hadapan kios-kios permata itulah terletak satu ruang yang cukup luas, kira-kira seluas lapangan sepakbola. Inilah barangkali yang disebut alun-alun kota Martapura.

Tapi ruang luas itu tak bisa saya sebut alun-alun. Selain itu bias Jawa, ruang lapang di sekitar Pasar Martapura tak berbentuk ruang yang benar-benar bebas dari benda-benda laiknya lapangan alun-alun di Jawa. Ruang itu dipenuhi oleh tiang-tiang besar terbuat dari beton yang sepertinya dibuat sebagai landmark Martapura. Dan memang seperti itulah kelihatannya.

Saya perhatikan ada 13 tiang besar. Di tengah-tengah ada tiang beton yang terbesar. Di kanan dan kiri tiang yang terbesar itu berderet 12 tiang lain. 12 tiang itu terdiri dari dua ukuran yang berbeda. Tiang berukuran sedang ada di deret paling luar, baik itu di kanan maupun di kiri. Di antara tiang yang sedang dan tiang terbesar, terdapat tiang-tiang paling kecil.

Tiang-tiang itu, bisa jadi, memang mencerminkan upaya merumuskan identitas Martapura. Lihat saja, di setiap tiang itu, terpacak kaligrafi yang dibuat dengan menggunakan teknik cetak beton. Saya mencoba membaca kaligrafi di tiang-tiang tersebut. Sebagian bisa saya baca. Sebagian terbesar tak mampu saya baca. Kendati membaca al-Quran saya masih mampu, tetapi membaca kaligrafi jauh lebih sulit. Mata pelajaran khot yang saya terima dulu di Madrasah Ibtidaiyah beterbangan entah ke mana.

Saya sangat menyukai landmark Martapura ini. Komposisinya pas. Menyaksikan tiang-tiang itu dari jarak dekat dan memandanginya selekat yang saya bisa membuatku merasa seperti sedang berada di satu tempat yang jauh. Ya, jauh dari tanah asal. Tanah Jawa seperti terentang dalam jarak emosi yang tak terjangkau. Saya tak pernah meihat landmark seperti ini di Jawa. Tidak juga di Kudus atau Jombang, misalnya.

Tetapi, seperti juga gerbang pasar, tiang-tiang itu bukankah landmark yang sudah berusia lanjut. Tiang-tiang itu sepenuhnya baru. Masih mengkilap. Saya perhatikan satu-satu tiang-tiang itu. Tak ada cat yang mengelupas.

Ah, saya tak melihat sesuatu yang tua dari Martapura. Kota ini seperti tak memiliki “sejarah”. Setidaknya, seperti itulah kesan pertama yang saya lihat di jam-jam pertama kedatanganku di Martapura.

Besok, saya berjanji, untuk lebih memerhatikan manusia-manusia yang berhayat di Martapura.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Keren sob

www.kiostiket.com