Sabtu, Juli 14, 2007

Sahaja adalah Orang dari Bangsa jang Terprentah!

:: Tanggapan untuk Andreas Harsono dari Yayasan Pantau (Jilid II)

Menurut Anda, apa lawan kata “inlander” pada masa kolonial?

Jawaban atas pertanyaan ini, seperti yang akan coba saya tunjukkan, bisa menjelaskan salah satu alasan memilih Tirtoadisoerjo sebagai Sang Pemula!

Sekiranya pertanyaan itu diajukan beberapa tahun silam, saya akan menjawab: Nederlander (orang Belanda). Jawaban ini pula yang akan diberikan oleh orang-orang yang tidak cukup teliti membaca kompleksitas sejarah kolonial di Hindia Belanda. Orang dengan mudah menunjuk Nederlander sebagai “lawan kata” dari inlander karena sebutan “inlander” memang muncul dari mulut orang-orang Belanda, katakan saja, pemerintah kolonial.

Daniel Dhakidae, dalam karya terbaiknya Candekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, menolak untuk menunjuk Nederlander sebagai “lawan kata” dari inlander. Bagi Daniel, “lawan kata” dari Inlander adalah orang-orang (peranakan) India, peranakan Arab dan peranakan Tionghoa. Pendeknya orang-orang dari Timur (vreemd), bangsa Asia. Dalam nomenklatur hukum Hindia Belanda, mereka disebut Vreemde Oosterlingen (Timur Asing).

Kenapa bisa terjadi? Bukankah panggilan “inlander” dimunculkan oleh pemerintah kolonial untuk mengejek keterbelakangan dan kebodohan warga Hindia Belanda?

Saya bisa mengerti kenapa Daniel Dhakidae dan tentu saja pemerintah kolonial menunjuk bangsa-bangsa Timur (Vreemde Oosterlingen/Timur Asing) sebagai “lawan kata” inlander.

Hampir menjadi sesuatu yang mustahil mencari istilah Vreemde Westerlingen (Barat Asing), baik dalam nomenklatur hukum kolonial maupun dalam nomenklatur politik di Hindia Belanda.

Belanda adalah penguasa di tanah Hindia Belanda. Dengan tetumpuk modal dan jejaring birokrasi yang dimilikinya, penguasa Belanda mengecualikan bangsa Belanda dari dua kategori tersebut, baik itu inlander maupun Vreemde Oosterlingen. Orang Belanda bukan inlander dan pada saat yang sama juga bukan orang asing. Dalam kata-kata Daniel Dhakidae: “Penguasa (Belanda) adalah orang-dalam namun bukan inlander, dia orang-luar namun bukan asing.”

Perspektif di atas akan menjadi lebih jelas jika berjalan sedikit memutar dengan menelaah konsepsi kekuasaan tradisional. Raja adalah orang yang diberi mandat oleh Tuhan (wahyu keprabon), tetapi dia bukan Tuhan. Raja memang manusia, tapi Raja tidak sama dengan kawula atau rakyat jelata. Dalam konsepsi kekuasaan tradisional, pinjam kata-kata Ben Anderson, “Raja ada di antara (in-between) manusia biasa (kawula jelata) yang ia perintah dan Tuhan yang memberinya mandat memerintah/berkuasa (wahyu keprabon).”

Dengan melakukan itu, penguasa kolonial bisa terhindar dari “jebakan lingustik” memerhadapkan dirinya dengan inlander dalam satu hubungan yang muka berhadapan muka. Dengan hanya menyebut orang-orang bangsa Timur (Tionghoa, Arab atau India), Belanda juga sedang menebar jaring “devide et impera”: memerhadapkan penduduk Hindia Belanda dengan orang-orang bangsa Timur itu.

Di titik inilah, seperti yang akan coba saya tunjukkan, Tirtoadisoerjo tampil ke muka sebagai orang pertama yang menggelar “politik diskursif tandingan” lewat senjata terbaiknya, suratkabar Medan Prijaji.

Seperti yang bisa baca dari jargonnya, Tirto memersembahkan Medan Prijaji sebagai suara dari sekalian orang dari “bangsa yang terprentah”.

Siapa yang masuk dalam kategori bangsa yang terprentah?

Jargon Medan Prijaji bisa memberikan penjelasan. Di sana, dengan eksplisit disebutkan bahwa bangsa-bangsa yang terprentah adalah siapa saja yang terprentah, baik itu raja-raja, bangsawan, priyayi, bangsawan usul dan pikiran (intelektual/kaum terpelajar) hingga saudagar-saudagar dari, dengan mengutip Medan Prijaji, “bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegeri, di seloeroeh Hindia Olanda”.

Jika saja Anda pernah membaca bagian "Pendahuluan" dari AD/ART Sarekat Dagang Islamiah yang juga disusun oleh Tirto, Anda akan menemukan hal yang sama dengan semangat yang tercermin dari jargon Medan Prijaji. Anda akan menemukannya pada paragraf terakhir bagian Pendahuluan itu.

Dari situ jelas, para raja atau sultan bukan “bangsa jang memrentah”. “Bangsa jang memrentah”, dalam kosakata Medan Prijaji, adalah pemerintah kolonial Belanda.

Inilah yang saya maksudkan sebagai “politik diskursif tandingan” itu. Dengan rumusan macam itu, Tirto mencoba keluar dari jebakan diskursif yang ditebar oleh pemerintah kolonial yang memerhadapkan orang-orang inlander (pribumi/native) dengan bangsa-bangsa Timur (India, Tionghoa dan Arab berikut kaum peranakannya).

Tirto tampil ke muka dengan “politik diskursif tandingan” dengan mengajukan rumusan baru: “bangsa-bangsa yang terprentah”.

Tirto ingin menegaskan bahwa kategori Inlander dan Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) sudah tidak penting lagi karena sudah tak mampu menjelaskan proses politik yang berlangsung di Hindia Belanda. Yang lebih relevan dan aktual untuk menjelaskan realitas sosial dan politik di Hindia Belanda adalah rumusan “bangsa yang terprentah” dengan bangsa yang memrentah”.

Dalam sekali hentak, rumusan baru itu tidak hanya menandingi rumusan diskursif kolonial, untuk tidak menyebut melantakkannya, tetapi juga sekaligus memersatukan dua kategori yang sebelumnya “di-set-up” sedemikian rupa untuk saling berhadapan yaitu orang inlander (pribumi/native) dan Vreemde Oosterlingen (Tionghoa, Arab, India dan peranakannya).

Dengan rumusan diskursif macam itu pula, Tirto “menyeret” pemerintah Belanda untuk masuk ke dalam “peta diskursif” di Hindia Belanda dan bukan lagi sebagai penguasa yang berada di atas kelompok-kelompok lain seperti sebelumnya (baik itu inlander maupun Vreemde Oosterlingen).

Jika hari ini, istilah “non-pribumi” masih merujuk pada orang-orang peranakan, baik itu peranakan Arab, India atau/dan terutama peranakan Tionghoa, berikut segala implikasinya, Tirto tentu saja tak terlibat dalam rumusan diskursif macam itu karena ia adalah orang yang merumuskan satu pembayangan bangsa yang melampaui batas-batas perumusan “pribumi dan non-pribumi”.

Tirto melampaui rumusan diskursif itu dan menawarkan rumusan baru yang berporos pada penyusunan kategori berdasarkan kriteria “bangsa dan anak negeri jang terprentah”. Inilah rumusan paling dini dari bangsa Indonesia yang melampaui kriteria rasialis, etnisitas, bahasa, agama dan peradatan; sebuah rumusan yang ditegakkan di atas kriteria sosial-ekonomi-politik.

Dengan menunjuk Tirtoadhisoerjo sebagai “Sang Pemula” dari pembayangan bangsa Hindia Belanda, yang kelak diadopsi dengan nyaris persis oleh negara Indonesia modern, saya (dan Pramoedya tentu saja) justru menempatkan asal usul gagasan kebangsaan Indonesia pada “sumber” yang tegas-tegas melampaui kriteria berdasarkan ras.

Ini adalah sebuah perlawanan diskursif yang sebelumnya tidak ada presedennya dalam sejarah intelektual Hindia Belanda. Perlawanan diskursif yang cerdas ini pasti berhulu dari sebentuk kesadaran yang sudah mengalami, pinjam istilah Tan Malaka, “lompatan kualitatif”, sebuah lompatan yang berhasil meloloskan diri dari jebakan diskursif devide et impera yang ditebarkan pemerintah kolonial.

Jika semangat Ben Anderson bisa dikutip di sini, saya berani bilang, dari sinilah asal-usul “ruang imajinatif” bernama Indonesia berhulu. Dengan rumusan “bangsa yang terprentah” inilah pembayangan identitas kolektif di seantero Hindia Belanda menjadi dimungkinkan.

Tirto meletakkan dasar dari pembayangan bangsa ini, yang kelak diolah lebih lanjut oleh para pemimpin gerakan selanjutnya, dan mengkristal dalam trilogi ayat Sumpah Pemuda.

Kartini, dalam surat-suratnya yang terkenal, memang sudah berbicara tentang solidaritas dan kepedulian terhadap sesama anak negeri Hindia Belanda, kendati ia lebih sering berbicara tentang orang-orang Jawa. Hanya saja, Kartini belum melakukan “lompatan kualitatif” yang berhasil meloloskan dirinya dari jebakan diskursif yang ditebar oleh pemerintah kolonial. Jika kita membaca surat-surat Kartini, akan segera terlihat betapa Kartini mengerahkan semua kepedulian dan solidaritasnya yang mengharukan itu masih dalam kerangka pemerintah kolonial sebagai “kepala keluarga” (baca: penguasa) Hindia Belanda.

Karena rumusan itu pertama kali dijlentrehkan secara eksplisit dan dipraktikkan dalam kerja-kerja jurnalistik sehari-hari di Medan Prijaji, maka bolehlah dibilang Medan Prijaji adalah (dengan nada Foucaultian) “situs tertua” dari pembayangan identitas kolektif orang-orang di tanah Hindia Belanda, siapa pun ia, tanpa memandang ras, etnis, bahasa, agama dan peradatan.

Tirto dan Medan Prijaji dipilih karena gagasan. "Kemenangan" Tirto dan Medan Prijaji adalah "kemenangan" gagasan, bukan kemenangan manusia yang berhuruf belakang "O", ber-rambut lurus atau karena matanya jereng dan tidak menyempit.

Catatan ini untuk kembali menjelaskan salah satu argumen memilih Tirto dan Medan Prijaji sebagai “Sang Pemula”. Saya terpaksa menuliskan catatan ini karena terkejut Anda masih saja mendakwa pilihan ini semata karena ia pribumi, seperti yang saya baca dari postingan Anda untuk menanggapi postingan Agus Sopian di milis-kontributor Pantau beberapa hari silam.

Saya sudah menegaskan berkali-kali dalam postingan sebelumnya (bukankah Anda sudah membaca dan bahkan mem-forward catatan saya sebelumnya yang berjudul "Nama Saya: Tirtoadhisoerjo!") bahwa pilihan pada Tirto dan Medan Prijaji bukan semata karena ia pribumi.

Masihkah Anda menganggap pilihan pada Tirto dan Medan Prijaji semata karena ia pribumi? Masihkan Anda menganggap ini rasis? Siapa yang sebenarnya rasis? Ataukah nama Tirtoadhisoerjo mesti diganti Abdoellah atau Liem atau Douwes?

6 komentar:

Anonim mengatakan...

hehe. sudah, sudah kang zen. udah KO kayaknya lawannya. ntar didiskualifikasi loh...kekeke.

Anonim mengatakan...

Hebat...hebat..hebat.... ente pasti berpikir kalo ente itu orang hebat..hebat..hebat...

Salut buat ente... Tetaplah berpolemik, walaupun logika tulisan ente bikin ane puyeng

zen mengatakan...

satu lagi ada orang anonim yang tereak-tereak.

makaci dech! hehehehe....

Anonim mengatakan...

Anda banyak memelajari gaya tulisan orang-orang Cornell ya? terutama pada tulisan yang ini.berpolemik itu sehat kok. yang penting tau batas aja dan tetep belajar rendah hati.satu lagi,jgn rendah diri/minder, krn kalo nyali mengkeret, gmn bisa brpolemik?

saya baca tulisan Muhidin di MI yg menghajar taufik ismail.anda satu kongsi dengan muhidin kan?cocok lah kalo gitu.sama-sama bermental hajar-menghajar via polemik.editornya Pramoedya gitu loh....mental polemik

The Bitch mengatakan...

asyune njegog, jagoane mlaku terus, pakdhe.
eh, sek, sek. sik dadi jagoan aku to?
asyune...?
mizyu!
*hugz*

Suryadi mengatakan...

Wah....seru juga ya diskusinya, terutama karena Mas Zen-nya memakai combinasi gaya catennacio dan gaya Invasi Amerika ke Irak.

Saya kutip salah satu paragraf dari tulisannya (terutama lihat kalimat terakhir):

***
Jika semangat Ben Anderson bisa dikutip di sini, saya berani bilang, dari sinilah asal-usul “ruang imajinatif” bernama Indonesia berhulu. Dengan rumusan “bangsa yang terprentah” inilah pembayangan identitas kolektif di seantero Hindia Belanda menjadi dimungkinkan.
***
Wah...apa ini memang tidak terlalu mengagung2kan dan menyanjung2 Medan Prijaji nih, Mas? BERAPA SIH OPLAH MEDAN PRIJAJI? SIAPA SAJA YANG MEMBACA KORAN ITU? APAKAH PEMBACANYA SAMPAI KE PULAU SERAM SANA,MISALNYA? TERLALU BERLEBIHAN SAYA KIRA KALAU DIKATAKAN KREDO RADEN MAS TIRTO ITULAH YANG TELAH MENYEBABKAN PEMBAYANGAN IDENTITAS KOLEKTIF DI SEANTERO HINDIA BELANDA MENJADI DIMUNGKINKAN.

Berbeda dengan teman2 lain yang curiga bahwa pilihan Mas T. Rahzen pada Raden Mas Tirto (dan Medan Prijaji-nya) adalah karena ia pribumi, saya justru mendapat kesan (mungkin ini salah) bahwa pilihan Mas Zen itu didasarkan (atau dipengaruhi) juga oleh kenyataan bahwa Raden Mas Tirto memakai gaya bahasa yang cukup 'kasar' dan tanpa basa-basi apalagi wuh pakewuh dalam tulisan2nya di Medan Prijaji, yang kebanyakan memang dimaksudkan untuk 'menyerang' Pemerintah Kolonial Belanda.

Tapi persoalannya kan begini: kontribusi dunia pers bumipitera itu dalam menyemai dan menyirami perasaan nasionalisme Indonesia dikalangan "inlander", kan tidak bisa diukur dari keras-lembeknya bahasa redakturnya. Kontribusi huruf cetak di atas kertas lebar yang bernama surat kabar itu terhadap pembentukan nasionalisme Indonesia lebih jauh kompleks. (Bersyukurlah mereka yang telah membaca Orality and Literacy: The Technologizing of Word-nya Walter J.Ong).Dalam mengukur kontribusi pers itu, kita tidak bisa menggunakan analogi medan pertempuran yang bergelimang darah dan bersabung nyawa. Malangnya, kriteria "kekerasan" untuk mengukur segala hal yang terkait dengan nasionalisme Indonesia sudah begitu terinternalisasi dalam pikiran banyak orang dan jarang ditinjau dan dikritisi.Makanya sejarah bangsa Indonesia hampir identik dengan sejarah pahlawan, konflik, darah, bambu runcing, dlsb (Jangan2 ini yang menyebabkan mentaalitas konflik begitu terinternalisasi juga dalam kesadaran sosial bangsa kita). Singkat kata, yang mengandung unsur kekerasan dan menyeramkan. Padahal sejarah bangsa ini (dan juga bangsa2 lain) lebih kompleks dari itu: ada banyak sisi yang terabaikan. Buku Rudolf Mrazek, The Engineers of Happy Land: Technology and Natonalism in a Colony (terjemahan Indonesianya diterbitkan Yayasan Obor, 2006), mudah2an memberi inspirasi baru kepada sejarawan kita; bahwa sejarah itu tidak melulu asosiatif dengan darah, kematian, bambu runcing, ledakan granat, dan penyembelihan....

Dalam kaitannya dengan pers, justru yang lebih hakiki adalah sumbangan koran2 bumiputera zaman kolonial itu--yang memakai Bahasa Melayu dan ditulis dengan 'hoeroef Walanda' (Latin)--dalam menghadirkan imaji kepada pembaca 'inlander'nya bahwa ada sebuah ruang horizontal yang bernama HINDIA BELANDA,yang ternyata lebih luas dari sekedar ruang dalam batas2 kesadaran etnisitas masing2 puak. Lama-kelamaan kesadaran itu menebal, memunculkan lapis kesadaran baru di atasnya bahwa ternyata dalam ruang horizontal yang bernama Hindia Belanda itu ada bangsa yang menguasai (penjajah) dan ada bangsa yang dikuasai (yang ditindas). INI TAK LANGSUNG TERCIPTA MENYUSUL TERBITNYA MEDAN PRIJAJI. Ini adalah 'proyek' yang telah dimulai sebelumnya. Ini jelas bukan kontribusi Medan Prijaji saja.

PADA HEMAT SAYA, SETIAP SURAT KABAR BUMIPUTERA 'SATO SAKAKI' (BACA:IKUT MEMBERI KONTRIBUSINYA) DALAM MENYEMAIKAN BENIH NASIONALISME INDONESIA ITU; YANG TERBIT KEMUDIAN MENYIRAMI DAN MEMBESARKANNYA. Apakah hal itu, misalnya, tidak terefleksi dalam kredo Mingguan INSULINDE berikut ini (mulai terbit di Padang, April 1901; enam tahun lebih awal dari Medan Prijaji): "'Insulinde': Haloean bagi segala Periai dan toean-toean jang hendak menoentoet Ilmoe kepandaian dan sebagainja". Mingguan ini dikeluarkan oleh Dja Endar Moeda, seorang Tapanuli yang mengabdikan dirinya di dunia pers bumiputera dan perbukuan untuk memajukan kaumnya (si pribumi yang terjajah) supaya mereka melek huruf dan maju (seperti dapat dikesan dari anak judul surat kabar ini). Dja Endar Moeda menjadi pemilik dan atau editor hampir selusin surat kabar yang terbit di Banda Aceh, Medan, Tapanuli, dan Padang antara 1888-1910. Pada tahun 1901 dia membeli sebuah percetakan milik orang Eropa dan Cina di Padang dan memberinya nama "Insulinde". Ia lalu mencetak surat kabar dan buku2 murah yang terjangkau oleh pembaca pribumi (kaum sebangsanya) agar mereka beroleh kemajuan dan melek huruf. Mingguan INSULINDE mempunyai koresponden di Amsterdam, Talu, Sawah Lunto, Fort de Kock, Singaraja (Bali), Padang Sidempuan, Tanah Bato, Barus, Bandung, Surabaya, Aek Nagali, Muara Labuh, Idi (Aceh), Alahan Panjang, Sidoarjo, 'Maombie'(saya kira ini salah satu kota di Sulawesi[Utara?]),dan Mojokerto. (Bandingkan dengan Medan Prijaji!)

Tinggal pertanyaan: APAKAH KONTRIBUSI DJA ENDAR MOEDA DENGAN 'PERTJA BARAT, PEMBRITA ATJEH, .....DAN 'INSULINDE'-NYA KURANG DARI RADEN MAS TIRTO ADHI SOERJO DENGAN 'MEDAN PRIJAJI'NYA DALAM SUMBANGAN MEREKA TERHADAP PENYEMAIAN NASIONALISME INDONESIA MELALUI PERS BUMIPUTERA?

Terserah kepada pembaca yang amat terpelajarlah menilainya.

Saya cenderung berpendapat bahwa tak usahlah dicari-cari HARI JADI PERS NASIONAL itu. Janganlah kita ikut2an latah. Sebab, seluruh koran bumiputera yang terbit sejak paruh kedua abad ke-19 sampai berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia telah memberikan kontribusinya, dengan cara mereka masing-masing, sesuai dengan konteks zaman dan konstelasi politik di tanah jajahan yang bernama Hindia Belanda pada waktu masing-masing koran itu terbit,dalam menyemaikan dan penyirami perasaan nasionalisme Indonesia di dalam jiwa bangsa Indonesia pada waktu itu.

Cukuplah sejarawan kita penyusun sejarah pers nasional saja. Mencari hari jadi-hari jadi itu, yang sering dilakukan dengan 'penelitian arsip dan kepustakaan' ke Belanda selama 3-7 hari (Yang terbaru anggota DPRD Jawa Timur; menyusul kabarnya anggota DPRD dari Prop. Riau dan Kab. Siak), biarlah jadi kesibukan baru para anggota DPRD-DPRD dan Pemda-Pemda di ngara kita saja.

Kalaupun ingin juga mencari haji jadi pers nasional, mungkin perlu dirumuskan dengan kriteria2 lain. Kita punya sejarawan dan budayawan yang pintar2 untuk mendiskusikan dan menyeminarkan hal itu.

Maaf, terlalu panjang komentarnya tapi,mudah2an ada manfaatnya dalam rangka diskusi ini.

Salam erat,
Suryadi yang daif