Minggu, April 20, 2008

Mengambang

Sesekali, kau mungkin bisa menjajal pengalaman yang baru saja ku alami. Jika kau ingin kembali ke Jogja atau bepergian ke mana pun, meninggalkan tanah asal, puakmu, pergilah dengan mengendarai kereta api. Selanjutnya, berdirilah di bordes paling belakang. Majulah sedekat mungkin dengan ujung kereta itu. Kau mungkin bisa berdiri persis di tubir kereta.

Biarkan angin menyentuhmu dan mengusutkan rambutmu yang tak begitu panjang itu. Kau boleh membayangkan sedang berdiri di atas geladak kapal, tapi jangan kau bayangkan dirimu seperti Jack Dawson yang sedang memeluk Rose di ujung depan Titanic. Kau tancapkan saja pandanganmu lurus ke depan. Ke arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh kereta yang kau tumpangi.

Lalu cobalah kau fokus. Biarkan retina matamu menangkap berlajur-lajur rel yang seperti tergesa-gesa ditinggalkan kereta. Toh, kita tak pernah tahu, betulkah kereta yang sedang bergerak menjauh? Jangan-jangan, itu hanya ilusi saja? Berada di dimensi seperti ini, biarkan imajinasimu, mungkin juga ilusimu, membayangkan bahwa sebenarnya rel-rel itulah yang bergerak menjauh.

Jika kau kebetulan naik kereta malam, sesekali tengoklah atap-atap dunia, langit-langit malam yang diseraki gemintang, sepasi bulan, dan tebaran mega-mega, mungkin juga arakan awan-awan. Biarkan sensasi yang sama menyapamu: siapa yang sebenarnya bergerak? Bumi ini, di mana kita nangkring manis di dalamnya, ataukah bulan, bintang, mega dan awan-awan itu yang sebenarnya bergerak?

Aku, seperti yang sedang kuceritakan ini, membiarkan diri dikosongkan oleh imajinasi, oleh ilusi, atau apa lah namanya. Aku lupakan pelajaran SD dulu ihwal teori heliosentrisme yang meyakini bumilah yang berputar mengelilingi matahari. Aku lupakan pula semua pengetahuan yang ku punya dan membiakan ilusi dan imajinasi tentang gerak itu mengayun-ayunkan jelujur kesadaran yang belakangan memang terasa letih ini.

10 menit. 20 menit. 30 menit. Satu jam. Dua jam.

Selama itu pulalah aku berdiri mematung di ujung gerbong ini. Membiarkan ilusi pergerakan benda-benda itu melembamkan retina mataku yang mulai terasa pedih. Di titimangsa macam ini, ketika kepalamu mulai terasa pening dan kedua matamu mulai mengabur, tetaplah kau lihat jelujur rel-rel itu. Biarkan saja begitu. Bahkan mungkin sewaktu perutmu mulai terasa mual.

Di titik yang paling kritis, ketika kau sudah merasa sungguh letih, pejamkan lah matamu. Tapi cukup mata kau saja yang terpejam. Biarkan inderamu yang lain tetap terjaga. Hidungmu, telingamu, pori-pori kulitmu, lidahmu. Juga perasaan dan imajinasimu. Biarkan saja batas antara ilusi dan imajinasi itu menghablur, mengabur dan memiuh. Dan sekarang, rasakanlah, di mana sekarang kau sedang berada?

Ketika aku sendiri yang melakukannya, aku merasa sedang berada dalam sebuah lorong panjang yang tak terlalu lebar tapi juga tak terlampau sempit. Semua dindingnya tampak berwarna putih pucat. Dan, aha, aku merasa dinding putih pucat itu begerak sangat cepat, sementara aku hanya berdiri diam. Ya, diam saja.

Aku merasa sedang berdiri mengambang.

9 komentar:

Anonim mengatakan...

tempat favorit saya di kereta malam adalah batas gerbong.
Pintu dibuka,.. bersama rokok menyala dan segelas kapucino sachet dari mang-mang yang menjajakan di stasiun sebelumnya...
kadang saya memilih duduk, menekan kaki di dinding..

Saat itu,.. memang terasa hidup seperti tidak berjalan walau sebenarnya saya sedang melalui perjalanan antar kota...


Next trip.. saya akan coba saran Mas Zen .. kontemplasi di ujung gerbong belakang ini...

Anonim mengatakan...

Yeah.. nongkrong di bordes emang nikmat, sambil menikmati rokok kretek.

Anonim mengatakan...

jadi ingat cerpen ini: http://daus.trala.la/2006/11/27/gerbong-terakhir/

Anonim mengatakan...

aku suka milih di gerbong dapur. bayarnya setengah, dapat makan dan minum gratis sepuasnya.

menarik, para bapak2 crew yang sudah bercucu itu becandanya gila-gilaan, mirip aku kecil dulu....

dan banyak yang sudah berlanggan, sehingga diantara penumpang saling akrab.

coba aja...

hiddenroof mengatakan...

jadi ingin rasanya sesekali melepaskan tangan dan berdiri saat berada di atas dua roda yang sedang berputar... begitu bebas... begitu lepas...

Anonim mengatakan...

kemarin saya kembali ke Jakarta naik bis.

saya menyesal.
terlalu penuh orang di pinggir jalan raya.

Anonim mengatakan...

kereta..
tidur di bawah kursi dengan alas koran bersama adik..makan nasi ayam siang-siang, gerah, melempar jeruk dan koin ke orang-orang yang berteriak-teriak menyambut kereta yang mengular di kampung2 kecil di tengah sawah di pinggiran rel..bersama ayah dan ibu di medio tahun 90 an..

Anonim mengatakan...

zen, ini pertama kalinya aku naik kereta api. progo lempuyangan-senen, gerbong delapan, nomer kursi 20 A-B-C, 21 A-B, 22 A-B. mungkin aku belum sempat menikmati apa pun semalam. begitu sesak, begitu kalut. di antara "detik-detik bertalu, diburu biru waktu" (hahaha, ini penggalan puisi dongengku). lanceng yang tertinggal, sukma sing malah katut neng jero kereta. akhirnya kami hanya berenam saja. tetap bingung. tetap linglung.
dan entah, sepanjang jalan kami begitu sinis terhadap jakarta. aku tak pernah membayangkan akan menjejakan kaki di jakarta dalam keadaan seperti ini. seringkali jakarta kuharap sebagai tempat yang menjanjikan. bukan tempat semrawut dan kecut dengan aroma pesing.
tapi bagaimana pun, di sini tetap saja terasa jogja. ada kau, anto, simbah, ridwan, yus, dan segala keramahan dari tim kerja kalian.
sayang, sepanjang perjalanan, pintu yang ada di gerbong paling belakang itu terkunci. jadilah aku terlunta. berjalan-jalan dari gerbong 8 ke gerbong 4 (tempat duduk kawan-kawan dari Saturday Acting Club, dan ngobrol dengan Iman), dan kembali ke gerbong 8 jam dua pagi, ketika petugas memeriksa karcis.
ah, sepulang dari padang. mungkin aku akan naik kereta bisnis gambir-tugu, dan menikmati perjalanan kereta dengan nyaman seperti yang selalu kau ceritakan...

Anonim mengatakan...

Zen.. aku paling seneng tulisan ini... imajinasi...

Imajinasi... tanpa batas my man...