Minggu, April 20, 2008

Jendela

-- surat buat Ann

Ann, sore ini tiba-tiba aku memikirkan banyak hal tentang jendela seraya pada saat yang sama aku juga lupa pernahkah kita duduk berdua di gigir jendela dalam waktu yang lama. Saya lupa, Ann. Sungguh. Dan untuk itu, maafkanlah aku.

Aku tak tahu kapan kau membaca catatan ini, sepucuk surat yang ditulis di sebuah kampung kecil di tubir pantai Cihara (Bayah) yang sepi, merayakan hari jadi, sembari menggumamkan beberapa metrum sekar megatruh dalam kepungan resau ombak yang bergemuruh.

Mungkin kau merasa heran, kenapa senja yang sempurna dirayakan dengan menyimak sekar megatruh. Apa boleh buat, Ann, sekar asmaradana sedang tak kena. Aku merasa, sekar asmaradana lebih berpeluang membuatku leka. Aku sedang tak ingin leka, Ann. Sedang tak sudi diguyah lupa.

Megatruh, Ann. Ya, megatruh. Dari kata “pegat”, lantas menjadi “megat”, yang berarti “putus” dan kata “ruh” atau “jiwa” atau “nyawa” atau “atma” dalam tradisi Buddha. Megatruh berarti ajal, Ann. Maut. Situasi di mana nyawa atau ruh “megat”, bisa pula “mingat”.

Aku pernah tergoda membandingkan megatruh dengan requiem, mungkin antara megatruh-nya Yasadipura yang dianggap tabu dilantunkan di sekitar sungai dengan Introitus Requiem-nya Wolfgang Amadeus Mozart yang sering berkumandang pada misa arwah di kapel-kapel gereja.

Tahun lalu, Ann, ya… tahun lalu, aku merayakan hari jadi dengan seminggu penuh memutar-mutar Introitus Requiem, komposisi yang ditulis menjelang Mozart disambangi maut. Tahun ini, saat kau tak lagi bersisian denganku, Ann, aku sangat ingin mendengarkan sekar megatruh dilantunkan. Ya, cukup megatruh-nya saja, sebab jika semua sekar macapat dilantunkan bisa panjang pertunjukan.

Aku tak ingin mengulang apa yang sudah ku tulis pada catatan hari jadi tahun yang silam. Cukup ku katakan: cara terbaik untuk merayakan hari jadi adalah dengan memikirkan kematian, sebab kedatangan hari jadi bukanlah titimangsa perpanjangan yuswa melainkan justru menjadi peristiwa yang meneguhkan makin ausnya kita punya usia.

Heidegger, Ann, filsuf yang pernah kuceritakan saat fragmen pengkhianatan itu terbuka nyaris tanpa jelaga, pernah bernubuah: “Ketika seseorang dilahirkan, ia sudah terlalu tua untuk mati.”

Megatruh, “pegat-e ruh”, terasa makin ngelangut jika disimak dari tingkap jendela. Kubayangkan, malaikat-malaikat maut mengambang lebih dulu di jendela sebelum ia melesat ke dalam dan sekejap kemudian kembali terbang ke swargaloka membawa nyawa yang baru saja direnggutnya dengan perkasa dan tanpa kata-kata sayonara.

“Keringat begitu deras melumuri tangan malaikat, dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela, memandang wajahmu dalam gaib asmaradana. Tuhan, beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang.”

Sajak itu berjudul “Ciuman Terakhir Menjelang Kematian”, ditulis oleh penyair dan kyai bernama Zainal Arifin Thoha. Tahukah kau, Ann, kalau beliau juga mendiang pada satu malam di bawah tingkap jendela rumahnya, setahun silam, persis seperti bunyi sajak yang ditulisnya itu.

Jendela, Ann, bukan pintu. Pintu adalah tempat lalu lalangnya para tamu dan para pejalan yang singgah, sebuah lorong yang terbuka dan nyaris tanpa rahasia. Semua orang pernah melewati pintu, melepaskan sepatu, melihat paras tuan rumah, lalu duduk di sofa di dekat slintru, mungkin sambil memandangi seisi ruang tamu dan mengagumi potret-potret keluarga atau lukisan pemandangan berlatar langit yang begitu biru. Tak ada rahasia di antara dua pilar pintu.

Tapi jendela, Ann, ya… jendela, lebih banyak menyimpan rahasia. Jendela bisa dibaca sebagai memoar kesendirian pemiliknya, yang –mungkin—hari demi hari memandangi jalanan sembari menanti kedatangan tukang pos yang membawa kabar kekasihnya yang sedang merantau nun entah di mana.

Jendela bisa pula dihayati sebagai nubuah bagi jiwa yang ingin bebas dari seorang putri yang dipenjara di sebuah kastil yang megah. Jendela menjadi perantara antara “dunia luar” yang merdeka dengan “dunia dalam” yang penuh krama dan tata.

Di situ jendela memberikan kepedihan dan kesenangan sekaligus. Ia menjadi kepedihan karena jendela menyadarkan seseorang betapa ia sedang ditelan oleh tembok-tembok yang tak berbelas kasih. Ia menjadi kesenangan karena pada saat yang sama jendela akan terus-menerus mengingatkan bahwa dunia luar yang merdeka itu masih ada dan akan terus terbuka bagi siapa saja yang berani menghadapinya.

Jendela memang menyembunyikan rahasia dan peristiwa yang tergelar di kamar pemiliknya.

Tanyakan saja pada Marius Pontmercy, seorang pemuda revolusioner, yang sering menatap jendela kamar Cosette dari plaza yang sepi dalam cerita Victor Hugo yang terkenal itu, “Les Miserables”. Baginya, jendela selalu menawarkan sebuah rahasia: Sedang apa kekasihnya di dalam sana?

Bagaimana dengan jendela di kamarmu, Ann? Kau anggap apa ia? Ataukah kau lebih sering mengabaikannya sendirian di pojok kamarmu, menahan laju angin malam yang membawakan gigil itu?

Ann, kubayangkan kau sedang duduk di jendela kamarmu, menyerahkan dagu mu yang lancip pada dasar jendela, sementara matamu memandang jauh ke muka, entah merenungkan apa, mungkin merenungkan sebuah negeri yang jauh atau mengkhayalkan sebuah perjalanan yang sudah lama kau rancang atau justru sedang memikirkan seorang mahesa yang kau tunggu kepulangannya.

Ya, tak ada tempat yang lebih baik selain jendela untuk merenungkan hal ihwal yang demikian. Jendela adalah penghubung hari ini dengan masa depan yang belum sepenuhnya bisa kita bayangkan.

“Sebuah Jendela menyerahkan kamar ini pada dunia,” tulis Chairil Anwar dalam sajaknya, “Pada Sebuah Kamar”.

Larik sajak itu mengejutkan karena di sana “jendela” dihadirkan sebagai subjek yang aktif, sosok yang punya prakarsa. Saya tidak tahu kenapa di situ “jendela” memilih untuk “menyerahkan kamar ini” pada dunia. Mungkin “jendela” jengah dengan segala macam pengkhianatan yang tergelar tiap malam di sana dan terus-menerus disembunyikan para pelakunya dengan menutup jendela serapat-rapatnya. Aku tak tahu dan tidak semua memang harus ku tahu.

Seperti juga aku tak tahu ada rahasia apa di balik jendela kamarmu, Ann. Mungkin memang lebih baik aku tak tahu. Sebab siapa tahu dengan itu aku justru akan terus memandangi jendelamu dari kejauhan sembari menebak-nebak sedang apa dirimu di dalam sana, seperti Marius Pontmercy memandangi jendela Cosette.

Aku lebih sering berkelana, bepergian membelakangi huma, meninggalkan tingkap jendela. Dalam setiap depa perjalanan yang sedang ku hela, aku banyak melihat jendela. Bagi orang yang sedang mengukur setiap depa perjalanan, jendela serupa godaan untuk istirah, rayuan untuk tetirah, bujukan untuk singgah.

Dan jika godaan, rayuan dan bujukan untuk singgah dan tetirah itu sudah tak tertahankan, pastilah aku akan menuju jendelamu, bukan jendela yang lain, mengetuknya perlahan, sembari mengucapkan kata-kata yang pernah diukir Franz Kafka:

“May I kiss you then? On this miserable paper? I might as well open the window and kiss the night air.”

Ann, kowe pancen ngangeni. Duh....

26 komentar:

Haris Firdaus mengatakan...

ternyata seorang pejalan bisa amat merindukan istirah dan seseorang. bung, apakah seorang pejalan pada akhirnya juga akan pulang dan menemukan rumah?

ydh mengatakan...

Ndang baliooooo sriii....... ndang balioooooooooo..... wakkakakakaka...

Anonim mengatakan...

ann adalah tokoh imajinasi kamu, zen? ketika seorang pejalan mengangankan sosok ideal untuk pulang. hihihi.. *kaburrr*

Anonim mengatakan...

jendela menemukan maknanya, pada megatruh...
brilliant :D
oiya, ada yang pernah bilang, Ann adalah nama pacar Minke, benarkah?

Anonim mengatakan...

Ann, aku hanya bisa sarankan. cintailah dia, jangan kau biarkan dia lakukan perjalanan yang terlalu panjang, aku tahu cara terbaik hentikan dia. bukan dengan singkapan rok birumu karena cinta saja tak cukup untuk dia. Ann, ikat dia dengan tambang, pasung dan biarkan dia mengaum di hari-harinya.

Anonim mengatakan...

bahasanya indah....

Anonim mengatakan...

bersedih-sedih itu capek, gak nyaman zen. kapan merayakan hari jadimu itu? nang bhi, minum sampai teler? :)

zen mengatakan...

@haris: mungkin, bro. amat bisa jadi demikian. para pejalan itu seperti layang2 yang diikat oleh benang. tebal-tipisnya benang berbeda satu sama lain.

@yudhis: asu kowe, yud!

@dewi: semua orang punya sosok ideal, kan? tapi, jangan lupa, ideal tidak sama dengan sempurna, Wi!

@unclegoop: brilian? waduh, sampeyan lbh tau dari saya soal per-macapat-an begitu, bro. Ya, pacar Minke namanya Annelies, biasa dipanggil, "Ann".

@ramaprabu-engkos: waduh, kos, saranmu itu, loh. hahahaha....

@cewek-tulen: indah, ya? seindah mana dg khayalanmu?

@kw: aku ndak sedih, kok, mas KW!

Anonim mengatakan...

indah, seandainya saya memiliki sepersepuluh saja rasa rindu itu.
Mungkin dunia akan berbeda.

Astri Kusuma mengatakan...

zen, sepertinya kamu sedang rindu untuk pulang...

hmm...jadi teringat lagu "Homesick" dari Kings of Convenience..

"...cause i no longer know, where home is.."

semoga kamu tidak lupa jalan pulang yo Zen..

Anonim mengatakan...

ann..??
dudune "andang nurhiyat" kan?
nggilani..ketularan Arya..
jiakakak

Maruria mengatakan...

geez...kata-katanya keren banget. indah. ngelangutkan.

tau ini blog dari yudhi.kayaknya bakalan sering2 mampir sini nih...

za mengatakan...

Tulisannya romantis sekali. Walau aku tak suka memperingati hari jadi. Lain cerita bila suatu hari nanti aku menikah. Barangkali, inilah ikatan sejatinya.

Ah menjadi manusia memang sulit. Seringkali kita mengingkari apa yang kita inginkan. Namun, apa memang dengan begini berarti kita menjadi manusia sebenarnya?

Aku hanya ingin selalu ada ruang kecil dalam hidup ku untuk mengartikannya. Berbagi, dengan dirimu. Pasangan hidup ku.

Anonim mengatakan...

Ann aka Tik...
hehehe..sepertinya sebuah nama ini pernah menarik perhatian saya di Shoutbox.. dan benar ada nya :D

Kang, ajarkanlah saya menulis indah seperti ini.
Dan aku pun bisa mngirimkan sejuntai kata manis seperti ini ke dalam kusen jendela wanita itu bermata indah itu...

Anonim mengatakan...

aaah jalan-jalan mlulu... bahkan di hari jadi... :)

dari kemaren bicara soal kematian terus Mas? memang pengen kematian yang seperti apa?

Yessi Pratiwi Surya Budhi mengatakan...

Mencoba jadi Zen @ chic :

Kematian yang indah, tentu saja :)
Tapi jangan tanya saya, kematian seperti apa, kapan, dan bagaimana.

Robertus Arian mengatakan...

Mas, sudah ada alamat email dosen saya yang meneliti tentang fenomena gantung diri atau semacamnya itu. bisa japri saya? gak nyaman nulis langsung di sini

Anonim mengatakan...

oooh, ini to yang diinstruksikan oleh paimo untuk dibaca.

iya sih, ini tentang jendela yang benar-benar jendela, hehehe.

Anonim mengatakan...

sumpah, huruf yang engkau susun bisa memotivasi diri... Syaiful Bari

zen mengatakan...

@ anonim: doamu boleh juga, sistha!

@ iman brotoseno: aku kasih seperduapuluh nih, mas. hehehehe....

@astri: bkn ''home sick'', tp ''Ann sick''

@ipungmbuh: kowe ki pancen homox. hwahahaha....

@maruria: ya, sering2lah mampir ke sini. moga betah.

@zaki: so, kpn nikahnya? hehehe....

@chic: ah, pertanyaanmu sulit benar, chic!

@yessi: kamu berbakat juga jadi humas, ya? hihihihi

@arian: thanks, mas, nanti aku japri.

@leksa: shoutbox siapa, Jal? Ann atau Tik atau Inn atau apa pun, dibahas nanti aja pas di djendelo, ya! hehehe.... ---kalo aku lagi di jogja, tentu saja--

@isyana: weks! paimo? emang dia ngerti blog? hahahaha...

@syaiful bari: wah, motivasi diri siapa, Pul? thanks dah mampir....

Anonim mengatakan...

kirain Aneu stamler, keluarganya Dewi ayu..

ini Ann apa?

Meita Win mengatakan...

Kowe pancen ngangeni, Mas! heheh..

Baris terakhir ditulisan ini, aku suka sekali dan sudah kujadikan tren, sekaligus kalau ada yang bertanya ku berikan tulisan ini.

Smoga kau tak keberatan,Zen :)

Anonim mengatakan...

Romansa...
Hal yang saat ini sedang saya jauhi. Bukan buat selamanya, hanya untuk sementara

Anonim mengatakan...

wow... tulisannya bagus... orang bodoh kaya saya susah bacanya...hufff... three thumbs up **thumb y satu pinjem punya ratna**

Anonim mengatakan...

bagus..

Anonim mengatakan...

saya semakin jatuh hati pada jendela setelah membaca postingan ini :)