Minggu, September 02, 2007

Menjadi Pejalan Jauh Lagi (1)

: Pada sebuah Kapal yang Mengingatkan pada Maut

(Sabtu, 1 September 2007, antara 08.00 WIB-13.00 WIB)

“Nduk, aku berangkat. Aku naik KM Kumala.”

Aku kirim pesan singkat itu hanya beberapa saat setelah KM Kumala bergerak meninggalkan Tanjung Perak, Surabaya.

Tak sampai lima menit, balasan pun datang. Isinya sedikit membuat tawar: “Kumala itu nama temen kecilku di Belitung. Tapi dia sudah gak ada. Meninggal waktu melahirkan L Duh. Ati2, mas. Tenan lho. Ati2.”

Aku berdiri di tepi dek 3 untuk beberapa lama. Merenungkan sebentar pesan tadi. Ada yang diam-diam menyelinap ke dalam, lewat kerongkongan, masuk ke dada dan lalu sedikit membuat sesak. Di sana, aura dingin itu hinggap dengan lindap. Entah akan bersemayam berapa lama ia di sana.

Aku perhatikan lautan. Air begitu tenang. Tapi ini sementara karena masih di sekitar pantai. Kita tak pernah tahu ada berapa badai dan ombak besar yang menunggu di tengah sana. Ya, aku insyaf akan itu.

Lalu aku masuk ke kantin. Aku pesan minuman.

“Kopi hitam pahit satu, mas!”

Aku duduk di dekat tangga. Kunyalakan rokok pertamaku. Dilanjutkan batang yang kedua dan ketiga. Sekitar 45 menit kuhabiskan untuk menelan kopi pahit hitam dan tiga batang rokok yang kusulap menjadi asap dan sampah puntung.

Aku beranjak. Melangkah ke ruang informasi. Di sana, aku memesan satu kamar. Aku harus membayar 25 ribu untuk itu. Tak apalah. Aku butuh ruang yang sedikit nyaman dan aman untuk merebahkan diri beberapa waktu sekaligus bisa menjadi tempat menyimpan ranselku yang berat. Berat juga kalau ransel berisi notebook, kamera, beberapa potong pakaian, dua buah novel dan empat antologi puisi itu aku usung ke mana-mana.

Aku dapat ruang di dek 3. Kamar no. 1. Jadi, aku berada di kamar paling depan dari seantero kapal. Di sana, aku mesti berbagi ruangan dengan seorang lelaki paruh baya. Wajahnya keras. Rambutnya cepak. Badannya pendek tapi kekar. Kulitnya hitam seperti terbakar matahari.

Dan, aha… dia ternyata seorang pelaut. Jadi, di pelayaranku yang pertama, aku sekamar dengan pelaut.

“Sepertinya cuaca bagus. Ombak kecil,” katanya pelan.

Aku nyengir. Segini dibilang kecil? Padahal aku sudah merasakan ayunan ombak. Gimana di tengah laut nanti? Dasar, pelaut!

Aku melihat jendela. Di ujung sana, samar-samar daratan terlihat. Ya, itu Madura. Aku ingat disertasi Kuntowijoyo tentang pulau yang sedang kulihat dari kejauhan. Aku pernah membacanya empat tahun lalu. Aku juga ingat dengan Zawawi Imron, Si Penyair Celurit Emas. Tak akan aku lupa sajak-sajaknya yang telah memerkenalkanku pada Madura yang kering tapi rasanya selalu tampak maskulin. Aku juga ingat Muchlis Amrin, penyair muda, seorang kawanku, yang selalu mencoba tampil gagah, tapi karena itulah ia selalu tampak lucu.

****

Setelah menyantap jatah makan siang yang diantarkan ke kamar (enak juga makan tanpa harus antri dan berebutan seperti para penumpang lain), aku beranjak ke buritan. Di sana juga ada kantin ternyata. Aku pesan minuman yang sama.

“Kopi hitam pahit satu, Mas!”

Aku geli karena saat itu aku ingat James Bond, yang selalu memesan minuman dengan gayanya yang khas: “Martini, dikocok, bukan diaduk!”

Panas menyengat di buritan. Angin kencang. Ombak kian membesar. Seseorang, sepertinya salah satu petugas kapal, terdengar berkata: “Ada satu meter nih ombak.”

Aku tak tahu apa artinya ombak satu meter, apa konsekuensinya, dan tak tahu pula apakah itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan isyarat bahwa cuaca tidak begitu bagus dan karenanya pelayaran tidak akan mulus.

Aku duduk di salah satu bangku yang terujung. Pandang ku arahkan ke sekeliling. Tak kulihat satu pun kapal lain yang melintas berpapasan dengan KM Kumala. Hanya ada air, ombak dan awan-awan yang berarak di cakrawala.

HP jadul bergetar. Aih, masih ada juga sinyal di tengah samudera begini. Sebuah pesan singkat masuk. Aku membukanya. Terbaca kalimat: “Gak enak mencintai seorang pejalan yang senang kelayaban. Kangen ora enthek-enthek.”

Aku balas pesan pendek itu tanpa kalimat, hanya deretan huruf “h” dan “i”: Hihihi….
Dia membalas: “Dasar burung Kuda.”

Ya, tawa “hihihi” memang mirip cericit burung Kuda, setidaknya begitulah yang dikatakan Atik, perempuan cantik yang menjadi biolog di novel Burung-Burung Manyar.
Tapi Burung Kuda tak pernah melintasi samudera.

Aku mengingat-ingat perjalanan-perjalananku sebelumnya. Ah, sudah lama aku tak menggelar perjalanan panjang dan jauh, bermusyawarah dengan kota-kota yang sebelumnya belum pernah kusinggahi, mengasyiki bangku-bangku di taman kota yang kusinggahi.

Perjalanan panjang terakhirku sudah lewat tiga tahun lalu. Di pengujung 2004 silam, beberapa saat usai lebaran, aku menyusuri garis pantai selatan Jawa, dari Jogja hingga Merak. Pindah dari satu kota ke kota lain, berganti bus, singgah di pantai menjelang senja, duduk di alun-alun kota yang kudatangi selepas maghrib, dan lantas melanjutkan perjalanan menjelang tengah malam. Begitu dan terus begitu. Hingga melintasi Selat Sunda, singgah di Lampung, bergerak terus ke Barat hingga Palembang.

Dari Pelembang aku kembali ke timur. Kali ini lebih ringkas karena tak singgah di setiap kota yang dilewati. Aku hanya berhenti di Tanjungkarang, Lampung, singgah di sebuah rumah sederhana: di sanalah, seseorang yang kala itu begitu penting bagi saya berdiam. Dan sesungguhnya, untuk menemui dialah perjalanan panjang kala itu digelar.

Sejak itu aku tak pernah menggelar perjalanan panjang lagi. Sesekali aku datang ke Bandung, Semarang, Surabaya, Cilacap, Bali, Cirebon dan terutama Jakarta. Tapi kota-kota itu sudah pernah kukunjungi sebelumnya. Tak banyak yang bisa dipuaskan dari perjalanan-perjalanan pendek itu.

Ini ironi terbesarku sebenarnya. Setelah aku membuat www.pejalanjauh.blogspot.com, aku justru tak pernah berjalan jauh lagi. Memalukkan.

*****

Baiklah, aku akan berterus terang: Aku begitu terobsesi dengan perjalanan panjang karena sebuah film dan sebiji novel.

Film itu berjudul Y Tu Mama Tumbien karya Alfonso Cuaron. Film itu ku tonton jauh sebelum aku menikmati Motorcycle Diary yang mengisahkan perjalanan Guevara Muda melintasi Amerika Latin (aku jamin, film Tiga Hari Untuk Selamanya karya Riri Reza tak ada apa-apanya di banding film Y Tu Mama Tumbien ini, sementara Motorcycle Diary satu strip di bawah Y Tu Mama Tumbien).

Praktis Y Tu Mama Tumbien lah yang memengaruhiku. Film yang mengisahkan perjalanan dua orang muda dan seorang gadis dengan mengendarai mobil doyok itu membukakan mataku: aku ini benar-benar katak dalam tempurung.

Dan novel Gao Xingjian, Gunung Jiwa atau Ling Shan, menjadi pemicu kedua dari hasratku menggelar perjalanan.

Gunung Jiwa mengisahkan perjalanan Gao menelusuri sungai Yang Tze sepanjang ribuan mil. Di sana, Gao bercakap-cakap dengan tokoh “kau” yang sebenarnya adalah dirinya sendiri, semacam alter ego, barangkali. Tokoh “aku” dan “kau” berganti-ganti posisi di sana, membuatku hanyut dalam apa yang oleh para kritikus sastra sebut sebagai “stream of consciesness”. Sebenarnya, novel James Joyce, A Portrait of the Artist as A Young Man, jauh lebih baik dalam hal memaparkan teknik straem of consciesness, tapi bagi biografiku sendiri, Gunung Jiwa jauh lebih berpengaruh.

Gunung Jiwa ditulis setelah Gao divonis mengidap kanker paru-paru yang akut dan setelah dia dianggap telah terpolusi oleh kebudayaan Barat menurut rezim komunis RRC.

Di novel itulah, Gao bercakap-cakap dengan banyak sekali mitos, orang-orang baru, legenda-legenda dan terutama dengan dirinya sendiri. Di bagian akhir, saya akhirnya tahu, perjalanan itu berhasil membebaskan Gao dari banyak sekali prasangka, ketakutan, hingga frustasi.

Dari Gao, aku menemukan kesadaran bahwa perjalanan yang panjang dan jauh dengan menempuhi tempat-tempat baru yang belum dikenal, berpeluang membebaskan para pejalan dari prasangka-prasangka, ketakutan dan banyak hal lain yang bersemayam di ruang bawah sadar.

Bagi saya, Gunung Jiwa bahkan lebih baik dari The Alchemist yang banyak disebut-sebut itu, apalagi dengan A Chasing of Rumi yang dikarang Roger Houdson. Betapa pun The Alchemist mengandung banyak sekali parapgraf-paragraf cemerlang, tapi bagiku the Alchemist terlalu didaktis, sarat dengan khotbah.

Y Tu Mama Tumbein dan Gunung Jiwa mengajarkanku bahwa hakikat perjalanan tidak terletak pada kota yang hendak dituju, tapi perjalanan itulah hakikatnya. Perjalanan untuk tujuan perjalanan. Perjalanan demi perjalanan itu sendiri.

Y Tu Mama Tumbien dan Gunung Jiwa juga mengajarkanku bahwa sikap terbaik menghayati perjalanan adalah dengan memerlakukan perjalanan itu dengan dipenuhi sikap terbuka dan membuka diri pada banyak kemungkinan yang muncul. Barangkali seperti membaca puisi, di mana setiap paragraf bisa dibaca sebagai kelopak yang kita buka pelan-pelan. Itulah sebabnya aku membekali diri dengan empat antologi puisi.

Terutama pada Gao, ia selalu menemukan nilai-nilai baru pada satu tempat yang disinggahinya, tapi ia selalu menemukan nilai-nilai itu mesti ia rombak kembali sewaktu ia menemukan nilai baru di kota lain yang ia singgahi kemudian.

The Alchemist, di titimangsa ini, terasa jauh lebih prosais. Maaf, tuan Coelho.

*****

Badanku mendadak terjajar. Ombak makin besar. Aku tekuk kedua lututku dan kupeluk lutut itu di dadaku. Pelan-pelan, aku hisap rokokku yang entah batang keberapa. Ku kepulkan asapnya.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Aku bilang pada Kumala, "jaga Burung Kudaku baik-baik," dan dia pun tersenyum... -atik-

reflektif mengatakan...

waduh Zen...Y tu mama tambien emang bagus baangeeett. Kebetulan ini film favoritku sepanjang masa, makanya aku tahu film ini bukan Inarritu punya. Nama sutradaranya Alfonso Cuaron.

Aku jatuh cinta dengan Cuaron (benar-benar jatuh cinta!) sejak nonton Great Expectations. 'Feel'-nya dapet banget.

3 hari untuk selamanya memang sedikit mengingatkan pada Y tu mama tambien ya?

Innaritu juga keren, tapi ga sampe bikin jatuh hati. Dia agak2 ng-otak menurutku. Pertama kali yang kutonton 21 gram (ga sengaja beli di jl. mataram, tertarik ma sean penn-nya doang), dan...gila banget. Pada awalnya dahi berkernyit karena alur penceritaan 'khas'-nya itu. Lama-lama baru nyadar, "Oh! Kerennya!", terutama karena perenungan2 yang bisa dia timbulkan di aku. Buatku dia ada sedikit tipe penyampai 'nasihat', jadi terasa agak 'terbebani'. Bolehlah film-film begini, tapi setelah nonton Amores Perros, tambah Babel pula, kok jadi terasa membosankan ya? Semua film panjang dia tuh gaya penceritaannya serupa: tiga kisah dengan plot masing-masing yang saling terkait karena satu peristiwa.

Komenku panjang banget ga apa2-kah? Cuma komentar seputar film lagi. Ya maap, kalo soal Alfonso Cuaron aku ga bisa diem aja, hehehe. Salam buat Atik Devianti, gadis cantik yang bisa bicara dengan kapal ^__^ Btw kamu jadi Seto atau Jana nih ceritanya? Terus menyejarah, sejarawan muda! (hehehehehehe, peace yo!)

ikram mengatakan...

Aku tak tahu apa artinya ombak satu meter, apa konsekuensinya, dan tak tahu pula apakah itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan isyarat bahwa cuaca tidak begitu bagus dan karenanya pelayaran tidak akan mulus

Mungkin yang dimaksud dengan "ombak satu meter" adalah ketinggian ombak itu Zen, mencapai satu meter.

Artinya kamu terombang-ambing dan naik-turun sejauh satu meter. Lumayan bukan? :)

zen mengatakan...

anonymous: Kumala telah membawaku tiba di Kalimantan.

Nadya: Koreksimu bener. Payah memang ingatanku untuk hal-hal sepele. Sudah direvisi sekarang Cuaron-nya.

Ikram: Lumayan, Kram. Sempet bikin perut rasanya aneh. Untung aku gak mabuk. Malu sama Pram kalau mabuk laut.

Anonim mengatakan...

kamu benar zen, perjalanan, bukan tujuan. karena kita tak mungkin selalu statis, selalu ada tujuan berikutnya.

dan aku suka sekali berada di tengah laut. walaupun aku agak mabuk laut. :p