Jika Bung Hatta masih hidup, 12 Agustus ini ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-105. Dan jika saya berkesempatan mengucapkan selamat ulang tahun, saya akan bertanya padanya: “Bung, apakah Papua sebaiknya dibiarkan merdeka saja?”
Bung Hatta orang terdepan yang menolak Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Pendirian itu diutarakannya dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10 Juli 1945.
Hatta tidak hanya berhadapan dengan Soekarno dan Soepomo, juga dengan Agus Salim dan terutama Muhammad Yamin. Orang yang terakhir ini pernah berpidato di hadapan sidang BPUPKI pada 31 Mei dengan menyitir Kitab Negarakrtagama, terutama syair 13-15 yang berisi uraian Mpu Prapanca ihwal luas wilayah Nusantara pada masa kekuasaan Majapahit.
Dengan dingin dan tanpa basa-basi, Hatta bicara: “Saya belum dapat menerimanya oleh karena kalau kita tinjau dari ilmu pengetahuan maka ilmu selalu mulai dengan twijfel, tidak percaya. Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang menyatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mengakui bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia.”
Tak hanya Papua, Bung Hatta pun menolak memasukkan Malaya dan Borneo Utara (sekarang Malaysia) ke dalam wilayah Indonesia. Dia baru menerima jika bangsa Malaya sendiri yang menyatakan bergabung dengan Indonesia. Bung Hatta hanya menuntut wilayah Hindia Belanda, minus Papua.
Kita tahu, pendirian Hatta tidak diterima oleh nyaris semua anggota BPUPKI. Dalam voting, usul Hatta hanya didukung 6 suara.
39 anggota BPUPKI yang menyetujui Papua (juga Aceh dan Timor) dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia pastilah tak bisa begitu saja dipersalahkan dalam berderet pelanggaran HAM di Aceh, Timor dan Papua, terutama sepanjang kekuasaan Orde Baru. Tapi mereka, juga Hatta, terkait dengan itu karena biar bagaimana pun merekalah yang menyusun konsensus memasukkan tiga wilayah itu ke dalam Indonesia.
Jika pun Hatta mesti ikut bertanggungjawab, pertanggungjawaban yang kita minta dari Hatta mesti disertai dengan satu catataan yang mesti digarisbawahi: Hatta-lah satu-satunya orang yang pada sidang BPUPKI sudah memeringatkan bahaya nasionalisme yang chauvinistik, nasionalisme yang memberhalakan persatuan di atas segala-segalanya.
Dalam interupsinya untuk menolak argumen Yamin dan Soekarno, Hatta secara eksplisit sudah berbicara ihwal “nasionalisme yang meluap-luap keluar”. “Hanya tentang Papua saya dengar kemarin uraian-uraian yang menguatirkan, oleh karena dapat timbul kesan ke luar, bahwa kita seolah-olah mulai dengan tuntutan yang agak imperialistik. …Seumur hidup kita menentang imperialisme, janganlah kita memberi kepada pemuda kita anjuran atau semangat imperialisme, semangat meluap keluar,” katanya.
Didera oleh pidato panjang Yamin yang meyakinkan, yang menyuguhkan teori etnologi ihwal kultur und boden yang ditingkahi kutipan-kutipan klasik dari Mpu Prapanca, Hatta maju dengan dingin dan menuntut bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tak dibiarkannya pidato Yamin yang menggebu-gebu itu merebut akal sehatnya.
Bukan hanya pada soal Papua saja Bung Hatta menunjukkan pendiriannya. Dia juga orang pertama yang mengajukan keberatan atas pandangan Soepomo-Soekarno yang menolak dimasukkannya klausul hak warga negara dalam konstitusi.
Hatta, yang kali ini didukung sekuatnya oleh Yamin, menuntut agar hak warga negara dicantumkan secara eksplisit dalam konstitusi. Hatta sudah mencium gelagat di mana warga negara hanya diperlakukan sebagai people yang hanya memiliki kewajiban dan bukan human being yang memiliki hak-hak yang mesti dijamin konstitusi.
Sejak menjadi mahasiswa di Belanda, Hatta sudah memelajari federalisme dan dia pernah pula menjadi penganjur federalisme. Di bawah kepemimpinan Hatta pula Indonesia mengalami seperti apa rasanya menjadi negara federal yaitu pada periode Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berakhir pada 17 Agusus 1950. Hatta sendiri yang menjadi Perdana Menteri RIS.
Hatta bukanlah orang yang anti persatuan. Sejak menjadi aktivis pergerakan, Hatta selalu menganjurkan persatuan. Tetapi persatuan bukanlah tujuan apalagi berhala. Persatuan yang didaulat sebagai tujuan dan berhala, bagi Hatta, pastilah akan menjadi persatean.
Bagi Hatta, masalahnya bukan sekadar mengumpulkan daerah-daerah di Nusantara menjadi kesatuan darat-laut-udara, tetapi lebih bagaimana mengikat daerah-daerah yang bersatu itu dengan kebijakan yang tepat guna dengan mengedepankan kepentingan daerah dan menyapa rakyat di daerah dengan kebijakan yang mampu mencukupi faal kebutuhannya.
Ketika menolak usul Soekarno-Soepomo, Hatta menguraikan visinya tentang negara: “Kita menghendaki negara pengurus. …Supaya negara pengurus ini nanti jangan menjadi negara kekuasaan, negara penindas,” tegasnya. Hatta ingin agar negara menjadi pengurus kebutuhan rakyat dan hak-hak rakyat.
Ketika berlangsung peristiwa PRRI/PERMESTA, Hatta menolak memberi dukungan tetapi pada saat yang sama menolak dengan tegas penyelesaian secara militer. Sikap Hatta yang pertama mencerminkan keinginan melihat Indonesia yang bersatu, tapi sikap Hatta yang kedua mencerminkan pendiriannya ihwal bagaimana cara memerlakukan daerah secara manusiawi.
Hatta sejak dulu sudah bicara ihwal otonomi daerah, barangkali sebagai kompensasi kegagalannya memertahankan federalisme RIS. Bagi Hatta, pembangunan sebaiknya dilakukan dengan otonomi yang diletakkan pada kabupaten. “Provinsi dalam sistem ini menjadi badan koordinasi dari semua kabupaten. …Dengan menitikberatkan pada otonomi kabupaten, maka kabupaten dapat memimpin perkembangan otonomi desa berangsur-angsur, sampai juga di desa tercapai ‘mengurus rumah tangga sendiri di dalam arti yang sebenar-benarnya,” ucap Hatta pada salah satu pidatonya.
Jika pengelolaan negara dibaca dalam perspektif gerak sejarah ala Toynbee, otonomi daerah adalah jawaban atas kegagalan pengelolaan negara yang sentralistis, negara yang bukan pengurus, tetapi negara kekuasaan. Sementara konsep otonomi khusus yang diperluas di Aceh dan Papua pastilah jawaban atas imbas negara kekuasaan yang sentralistik yang tak lagi mampu dijawab bahkan oleh sekadar otonomi daerah.
Saya membayangkan, di ulang tahunnya yang ke-105, Hatta yang renta dan sudah pikun pasti bergumam lirih: “Seandainya sejak dulu kalian memerhatikan dengan seksama apa yang saya uraikan… Ah!”
Mungkin Hatta masih ingin bicara tentang federalisme. Tapi telinga saya sudah tak mampu mendengar gumaman Hatta, karena suara Hatta terlalu lirih di tengah gebalau suara yang memekakkan: “NKRI… NKRI… NKRI”!
Selamat ulang tahun, Bung!
6 komentar:
Minta izin bukmark buat di sideblog saya ya...Thanks.
ya kadang jiwa yang menggelora belumlah cukup..mudah-mudahan Indonesia sekarang sedang melalui jalan Hatta..
salam kenal.
Saya rasa Hatta tidak akan mengeluh seperti itu "seandainya kalian mendengarkan saya" itu juga nggak Hatta banget saya rasa.
Saya ndak kenal banget siapa Hatta, tapi saya percaya bila Hatta masih hidup sekarang yang Hatta katakan adalah sesuatu yang lebih positif.
to arka:
itu bukan keluhan, loh. tapi satu retrospeksi. tapi mungkin arka yang benar. toh itu adalah pengandaian saya.
Soal penolakan terhadap Papua, itu trejadi saat berbicara dengan Bung Karno.
Menurut Bung Hatta, Papua dan Maluku hanya akan mendatangkan masalah bagi Indonesia di kemudian hari (baca: biaya yang dikeluarkan untuk daerah itu sangat besar). Sehingga harusnya dicoret dari kedaulatan RI.
Tapi Bung Karno menolak karena Papua dan Maluku masih diperlukan Indonesia dalam rangka bentuk diplomasi kebangsaan semata.
I do agree the world without boundaries
Posting Komentar