Persis ketika jam menunjuk pukul 21.15, saya sudah berada di puncak Borobudur. Upacara Waisyak baru saja selesai digelar.
Saya duduk di satu sudut stupa terbesar dan tertinggi di sana. Stupa ini polos dan tanpa lubang, tidak seperti stupa-stupa lebih kecil di bawahnya yang berlubang. Dulu, di dalam stupa tertinggi itu, “tertanam” sebuah patung Buddha yang bentuknya tak lazim. Orang menyebutnya “the unfinished Buddha”.
Di sinilah bersamayam poros dari tingkatan tertinggi Borobudhur: Aruphadatu. Secara sederhana bisa diartikan sebagai semesta yang tak berwajah. Kosmik yang tanpa raut. Alam yang tak berparas. Di sinilah spiritualitas yang tertinggi bisa diunduh manusia yang tercerahkan. The supreme of spirtuality.
Ya, di area tanpa wajah tanpa raut muka inilah saya berdiri dalam senyap yang nyaris gelap.
Pandangan saya edarkan ke arah timur. Purnama tampak jelas. Bersih. Tak ada sedikit pun awan yang mengganggu keutuhan purnama malam itu. Cuaca benar-benar mendukung.
Saya sulut batang Dji Sam Soe yang pertama. Saya seruput kopi yang masih panas dari botol air yang sudah saya persiapkan lebih dulu. Saya hisap lagi Dji Sam Soe seraya menatap bulatnya purnama.
Fuih! Nikmat betul.
Ini kedatangan saya yang kelima di Borobudur. Tapi baru kali ini saya bisa merasakan denyut nadi Borobudur yang “sebenarnya”. Suasana betul-betul dingin. Malam itu, Borobudur yang sakral hadir di depan mata saya.
Kadang-kadang bulu kuduk meremang jika ada angin lewat berkesiur.
Seperti dinyatakan banyak hikayat, abu hasil kremasi Buddha di tanam di sepuluh stupa. Banyak yang percaya, Borobudur adalah salah satu tempat di mana abu Buddha ditanam. Itulah sebabnya tempat ini dianggap sakral dan masih menjadi tempat ibadat dan pemujaan. Seperti upacara Waisyak yang kali ini saya ikuti untuk yang kedua.
Dan di tempat yang dikabarkan menjadi persemayaman Buddha inilah saya sendirian. Menikmati purnama dengan kretek di tangan dan kopi yang masih panas.
Di sinilah, di tempat yang sama saya duduk sendiri, pada 23 September 1923, juga pada saat purnama, Rabindranath Tagore pernah duduk dan mendapat inspirasi untuk menuliskan salah satu karyanya yang diterbitkan di Visva Bharati News. Saya masih ingat salah satu kutipan kalimatnya: “Let Buddha be my refuge!”
Seperti juga Tagore, saya bukan seorang Buddhis. Tapi kalimat Tagore itu terngiang kembali karena saya sedang berada pada salah satu tempat yang paling mampu menghadirkan kesunyian yang sakral, juga magis. Tempat di mana Tagore mengunduh inspirasi.
Jika saya mengutip kalimat Tagore itu, saya tak sedang berdo’a pada Buddha. Dalam kalimat Tagore itu, Buddha saya tafsirkan sebagai bentuk puncak dari kesunyian, kesenyapan, juga ketenangan.
Buddhis, saya kira, adalah “agama” yang paling rajin berbicara tentang ketenangan, kesunyian, pengendalian diri juga asketisme.
Saya pernah menyaksikan bagaimana para pendeta Buddha menggelar acara makan pagi di sebuah ashram di dekat candi Pawon. Mereka begitu tenang. Begitu khidmat.
Jadi jika saya ingat kutipan Tagore, saya bukan sedang meminta perlindungan pada Buddha, tapi lebih pada saya meminta perlindungan pada kesunyian, pada kesenyapan, pada ketenangan. Ada saat di mana saya butuh tenang setelah berbulan-bulan bertarung dengan segala macam deadline yang membikin penat. (Mungkinkah saya sendiri dalam hal ini?)
Tapi di sini bukan sekadar sepi atau sunyi.
Saya ingat kata “sunya”. Ya, saya kira, kata “sunya” lebih pas digunakan dalam konteks ini. Saya pernah membaca sebuah buku tipis karangan Ida Pandhita Mpu Jaya Wijayananda. Di sana disebutkan bahwa “sunya” adalah puncak tertinggi dari “kesunyian”. “Sunya” adalah bentuk makrifat dari sunyi. The supreme of solitude.
Buddha lahir pada saat purnama di Kapilawastu sebagai bayi bernama Sidharta. Di bawah terang purnama pula Sang Buddha tutup usia. Buddha menerima pencerahan juga pada saat purnama. Dan semuanya dalam hening.
Semua agama, saya kira, lahir dalam suasana hening yang khidmat sekaligus mungkin juga dahsyat: Budha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di puncak Sinai, Yesus bergetar seraya berdo’a di malam terakhirnya di taman Getsemani, dan Muhammad menerima wahyu dalam “ik’tikaf” yang khusyuk di Gua Hira yang jauh dari hiruk pikuk Mekkah.
Sejak dulu, para pecinta sepi selalu lebih sedikit dari mereka yang mencintai keramaian. Tetapi keduanya berumbuh dengan caranya masing-masing, dengan jalurnya masing-masing.
Saya ada di tengah-tengah. “Manusia di antara”. Saya bukan Nabi, bukan wali, juga bukan sufi. Saya anak muda biasa, yang sesekali masih menggelar sejadah, sesekali pergi ke café yang hingar bingar oleh dentuman musik yang membikin pekak.
Saya tak mendapatkan pencerahan, apalagi wahyu. Saya hanya mendapatkan rasa hati yang penuh dan melimpah. Itu sudah lebih dari cukup. Saya tidak tahu apakah saya sudah melakukan hal ihwal yang layak didakwa musyrik atau tidak.
Tidak ada lagi yang bisa saya tuliskan. Semuanya terasa sangat cukup.
Lamat-lamat saya ingat:
“When you know your own definition, flee from it, that you may attain, to the one who cannot be defined.”
Kalau tidak salah, itu syairnya Jalaluddin Rumi.
Minggu, Juni 03, 2007
Di Bawah Naungan "Buddha"
Diposting oleh zen di 4:24 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
12 komentar:
Zen, "the unfinished Buddha".
Tapi ini bukan kata aku loh. Sungguh, bukan :)
Ketangkap basah gue sama Ikram. Untung udah gue perbaiki.
Dasar komentator lepas. Kram, Serasa jadi Bonnie. Hihihi.. ;)
Zen, purnama kemarin itu memang mantap banget. kebetulan langit bersih, jadinya bulan keliatan bulat penuh. Bersemu coklat.
wah, andai saja bisa nongkrong merayakan purnama sidhi di Borobudur?
:D
Waw,
mas ini menggambarkan suasananya Te O Pe banged dahhhh..
sampe kebawa merinding..
hehe xD
Bung Zen, pencerahan dan wahyu hanya datang jika sengaja dicari. Saya rasa kedatanganmu ke Borobudur bukan untuk mencari keduanya. Melainkan untuk menikmati sunyi dengan ditemani kopi dan dji sam soe. Salahnya, kenapa nggak ngajak aku? hahahaha
menemukan ketenangan di keheningan kaya si Budha, Muhammad, dan Yesus, itu mudaaaaaaah..!
yang susah adalah ketika menyiramkan keheningan yang telah diraih itu ke tengah-tengah khalayak.
karena itu, tapa ngrame (bertapa dalam keramaian) menurutku jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan tapa brata (bertapa menjauh dari keramaian).
buat arief: tapa brata wae wis angel je? bahkan tapa dalam sunyi saja gak banyak yg tahan kok.
buat okky: aku memang mencari sunyi dan hening kok. gak nyari pencerahan. aku sedang tak ingin muluk2.
buat arya: makane, bro, kapan2 rono ae...
jadi ketenangan (sebelum dibenihkan ke semesta) itu hanya dapat dicapai melalui tapa brata?
huahahahaha!! katrok.
memang lebih susah MENCIPTAKAN ketenangan di tengah khalayak, daripada MENCARINYA ke borobuddhur, yerusalem, ato mekkah.
tapi dengan cara ini, titik ekuilibrium-yang kausebut ketenangan-itu pun akan terbebas dari ikatan geografis, identitas agama, serta penanda ritual.
Rief, sik katrok yo kowe!
Kapan aku omong ketenangan hanya bisa dicapai lewat tapa brata? Aku bilang: tapa brata wae angel je, opo maneh tapa dalam keheninigan.
Ndeso kowe!
huahuahahahaha...ngamuk ki..???
Lanjutke ning YM wae.
*rif
gila. hebat . mencerahkan.
boleh aku link kan ke blog ku dab?
thx
pecinta 234 memang kebanyakan pecinta sepi :)
Posting Komentar