Minggu, April 27, 2008

Kereta

--Mengenangmu, Ril….

Saya merasa sajak ini begitu imajinatif menggambarkan rasa pedih dan perih. Rasa pedih dan perih itu serasa diuraikan satu per satu, perlahan-lahan, dengan penuh kesabaran, mungkin seperti mengupas kulit ari selapis demi selapis. Fakta bahwa uraian imajinatif ihwal rasa pedih dan perih itu digambarkan melalui metafora “kereta”, moda transportasi yang begitu saya sukai, makin membuat sajak itu punya tempat tersendiri dalam hati.

Saya sedang (akan) membicarakan sajak Chairil Anwar yang berjudul “Dalam Kereta”, salah satu sajak Chairil yang mungkin amat jarang dikenal orang, kalah jauh terkenal dari sajak “Aku”, “Krawang-Bekasi”, atau “Senja di Pelabuhan Kecil”.

Sajak ini termuat dalam antologi sajak Chairil yang berjudul “Kereta Api Penghabisan”. Anda mungkin baru mendengar antologi itu. Jangan khawatir, bukan hanya Anda saja yang baru mendengar. Entah siapa orang yang masih punya cetakan antologi itu. Kabarnya, antologi itu hilang di rimba yang entah.

Nah, sajak “Dalam Kereta” adalah satu-satunya sajak yang “terselamatkan” dari antologi “Kereta Api Penghabisan” – yang kehilangannya oleh Saut Situmorang disebut sebagai “moksa puitis”.

Di situ saja sudah muncul satu koinsidensi yang menarik. Apa yang bisa kita takik dari kenyataan bahwa satu-satunya sajak dari antologi “Kereta Api Penghabisan” yang raib ternyata berjudul “Dalam Kereta”?

Dua judul itu, satu judul antologinya dan satunya lagi judul salah satu sajaknya, sama-sama memuat kata “kereta”. Saya ingin berandai-andai, mungkin Sang Maha Puisi memang sengaja (hanya) menyelamatkan sajak “Dalam Kereta” dari –jika istilah Saut bisa dikutip lagi-- “moksa puisi”, dari keraiban. Jika pengandaian puitik itu benar, bisakah itu dibaca sebagai kemungkinan bahwa (jangan-jangan) sajak “Dalam Kereta” memang bisa merepresentasikan isi antologi “Kereta Api Penghabisan”?

Entahlah. Saya tak ingin melanjutkan pengandaian yang amat bisa jadi meleset itu. Tapi untuk satu hal ini saya tak sedang berandai-andai. Begini:

Pada tahun-tahun antara 1945-1949, salah satu penggal kehidupan Chairil yang penuh nyala api kreatifitas (Chairil check out dari muka bumi pada 28 Februari 1949), kereta punya tempat yang istimewa dalam korpus kesadaran dan ingatan kaum republiken.

Soekarno-Hatta, pada awal Januari 1946, pindah ke Jogjakarta dengan mengendarai sebuah kereta malam melalui sebuah perjuangan yang dramatis. Kereta berhenti di dekat kediaman Soekarno di Pegangsaan Timur –mungkin di sekitar stasiun Cikini sekarang—selepas maghrib. Soekarno-Hatta dan keluarganya berikut sejumlah pejabat republik sudah bersiap di kediaman Sokarno. Begitu kereta datang, mereka naik kereta malam tersebut. Dari Jakarta hingga Bekasi, kereta bergerak tanpa satu pun lampu dinyalakan untuk menghindari penciuman intelijen Belanda. Kereta akhirnya tiba di Stasiun Tugu keesokan harinya dan Sultan Hamengkubuwana IX sudah menyambut di ujung peron. Kisah Jogjakarta menjadi ibukota di mulai dari situ.

Sjahrir, yang waktu itu menjabat Perdana Menteri, untuk sementara masih tinggal di Jakarta. Untuk pergi-balik Jakarta-Jogja, Sjahrir punya kereta khusus. Ben Anderson, dalam disertasinya yang sudah menjadi klasik, “Revolusi Pemuda” – pernah menggunakan metafora “kereta Sjahrir” itu untuk menunjukkan pola diplomasi dan kecenderungan politik Sjahrir yang sukar ditebak.

Tentara dari Divisi Siliwangi yang hijrah ke kantung-kantung Republik di Jawa Tengah dan Jogjakarta, diangkut dari Cirebon (tepatnya di stasiun Parujakan yang khusus melayani barang dan penumpang yang menuju jalur utara via Tegal dan Semarang) dengan mengendarai kereta. Mereka juga turun di Stasiun Tugu dengan disambut gadis-gadis palang merah yang mengelu-elukan mereka. (foto di atas menceritakan Bung Hatta sedang menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu pada 12 Februari 1948)

Mungkin dari situlah Ismail Marzuki pernah menciptakan lagu “Sepasang Mata Bola”. Lagu syahdu itu juga menyebutkan kereta dan Jogja –pastilah itu merujuk Stasiun Tugu. Kita simak salah satu petikannya: “Hampir malam di Jogja/ Ketika keretaku tiba/ …Sepasang mata bola/ Gemilang murni mesra/ Telah memandang beta/ Di stasiun Jogja/ Sepasang mata bola/ Seolah olah berkata/ Pergilah pahlawanku….”

Tapi tak ada adegan yang lebih menyedihkan daripada tragedi yang di negeri Belanda terkenal dengan sebutan “De Trein vande Dood” alias “Gerbong Maut”.

Tragedi ini bermula sewaktu Belanda hendak mengevakuasi 100 orang yang dicurigai sebagai bagian dari gerakan nasionalis dari penjara Bondowoso ke penjara Kalisosok di Surabaya pada 23 November 1947. Mereka dimasukkan ke dalam 3 gerbong. Kereta berangkat dari Bondowoso pada pukul 3 dini hari.

Seperti gerbong yang membawa tahanan NAZI ke kamp Auschwitz, gerbong-gerbong itu pun ditutup rapat dan minim ventilasi. Selama perjalanan sepanjang 13 jam, tahanan tak pernah diberi makan dan minum, gerbong tak pernah dibuka dan diperiksa. Sesampainya di Surabaya, begitu gerbong dibuka, ternyata 46 orang tahanan kedapatan tewas karena dehidrasi dan kehabisan oksigen.

Salah satu cerita dalam “Percikan Revolusi + Subuh”-nya Pramoedya pernah dengan baik menggambarkan bagaimana suasana kereta pada masa revolusi yang dipenuhi hiruk-pikuk perempuan bakul beras yang rela dijamah-jamah kondektur agar dapat korting atau malah gratis. Hal yang sama diulang kembali oleh Pramoedya sewaktu menulis novel perang berjudul “Di Tepi Kali Bekasi” dengan protagonis bernama Farid, pemuda penuh semangat nasionalis namun tak cukup punya pengertian yang utuh ihwal apa dan akan berakhir seperti apa dan di mana perjuangan yang dilakukannya.

Chairil sendiri amat sering naik kereta. Jiwa petualangan dan keluyuran Chairil, hanya bisa disalurkan dengan mengendarai kereta api, terutama jika ia hendak pergi ke kota-kota di daerah timur. Salah satu cerita terkenal tentang kelakuan Chairil adalah sewaktu ia naik kereta ke Surabaya untuk –dalam koar-koarnya—berjuang dengan Arek-arek Suroboyo. Ternyata, salah seorang yang mengenal Chairil, menjumpai Chairil sedang asyik masyuk di salah satu gerbong kereta dengan seorang perempuan di sekitar masa digelarnya pertempuran Surabaya yang dimulai pada 20 November.

Kata-kata Chairil sendiri banyak ditulis digerbong-gerbong kereta untuk menyemangati para pemuda revolusioner. Kata-kata itu berbunyi: “Boeng, Ajo, Boeng!” Padahal, kata-kata itu dicomot begitu saja oleh Chairil dari sapaan khas para pelacur di Senen sewaktu menawari pria-pria hidung belang untuk “ngamar”.

Begitulah, kereta menempati posisi yang istimewa dalam sejarah perjuangan pada masa revolusi, periode di mana Chairil sedang benar-benar menikmati masa puncak kreativitas dan elan vitalnya sebagai penyair dan manusia.

Antologi “Kereta Api Penghabisan” mungkin dipersembahkan Chairil untuk mengenang semua peristiwa di atas kereta yang dialaminya, disaksikannya langsung atau sekadar didengarnya. Tengara itu –mungkin—cukup masuk akal karena Chairil dikenal sebagai orang yang tampak begitu terobsesi dengan hidup dalam semua bentuk dan penampakannya. Sajak-sajak Chairil seperti berhulu dari realitas yang terjadi di sekitarnya, rekaman atas pengalaman hidup yang dialami salah satu atau salah lima inderanya.

Jika pun benar begitu, anehnya, sajak “Dalam Kereta” sendiri rasa-rasanya sepenuhnya beraura muram, mencucuk, dan –jika saya membayangkannya—kadang bisa membuat gigil. Kendati semua barisnya diakhiri dengan huruf “a”, yang biasanya lebih memungkinkan munculnya aura yang terang, sajak itu terasa mencekam. Ada suasana pengap di sana, ada aura penantian atas sesuatu yang tak pasti tapi sepertinya sesuatu yang mengerikan atau menyakitkan, dan ada sejumput rasa sakit yang perlahan-lahan makin terasa kuat.

Sajak “Dalam Kereta” dibuka oleh dua baris berbunyi:

Dalam Kereta
Hujan menebal jendela

Dua baris itu langsung menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil menggambarkan suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada (1) di “dalam kereta”, ealah…. (2) masih pula keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.

Tentu saja tidak semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat akan merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang jatuh cinta atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan menikmati rinai hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam dada. Hanya saja, baris-baris berikutnya –sehemat saya—lebih menunjukkan aura mencekam ketimbang riang.

Semarang, Solo? Makin dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama

Ya, ya, dua baris berikutnya dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju Semarang dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota tujuan sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah Chairil sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum tahu tujuan? Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.

Kendati belum jelas dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup jelas punya tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan “menguak purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara purnama akan dikuak di Solo.

Yang jelas, di situ Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan “menguak purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam kosa kata sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan obsesi dan tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti hentakan dari ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.

Objek dari target atau obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal abstrak yang seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh, indah, pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau tantang-menantang.

Tiga baris terakhir sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan mencekam yang sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu pukulan ironi yang menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:

Caya menyayat mulut dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.

Semarang atau Solo, dua kota yang dibayangkan sebagai tempat untuk “menangkup senja” dan “menguak purnama”, ternyata “sengaja didatangi” justru untuk membiarkan diri, mulut dan mata disayat ca(ha)ya, sayatan yang begitu kuat sampai-sampai mampu menjengkingkan kereta dan jiwa. Di situlah irononya bercokol.

Frase “sengaja didatangi” itu tidak berlebihan karena –cukup jelas—Chairil di situ memang mengajak pembaca untuk mengikuti pengalaman visual dibekap gerbong kereta yang dibekam hujan yang menebali jendela dan juga disayat-sayat oleh cahaya yang mampu menjengkingkan jiwa. Dan Chairil melakukannya dengan perlahan-lahan, sabar dan mengimbuhinya dengan beberapa ketidakpastian kecil (soal kota tujuan).

Ya, perlahan-lahan pembaca diajak merasakan suasana pedih dan perih yang sedetik demi sedetik makin menyayat-nyayat, dari mulai mata… mulut… lantas terus turun menyayati dada.

Ada sejumput kesan masokisme di situ; tentang Chairil yang mengajak pembaca menikmati segala pengalaman pedih dan perih yang menghunjam dengan perlahan namun dengan tingkat kepastian yang --tak bisa diragukan—akan terus merambat hingga dada.

Dan Chairil memercayakan semua lakon (bernada) masokis itu dipanggungkan di atas gerbong-gerbong kereta, bukan truk atau sedan atau kapal laut. Kenapa dengan kereta? Selain soal fakta bahwa Chairil sering bepergian ke kota-kota yang jauh dengan kereta dan arti penting kereta pada zaman itu, adakah alasan lain kenapa Chairil memilih kereta?

Saya tidak tahu pastinya. Tapi, seturut pengalaman saya, kereta memang jauh lebih memungkinkan pengalaman mencekam dan liris itu ditelan dalam dada, lebih dari kapal laut atau pesawat terbang apalagi mobil. Ada sesuatu yang khusus dari kereta –sesuatu yang saya khawatir tak bisa menjelaskannya.

Tapi, jika boleh berbagi pengalaman, saya selalu merasa kereta memiliki ruang yang memungkinkan imajinasi lebih leluasa berkembang. Bentuk kereta, yang memanjang dari satu gerbong ke gerbong lainnya dan masih memungkinkan orang melihat gerbong-gerbong di depan atau di belakang, rasanya sering menghadirkan suasana seperti sedang berada di sebuah lorong yang panjang.

Menariknya, lorong panjang itu selalu mentok di badan lokomotif. Di luar pesawat terbang (yang pada masa Chairil belum populer sebagai koda transportasi umum), nyaris semua kendaraan pada masa itu memungkinkan penumpang menyaksikan apa yang sedang terjadi di depan. Kita hanya bisa melihat gerbong-gerbong di depan, tapi kita tak akan pernah bisa melihat apa yang sedang menghadang di depan lokomotif.

Bentuk kereta memungkinkan penghayatan terhadap ketidakpastian muncul dalam kadar yang lebih kuat; situasi tak menentu, fana dan hanya memungkinkan kita pasrah pada kewaspadaan masinis, karena penumpang kereta tak bisa mengingatkan masinis jika ada sesuatu yang berbahaya di depan sana.

Dan para penumpang kereta tak pernah bisa untuk bersiap lebih dulu menghadapi bencana, rel yang patah atau jembatan yang rengkah karena penumpang memang tak pernah tahu apa yang terjadi di depan sana.

Tahu-tahu dan tiba-tiba, gerbong yang kita tumpangi anjlok atau bahkan terguling ke kanan, "menjengking kereta, menjengking jiwa", kata Chairil.

Saya jadi ingat penyair Indrian Koto, yang pada satu dini hari, tiba-tiba goyah kakinya begitu mendengar pluit petugas stasiun dan lengking lokomotif tanda kereta sebentar lagi akan beranjak. Di mana lagi jika bukan di Stasiun Tugu!

----------------------
Untuk mengenang 59 kematian Chairil, beberapa teman sekantor saya yang sehari-hari sibuk menggarap Kronik Seabad Kebangkitan Nasional merelakan diri menulis sesuatu tentang Chairil Anwar. Mereka adalah Ridwan Munawwar dan Yusrizal Elga. Seorang lagi adalah Haska, penulis buku “Bob Marley: Rasta Reggae dan Revolusi” yang juga kontributor salah satu terbitan di tempat kantor saya bekerja, “Bataviase Nouvelles”.

Sila diklik link-link di bawah ini untuk membaca catatan-catatan mereka tentang Chairil Anwar:


Chairil Anwar: Pintu-Pintu Pengakuan

Sebuah Ingatan untuk Chairil Anwar

Jejak Chairil Anwar dalam Ingatan seorang Pengigau

8 komentar:

Anonim mengatakan...

Kereta memang khas, seperti lorong, dan di kanan kirinya adalah bingkai-bingkai yang berkejaran, kata seorang sahabat, seperti slide yang diputar ulang.
Melihat kota tujuan, Semarang dan Solo, barangkali benar, jika beliau bimbang. Kondisi yang jarang sekarang ini, karena tiket kereta telah jelas menunjukkan kota tujuan, bila tidak ingin berepot-repot mengantri.
Bimbang, galau, perlu juga, eh?

Anonim mengatakan...

ah kereta lagi Kang...

jadi pingin ke bdg dengan kereta lagi .. dan lagi...
karena selalu ada penantian dan penasaran sebelum tiba di tujuan,..

dan kemudian pulang dengan kereta lagi, penasaran terjawab oleh penyesalan.. tetapi lagi dan lagi.. aura kereta menyembuhkan...

Anonim mengatakan...

Selamat mengenang hari puisi.

Di hari kematian si jalang, si pelamun yang selalu kekurangan uang tak punya pekerjaan tetap, si tukang keluyuran, si mata merah, si jorok yang semau-maunya, penderita TBC akut, si orang yang sangat lembut pada ibunya itu.

...

Anonim mengatakan...

Kalau kau cerita Soekarno, Syahrir saya selalu ingat Roman YB. Mangunwijaya yang Burung-Burung Manyar. sebuah pandangan lain tentang sosok Soekarno dan Syahrir.

Anonim mengatakan...

Tujuan keberangkatan, dan kenangan yang tertinggal di belakang, membuat kereta akan selalu punya daya gedor yang mantap bagi setiap penumpang...

Meita Win mengatakan...

selamat hari puisi :)
tiba2 tulisanku mandeg ditengah jalan setelah baca tulisan panjang tentang Bapak kita yang satu ini...

tapi tak mengapa, setidaknya aku pun bisa mengenang dengan membuat tulisan singkat!

Pi ye kabarmu, mas?

Anonim mengatakan...

Demn!!
postinganmu yang paling oke ini Zen..
demn, kapan bisa nulis kaya gini ya..demn!! jiakaka

Haris Firdaus mengatakan...

saya paling suka dengan "derai-derai cemara" chairil. puisi itu seperti "antitesis" dari "Aku".