Rabu, Agustus 15, 2007

Kronik Rengasdengklok dan Soekarni yang Lucu

Kenapa Soekarno-Hatta "diculik" ke Rengasdengklok?

Karena Soekarno-Hatta tak bisa didesak oleh para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan secepat-cepatnya.

Pada malam 15 Agustus 1945, sekitar pukul 22.00, sejumlah perwakilan para pemuda, di antaranya Chairul Saleh dan Wikana, mendatangi kediaman Soekarno di jalan Pegangsan Timur 56. Di sana bukan hanya ada Soekarno, tapi juga ada Hatta, Achmad Soebardjo, Iwa Koesoema Soemantri hingga Seodiro (kelak menjadi gubernur Jakarta pertama).

Pada kesempatan itulah para pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk secepat-cepatnya memproklamirkan kemerdekaan.

Wikana bilang begini: “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan da penumpahan darah!”

Soekarno naik darah. Dia bangkit dan menunjukkan batang lehernya pada Wikana: “Ini leherku, seretlah aku ke pojok ke sana dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menungu sampai besok!”

Wikana yang masih berusia sekitar duapuluhan itu terperanjat. Dia terkejut juga menyaksikan respon seniornya seraya menjelaskan dengan terbata-bata: “Maksud kamu bukan membunuh Bung….”

Sejurus kemudian, Hatta ikut memeringatkan Wikana. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, tegas Hatta, “Mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu?”

Kapan pemuda merencanakan “penculikan”?

Malam itu juga. Sepulang dari kediaman Soekarno, mereka berkumpul di laboratorium Bakteriologi di jalan Pegangsaan Timur 17. Pada pertemuan itulah “penculikan” direncanakan.

Kapan "penculikan" itu dilakukan?

Sekitar jam 04.oo pagi. Ketika itu baru saja waktu sahur habis.

Siapa saja yang “menculik”?

Ada dua tim yang melakukan “penculikan”.

Tim pertama dari kelompok Menteng 31 (sekarang Gedung Juang ‘45), yang dipimpin Chairul Saleh dan Soekarni menjemput Bung Karno, mendatangi Bung Karno. Para pemuda Menteng 31 ini kelak banyak yang menjadi aktivis PKI (DN Aidit termasuk kelompok ini), dan sebagiannya lagi menjadi pengikut Tan Malaka.

Tim kedua dari kelmpok Prapatan 10 (sekitar depan/sebelah utara pasar buku loak Kwitang sekarang), yang dipimpin Daan Jahja dan Soebianto Djojohadikoesoemo, mendatangi Bung Hatta. Kelompok ini kebanyakan berada di bawah pengaruh Soetan Sjahrir. Di tempat inilah elit-elit Partai Sosialis Indonesia, seperti Soedjatmoko, Djohan Sjahroezah atau Soebadio Sastrosatomo, tinggal selama pendudukan Jepang.

Dua kelompok ini bukan sekali dua berselisih paham selama pendudukan Jepang. Tapi pada detik-detik menjelang Proklamasi, mereka seperti bersepakat untuk kompak.

Apa yang mereka lakukan agar bisa membawa Soekarno-Hatta?

Saya tidak tahu persis apa yang mereka lakukan pada Soekarno. Tapi pada Hatta, cukup jelas, mereka bilang hendak mengamankan Hatta dari kemungkinan munculnya pertumpahan darah besok hari.

Hatta berkata: “Dengan menyerang kekuatan Jepang di Jakarta, saudara bukan melakukan revolusi, tetapi melakukan putsch yang akan membunuh revolusi!”

Salah seorang dari mereka menjawab: “Ini sudah menjadi keputusan kami semua dan tidak dapat dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno dan pergi ke Rengasdengklok.”

Kenapa memilih Rengasdengklok?

Satu hal cukup jelas: Rengasdengklok adalah satu-satunya wilayah di seputara Jakarta, bahkan mungkin di seantero Jawa, yang telah berhasil dikuasai oleh para Republiken.

Sehari sebelumnya, Kompi PETA yang dipimpin Chudancho Soebeno, berhasil menugasai Karawang dan bahkan berhasil pula merebut senjata senjata tentara Jepang. Jika ditanya daerah mana yang lebih dulu menikmati “kemerdekaan”, barangkali dan dalam kriteria tertentu, Rengsadengklok adalah jawabannya.

Camat Rengasdengklok sudah lebih dulu ditahan oleh para pemuda.

Di mana Soekarno-Hatta ditempatkan?

Pertama di markas PETA Karawang. Kemudian dipindahkan ke sebuah rumah tua yang dimiliki seorang Tionghoa yang sudah lebih dikosongkan.

Ngapain aja mereka selama di Rengasdengklok?

Para pemuda sekali lagi mencoba mendesak Soekarno untuk memproklamirkan kemerdekaan secepat-cepatnya. Asumsi mereka, jika Soekarno-Hatta “ditangan” mereka, dua Bung itu akan lebih melunak.

Tapi ternyata tidak. Salah seorang pemuda kembali mendesak Soekarno-Hatta dengan kata-kata: "Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu...."

Belum selesai pemuda itu berkata, Soekarno langsung beranjak dari duduknya dan menyergah: "Lalu apa?"

Hatta juga sempat bertanya pada Soekarni apakah yang mereka maksudkan sebagai revolusi sudah berlangsung di Jakarta?

Soekarni menjawab: “Saya belum dapat kabar dari Jakarta.”

Tentu saja Soekarno tak mendapat kabar karena apa yang mereka sebut revolusi sama sekali tak berlangsung di Jakarta. Mereka sendiri tak merencanakan revolusi itu. Mereka hanya sempat sejumlah massa pemuda. Bisa dibilang, para pemuda ini berhasil “mengakali” dua seniornya.

Bagaimana kondisi di Jakarta?

Tidak ada satu pun letusan senjata apalagi revolusi dan pertumpahan darah.

Sedianya, hari itu akan digelar rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar rapat. Tapi rapat gagal karena Soekarno-Hatta yang mengundangnya sendiri “diculik” ke Rengasdengklok. Orang-orang seperti Achmad Sobardjo atau Iwa Koesoemasoemantri sempat kebingungan mencari Soekarno-Hatta. Begitu juga para petinggi Jepang di Jakarta.

Achmad Soebardjo, yang kelak menjadi Menlu Indonesia pertama, sempat menemui Laksamana Maeda. Soebardjo mendengar pernyataan bahwa Maeda bersedia bekerjasama untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia kendati Panglima Tentara Jepang di Jakarta, Letnan Jendral Nagano, berpegang teguh kepada perintah Pimpinan Sekutu, Laksamana Mountbatten, bahwa Jepang harus mempertahankan status quo dengan menunggu kedatangan Sekutu.

Bagaimana Soekarno-Hatta bisa kembali ke Jakarta?

Karena Achmad Soebardjo berhasil mengetahui di mana Soekarno-Hatta berada dan Soebardjo sendiri yang pergi menjemput ke Rengasdengklok. Soebardjo tiba sekitar pukul 18.00.

Soebardjo mengatakan pada para pemuda: “Buat apa para pemimpin kita berada di sini sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekaslekasnya di Jakarta?’

Bagaimana prosesnya?

Soebardjo bilang bahwa dia diperintahkan oleh Gunseikan untuk menjemput Soekarno-Hatta.

Dia memberikan jaminan bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan esok hari, selambat-lambatnya pukul 12.00. Jaminan Soebardjo itu membuat Soebeno akhirnya bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta.

Maka kembalilah Soekarno-Hatta ke Jakarta.

Apa yang terjadi di perjalanan pulang?

Soekarno dan Hatta menumpang otto milik Soebardjo. Bersama Soekarno juga. Sementara Fatmawati dan Guntur Soekarno Putra menumpan otto Soetardjo.

Di tengah perjalanan, terlihat langit berwarna merah seperti ada kebakaran hebat. Soekarni berkoar-koar di dalam otto: “Bung, rakyat sudah mulai berontak, membakari rumah-rumah orang Tionghoa. Lebih baik kita berangkat ke Rengasdengklok!”

Soekarno menolak usulan Soekarni. Dia ingin kondisi yang sebenarnya. Pada satu tempat mereka berhenti. Sopir yang disuruh memeriksa keadaan yang sebenarnya lantas melaporkan: “Itu hanya rakyat yang membakar jerami.”

Hahahaha…. Saya bayangkan Soekarni menahan malu. Kalau saya ada di sana, mungkin saya akan tertawa terbahak-bahak melihat Soekarni.

Muhidin M Dahlan, setelah saya tunjukkan beberapa dokumen tentang ini, berkomentar: “Soekarno-Hatta diapusi!” Hehehe….

(Memoar yang ditulis para angkatan tua waktu itu memang rada meragukan rasionalitas angkatan muda. Tapi dari memoar Adam Malik dan buku Revolusi Pemuda-nya Ben Anderson, kita mendapati versi yang lebih menghargai peran angkatan pemuda. Ben, misalnya, menyebut bahwa para pemuda di Jakarta memang sudah bersiap untuk berjaga-jaga menghadapi berbagai kemungkinan. Termasuk berencana merebut stasiun radio. Tapi itu gagal karena Jepang mencium gelagat itu. Para pemuda berhitung berkali-kali untuk meghadapi Jepang yang bersenjata lengkap)

Kapan mereka tiba di Jakarta?

Sekitar jam 20.00.

Awalnya mereka hendak bertemu dengan segenap anggota PPKI di hotel Des Indes pada pukul 22.00. Tapi pihak hotel menjawab bahwa tidak boleh ada kegiatan di atas jam 22.oo.

Soebardjo akhirnya menelpon Laksamana Maeda untuk menanyakan kemungkinan diadakan rapat di kediaman dinasnya. Maeda mengijinkan dan menjamin keselamatan dan keamanan. Soebarjo lantas menelpon semua anggota PPKI untuk berkumpul di rumah Maeda pada pukul 00.00 di rumah Maeda.

Mereka lantas kembali ke rumah masing-masing, tak terkecuali Soekarno-Hatta.

Soekarni ngapain lagi?

Sebelum bubar, Soekarni bertanya dengan nada bingung: “Bung, bagaimana denganku?”

“Ya, pulang juga,” jawab Hatta.

Dengan nada malu-malu, Soekarni menjawab: “Bung, kalau begitu aku minta pinjami satu stel pakaian, karena dengan baju PETA yang kupakai sekarang, aku bisa ditangkap Kenpetai!”

Kali ini Soekarno-Hatta-Soebardjo benar-benar tertawa terbahak-bahak.

Hatta lantas menjawab dengan nada meledek: “Sudara berani mengadakan revolusi mennggempur Jepang. Tetapi sekarang saudara takut akan ditangkap Kenpetai.”

Soekarni berkilah begini: “Itu lain halnya, Bung. Menggempur Jepang dalam satu revolusi aku berani. Tetapi akan ditangkap begitu saja karena pakaian PETA, apa gunanya?”

Sambil tertawa lagi, Hatta memberi Soekarni satu stel pakaian.

Muhidin bilang dia pernah membaca dokumen atau sumber yang menyebutkan bahwa Soekarni, dengan nada berbisik, meminta duit sama Hatta. Soekarni bilang dia sama sekali tak punya uang. Dengan senyum-senyum, Hatta memberi Soekarni uang.

Saya belum baca dokumen atau sumber yang dibaca Muhidin. Tapi mendengar cerita Muhidin, saya lagi-lagi tertawa terbahak-bahak.

“Revolusi Indonesia” ala para pemuda ternyata memuat banyak fragmen yang menggelikan juga.

Hehehehe….

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Ya begitulah kelakuan pemuda. Banyak aksi zonder nalar. Namun dengan jalan itulah kita dapat merdeka tanpa menunggu bulan yang diharap-harap pungguk.

Bung, lain kali perhatikan soal detail yang kau pernah bilang sebagai setan. Aku baru saja menemukan dan membaca blogmu. Ada ejaan yang salah dan terjadi beberapa kali penulisan nama yang salah.

Merdeka!

Anonim mengatakan...

zen, meunang data timana? bagus coy buat penyegaran sejarah kita. saya cuma bisa menyarankan tulis jadi buku aja biar tidak hanya pemakai yang online yang dapat nikmati kajian dan analisismu. biar semua orang tahu sejarawan baru telah lahir di bumi nusantara ini.

engkos kosnadi

doddi Ahmad Fauji mengatakan...

Zen dan Muhidin benar-benar rajin. Salute. Juga saya sampaikan apresiasi untuk Mas Doyok, kalau tidak salah hanya tamat kelas 4 SD, tapi tekun memulung buku-buku bekas yang bisa jadi oleh umum dianggap tidak berguna. Di tangan Zen dan Muhidin hasil pulungan Doyok jadi berbunyi.