Senin, Maret 10, 2008

Warung Senja*

[cerita kedua. bukan untuk siapa-siapa. versi asli cerita ini bisa dibaca di sini]

Brosur-brosur perjalanan wisata menyebut kota ini sebagai tempat terbaik untuk menghayati senja. Inilah kota terbaik untuk merayakan kegembiraan, rasa riang juga kebahagiaan.

Tapi aku datang ke sini dengan mengabaikan satu peringatan. Ya, aku datang ke kota ini seorang diri, sesuatu yang sangat tak dianjurkan oleh semua kabar burung atau brosur-brosur perjalanan wisata, sebab tak ada tempat bagi orang-orang yang datang sendiri kemari.

Tapi, toh, aku sudah di sini, dengan segala macam risikonya. Aku ingin berdamai dengan kehilangan yang membuatku lungkrah. Jika memang benar kota ini tempat terbaik untuk merayakan senja dan kebahagiaan, pastilah tempat ini akan menjadi tempat terburuk mengerek rasa kehilangan. Akan kubiarkan saja kota ini bekerja semaunya, menghabiskan semua tenaga yang kumiliki untuk bersedih dan berkaca-kaca. Biar terkuras semuanya. Biar tuntas segalanya.

Aku berencana memusnahkan semua jejak yang tak enak di sini, melumat semua kepedihan yang menahun di kota ini, mungkin dengan mengubur sehelai potret. Di kota ini, ada satu tempat terbaik untuk menggelar ritual penuh beban itu. Seseorang memberitahu keberadaan tempat tersebut.

Tempat itu bernama "Warung Senja".

***

Jika senja sudah turun, kota ini bisa sekhidmat hutan-hutan tempat para paderi menggelar meditasi. Semua orang menikmati senja dengan paras yang bersinar dan kebahagiaan yang tak tergambarkan. Semua terasa tenteram. Orang-orang seperti sibuk dengan hati dan pikirannya sendiri. Tapi, dari bahasa tubuh masing-masing, cukup jelas betapa mereka terlihat bahagia.

Di plaza kota ini aku berdiri termangu, selalu begitu, setidaknya dalam enam senja yang sudah aku lewati. Bukan hanya termangu, tetapi juga ngelangut. Seperti yang sudah kuduga, melewati senja di sini seorang diri menjadi pengalaman paling menggiriskan, juga mengharukan.

Aku menyaksikan kebahagiaan, wajah yang merona, senyum yang terpampang di mana-mana. Aku juga mendengarkan helaan nafas yang bebas juga kata-kata mesra yang dipantulkan tembok-tembok, tiang-tiang telepon, batang-batang pohon juga di setiap helai rumput yang kuinjak. Aku menyaksikan dan mendengarkan semuanya dengan sedan yang lirihnya hanya bisa didengar jantungku sendiri.

Senja ketujuh ini seperti menjadi puncak siksaan itu. Aku bukan hanya selalu mengingatmu, tapi bahkan seperti melihatmu di mana-mana. Selalu saja ada sosok yang seketika kembali menautkanku denganmu.

Seperti barusan ini. Di bangku panjang itu, aku baru saja seperti melihatmu. Ya, benar-benar mirip. Aku tak tahan untuk tak memastikan itu kau atau bukan. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berdiri. Melangkah pelan. Setapak demi setapak. Dia duduk membaca buku sembari bersila, mengenakan celana jeans pendek, dengan ear-phone yang membekam dua pasang telinganya.

Dia tetap bergeming dengan buku di tangan seperti tak acuh dengan keberadaanku. Dari jarak tak lebih tiga meter, dia mendongak ke arahku dengan tatapan yang datar. Aku tergeragap. Dia lalu menegakkan salah satu kakinya sehingga lututnya persis terlipat di depan dada. Aku melihatnya dan dalam sepersekian detik aku langsung sadar itu bukan kau. Di lutut itu tak ada luka yang bekasnya mencuat seperti daging yang sedikit tumbuh. Aku tahu betul seperti apa lututmu.

Dengan perasaan tak jelas aku berbalik arah. Malu, sudah jelas. Aku tak tahu harus merasa kecewa atau lega menyadari itu bukan kau. Aku hanya merasa semua ini mesti diakhiri. Cukup, cukup sampai di sini saja.

Aku memutuskan untuk segera bergerak menuju Warung Senja, tempat di mana ritual kenangan yang aneh dan menyesakkan ini akan kuakhiri. Aku berjalan menuju jalan yang akan membawaku keluar dari plaza yang disesaki para penghayat senja.

Langit benar-benar cerah dan senja tampil dengan parasnya yang sempurna. Mataku penuh dengan paduan warna merah dan kuning yang sedikit gelap, ya… warna kesumba.

Aku tiba-tiba ingat kata-kata yang kau ucapkan sewaktu marah-marah karena aku tak memenuhi janji untuk membacakan cerita di satu senja yang sudah kita sepakati. Aku ketiduran ketika itu. Dengan mata memerah, kau menyemburku dengan kata-kata yang sekarang berdentang sangat kencang di dadaku: "Bagus. Senja memang waktu terbaik untuk tidur bagi laki-laki tanpa rasa humor macam kau!"

Kau mengucapkannya sembari membanting pintu.
***

"Saya sudah menunggu kedatangan Anda sejak lama."

Lelaki paro baya yang sepertinya pemilik Warung Senja mengucapkannya sewaktu aku baru saja duduk di salah satu bangku yang ternyata berdebu, tanda betapa sepi dan sunyinya warung ini dari pengunjung.

"Satu jam sebelum membuka warung, saya selalu menyempatkan diri untuk berkeliling di sekitar plaza. Jadi, saya bukan hanya tahu kalau Anda sudah berada di sini selama enam hari, tapi saya juga tahu Anda selalu menghabiskan senja di plaza seorang diri, duduk di bangku panjang yang sama."

Aku mendengarkan semua perkataannya dengan takjub dan mencoba meraba kemungkinan-kemungkinan yang segera akan dibentangkannya di depanku.

Warung ini berada di depan sebuah pertigaan jalan yang sepi. Ada tiga meja dan beberapa bangku yang terpasang. Semua terbuat dari kayu jati yang sepertinya cukup tua. Di pojok ruangan, terdapat satu akuarium tanpa hiasan sama sekali, tak ada batuan atau tiruan rumput laut. Hanya air bening dan seekor ikan lohan yang selalu diam tak bergerak, tanpa teman, ya… sendirian, seperti laki-laki pemilik warung ini. Seperti aku, tentu saja.

Sambil menunggu gulai dan teh poci, dua menu itu yang hanya bisa disajikan warung ini, aku melangkah ke luar. Aku berdiri di beranda. Tengadah melihat langit. Ah, ya, langit masih dibekam senja. Gelap memang mulai turun, tapi warna merah kesumba masih memayungi kota ini. Atau hanya khusus tempat ini sajakah?

Seingatku, perjalanan dari plaza ke sini menghabiskan waktu sekira 45 menit. Dengan memerhitungkan waktu percakapan dengan pemilik warung dan bengong sekira 10 menit, aku mengira sudah sejam meninggalkan plaza. Ini sudah pukul tujuh malam atau paling tidak setengah tujuh lewat dan malam mestinya sudah benar-benar lengkap. Tapi kenapa di sini senja masih perkasa?

Jalanan begitu sepi. Tak ada yang lewat satu pun. Angin malam rupanya mulai datang. Agak kuat kali ini. Aku melihat beberapa helai daun beterbangan. Suasana begitu khidmat. Sedikit surealias, barangkali.

"Di sini senja selalu lebih lama. Hanya di sini. Di plaza, malam sudah benar-benar lengkap. Orang-orang seperti kita dihukum untuk selalu menemukan senja lebih awal sekaligus melihatnya paling akhir."

Lelaki pemilik warung sudah berdiri di sebelahku. Tangannya bersidekap. "Tak perlu melihat jam. Sebentar lagi senja benar-benar lenyap dan aku tahu persis itu tepat jam tujuh malam. Ini baru jam 18.45. Masih ada 15 menit waktuku untuk menikmati senja terakhir di sini."

Apa maksudnya? Apa dia mau meninggalkan kota ini? Bagaimana dengan warungnya? Atau, jangan-jangan, dia hendak bunuh diri? Duh, bisa celaka.

Dia lalu memberitahu bahwa gulai kambing akan siap 20 menit lagi dan teh poci sudah ia hidangkan di meja. Aku memilih kembali ke meja dan duduk di sana. Ada dorongan diam-diam untuk membiarkan lelaki itu berdiri di sana sendirian. Dari tempatku duduk, aku melihat lelaki paro baya berusia sekira 40-an tahun itu masih berdiri dengan tangan bersidekap di dadanya. Wajahnya tengadah menghadap ufuk dengan diam yang nyaris sempurna.

Teh poci disajikan dalam teko yang terbuat dari keramik yang warnanya seperti tanah. Aku menuangnya ke cangkir kecil. Mata kupejamkan, penciuman kutajamkan, lalu mencoba menangkap aroma teh yang masih mengepulkan uap. Pelan-pelan wangi itu menyusup ke hidungku, naik ke otak dan dari sana menyebar ke semua rongga di tubuhku. Aku merasakan kesegaran yang alami dan aku seperti mencium bau tanah segar yang baru diguyur hujan. Rasanya seperti berada di perkebunan teh yang di mana-mana menghamparkan hijau.

"Hijau, aku menginginkanmu, hijau. Hijau angin, hijau reranting." Itu sajaknya Lorca, satu-satunya penyair yang kau bersedia disetubuhinya, katamu sendiri. Ah, bahkan aroma teh pun bisa menghadirkanmu lagi. Biasanya aku meludah jika sudah begini, tapi kali ini aku menelannya.

***

Aku menghabiskan satu porsi gulai kambing dengan cepat. Aku bukan hanya lapar, lebih dari itu aku tak nyaman makan dengan orang asing yang terus-menerus memerhatikanku dari jarak yang dekat. Lelaki pemilik warung itu duduk persis di hadapanku, terus-menerus memerhatikanku. Lagi pula, aku memang tak sabar dengan perbincangan yang aku yakin akan tergelar sebentar lagi, sebuah percakapan yang rasanya akan penuh dengan kejutan.

Wajah lelaki pemilik warung itu agak lebar, matanya tajam dengan alis yang cukup tebal. Dia memiliki misai juga kumis yang menyambung dengan jenggot di bawah mulutnya. Perawakannya lebih tinggi sekaligus lebih besar dariku.

"Sudah tujuh tahun saya di kota ini. Selama itu pula saya mengelola warung ini, warung kecil yang hanya buka menjelang senja."

Dia membuka pembicaraan dengan langsung mengisahkan dirinya. Aku merasa berhadapan dengan seseorang yang kesepian dan tak berkawan. Aku tak tahu mesti bersyukur atau tidak menjadi orang yang dipilihnya untuk mendengarkan kisah hidupnya. Mungkin aku orang pertama di kota ini yang mendengarnya tapi mungkin juga tidak. Aku tak tahu.

"Tujuh tahun lalu saya kehilangan istri dan anak pertama saya. Persalinan istri saya tak mulus. Pendarahan membuatnya meninggal. Sementara sungsang membuat anak pertama saya menyusul. Semua berlangsung di bawah naungan senja. Dan saya tak ada di sana. Saya masih di perjalanan pulang. Sibuk dengan diri sendiri. Rasanya begitu berat. Tiap kali melangkah, kaki rasanya seperti menginjak lumpur."

"Lalu, Anda datang kemari?"

"Ya. Saya selalu tersiksa tiap kali senja datang. Lalu saya dengar kabar tentang kota ini dan memutuskan datang ke sini. Saya pikir, tempat teraman dan mungkin terbaik justru berada di sarang musuh, dalam hal ini senja yang selalu membuatku berantakan. Begitulah, saya berharap tempat dengan senja yang paling hebat bisa meleburkan semua kesedihan sehingga semuanya menyatu dalam setiap pori dan darah. Saya ingin sedih dan merasa kehilangan setiap saat, setiap detik, sehingga kesedihan dan kehilangan pelan-pelan menjadi sesuatu yang biasa dan kehilangan daya luluhnya."

"Lantas, apa hasilnya setelah tujuh tahun di sini?"

"Apa yang saya peroleh di sini belum tentu akan sama dengan yang akan Anda dapat. Setiap orang punya caranya sendiri berdamai dengan kehilangan. Tinggallah di sini. Dan lihatlah apa yang bisa Anda jaring di setiap senja, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun."

"Aku tak berencana tinggal di sini. Sekadar singgah beberapa hari, satu atau dua minggu. Aku berencana meneruskan perjalanan ke tempat lain."

"Saya juga begitu dulu, hanya berniat singgah sebentar. Tapi, percayalah, Anda tak akan pernah bisa mengatasi hanya dengan membakar sehelai potret atau pergi sejauh-jauhnya. Setiap kali melupakan, pada saat yang sama sebenarnya kita sedang mengenang. Itu membuat kehilangan makin mengeram, lengkap dengan semua sesaknya. Lupa tak akan pernah membebaskan kita," katanya sembari tersenyum.

Lalu keheningan menjalar di antara kami. Beberapa menit berlalu dengan senyap yang membekap. Dia memandangku lekat.

"Warung ini mesti ada yang meneruskan. Saya sudah menyiapkan semuanya, termasuk berkas-berkas kepemilikan warung ini."

"Apa?"

"Ya, tinggallah di sini. Saya akan meninggalkan kota ini, kembali ke kota saya yang lama. Saya sudah menyelesaikan apa yang saya inginkan dan sudah mampu berdamai dengan semuanya."

"Aduh, aku nggak bisa. Bukannya aku tidak mau."

Lelaki itu terdiam beberapa saat. Dia lalu beranjak ke dalam. Aku mendengar suaranya yang seperti sedang membereskan sesuatu. Ketika ia kembali keluar, ia sudah membawa tas kecil yang disangkutkan ke pundaknya dan memegang sebundel kertas.

"Begini saja. Anda bermalamlah di sini, setidaknya untuk malam ini. Coba pikirkan tawaran saya. Jika ternyata Anda bersikeras ingin pergi, tak apa-apa. Kunci saja warung ini dari luar. Oya, ini salinan catatan yang saya tulis selama di sini. Mungkin bisa membantu. Setidaknya bisa jadi hiburan selama bermalam di sini."

Aku mendengarkannya sembari menunduk. Beberapa saat aku diam. Ketika mendongak, ia sudah di beranda. Dan aku hanya bisa melihat punggungnya.

***

Semalaman aku tak mampu tidur. Semua terasa begitu membingungkan. Hingga menjelang pagi, aku tetap tak tahu harus meneruskan menjaga warung ini atau tidak. Kepalaku agak pening dan mataku letih bukan main gara-gara memaksakan diri membaca catatan lelaki itu. Tulisan tangannya cukup rapi, tapi membaca puluhan lembar tulisan tangan tetap bukan pekerjaan mudah. Catatan itu pun tak berhasil membantuku mengambil keputusan.

Dia mungkin benar, setiap orang punya memoar kehilangannya masing-masing. Dan itu tak bisa dibandingkan. Setiap kehilangan punya dayanya sendiri-sendiri. Tak ada kehilangan yang sama. Pada akhirnya kehilangan akan tetap menjadi sesuatu yang sangat pribadi. Tiap orang mesti menyelesaikannya sendiri.

Aku hanya tahu bahwa membakar sehelai potretmu yang berlatar senja tak akan menyelesaikan semuanya. Potret boleh saja dibakar, tapi kesedihan dan kehilangan tidak berada di atas sehelai kertas. Kehilangan dan kesedihan itu mengeram di dadaku sendiri. Jika ada yang mesti dibakar, seharusnya dada ini, aku sendiri, yang mesti dikremasi.

Aku beranjak menuju beranda. Dari jauhan, langit mulai terang. Ada semburat kemerahan yang pelan-pelan makin lebar. Fajar sebentar lagi datang, disusul siang akan menghumbalang dan senja sudah mengintip dari jauhan. Lalu, seperti kemarin-kemarin, aku akan merayakan senja dengan mengerek lagi kesedihan dan kehilangan.

Dompet di saku celana aku raih dengan tergesa. Aku raih potretmu. Aku memegangnya dengan tangan kanan. Suasana masih gelap. Parasmu di situ tak cukup jelas karena potret ini diambil pada saat senja, sehingga latar dan parasmu di situ terlihat sedikit gelap. Aku mengangkat potret itu lebih tinggi, berharap titik sinar fajar bisa membantu. Ya, pelan-pelan aku bisa melihat senyummu di sana. Aha, sinar merah fajar itu hampir sama dengan warna latar poretmu. Ya, mirip sekali warnanya.

Apa benar potretmu ini diambil waktu senja atau saat menjelang rekah fajar. Senja atau fajar? Mungkin itu sudah tak lagi penting. Toh, senja dan fajar menandai situasi yang sama, ya… situasi perbatasan, dari siang hendak ke malam atau dari malam hendak ke siang. Keduanya sama-sama tak pasti. Kita tak tahu apa yang terjadi jika malam sudah datang, seperti halnya tak tahu apa yang akan kita alami sepanjang siang. Tinggal di sini atau melanjutkan perjalanan sama-sama tak pasti. Aku tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada senja atau fajar berikutnya, di sini atau di mana pun.

Aku kembali menatap potretmu, berharap senyummu kali ini bisa membantuku memutuskan hendak melanjutkan perjalanan ataukah tetap tinggal di sini, menjaga Warung Senja ditemani senyummu di potret yang sedang kugenggam kuat-kuat. (*)

------------------
*) Nama sebuah warung kecil di sebelah barat Alun-Alun Kidul Jogjakarta yang mulai buka beberapa saat menjelang magrib

8 komentar:

Anonim mengatakan...

cerita kedua? bukankah masih sama? atau aku saja yang tak jeli, ya?

Lida Handayani mengatakan...

Jadi juga ya, dimuat...

Anonim mengatakan...

Perempatan Kentungan pagi itu. Melihat bapak-bapak penjual koran. Dan aku ingat janjiku. Senang rasanya membaca namamu di salah satu lembar itu..:)

hiddenroof mengatakan...

ooh.. ada yah yang namanya 'warung senja', dimana yah letaknya? menu spesial yang ada disana apa aja? ^_^

Anonim mengatakan...

Sangat indah mas, terima kasih sudah menulisnya

Anonim mengatakan...

tapi luwih apik nek jogjaku nggak usah ada plasa wae, biar tetep natural, kan lebih ngresep menghayati senjane

Anonim mengatakan...

hah, benarkah bapak warung senja telah pergi...
ah, teh poci itu, bangku panjang yang kumal, tikar lusuh, bangunan tua. Yah, warung senja...
sandemoning...

Anonim mengatakan...

warung senja. matur nuwun sudah memerkenalkanku dg tempat yg sebenarnya biasa namun makin lama selalu terasa makin indah itu. teh pocinya... ah! terimakasih.