Senin, September 03, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (3)

: Menyusuri Biografi Bapak

(Minggu, 2 September 2007, antara pukul 07.00 WIB-13.00 WIB)

Aku tiba di Borneo pada pukul 07.00 WITA. Jam di hp ku tentu saja masih pukul 06.00 WIB. Aku segera menyesuaikannya dengan waktu di Borneo. Jam kupercepat satu jam. Ini upaya adaptasi saya yang pertama dengan Borneo.

Saya melangkah tanpa satu pun pemahaman yang jelas ke mana langkah pertama di Borneo diayunkan. Akhirnya aku memilih menuju wartel yang berada di sebelah utara gerbang pelabuhan Trisakti. Jaraknya sekitar 30 m.

Beberapa orang ku hubungi. Salah satunya rumahku sendiri. Ada alamat yang harus aku tanyakan pada bapak. Aku mendapatkannya: Soewaldjio d/a Basarang km. 9 Kuala Kapuas (belakang pasar).

Lengkapkah alamat itu? Sepertinya tidak karena itu alamat yang dicatat dan diingat bapak di luar kepala sejak tahun 1975 dan tak pernah lagi di-up date. Dan biarlah kali ini saya mengisahkan sebentar salah satu urusan yang akhirnya (mesti) ku urus dengan orang bernama Soewaldjio ini.

****

Saya adalah anak pertama dari seorang lelaki yang senang keluyuran ke tempat-tempat yang jauh dan baru di masa mudanya dulu. Ya, itulah bapakku.

Sekira tahun 1975, tujuh tahun sebelum aku dilahirkan, bapak pergi ke Kalimantan. Sepenuturannya, dia ingin mengetahui seperti apa kondisi para transmigran dari Jawa di Kalimantan. Bapak bilang, ini sebagai ancang-ancang jika sewaktu-waktu beberapa orang temannya akan bertransmigrasi kelak. Bapak ingin tahu seberapa memungkinkan dan seberapa meyakinkan masa depan di daerah transmigran. Bisa dibilang, bapak mencoba menjadi pembuka jalan, kendati ia sendiri bilang dirinya belum tentu ikut bertransmigrasi.

Dalam istilah bapak: mbabat alas.

Dalam salah satu perjalannya, bapak sampai di Kabupaten Kuala Kapuas di Kalimantan Tengah, tepatnya di kecamatan Basarang. Merunut alamat yang bapak berikan, letak persisnya ada di jalan Basarang km. 9. Orang-orang di Kalimantan biasa menyebut satuan kilometer dengan kata: “pal”. (Saya ingat cerita Wiro Sableng. Bastian Tito kerap sekali menggunakan satuan “pal” untuk jarak yang jauh, sementara jarak-jarak yang dekat kerap ia gunakan frase “sepelemparan tombak”)

Di tempat itulah bapak berdiam beberapa waktu. Rencana petualangan dia berhenti di Basarang. Di tempat itulah bapak ikut merintis sekolah dasar pertama. Bapak sendiri yang menjadi pengajar di sana. Kebetulan bapak lulusan Sekolah Pendidikan Guru di Jogja. Jadi, sedikit banyak, setidaknya secara formal, bapak punya kompetensi untuk itu.

Saya tidak tahu persis berapa lama bapak di sana. Terlalu ribet untuk dikisahkan lewat telpon. Satu yang pasti, bapak banyak sekali dibantu oleh orang bernama Soewaldjio ini. Di rumah dia pula bapak berdiam. Bukan cuma itu, bapak juga berhutang budi pada orang tersebut dalam satu problem penting yang memaksa bapak akhirnya angkat kaki dari Kalimantan. Kembali ke Jawa untuk kemudian berjumpa dengan perempuan yang kelak menjadi ibuku.

Bapak sepertinya menjalin asmara dengan seorang gadis setempat. Pribumi. Atau dalam kosa kata orang-orang setempat untuk menyebut orang Dayak: “Paluhur”. Saya tak tahu nama gadis itu dan bapak sendiri menolak memberi tahu. “Jika kau sampai di sana, kau pasti akan tahu siapa nama perempuan itu,” begitu kata bapak.

Mula-mula ini bukan urusan antara bapak dengan gadis tersebut. Ini urusan antara bapak dengan ayah sang gadis. Jika boleh dipersingkat, jadinya begini: Bapak diminta kawin dengan seorang gadis Dayak oleh ayah sang gadis tersebut. Dan, aha… pria Dayak itu adalah salah satu kamitua di daerah Basarang.

Saya tidak tahu pasal apa yang membikin bapak ditaksir oleh pria Dayak itu untuk dijadikan menantu. Ganteng jelas nggak. Ibu pernah cerita dulu: “Waktu mudanya, bapak mu itu sama sekali gak tampan, lagaknya ndeso, tapi dia memang punya nyali yang besar.”

Kata bapak, siapa pun pendatang yang diminta jadi menantu oleh seorang kamitua Dayak, tidak punya banyak pilihan. Hanya bisa menerima. Jika tidak, ya macam-macamlah resikonya, dari mulai terancam secara fisik hingga hal ihwal mistik Dayak yang sudah nyaris menjadi legenda itu.

Sewaktu bapak sedang memertimbangkan semuanya, bapak tiba-tiba diserang sakit. Entah kenapa. Bapak bilang tak pernah ia sakit selama itu. Soewaldjio ini yang mengurus hari ke hari kesehatan dan kebutuhan bapak. Dan dengan bantuan Soewaldjio pula, bapak sembuh setelah urusan ribet dengan sejumlah para penyembuh tradisional.

Bapak bilang kalau dia sebenarnya tidak terlalu keberatan dengan gadis itu. Sewaktu kutanya apakah gadis itu cantik atau tidak, bapak hanya nyengir. Tahu sendirilah kau, kata bapak. Tapi bapak terganggu secara kultural dengan peradatan Dayak. Njawa dia muncul sepertinya.

Bapak akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jawa. Pindah kota atau daerah di Kalimantan, seturut nasehat Soewaldjio, tidak akan menyelesaikan masalah. Mistik lagi-lagi argumennya: selama masih di Kalimantan, kamitua itu tetap bisa berbuat banyak hal.

Bapak menemui gadis tersebut dan bilang terus terang bahwa dirinya akan kembali ke Jawa untuk sementara. Bapak berjanji akan mengirimi kabar dan jika mampu akan kembali ke Kalimantan. Bukan untuk tinggal di Kalimantan, tapi untuk menemui gadis itu kembali dan jika mungkin akan membawanya ke Jawa.

Urusan ternyata tak selesai sampai di situ. Bukan perkara mudah “minggat” dari “pengawasan” sang kamitua yang punya banyak kenalannya. Pak Soewaldjio lagi-lagi membantu Bapak. Entah dengan siasat apa, Bapak bisa keluar dari Kuala Kapuas, bergerak ke Banjarmasin dan kembali ke Jawa dengan kapal pertama yang akan berangkat ke Surabaya dari pelabuhan Trisakti.

Dalam kilas balik yang terlalu panjang untuk dikisahkan secara detail, bapak kembali ke Jawa, kembali bertualang ke Sumatera, menjadi pedagang kain di Lampung, menjadi guru honorer di Banten, dan dalam salah satu liburan di Jogja, ia bertemu dengan ibu dan menikahlah mereka di pertengahan 1980. Aku lahir dua tahun kemudian. Sebagai anak pertama dan anak lelaki satu-satunya. Itu pula yang menjadi akhir perjalanan-perjalanan panjang bapak. (Pak, mestinya kau ngerti juga kenapa anakmu ini sukar benar diajak serius ngomongin urusan jodoh. Tak maulah, setidaknya belum, hobi kelayaban ini terputus, pak.)

Bapak memintaku untuk menemui Soewaldjio. “Sampaikan terimakasih bapak padanya,” kata bapak.

“Bagaimana urusan dengan gadis itu? Siapa nama gadis itu?” tanya saya.

“Kau cari saja Pak Soewaldjio. Kau tanya apa yang kau ingin tahu. Dia bisa menceritakannya.”

“Kalau pak Soewaldjio sudah wafat?”

“Kau cari kuburnya. Kau datangi. Bacakan apa yang bisa kamu bacakan.”

"Kalau aku bisa temui gadis itu apa yang mesti ku bilang?"

"Terserah. Tapi, kau bisa memintakan maaf karena ada janji yang tak bisa bapak penuhi."

Saya diam. Kelak, jika saya bisa menemui gadis itu, kurang lebih saya akan bilang gini: "Saya tak tahu ada urusan apa kalian dulu di masa muda. Tapi saya dititipi maaf oleh bapak. Terserah maaf itu diterima atau tidak. Saya sekadar menyampaikan. Saya tak bisa membayar hutang bapak saya. Tak ada dosa turunanan di antara saya dan bapak."

Dalam hati, saya berjanji, kalimat yang sama akan saya katakan di kuburannya jika gadis tersebut sudah wafat.

Kita lihat saja, apa yang akan terjadi beberapa hari ke depan.

***

Saya tiba di Banjarmasin pukul 08.00 WITA. Saya butuh listrik. Untuk hp dan laptop. Ada sejumlah orang yang saya hubungi dan ada sejumlah catatan yang mesti segera saya susun. Tapi duit mepet. Saya cari hotel yang tampak paling jelek. Saya temukannya di pojok pasar baru.

Mereka minta bayaran 30 ribu. Saya menawarnya. Saya bilang, saya tak lama, hanya sampai sore saja. Saya minta diberi kortingan. Ibu muda yang menjadi resepsionis itu akhirnya memberi potongan harga separuh. Jadi saya hanya perlu membayar 15 ribu saja.

Losmen itu namanya Hotel Niaga. Tempat ini menarik. Di depannya ada sebuah klenteng tua, di depan sebelah kanan ada deretan kios-kios lapak yang menjual macam-macam barang. Di depan pintu ada pangkalan ojek. Suasana riuh dan juga panas.

Hotel Niaga terdiri dari dua lantai. Saya ditempatkan di lantai dua. Kamarnya kecil bukan main. Hanya berukuran 1,5 m x 2,5 m. Ada ranjang dari kayu, kasur busa, dan sepotong bantal. Di sana ada meja tulis kecil dan sebiji kipas angin. Di balik pintu ada kapstock bertangkai empat.

Saya perhatikan, ada dua lubang listrik yang bisa dipakai. Saya lega. Itu artinya hp dan laptop bisa discharge bersamaan. Tanpa cuci muka dan kamar mandi, hp saya charge dan laptop saya hidupkan.

Saya ngebut untuk menuliskan catatan perjalanan saya selama beberapa hari. Saya hitung, saya bisa menulis hingga jam 1 siang. Setelah itu saya bisa tidur selama 3 jam. Dan jam 4 saya bisa check out dari losmen ini, sesuai perjanjian saya dengan resepsionis.

Tak saya buang waktu yang tersisa. Dengan di temani segelas kopi pahit dan sebungkus rokok clasmild saya susun tiga catatan dan sebuah surat. Dua di antaranya saya posting di blog. Saya menyelesaikannya lebih cepat. Jam setengah satu semua catatan itu kelar sudah. Persis jam 12.30 WITA, saya merebahkan diri. Istirahat.

Nanti sore saya ingin ke warnet, kirim surat, posting blog dan kirim beberapa naskah esai ke beberapa koran. Malamnya, saya ingin menghabiskan waktu menelusuri jalan-jalan di Banjarmasin. Setidaknya sampai jam 10 malam. Setelah itu saya harus mencari akal, di mana saya bisa tidur dengan gratis.

Duit terlalu tipis untuk dipakai di hotel kelas jangkrik sekali pun.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

zen,
blm mau kawin krn masih pengen jalan2? sampai kapan? gimana kalo kamu kawin aja, biar ntar hasrat jalan2nya berkurang? hahahaha...
eh salam buat wanita berbibir seksi itu zen... hahahaha

Anonim mengatakan...

*penasaran menunggu apa yang akan terjadi beberapa hari kedepan*

uuh jadipengen jalan-jalan juga zen ^^