Selasa, Desember 18, 2007

Maaf, Aku Lupa Kematianmu

Maaf, saya melupakanmu. Saya bahkan lupa kemarin adalah hari kematianmu.

Pagi ini aku terbangun dengan hati yang tak begitu baik. Masih tersisa sejumput rasa enek di dada sebelah kiri. Bengong selama setengah jam setelah terbangun menjadi makanan biasa dalam situasi macam begini.

Lalu aku melihat kalender. 18 Desember. Dan… astaga, tanggal 17 Desember. Ya, 17 Desember. Masya Allah, aku baru ingat. Maafkan. Maafkan saya. Segera aku duduk. Menyandar di tembok. Aku baca 3 kali berturut-turut surat al-Fatihah. Aku kirimkan bacaan suci itu ke alamatmu di swargaloka.

Aku mengenalmu pertama kali dari buku milik pamanku yang bersekolah di Jogja. Kalau tak salah sewaktu aku duduk di kelas 2 SMA. Lalu aku makin mengenalmu dari tulisan Sayyed Hossein Nasr, Anne Marie Schimmel dan –terutama—William Chittik. Setahun lalu aku selesai membaca karyamu yang paling monumental yang diterbitkan oleh Bentang.

Di sekitar tahun 2000-an, sewaktu aku mencecap seperti apa rasanya menjadi mahasiswa, namamu begitu terkenal. Salah satu forum diskusi yang pernah kuikuti di akhir 1999 pernah membahasmu. Seorang senior saya membacakan salah satu syairmu. Namamu menjadi bagian dari gaya hidup spiritual banyak mahasiswa di Jogja, sama seperti yang terjadi di Barat. Pada 1997, kau pernah ditahbiskan sebagai panyair paling cemerlang oleh sebuah tabloid berhaluan Kristen.

Kamu lah yang membuatku mencari, membeli, mengumpulkan, dan membaca buku-buku sufi. Mungkin ada sekira 60-an buku tentang sufi yang kumiliki berkat perkenalanku denganmu. Dari situlah saya pernah beberapa kali menulis tentang sufisme. Salah satunya diterbitkan dalam sebuah antologi buku.

Tapi, kalau dipikir-pikir, sungguh tepat waktunya perayaan hari kematianmu hampir berhimpitan harinya dengan beberapa situasi tak mengenakkan yang kualami.

Malam Minggu kemarin, di sebuah kafe yang sepi dengan gerimis yang rapat di luar, aku masih mengingatmu. Di sana aku baru saja menemukan kehilangan; sesuatu yang bukan sekali dua aku alami setelah bepergian meninggalkan Jogja dalam waktu yang cukup lama. Ya, perjalanan dan kehilangan itu seperti sepasang kekasih yang selalu bergandengan tangan. Dan itu sudah cukup untuk menautkanku denganmu. Mengingatmu lagi. Dan mengucapkan dalam hati salah satu baitmu yang paling kuingat.

Cinta, katamu, bukan semata kesenangan belaka. Ia pada mulanya sesuatu yang menyiksa dan menyakitkan. Ia adalah api yang membakar semua ilusi, termasuk ilusi ihwal jati diri, identitas dan semacamnya. Aku tak akan lupa ajaranmu ini. Satu waktu aku pernah menemani seorang kawan yang sedang jatuh dengan mewedarkan ajaranmu, seperti malam kemarin aku mendaraskan ajaranmu kembali untuk diriku sendiri.

Maaf, maafkan aku melupakan hari kematianmu yang ke-800, sesuatu yang sungguh aku tak mengerti kenapa bisa begitu. Nanti malam, aku berjanji, akan mengaji al-Matsnawi, kitabmu yang paling termasyhur.

Maafkan aku, ya... Rumi.

1 komentar:

ibn ghifarie mengatakan...

Waduh....menarik sekali tulisanya.
Ampe menginagtkan aku pada seorang kawan yang sekarang enha dimana..

Sukses selalu kawan...