Jumat, Maret 14, 2008

Malioboro, Pada Satu Sore....

Ia dipanggil John Tatto. Di dada kirinya terpacak tatto bergambar donald bebek. Di lengan kanannya terlihat tatto yang mulai kabur tapi masih cukup jelas menampakkan tiga huruf: PAS. “Itu singkatan Perkumpulan Anak Pasar,” katanya.

Kami duduk di bangku panjang di trotoar depan Gedung Agung di ujung Malioboro. Tangan kanannya menggenggam sebotol AO, sebutan untuk salah satu merk minuman beralkohol. Saya menyimak semua geraknya: tangan kiri memegang botol dengan bagian bawah menghadap ke atas, lalu telapak tangan kanannya memukul bagian bawah botol, prak…. Sejurus kemudian, tutup botol dengan mudah dibuka hanya dengan mengulirnya. Dia menuang isi botol ke gelas kecil hingga penuh. Ia menyodorkannya pada saya seraya berujar: “Harus habis!”

Saya menghabiskannya dalam sekali tenggak. Saya masih memegang gelas kecil itu dengan tangan kiri. Mataku melongok ke dalamnya. Ada sedikit sisa busa putih yang melekat di dasar gelas. Sisanya: kosong!

Jalanan tampak ramai. Para pelancong riuh memenuhi trotoar. Beberapa duduk di bangku setengah lingkaran yang dibuat dari beton. Sesekali terdengar suara pluit tukang parkir yang mencoba membujuk pengendara motor. Tujuh becak terparkir dengan rapi di muka gerbang Benteng Vredeburg.

Beberapa saat lagi Maghrib akan tiba. Srengenge di arah barat mencuat dengan sempurna. Lampu-lampu jalan mulai bercahaya memancarkan warna yang agak mirip dengan srengenge: warna kesumba.

Seorang perempuan muda, berwajah sedikit tirus dengan rambut panjang sebahu yang tebal juga hitam, mengenakan t-shirt merah marun dan jeans hitam, tersenyum ke arah kami. “Namanya Arum. Seminggu lalu saya memasang tatto mawar di atas pusarnya,” kata John.

Saya tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Dia membalas. John berteriak: “Mau ke mana?”

“Ke ATM BNI. Nanti saya ke situ.”

Saya kenakan jaket yang terbuat dari bahan jeans berwarna hitam. Udara mulai sedikit mendingin. Saya menaikkan dua kaki. Sejurus kemudian, daguku sudah menancap di salah satu lutut. Tercium bau debu dari jeans yang saya kenakan selama 3 hari berturut-turut.

Oblo, fotografer yang bekerja sebagai stringer di kantor berita Reuters dan sedang bahu membahu dengan saya menyusun sebuah cerita untuk National Geographic edisi April 2008, masih sibuk melayangkan jepretan pada sekian objek yang dianggapnya menarik. Beberapa menit yang lalu ia mengambil gambarku yang sedang menyandar di patok besi di depan pintu gerbang Gedung Agung, saat itu saya sedang membaca "Paris La Nuit" (Paris di Waktu Malam), buku puisi Sitor Situmorang. Potretnya bagus. Saya terlihat menunduk di situ, dengan kedua kaki selonjor ke muka. Di belakang saya terlihat semburat warna merah bersemu oranye terhampar dengan perkasa.

John memandangku dengan lekat. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu. Saya melempar kulit kacang yang banyak berserakan di bawah bangku ke wajahnya yang kali ini terlihat begitu tengil. Sembari terbahak, tentu saja.

“Sudah berapa lama kau di Jogja?”

“Saya? Lama. Lumayan lama. Sejak 1999.”

“Nostalgia?”

“Hahahaha…. Nggak. Tak ada nostalgia kali ini. Jogja sudah tak begitu penting sekarang. Saya bahkan mau jual rumah. Kalau sudah terjual, tidak cukup lagi alasan untuk datang ke sini.”

“Serius? Jogja masih enak, lho….”

“Apanya? Biasa saja. Di sini, saya bisa lebih cepat tua. Jogja mungkin penting bagi hidup saya, itu pun lebih karena di sinilah saya menghabiskan banyak sekali waktu justru pada saat saya masih benar-benar segar, penuh tenaga, sarat ambisi. Hanya itu. Selebihnya, hmmm… tak ada apa-apa.”

“Maksudnya?”

“Seperti album tua. Saya sudah menyimpannya di dalam laci. Saya kunci rapat-rapat. Sesekali mungkin saya akan membukanya dan melihat foto-foto lama yang sekarang tak begitu banyak artinya.”

John seperti enggan mendebat lagi. Ia merapikan rambutnya yang kusut. Diambilnya sebatang Mild yang baru saja saya beli. Tak sampai lima detik, asap sudah mengepul dari bibirnya yang legam oleh ribuan batang rokok yang pernah dihisapnya, ratusan botol minuman keras yang telah ditenggaknya, dan puluhan malam yang sudah dihabiskannya dengan nongkrong di udara terbuka.

“John, bagi saya, setiap kota itu sama. Bedanya, seberapa banyak foto-foto lama pernah kita buat. Foto lama di Jogja itu yang terbanyak. Tapi bukan berarti saya tak bisa mengambil jarak. Saya tak sudi masa silam membunuh masa depan.”

“Janganlah kau bicara rumit-rumit macam itu.”

Saya tergelak. John, saya kira, bukan orang yang kesulitan memahami ucapan saya. Dia lama berkelana. Sepuluh tahun di Bali, dua tahun di Surabaya, setahun di Malang, masa kecil di Padang dan Riau.

“Saya sepertinya nggak bakal pindah-pindah lagi. Jogja sudah lebih dari cukup bagi saya. Tak ada kota yang bisa menerima saya sebaik Jogja. Ada saat di mana saya tak diterima di sebuah kota. Saya tak mengalami perasaan macam itu selama di Jogja. Sejak 1994.”

Saya mendengarnya sembari mengunyah kacang goreng yang dibelikan John. Saya menyimaknya dengan baik. Berharap ada kristal pengalaman yang bisa saya unduh dengan cuma-cuma. Dia meneruskan ceritanya, tentang upayanya membangun usaha jualan lele bakar yang akhirnya bangkrut, menjadi seniman lukis kaca, kemudian menjadi seniman tatto, dan terakhir menjajal peruntungan sebagai tukang becak.

“Kau bagaimana?” tanyanya tiba-tiba.

“Aku? Ah, saya beruntung tak pernah mengalami kesulitan tinggal di sebuah kota. Saya juga tak pernah mengalami perasaan ditolak oleh kota yang sedang saya singgahi. Saya bisa merasakan kesunyian, kesepian sekaligus keramaian di kota mana pun. Ada saat di mana kota yang ramai justru kian meneguhkan betapa saya seorang yang sendiri, tak peduli saat itu saya sedang di tengah keramaian sekali pun. Lain waktu ada kota yang bisa membuatku merasa ramai dan riuh kendati saya sebenarnya sedang sendirian.”

“Kau pasti banyak punya kenalan perempuan di Jogja? Ya, kan? Ngaku sajalah.”

“Tentu saja. Kau mau kukenalkan?”

“Boleh. Tapi apa mau mereka kenal dengan lelaki macam aku ini?”

“Ya, nanti aku pilihkan dari spesies yang justru senang dengan orang macam kau. Hahaha….”

“Memang ada?”

“Ada. Tenang saja. Oya, perempuan tadi siapa namanya?”

“Arum.”

“Di bagian mana lagi kau pernah menatto dia?”

“Rahasia. Hahaha…. Kau mau aku kenalkan?”

“Nggak usah. Kalau pun mau, tak perlu bantuanmu.”

“Yang benar? Yakin?”

“Iya. Aku bahkan sudah tahu umurnya. 24, kan?”

“Tahu dari mana?”

“Aku juga tahu dia membayar tatto yang kau buat tidak dengan uang, bukan?”

“Sial. Bagaimana kau tahu?”

“Hahahaha…. Dulu, diam-diam, saya sering memerhatikannya jika sedang menyetrika pakaianku. Khidmat sekali.”

“Maksudmu?”

“Dulu. Dulu sekali. Sekarang dia bagian dari foto lama yang sudah saya taruh di dalam laci yang terkunci. Namanya bukan Arum. Kena tipu kau! Hahaha….”

Lalu saya meraih mobile phone. Ada pesan pendek masuk. Maulida mengabariku pernikahannya pada 22 Maret dengan Bima. Keduanya saya kenal. Hebat juga. Berani juga dia, begitu saya pikir. Saya mengirimi pesan pendek balasan. Lima belas menit kemudian ia mengirimiku pesan pendek lagi. Saya nyengir membacanya.

“Kenapa nyengir?”

“Temanku nikah. Saya bilang padanya: Dramatic decision.”

“Lalu ia bilang apa?”

Saya sodorkan mobile phone-ku. John membacanya sedikit keras: “Its kinda dramatic decision for an adventurer like you!”

Oblo, yang saat itu sudah duduk di sebelah kami, tertawa mendengarnya.

Jogja makin malam. Jalanan makin riuh. Tapi saya tak merasakan sesuatu yang dramatis, biasa saja. Kota ini sudah lama tersimpan dalam laci. Saya meraba saku belakang celana. Kunci laci itu masih tersimpan di sana.

16 komentar:

Anonim mengatakan...

ah, oblo still rock on? salam buat dia. dulu kami sering melewatkan malam berdua di gelanggang.

Anonim mengatakan...

hiya... mau hijrah ke kota lain ya? semoga di tempat baru lebih nyaman...
gudlak mannn

Anonim mengatakan...

Kuncinya disimpan di saku belakang ya Pakdhe? Awas ngganjeng di bokong lho :p

Anonim mengatakan...

Ralat: ngganjel, bukan ngganjeng :p

sayurs mengatakan...

"Ada saat di mana kota yang ramai justru kian meneguhkan betapa saya seorang yang sendiri, tak peduli saat itu saya sedang di tengah keramaian sekali pun.."
Tapa terbaik memang tapa modern. Pandhito yang bisa bertapa di keramaian jauh berkualitas dibanding 'laku' petapa yang di gua dimana potensi godaan jauh lebih kecil..

dee mengatakan...

tato donal bebek...lucu juga tuh :D

Anonim mengatakan...

wah, dwioblo dan zen? harusnya seru nih NGI April nya...let's see

Okky Madasari mengatakan...

aku suka tulisan ini...

Haris Firdaus mengatakan...

Bung, ngopo kok iso ra nduwe tenogo maneh?

Anonim mengatakan...

mungkin memang, sang fotografer yang keren, sampe foto ini pun terlihat keren. :D great capturer! eh, mungkin ini berlaku juga untuk penangkap2 makna hidup yah? :D

zen mengatakan...

@ndoro: salamnya sudah disampaikan, pak dhe

@kw: hijrah ke medinah, mas. amien....

@melur: melur pinilih? nama yg asik

@sandal: ngganjel ki enak loh...

@sayurs: tapa? duh, kowe serius saiki yo. jyakakaka...

@dee: iya, lucu! preman bertato donald bebek.

@lamanday: ojo lali tuku national geographic edisi april yo. hehehe...

@okky: wallah, ky. komen mu ki rak mutu tenan! hihihi...

@haris: wah, panjang ceritane, bro!

@dewi: jyakakaka... artine: sik di foto rak keren, toh? *tak sobek2 kowe, wi* hahaha...

Anonim mengatakan...

Njrit!!
Tulisan ini menghipnotis gw jauh ke Jogya.

Bisa dikenalin ama si pembuat tatto gak ;p

ikram mengatakan...

bukan dibayar pakai uang,
berarti pakai daun ya zen?!

Anonim mengatakan...

tulisan terbaikmu dalam beberapa seri tulisan terakhir :D

Sayappipit mengatakan...

Fotonya bagus, pertama liat mirip anime. salut pada Fotografer n modelnya tentu. salam

Anonim mengatakan...

halo zen..salam
maaf, aku selalu telat melihat dunia.. banyak hal yang tidak pernah ku akses termasuk ketika mengunjungi blogmu ini. heheh... membaca sekilas tulisan di sini, aku merasa senang bahwa aku masih selalu terhibur membaca hal-hal aneh dan unik serta sederhana yang selama ini tidak pernah kusadari. tentunya, aku selalau mnjadi semut yang hitam dan kecil di antara lalu lalang semua orang. hehe...rupanya aku lebih senang jadi penonton. dan selalau di tribun paling belakang..hahaha...
ow, kapan ke jogja? piye Antok? salam buat di, semoga kerasan dengan jakarta. kalau ada waktu, berkunjunglah ke jogja. ke warung senja, atau malioboro yang kau tuliskan ini. mungkin lebih indah jika kita membeyangkannya dari jauh, dari seberang peristiwa prjalanan itu sendiri.
aku pamit dulu, mungkin lain waktu, tak mampir ke sini lagi.

salam.