Saya baru saja membaca kritik Arya Gunawan terhadap materi pernyataan sikap menolak pembakaran buku sejarah (salah satu tulisan Arya Gunawan ada di bagian bawah postingan ini).
Tolong sampaikan pertanyaan saya pada Arya Gunawan:
1. Kapan Pramoedya membakar buku? Di mana? Buku apa saja yang dibakar?
2. Kapan LEKRA membakar buku? Di mana? Buku apa saja yang dibakar?
3. Siapa yang sebenarnya membakar buku? Pram atau LEKRA atau PKI atau ketiganya?
Saya harus bertanya ini karena "kasus" pembakaran buku oleh Pram dan LEKRA sudah dipercaya seperti sebuah kebenaran tanpa orang merasa perlu menjelaskan di mana dan kapan pembakaran itu dilakukan. "Sialnya", orang-orang yang percaya kebanyakan hanya merujuk buku Prahara Budaya-nya Taufik Ismail, buku yang bagi saya tidak otoritatif dan dipenuhi semangat "memberangus" kenyataan sejarah secara proporsional.
Tolong sampaikan pada Arya Gunawan , saya menantangnya untuk berbicara secara detail mengenai perkara ini. Dan juga jernih. Juga proporsional. Supaya jelas duduk perkaranya.
Salam polemik!
zen rs
Berikut tulisan Lengkap Arya Gunawan:
Yang mengherankan saya adalah: tak satupun di antara penyusun naskah pernyataan tersebut yang ingat akan fakta penting mengenai pembakaran buku oleh Pram dan Lekra (lihat, misalnya, buku Prahara Budaya yang disusun Taufiq Ismail dan DS Moeljanto). Lebih heran lagi karena di antara nama para penandatangan tercantum pula mereka-mereka yang sangat mustahil lupa pada fakta penting tersebut. Misalnya saja Mas GM, yang notabene adalah salah satu “korban” serangan Pram dan Lekra, juga sejarawan Asvi Warman. Atau jangan-jangan para penandatangan ini tidak membaca draf naskah pernyataan tersebut? Kalau ini yang terjadi, maka situasinya menjadi lebih aneh lagi.
Sebagian kita tentu tahu, belakangan ini Mas GM memang sudah memaafkan kesalahan Pram dan Lekra. Namun bukan berarti fakta sejarah tersebut harus dilupakan. Let us forgive, but not forget. Konteks surat pernyataan tersebut sebetulnya sangat tepat untuk kembali mengingatkan kita semua bahwa jauh sebelum Nurmahmudi dan lain-lain melakukan “kekerasan intelektual” lewat aksi pembakaran buku sejarah, yang tak mencantumkan kata “PKI” itu, PKI sendiri sudah mempelopori gerakan tersebut (mungkin pada masa itu PKI berkaca pada rezim Nazi Hitler lewat aksinya di tahun 1930-an yang dikutip oleh surat pernyataan tersebut).
Tidak tercantumnya perilaku Pram dan Lekra termasuk dalam pengabaian fakta (omission of facts), dan omission of facts dapat mengarah pada kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan. Ataukah memang ada mekanisme bawah sadar untuk mengingkari fakta tentang Pram dan Lekra tersebut, dengan setidaknya dua alasan?
Pertama, Pram telah menempati posisi yang begitu tinggi sehingga mengungkit kembali perilakunya membakari buku-buku lawan ideologisnya pada masa itu dapat menggerus posisi terhormatnya. Kedua, jika Pram dijadikan sebagai contoh maka akan tersajilah potret yang lumayan ironis: Nurmahmudi dan lain-lain membakari buku karena terkait dengan hilangnya kata "PKI" dalam buku-buku itu, sedangkan Pram yang pernah dihukum karena disebut-sebut terkait PKI ternyata pernah pula melakukan tindak pembakaran yang sama.
Akhirulkalam, pengabaian fakta Pram dan Lekra tadi lalu pada saat yang sama dengan cepat mengingat perbuatan rezim Nazi Hitler yang jauh secara georafis dan waktu, ibarat pepatah lama kita: semut di seberang laut kelihatan, gajah di pelupuk mata tak tertampak. Atau kita memang takut menepuk air di dulang lantaran tak ingin terpercik muka sendiri?
-- Arya Gunawan
* Undangan berdiskusi dengan Arya Gunawan ini saya ajukan di milis jurnalisme-sastrawi
Senin, Agustus 13, 2007
Tantangan Terbuka Buat Arya Gunawan
Diposting oleh zen di 2:33 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
4 komentar:
arya gunawan kan (ex) wartawan katrok...
dia simpatisan PKS jehh... mangkanya mendukung Nurmahmudi Ismail tanpa reserve
Kawan, aku tetap mendukungmu! pernyataan mereka yang menyudutkan Pram harus dilawan. mereka tak paham sejarah, mereka hanya kaki tangan tuan-tuan pangemanan. jangan salahkan kita, Minke kalau kita harus bertindak dengan otak dan rasio yang cukup. mereka hanya kucing garong sejarah manusia.
salam damai kawan!
keren. pamei sudah menggali kapak perang. sebentar lagi tomahawk melayang. ngeri deh.
Untuk Arya Perdhana:
Nggak ada cara lain selain menyerang pribadi ya Mas? Menyedihkan.
Posting Komentar