Minggu, September 02, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (2)

: Bagaskara di Laut Jawa

(Sabtu, 1 September 2007, antara pukul 13.00 WIB-18.00 WIB)

Nduk, pernahkah kau melihat pelangi kecil yang timbul-tenggelam dengan cepat? Pernahkah kau melihat langit seperti diselubungi kipas raksasa berwarna merah membara?

Aku melihatnya di atas KM Kumala dan biarlah kali ini aku mengisahkannya sedikit.

Siang itu, sekira pukul 13.00, aku melihat air laut yang dibelah oleh kapal. Kebetulan ombak mulai membesar. Kadang kapal oleng ke kiri dengan agak kuat. Agak menakutkan juga untuk orang yang baru menaiki kapal laut (feri penyeberangan tak kuhitung).

Tapi di situlah aku melihat simfoni alam yang remeh tapi menakjubkan.

Laju kapal yang membelah ombak membuat air laut menyembur ke udara. Dan di titik tertinggi semburan air itulah, ya pada air laut yang menyembur itu, aku lihat berkali-kali muncul pelangi. Durasinya pendek. Hanya hitungan detik. Kadang dua detik, kadang tiga detik kadang lima detik, untuk kemudian pelangi kecil-kecil itu lenyap. Tapi kejadian itu berulangkali muncul tiap kali ombak besar dibelah oleh laju kapal.

Aku menyaksikan rentetan pelangi kecil-kecilan sejak dari haluan hingga buritan. Kecil-kecil. Mudah hilang, tapi diganti oleh pelangi kecil lain yang datang menyusul pecahnya ombak oleh laju kapal yang mudah oleng ini. Terus begitu. Selama dua jam.

Dari pelangi ke pelangi sambung menyambung menjadi satu rangkaian kolase warna yang membuat mataku sepenuhnya dipenuhi oleh warna-warna cerah: merah, kuning, hijau….

Tiap kali melihat langit di jauhan atau lorong-lorong dek, setelah aku memerhatikan dengan lekat orkestra pelangi kecil itu, mataku serasa selalu melihat pelangi.

Nduk, kau pasti pernah melihat pelangi. Tapi pelangi yang ini berbeda. Pelangi kecil-kecilan, lebih pendek masa pertunjukkannya, dan yang pasti, kau harus menundukkan kepala untuk melihatnya karena pelangi itu ada di bawah kita, di lautan.

Ini bedanya dengan pelangi biasa yang mesti kita lihat dengan menengadahkan kepala. Karena di darat, pelangi selalu ada di ujung langit sementara di sini pelangi ada di pinggir lambung kapal.

Pelangi, nduk, pelangi. Apakah kamu pernah dengar cerita tentang pelangi sebagai jalan pulang ke kahyangan dari para bidadari yang sedang mandi di bumi? Kau pasti pernah dengar cerita Joko Tarub, pemuda yang mencuri selendang salah satu bidadari yang sedang mandi di air terjun. Jika pernah menyaksikan pelangi kecil-kecilan yang menakjubkan seperti yang aku lihat di atas KM Kumala, masihkan kau berpikir bahwa pelangi adalah jalan pulang para bidadari ke kahyangan?

Bagiku, nduk, rangkaian pelangi kecil-kecilan itu adalah “jalan pulang” kembali menjadi anak-anak. Kita, orang (yang sok) dewasa ini, kadang tak peduli dengan remeh temeh yang disediakan semesta. Kita kehilangan sifat mudah takjub yang menjadi khas anak-anak, sifat rewel yang kadang membikin penat ayah-ibunya yang dihujani pertanyaan yang mereka kira tidak penting: “Bu, pelangi tuh apa sih? Kok bisa ada pelangi? Hujan air nya dari mana, bu?

Sikap meremehkan itu, nduk, membuat kita kerap kehilangan momen untuk merenungkan sasmita yang diberikan semesta. Kepekaan pada sasmita macam itu, kadang, membuat orang bisa menjadi cukup spiritual, setidaknya dalam beberapa kerjap. Tapi selama kepekaan itu tetap dipelihara, spiritualitas beberapa kerjap itu berpeluang sambung-nyinambung dengan kerjap-kerjap pengalaman lainnya. Jika demikian, pastilah ada sedikit hal yang berubah dalam batin.

Semesta memang penuh pertanda. Tapi itu semua hanya akan menjadi gejala alam biasa jika kita tak pernah memaknainya. Semesta sebagai pertanda itulah yang membuat semesta punya kualitasnya sendiri, punya jati dirinya sendiri, semacam innerlichkeit, barangkali.

Innerlichkeit semesta itu tampil dalam caranya yang khas: sunyi, diam, tapi jelas bukan bisu. Ia tak pernah menutup diri. Jika kau berkeras memahaminya, tak perlu kau buka cangkang innerlichkeit semesta itu, sebab dia akan membukakan dirinya sendiri.

Seperti kata Rumi: “Orang yang gigih mencari, pasti akan ditemukan.”

Lewat pelangi kecil-kecilan yang berderet-deret itulah aku kembali menjadi seperti anak-anak, nduk. Tak puas-puasnya aku memelototi ombak-ombak yang dipecahkan oleh laju kapal. Tiap kali ada ombak besar yang pecah dan membuat air laut membeliak ke udara, aku berharap-harap bisa melihat pelangi kecil yang tipis. Dan jika pelangi itu benar-benar muncul, walau sebentar, aku pasti bernafas lega.

Nduk, dadaku terasa lapang. Pandangku dipenuhi warna-warna cerah, setelah sekian lama selalu pekat, seperti baju dan jeans serba hitam yang selalu kukenakan di mana pun dan pada waktu apa pun, termasuk ketika catatan ini sedang kuselesaikan.

Dan di sebelah barat, ya di sebelah barat, nduk, aku lihat langit hadir dalam ujudnya sebagai kipas raksasa yang berwarna merah membara.

Sewaktu sore mulai meremang, di ufuk barat, awan tipis dan renggang-renggang menyelubungi bagaskara yang hendak pulang. Seperti yang sering kau lihat, bagaskara di sore hari selalu tampak merah membara. Dan awan-awan yang tipis dan renggang-renggang itu, justru membuat bagaskara yang sudah tenggelam separuh ke laut itu seperti kipas raksasa. Awan-awan yang renggang itu membuat sinar bagaskara terpancar menyebar, seperti lajur-lajur kipas.

Ini jauh lebih indah ketimbang langit sore yang kau lihat jika kau sedang melakukan perjalanan dari Bandung menuju Jakarta dengan melewati tol Cipularang. Aku pernah melihatnya beberapa kali. Dari arah Bandung, aku lihat bagaskara yang membara bulat utuh. Dalam bentang alam itu, bagaskara lebih kental nuansa maskulinnya. Terlihat gagah, memang, tapi kadang justru terlihat angker karena seperti sedang menyimpan amarah, dan karenanya tampak maskulin. Seperti pemerian Dante Alighieri tentang neraka dalam karya monumentalnya, Divina Commedia, terutama di bagian pertamanya: Inferno.

Bagaskara yang kulihat sore ini, nduk, yang oleh awan-awan tipis dan renggang disulap seperti kipas raksasa yang merah membara, tampil lebih feminin. Lembut. Dan karenanya terasa akrab. Tak pernah aku merasa seakrab ini dengan bagaskara.

Lagipula, bukankah kipas lebih sering dipegang perempuan?

Ah, aku membayangkan, kipas raksasa merah membara di ufuk barat adalah kipas yang sedang kau pegang, dan entah di suatu tempat yang mana, ku bayangkan kau menatapku.

Barangkali, Tuhan Sang Pencipta Sasmita sedang menyusun kaligrafi. Ya, pelangi-pelangi kecil itu dan juga bagaskara yang tampil seperti kipas indah merah membara, pastilah kaligrafi buatannya.

Nduk, dadaku terasa penuh entah oleh apa. Aku topang wajahku dengan dua tanganku. Mataku nyalang ke arah barat.

Tiba-tiba, televisi di kantin yang aku duduki sejak siang, mengumandangkan adzan maghrib. Dan, sungguh, beberapa orang yang ada di sekitarku, yang tadinya sibuk bercakap-cakap, mendadak berhenti begitu mendengar adzan. Aku perhatikan sekeliling, mereka memang diam. Suasana sunyi. Hanya debur ombak yang terdengar begitu dekat, amat dekat.

Adzan di tengah samudera, pada saat kapal diayun-ayunkan dengan keras, terasa lebih mencucuk. Seharusnya kau ada di sini dan bersamaku mendengarkan simfoni ini.

Nduk, bagaimana kabarmu? Maaf, aku lupa menanyakannya.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

membaca ini, Sepotong Senja untuk Pacarku pasti jadi tersaingi. Kau lebih romantis dari SGA rupanya. Aku kangen. -Nduk-

Okky Madasari mengatakan...

Zen, kirimi aku kartu pos ya...seneng banget bisa jadi orang "bebas" kayak kamu..

Anonim mengatakan...

zen, sadarilah kalau ombak itu sesungguhnya dirimu... kau pasti mengerti bedanya OMBAK, KARANG, dan PULAU... aku sedang berusaha menulisnya di blog kupu-kupu yang sayapnya rapuh itu...

- jegeg -

Anonim mengatakan...

"Kepekaan pada sasmita macam itu, kadang, membuat orang bisa menjadi cukup spiritual, setidaknya dalam beberapa kerjap."
Tulisan mas mengingatkan saya tentang Lantip-nya Umar kayam.

syahranny mengatakan...

semoga nduk-mu bisa membikinmu tak menoleh pada molek gadis dayak..