Minggu, November 25, 2007

Biarkan Buku Membukakan Dirinya

Jorge Luis Borges, orang Argentina yang meraih Nobel Sastra pada 1986, pernah membayangkan surga itu seperti sebuah perpustakaan yang agung.

Tentu saja saya tahu itu metafora. Tapi bagi orang yang justru tak pernah bisa membaca secara maksimal di perpustakaan, macam saya ini, metafora Borges itu pastilah berlebihan.

Kemarin saya nonton film Everything is Illuminate. Ada seorang kakek yang tak buta tapi selalu ingin dianggap buta, namanya Baruch, yang sewaktu muda terkenal punya kelakuan aneh. Tiap hari dia berkunjung ke perpustakaan di desanya. Tapi dia tak pernah membaca. Dia hanya sibuk menenteng-nenteng buku. Ia hanya menaruh buku itu di atas meja dan diam mematung seraya memandangi tumpukan buku di hadapannya.

Saya kadang merasa seperti tokoh Baruch jika berkunjung ke perpustakaan. Selalu bersemangat melihat katalog manual maupun digital, sibuk memesan buku, tapi kerap berakhir buruk: hanya membuka-buka saja, sesekali mencatat, dan seringnya berakhir dengan menulis order foto copy (terutama jika uang saku lagi berlebih).

Tapi ini bukan hanya terjadi di perpustakaan.

80% koleksi buku yang saya punya tersusun di paviliun bagian depan rumah. Selain ada sekira 1500-an buku, di paviliun itu juga saya tumpuk koran-koran, kliping-kliping, kertas-kertas kerja yang belum selesai, majalah dan jurnal, sebiji komputer pentium 3 yang sering ngadat, serta meja bundar dan empat kursi yang semuanya dari jati. Dan, tentu saja: semuanya berantakan dan acak kadul. Simbok menyebut ruangan itu sebagai "gua hira".

Apa yang terjadi: saya sangat jarang membaca di ruangan itu. Saat susah tidur, saya sering pergi ke paviliun dan mengambil beberapa buku. Lalu duduk di kursi. Membuka-buka buku, garuk-garuk, ngudud klepus-klepus, menguap, lalu beranjak ke dalam rumah sembari menenteng buku. Sembari rebahan di karpet, saya bisa lama membaca, kadang hingga pagi. Ketika bangun, saya sering menyadari, buku di karpet itu makin banyak ketimbang malam sebelumnya.

Jika saya sedang di kantor Jakarta, yang di semua ruangannya penuh dengan buku-buku, saya juga mengalami hal serupa. Bukan sekali dua saya berada di kantor Jakarta selama seminggu atau dua minggu dan saya tak pernah membaca serius. Membaca sambil lalu saja. Sekadar say hello, barangkali. Sebagian besar waktu saya habiskan di depan monitor, bekerja, menulis, menyunting naskah, membuka blog, sesekali chatting, browsing atau menghabiskan waktu dengan rebahan di sofa empuk sembari mencari-cari film bagus di HBO, Cinemax, AXN, atau nonton bola di EPSN dan MUTV.

Ya, saya lebih bisa membaca di ruangan yang tak terlalu banyak buku. Saya bisa secara acak mengambil salah satu di antaranya dan sering berjam-jam menekuri satu biji buku saja. Jika bukunya tak menarik, saya bisa ambil yang lain, begitu dan begitu seterusnya. Tapi saya bisa lebih tahan lama memegang buku jika begitu, ketimbang di ruangan yang sesak dengan buku, entah di perpustakaan pribadi, kantor atau perpustakaan umum.

Itulah sebabnya saya menyebar 300-an koleksi buku lainnya di seantero rumah. Di depan tivi, di karpet dekat pintu, di jendela, di kamarku atau kamar adikku, di buffet, kadang di dapur juga ada. 100-an buku juga saya angkut ke kantorku di dekat alun-alun kidul Jogja.

Dengan begitu, saya berharap, saya bisa ambil salah satu buku jika sedang rebahan, nonton tivi, atau jika lagi bengong tak karuan. Dan, seperti biasanya, saya bisa lebih tahan membaca.

Saya tak tahu kenapa dan saya tak berniat mencari jawabannya. Mungkin ini memang prilaku dan kebiasaan saya.

Seorang lelaki paruh baya, berusia sekitar 46 tahun, yang koleksi bukunya 20 kali lipat lebih banyak dari saya, yang sampai menyewa sebuah rumah di tepi jurang Dago Bengkok di Bandung hanya untuk menyimpan seperenam koleksi bukunya (sisanya tersebar di Bali, Jogja, Jakarta dan tertinggal di kota-kota lain yang pernah ia kunjungi: Athena, Yerusalem, Baghdad, Bam di Iran yang hancur oleh gempa, Sabharmati di India, hingga Tibet), ternyata punya prilaku yang sama dengan saya.

Dia pernah menyewa sebuah rumah kecil yang temboknya berdempetan dengan tembok perpustakaan nasional di Salemba. Alasannya, agar bisa lebih dekat dengan perpustakaan dan bisa dengan mudah pergi ke perpustakaan jika mau.

Hasilnya, dia hanya sekali masuk ke perpustakaan itu dan itu pun berakhir dengan sia-sia: bengong nggak jelas, hanya melihat katalog, memesan buku, dan dua jam kemudian ngeloyor pergi naik bajaj ke Kwitang.

Ternyata saya tak sendiri. Ada juga orang-orang yang betah membaca, tapi tidak di perpustakaan.

******

Dua malam lalu, untuk pertama kalinya, saya memikirkan hal ini. Pemicunya sederhana: buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang: 1954-1966.

Ini buku yang punya kisahnya sendiri sampai bisa di tangan saya. Dulu, seorang teman di kampusku, mencari buku ini setengah mati untuk keperluan skripsinya tentang novel Iwan Simatupang, Merahnya Merah. Hingga dia mengundurkan diri dari kampus tanpa menggondol ijazah, saya tak berhasil membantunya. Ajaibnya, saya menemukan buku ini di sebuah toko buku tua nan sepi di pojok kota Palangkaraya, persis pada saat saya sedang tak memerlukannya.

Itu terjadi pada awal bulan September silam. Saya biarkan saja buku itu. Sewaktu saya mau berangkat ke Jakarta, seperti biasa, saya menyambangi “gua hira”, melihat-lihat rak buku, dan mengambil beberapa. Salah satunya buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang itu. Hingga dua minggu di Jakarta buku itu tak pernah saya sentuh.

Dua hari yang lalu, saya tidur sore di sela-sela rak buku di ruangan belakang kantor. Iseng saya ambil bukunya Iwan dan membacanya. Asik juga membaca surat-surat Iwan yang ia kirimkan pada karibnya, B Sularto. Tapi yang jauh lebih menarik adalah surat-surat itu –juga novel Merahnya Merah-- ditulis sewaktu Iwan sedang tinggal di Hotel Salak. Bukan tinggal sehari dua hari, tetapi menetap selama –setidaknya—dua tahun, bersama anaknya (Iwan sudah bercerai ketika itu).

Saya berpikir seperti apa rasanya seorang manusia bohemian macam Iwan tinggal di hotel selama dua tahun. Di kamar yang tak seberapa luas, dengan seorang anak, memikirkan biaya sewa, makan, dll. Iwan menyebut dirinya sebagai “manusia hotel” atau ia juga menyebutnya “manusia in transito”.

Esoknya, setelah seharian bekerja, saya berbaring di tempat yang sama, di sela-sela rak besi perpustakaan di ruangan belakang kantorku. Saya kembali memikirkan tentang “manusia hotel”. Pada satu momen saya menoleh ke buku-buku yang tersusun di sampingku. Dan: aku menemukan biografi Sofyan Ponda yang ditulis Mottinggo Boesje dan dikata-pengantari oleh Rosihan Anwar.

Ada yang tahu Sofyan Ponda? Dia orang yang banyak mendirikan hotel-hotel kelas menengah di Jakarta di tahun 70-an. Hotel Sofyan, yang salah satunya ada di Gondangdia Lama, mengambil namanya. Hotel Menteng juga dia yang bikin dan punya. Dia pernah dijuluki “raja hotel-hotel kecil”.

Saya membaca buku itu dengan senang. Menarik menelusuri kisah hidupnya yang bohemian, yang menikah sampai tiga kali, yang tetap ke bar dan panti pijat walau sudah berusia 60 tahun, dan mengagumi Conrad Hilton yang mendirikan Hotel Hilton itu. Blak-blakan dia bagi kisah hidupnya. Tanpa malu-malu.

Ada kata-kata Sofyan Ponda yang aku suka: “Orang tidak mungkin kaya karena mendirikan hotel, tapi orang kaya biasanya memiliki hotel!”

Tiba-tiba, semuanya terangkai sedemikian rupa menjadi pemahaman baru. Saya menangkap sebuah ide yang berlesatan di udara. Ya, saya akan menulis satu esai tentang ini. Dalam waktu 2,5 jam, esai itu selesai.

Belum sempurna, memang. Saya masih merasa perlu mamajang kata-kata Knut Hamsun dalam novelnya yang menggairahkan, Lapar. Kata-kata itu begitu kuat. Tanpa kata-kata Hamsun, saya merasa ada yang tak lengkap dari esai itu. Sayangnya saya hanya ingat kira-kiranya saja. Persisnya saya lupa. Dan saya tak mau gegabah. Sialnya: saya tak puna novel Hamsun itu, copy yang saya punya ada di Jogja.

Itulah sebabnya esai itu ku biarkan saja bengong di salah satu folder. Tak akan saya kirim sebelum saya baca lagi Hamsun. Sampai kapan? Entahlah. Pastinya sampai saya baca lagi novel Lapar-nya Hamsun itu.

Kapan saya bisa membaca Hamsun? Entahlah. Saya tak akan bersusah payah mencarinya. Sebab, jika memang sudah waktunya, buku itu pasti menampakkan dirinya dengan cara yang tak terduga-duga. Jika saat ini saya belum menganggap kelar esai itu dan belum juga dapat menemukan buku Hamsun, itu artinya memang belum saatnya esai itu saya kirim dan belum pula saatnya saya bisa membaca lagi Hamsun.

Seperti waktu saya menemukan buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang. Siapa yang menyangka buku itu tergeletak di toko buku tua dan sepi di Palangkaraya? 5 ribu perak harganya.

Kebetulan? Mungkin saja. Sayangnya saya tak percaya dengan kebetulan. Ya, tak ada kebetulan dalam hidup. Apa yang kita anggap kebetulan-kebetulan itu sebenarnya adalah kepingan puzzle (ke)hidup(an) yang terangkai sedemikian rupa dan lantas membentuk apa yang kita sebut sebagai “sejarah”.

James Redfield, dalam novel Celestine Prophecy yang disebut-sebut membangkitkan gelombang eko-turisme, menyebut itu sebagai “koinsidensi”.

****

Saya pernah membaca Balthasar Oddysey: Nama Tuhan yang Keseratus karangan Amin Maalouf. Buku itu mengisahkan perjalanan Balthasar, seorang saudagar buku dari Spanyol, yang bepergian dari Mesir hingga ke Inggris untuk menemukan buku Nama Tuhan yang Keseratus. Barangsiapa bisa menemukan buku itu dan bisa melafalkan nama Tuhan yang ke seratus (asmaul husna berjumlah 99 bukan?), maka kiamat bisa tertunda.

Tapi sewaktu buku itu sudah diperoleh, Balthasar susah betul membacanya. Tiap kali mulai membaca, matanya sering meremang kabur. Berkali-kali dia mencoba dan selalu gagal. Paling banter cuma dua halaman saja bisa dia baca dalam sehari. Akhirnya buku itu ia taro begitu saja. Hingga beberapa lama. Ketika ia iseng membuka buku itu lagi, ternyata Balthasar bisa membacanya. Meski kadang matanya suka meremang kabur, toh buku Nama Tuhan yang Keseratus bisa dibacanya dengan relatif mudah.

Ada kata-kata Balthasar yang bagus di situ. “Kadang buku sendiri yang memilih kapan ia bisa dibaca dan oleh siapa,” begitu kira-kira kalimat Balthasar.


Begitulah kira-kira hubungan pribadi saya dengan buku-buku. Saya sering membeli buku dan saya tak menyentuhnya hingga berbulan-bulan bahkan tahun. Sampai satu waktu –tiba-tiba—buku itu membukakan dirinya, minta untuk aku buka dan aku baca. Kadang karena buku itu tergeletak di depan tivi atau di samping kasur dan aku malas beranjak ke bunker penyimpanan buku untuk mengambil buku yang lain. Atau kadang tiba-tiba aku menyentuhnya karena pekerjaan menuntunku untuk menyentuh dan membacanya.

Banyak buku yang tak ingin saya sentuh. Tapi jika sudah waktunya, buku itu pasti aku sentuh dan aku buka lalu aku baca. Buku yang menuntun dan menentukan kapan saatnya ia mesti dibaca.

“Buku itu seperti mahluk hidup, kok!” ujar lelaki paruh baya yang sempat kuceritakan tadi itu, lelaki yang nama belakangnya sama dengan nama depanku itu.

Itulah sebabnya, barangkali, saya jarang bisa membaca tekun di perpustakaan. Barangkali seperti seorang lelaki pemula yang sudah susah payah belajar dan menghapal kata-kata cinta tapi tak mampu berbicara sepatah pun sewaktu perempuan yang ditaksirnya sudah berada di depannya; tapi di lain waktu ia bisa dengan lancar bilang “I love you” pada perempuan yang sama saat ia tak merencanakannya sama sekali.

Orang yang mencari akan ditemukan. Kalau tak salah, itu kata-kata Rumi.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus juga ide menyebar buku di seantero rumah. tapi kalo saya begitu pasti pembantu sudah mencak-mencak hahaha...

zen mengatakan...

@firman: untungnya saya gak punya pembantu, gak ada duit. saya cuma punya adik yang baru berani mindahin buku kalo udah seminggu lebih tak kusentuh. itu artinya buku-buku itu bisa dikembalikan ke ruang perpustakaan. hehehe....

Iman Brotoseno mengatakan...

wah saya punya tuh Surat Politik Iwan Simatupang...setidaknya bisa dibaca , memang nggak seabsurd " Merahnya Merah"

Anonim mengatakan...

gak penting sih, cuma mau koreksi aja. itu film judulnya "Everything is Illuminated". Kamu kurang "D" tuh, mas... *soale wingi bar nonton jew*

Anonim mengatakan...

Wah, koleksi bukunya banyak banget mas...bisa buat buka perpustakaan tingkat RT itu....hehehe..salam kenal...

Anonim mengatakan...

Tumben, tulisan ini mengandung banyak salah.

Surat2 yang ditulis Iwan Simatupang berjudul: Surat-surat Politik Iwan SImatupang: 1964-1966. Jadi, bukan 1954-1966 seperti yang Anda tulis. Terbit oleh LP3ES tahun 1986.

Zen, telitilah dengan detil.

Jangan hanya kuat di diksi, tapi lemah di akurasi informasi.