Sabtu, September 08, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (5)

: Van Der Wijk di Banjarmasin

Senin, 3 September 2007 (12.15-13.30 WITA)


Aku menemukan kembali Tenggelamnya Kapal van Der Wijk di Banjarmasin. Serta merta aku ingat kembali masa kanakku.

Di jalan Niaga, ada tiga buah toko buku. Jangan bayangkan toko buku itu macam Social Agency, kios-kios di Shopping Center, kios-kios di Palasari Bandung yang kini terbakar, kios-kios di Pasar Johar Semarang atau seperti lapak-lapak di Kwitang dan Bulungan Jakarta atau toko buku di jalan Semarang, Surabaya. Apalagi dengan toko bukunya Jose Rizal di TIM atau kios Pak Ucup di Jogja.

Salah satu di antaranya berukuran sekira 3 X 5 meter. Di sana banyak sekali buku-buku pelajaran sekolah. Di kanan kiri tembok kayu ada kotak-kotak tempat bertumpuk-tumpuk poster berjejalan. Aku perhatikan, banyak sekali poster-poster itu bergambar para ulama besar di Banjar, banyak juga poster para pemain bola luar negeri, dan sama banyaknya juga dengan poster-poster berisi pelajaran matematika hingga biologi.

Di kanan kiri di lantai, bertebaran buku-buku pelajaran. Di lajur tengah, ada papan tempat menaruh buku-buku dari jenis stensilan. Freddy S, Wiro Sableng, Abdullah Harahap, Pendekar Rajawali Sakti, dan novel-novel stensilan lainnya.

Aku melangkah ke bagian dalam. Di dekat meja kasir yang sepi, ada tiang kayu yang tak terlalu besar. Di sebelah kiri tiang itu ada beberapa tumpuk buku tua yang tak berapa banyak. Aku bergerak ke arah sana. Aku mencium “ada yang tak beres” di tumpukan itu. Aku angkat tumpukan itu. (Inilah sentuhan pertamaku pada buku yang kutemukan di Kalimantan).

Tak kuingat ada buku apa saja di sana. Yang kuingat hanya: “Mudik” (antologi cerpen lebaran yang diterbitkan Bentang –aku sudah punya), beberapa novel “Sherlock Holmes” (aku sedang tak membutuhkannya), “Namaku Hiroko” (novel NH Dini –aku sudah punya bersama novel Dini lainnya “Pada Sebuah Kapal”), “Cerita Rakyat Ajisaka” (entah versi yang mana -- aku punya salah satu versinya yang bergambar), dll.

Di tumpukan itu pula aku menemukan…. Tenggelamnya Kapal van Der Wijk yang dikarang ulama cum sastrawan yang pernah menjadi ketua MUI, Haji Abdul Karim Malik Amrullah alias HAMKA.

Tenggelamnya Kapal van Der Wijk itu kondisinya sudah cukup mengenaskan. Sampulnya sudah rontok dan entah tertinggal di mana. Aku cari-cari, siapa tahu terselip, tetap saja tak kutemukan. Di tepi bawahnya sudah sedikit grepes oleh rayap. Kertasnya lembab dan dingin.

Betapa kesepiannya engkau, hai… Zaenuddin!

Seketika aku ingat ibuku. Roman inilah yang dipakai ibuku untuk mengajariku membaca. Aku diajari mengeja oleh ibu lewat roman itu. Tentu saja sebelumnya aku sudah diperkenalkan lebih dulu dengan huruf-huruf oleh ibu. Jadi roman HAMKA itu hanya dipakai untuk mengajariku mengeja. Aku ingat, roman itu hanya dipakai beberapa halaman saja. Untuk mengeja sehalaman saja butuh waktu berhari-hari.

Ibu seorang pembaca roman yang tangguh. Roman-roman lama, terutama dari zaman Balai Pustaka, macam Layar Terkembang, Siti Nurbaya, Tak Putus Dirundung Malang, Salah Asuhan hingga novel maha tebal (tapi buruk) Grotta Azzura-nya Takdir Alisjahbana (yang kelak saya habiskan semasa di SMP) dengan mudah kutemukan di rumahku yang separuh tembok dan separuhnya dari anyaman bambu itu.

Ibu adalah guru membaca yang hebat. Sebagai guru membaca, ibu selalu berhasil memikatku untuk terus membaca dan membaca lagi.

Aku ingat, di kelas 4 SD, ibu mengajakku berlomba membaca. Lomba itu selalu digelar mulai selepas shalat berjama’ah Isya. Karena namanya lomba, pasti ada hadiahnya. Ibu tahu aku sangat doyan pisang goreng. Dan itulah hadiahnya. Peraturannya begini: siapa yang tidur lebih dulu, dia dinyatakan kalah. Jika ibu tidur lebih dulu, esoknya, sepulang mengajar dari sekolah, ibu mesti membawakanku 10 potong pisang goreng berikut bubuk-bubuk gorengan terigunya. Jika aku yang kalah, aku mesti menyapu halaman rumah plus menyiram bunga.

Ibu sering sekali kalah. Aku juga kadang menyerah, tapi seingatku ibu jauh lebih sering kalah. Itulah sebabnya aku kecanduan lomba membaca. Karena aku sering menang.

Aku selalu menagih perlombaan itu. Tentu saja tidak selalu tiap hari lomba membaca itu digelar. Tapi, setidakanya, tiga kali seminggu lomba itu pasti digelar.

Kelak, setelah aku kelas 6 SD atau kalau tidak sewaktu aku sudah menginjak SMP kelas 1, aku baru sadar, bahwa ibu sering mengalah. Ya, ibu sering pura-pura tidur duluan.

Kata Ibu: “Biar kamu terus nantang lomba baca.”

Ibu tak pernah kehabisan bahan bacaan. Dia sering membawakanku buku-buku cerita dari sekolah yang diterbitkan Dinas P & K: buku-buku yang dipojok kanan atasnya selalu ada tulisan yang dipagari kotak bertuliskan keterangan bahwa buku tersebut tidak bisa diperjualbelikan.

Selain itu, ibu sering menyuruh adik bungsunya yang sekolah di Jogja untuk membelikanku majalah Bobo bekas yang dibeli kiloan dari Shopping Center. Dua bulan sekali adik bungsu ibu, yatu oomku sendiri, pulang dan membawakanku majalah Bobo bekas bertumpuk-tumpuk.

Tapi bukan Ibu yang pertama kali mengajariku membaca. Bapak-lah orangnya.

Huruf pertama yang dikenalkan bapak adalah huruf “K”, huruf kedua adalah huruf “O”, huruf ketiga adalah huruf “M”, huruf ketiga adalah huruf “A”…..

Ya, bapak berlangganan KOMPAS. Tiap siang, setelah pulang dari sekolah, bapak selalu terlihat membaca koran itu. Satu waktu, ketika aku masih berusia empat tahun, aku bertanya pada bapak sembari menunjuk banner besar di bagian atas halaman pertama KOMPAS.

“Pak, ini huruf apa?”

“Ini huruf “K””?

“Yang ini?”

“Huruf “o”.”

Dan begitu seterusnya.

Bapak memang yang mengenalkanku pertama kali dengan huruf. Ya, huruf. Sejak kecil aku tak suka angka. Itulah sebabnya aku tak mewarisi kecerdasan bapak dalam matematika.

Tapi ibulah yang mengajariku mencintai buku dan membaca. Jika hari ini aku begitu menyukai buku dan bahkan menghidupi diriku sejak semester 3 dan membiayai kuliah adikku dengan menulis, lagi-lagi aku harus berterimakasih pada ibuku.

Ku tukar “Tenggelamnya Kapal van Der Wijk” dengan lima lembar duit seribu. Harganya hanya empat ribu, sebenarnya. Tapi aku tak berniat meminta kembaliannya.

Aku melangkah keluar dan bergerak ke jalan besar dengan kedua tangan membuka-buka halaman roman itu. Hati saya riang bukan main. Di angkutan kota bercat kuning yang akan membawaku ke terminal “Pal 6” (karena terminal itu terletak di Km. 6 jln. A Yani), aku mencoba membuka-buka lagi roman itu.

Aku kemudian ingat ibuku. Ya, ibuku. Tadi pagi, ibu mengirimiku sepucuk sms:

“Zen, msh keneh (artinya: juga) lama di kalmntn? Trs kuliah anu can (artinya: yang belum) beres aman?”

Ya, perkuliahan sudah dimulai. Aku belum lagi membayar SPP, apalagi mengisi KRS. Padahal ini semesterku yang ke-14. Semester terakhirku.

Aku baru ingat: dulu, ibu tak pernah menyuruhku membaca buku pelajaran atau mengerjakan PR.

4 komentar:

reflektif mengatakan...

“Pak, ini huruf apa?”, tanya Zen kecil.

...hm, kamu udah langsung tau kalo itu tu huruf ya?

sewaktu kecil, aku melihat apa yang kelak diperkenalkan padaku sebagai "tulisan" itu sebagai semata2 lukisan belaka (gambar).
^_^

zen mengatakan...

to nadya:

Ya, ketika itu aku udah tau kalo itu huruf. tau kenapa? Karena sebelum aku mengenal K, O, M, A, B, C, D, E.... aku sudah lebih dulu mengenal Alif, Ba, Ta, Tsa....

Dan Ibuku bilang itulah 'huruf'.

Bisa dimengerti? Hehehe...

Unknown mengatakan...

Ibu teh orang sunda? Saya tes deh pengetahuan bahasa perancis kamuh..
1. Zen tos tuang teu acan?
2. Zen tos ibak teu acan?
3. Zen tos ee teu acan?
Terjemahan:
1. Zen bilang saya cantik
2. Zen bilang saya lucu
3. Zen bilang saya imut

Huahahaha...kaburrrrrrrrrr...

Tussie Ayu mengatakan...

Aku pernah baca sebuah survei, tapi lupa lembaganya apa? kata survei itu, kebiasaan membaca diturunkan oleh ibu pada anaknya (hasil survei terbesar)...persis seperti cerita zen...

tapi aku ngga begitu...kebiasaannku diturunkan dari ayahku, walaupun kebiasaan ayah hanya sebatas baca koran...surveinya ngga terlalu akurat hehehehe...