tag:blogger.com,1999:blog-20273950.post7869376620067318039..comments2023-11-02T07:15:31.504-07:00Comments on pejalanjauh: Sahaja adalah Orang dari Bangsa jang Terprentah!Unknownnoreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-20273950.post-34138984289090969322007-09-21T20:12:00.000-07:002007-09-21T20:12:00.000-07:00Wah....seru juga ya diskusinya, terutama karena Ma...Wah....seru juga ya diskusinya, terutama karena Mas Zen-nya memakai combinasi gaya catennacio dan gaya Invasi Amerika ke Irak.<BR/><BR/>Saya kutip salah satu paragraf dari tulisannya (terutama lihat kalimat terakhir):<BR/><BR/>***<BR/>Jika semangat Ben Anderson bisa dikutip di sini, saya berani bilang, dari sinilah asal-usul “ruang imajinatif” bernama Indonesia berhulu. Dengan rumusan “bangsa yang terprentah” inilah pembayangan identitas kolektif di seantero Hindia Belanda menjadi dimungkinkan.<BR/>***<BR/>Wah...apa ini memang tidak terlalu mengagung2kan dan menyanjung2 Medan Prijaji nih, Mas? BERAPA SIH OPLAH MEDAN PRIJAJI? SIAPA SAJA YANG MEMBACA KORAN ITU? APAKAH PEMBACANYA SAMPAI KE PULAU SERAM SANA,MISALNYA? TERLALU BERLEBIHAN SAYA KIRA KALAU DIKATAKAN KREDO RADEN MAS TIRTO ITULAH YANG TELAH MENYEBABKAN PEMBAYANGAN IDENTITAS KOLEKTIF DI SEANTERO HINDIA BELANDA MENJADI DIMUNGKINKAN.<BR/><BR/>Berbeda dengan teman2 lain yang curiga bahwa pilihan Mas T. Rahzen pada Raden Mas Tirto (dan Medan Prijaji-nya) adalah karena ia pribumi, saya justru mendapat kesan (mungkin ini salah) bahwa pilihan Mas Zen itu didasarkan (atau dipengaruhi) juga oleh kenyataan bahwa Raden Mas Tirto memakai gaya bahasa yang cukup 'kasar' dan tanpa basa-basi apalagi wuh pakewuh dalam tulisan2nya di Medan Prijaji, yang kebanyakan memang dimaksudkan untuk 'menyerang' Pemerintah Kolonial Belanda. <BR/><BR/>Tapi persoalannya kan begini: kontribusi dunia pers bumipitera itu dalam menyemai dan menyirami perasaan nasionalisme Indonesia dikalangan "inlander", kan tidak bisa diukur dari keras-lembeknya bahasa redakturnya. Kontribusi huruf cetak di atas kertas lebar yang bernama surat kabar itu terhadap pembentukan nasionalisme Indonesia lebih jauh kompleks. (Bersyukurlah mereka yang telah membaca Orality and Literacy: The Technologizing of Word-nya Walter J.Ong).Dalam mengukur kontribusi pers itu, kita tidak bisa menggunakan analogi medan pertempuran yang bergelimang darah dan bersabung nyawa. Malangnya, kriteria "kekerasan" untuk mengukur segala hal yang terkait dengan nasionalisme Indonesia sudah begitu terinternalisasi dalam pikiran banyak orang dan jarang ditinjau dan dikritisi.Makanya sejarah bangsa Indonesia hampir identik dengan sejarah pahlawan, konflik, darah, bambu runcing, dlsb (Jangan2 ini yang menyebabkan mentaalitas konflik begitu terinternalisasi juga dalam kesadaran sosial bangsa kita). Singkat kata, yang mengandung unsur kekerasan dan menyeramkan. Padahal sejarah bangsa ini (dan juga bangsa2 lain) lebih kompleks dari itu: ada banyak sisi yang terabaikan. Buku Rudolf Mrazek, The Engineers of Happy Land: Technology and Natonalism in a Colony (terjemahan Indonesianya diterbitkan Yayasan Obor, 2006), mudah2an memberi inspirasi baru kepada sejarawan kita; bahwa sejarah itu tidak melulu asosiatif dengan darah, kematian, bambu runcing, ledakan granat, dan penyembelihan....<BR/><BR/>Dalam kaitannya dengan pers, justru yang lebih hakiki adalah sumbangan koran2 bumiputera zaman kolonial itu--yang memakai Bahasa Melayu dan ditulis dengan 'hoeroef Walanda' (Latin)--dalam menghadirkan imaji kepada pembaca 'inlander'nya bahwa ada sebuah ruang horizontal yang bernama HINDIA BELANDA,yang ternyata lebih luas dari sekedar ruang dalam batas2 kesadaran etnisitas masing2 puak. Lama-kelamaan kesadaran itu menebal, memunculkan lapis kesadaran baru di atasnya bahwa ternyata dalam ruang horizontal yang bernama Hindia Belanda itu ada bangsa yang menguasai (penjajah) dan ada bangsa yang dikuasai (yang ditindas). INI TAK LANGSUNG TERCIPTA MENYUSUL TERBITNYA MEDAN PRIJAJI. Ini adalah 'proyek' yang telah dimulai sebelumnya. Ini jelas bukan kontribusi Medan Prijaji saja. <BR/><BR/>PADA HEMAT SAYA, SETIAP SURAT KABAR BUMIPUTERA 'SATO SAKAKI' (BACA:IKUT MEMBERI KONTRIBUSINYA) DALAM MENYEMAIKAN BENIH NASIONALISME INDONESIA ITU; YANG TERBIT KEMUDIAN MENYIRAMI DAN MEMBESARKANNYA. Apakah hal itu, misalnya, tidak terefleksi dalam kredo Mingguan INSULINDE berikut ini (mulai terbit di Padang, April 1901; enam tahun lebih awal dari Medan Prijaji): "'Insulinde': Haloean bagi segala Periai dan toean-toean jang hendak menoentoet Ilmoe kepandaian dan sebagainja". Mingguan ini dikeluarkan oleh Dja Endar Moeda, seorang Tapanuli yang mengabdikan dirinya di dunia pers bumiputera dan perbukuan untuk memajukan kaumnya (si pribumi yang terjajah) supaya mereka melek huruf dan maju (seperti dapat dikesan dari anak judul surat kabar ini). Dja Endar Moeda menjadi pemilik dan atau editor hampir selusin surat kabar yang terbit di Banda Aceh, Medan, Tapanuli, dan Padang antara 1888-1910. Pada tahun 1901 dia membeli sebuah percetakan milik orang Eropa dan Cina di Padang dan memberinya nama "Insulinde". Ia lalu mencetak surat kabar dan buku2 murah yang terjangkau oleh pembaca pribumi (kaum sebangsanya) agar mereka beroleh kemajuan dan melek huruf. Mingguan INSULINDE mempunyai koresponden di Amsterdam, Talu, Sawah Lunto, Fort de Kock, Singaraja (Bali), Padang Sidempuan, Tanah Bato, Barus, Bandung, Surabaya, Aek Nagali, Muara Labuh, Idi (Aceh), Alahan Panjang, Sidoarjo, 'Maombie'(saya kira ini salah satu kota di Sulawesi[Utara?]),dan Mojokerto. (Bandingkan dengan Medan Prijaji!) <BR/><BR/>Tinggal pertanyaan: APAKAH KONTRIBUSI DJA ENDAR MOEDA DENGAN 'PERTJA BARAT, PEMBRITA ATJEH, .....DAN 'INSULINDE'-NYA KURANG DARI RADEN MAS TIRTO ADHI SOERJO DENGAN 'MEDAN PRIJAJI'NYA DALAM SUMBANGAN MEREKA TERHADAP PENYEMAIAN NASIONALISME INDONESIA MELALUI PERS BUMIPUTERA?<BR/><BR/>Terserah kepada pembaca yang amat terpelajarlah menilainya.<BR/><BR/>Saya cenderung berpendapat bahwa tak usahlah dicari-cari HARI JADI PERS NASIONAL itu. Janganlah kita ikut2an latah. Sebab, seluruh koran bumiputera yang terbit sejak paruh kedua abad ke-19 sampai berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia telah memberikan kontribusinya, dengan cara mereka masing-masing, sesuai dengan konteks zaman dan konstelasi politik di tanah jajahan yang bernama Hindia Belanda pada waktu masing-masing koran itu terbit,dalam menyemaikan dan penyirami perasaan nasionalisme Indonesia di dalam jiwa bangsa Indonesia pada waktu itu.<BR/><BR/>Cukuplah sejarawan kita penyusun sejarah pers nasional saja. Mencari hari jadi-hari jadi itu, yang sering dilakukan dengan 'penelitian arsip dan kepustakaan' ke Belanda selama 3-7 hari (Yang terbaru anggota DPRD Jawa Timur; menyusul kabarnya anggota DPRD dari Prop. Riau dan Kab. Siak), biarlah jadi kesibukan baru para anggota DPRD-DPRD dan Pemda-Pemda di ngara kita saja. <BR/><BR/>Kalaupun ingin juga mencari haji jadi pers nasional, mungkin perlu dirumuskan dengan kriteria2 lain. Kita punya sejarawan dan budayawan yang pintar2 untuk mendiskusikan dan menyeminarkan hal itu. <BR/><BR/>Maaf, terlalu panjang komentarnya tapi,mudah2an ada manfaatnya dalam rangka diskusi ini.<BR/><BR/>Salam erat,<BR/>Suryadi yang daifSuryadihttps://www.blogger.com/profile/01761180500328183397noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-20273950.post-88265829547578673992007-07-20T07:21:00.000-07:002007-07-20T07:21:00.000-07:00asyune njegog, jagoane mlaku terus, pakdhe.eh, sek...asyune njegog, jagoane mlaku terus, pakdhe.<BR/>eh, sek, sek. sik dadi jagoan aku to?<BR/>asyune...?<BR/>mizyu!<BR/>*hugz*The Bitchhttps://www.blogger.com/profile/08139408961683528648noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-20273950.post-60308192942661786132007-07-18T02:20:00.000-07:002007-07-18T02:20:00.000-07:00Anda banyak memelajari gaya tulisan orang-orang Co...Anda banyak memelajari gaya tulisan orang-orang Cornell ya? terutama pada tulisan yang ini.berpolemik itu sehat kok. yang penting tau batas aja dan tetep belajar rendah hati.satu lagi,jgn rendah diri/minder, krn kalo nyali mengkeret, gmn bisa brpolemik?<BR/><BR/>saya baca tulisan Muhidin di MI yg menghajar taufik ismail.anda satu kongsi dengan muhidin kan?cocok lah kalo gitu.sama-sama bermental hajar-menghajar via polemik.editornya Pramoedya gitu loh....mental polemikAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-20273950.post-91438825188061306162007-07-16T23:59:00.000-07:002007-07-16T23:59:00.000-07:00satu lagi ada orang anonim yang tereak-tereak.maka...satu lagi ada orang anonim yang tereak-tereak.<BR/><BR/>makaci dech! hehehehe....zenhttps://www.blogger.com/profile/02211095649047816631noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-20273950.post-3181764770101397282007-07-16T19:09:00.000-07:002007-07-16T19:09:00.000-07:00Hebat...hebat..hebat.... ente pasti berpikir kalo ...Hebat...hebat..hebat.... ente pasti berpikir kalo ente itu orang hebat..hebat..hebat...<BR/><BR/>Salut buat ente... Tetaplah berpolemik, walaupun logika tulisan ente bikin ane puyengAnonymousnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-20273950.post-15100784050558033502007-07-14T07:33:00.000-07:002007-07-14T07:33:00.000-07:00hehe. sudah, sudah kang zen. udah KO kayaknya lawa...hehe. sudah, sudah kang zen. udah KO kayaknya lawannya. ntar didiskualifikasi loh...kekeke.Anonymousnoreply@blogger.com