Saya tidak tahu apakah prajurit kerajaan Klungkung, Badung atau anak buah Ngurah Rai meminum arak Bali lebih dulu atau tidak menjelang digelarnya ritus maut Puputan.
Yang saya tahu, 39 tahun setelah Puputan di Badung dan 37 tahun usai Puputan di Klungkung, para pilot Angkatan Udara Jepang di wilayah Pasifik menenggak seseloki sake lebih dulu sebelum menabrakkan pesawat tempur yang dikendarainya ke sejumlah kapal induk Sekutu.
Lewat sebuah film dokumenter hitam putih yang dikeluarkan National Georgraphic, saya menyaksikan sekitar 7 pilot pesawat tempur Jepang berdiri melingkar. Usia mereka sungguh muda. Belum lewat 30 warsa. Di tengah-tengah mereka, berdiri seorang lelaki paruh baya. Dia tak mengenakan topi. Rambutnya tipis dan sudah mulai beruban. Dia tampak bicara sepatah dua kata. Sepertinya dia berasal dari pangkat yang lebih tinggi.
Di tangan mereka semua terdapat seseloki sake. Mereka menggenggamnya dengan mantap. Tiba-tiba, tujuh pilot muda itu secara serempak membungkukkan badannya ke depan.
“Haik!” teriak mereka serempak. Lelaki paruh baya yang sudah mulai beruban itu balas membungkuk. Dia mengangkat seloki berisi sake itu ke muka. Tujuh pilot muda melakukan hal yang sama. Dan secepat kilat, seloki sake itu sudah menempel di bibir masing-masing. Dan dalam sekali tenggak, tandas sudah sake yang tak seberapa itu.
Entah siapa yang memulai, tujuh pilot muda itu memberi hormat militer. Wajah mereka benar-benar tenang. Beberapa di antaranya tampak memerah mukanya. Tapi sungguh, saya tak menemukan secuil pun rasa gentar. Hormat militer pada atasan, mereka gelar tanpa sedikit pun rasa gemetar. Mantap betul gerak mereka ketika membalikkan badan.
Kamera kemudian berpindah fokus. Seorang pilot tampak menaiki tangga pesawat. Kamera sempat fokus pada langkah kaki yang satu per satu menyisiri anak tangga. Saya pastikan, sepasang kaki itu tak gemetar sama sekali. Semuanya terkendali, laiknya mereka sedang melakukan latihan sehari-hari saja. Tak tampak sedikit pun aura muram di momen-momen terakhir mereka menjemput el-maut.
Kamera kemudian berpindah ke udara. Sebuah titik hitam dari ufuk yang jauh bergerak mendekat. Makin lama makin kentara kalau titik hitam itu adalah sebuah pesawat. Fokus kamera mulai goyang. Sepertinya si pemegang kamera mulai melangkah mundur dengan gerak yang tergesa. Dari sekeliling, terdengar suara-suara teriakan.
“Shoot… shoot….!”
“Kamikaze! Kamikaze!”
Kamera masih mencoba fokus pada arah datangnya pesawat. Tiba-tiba, kamera bergetar hebat disertai suara dentuman keras. Dari arah kanan, melesat dengan cepat sebuah bola api. Tak sampai 5 detik, bola api itu sudah menghantam badan pesawat yang bergerak dengan kalap itu. Lagi-lagi terdengar suara dentuman hebat. Asap mengepul. Terlihat serpihan besi berhamburan.
Kamera lagi-lagi goyang. Kali ini tak disertai suara dentuman, tetapi sejumlah teriakan riang. Beberapa terdengar memaki.
Salah satu makian itu kira-kira berbunyi: “Matilah kau!”
****
Saya tidak tahu persis pada bulan apa adegan itu direkam. Yang saya yakin, itu berlangsung pada 1945. Kalau boleh mengira-ngira, sepertinya adegan itu berlangsung antara bulan Maret-Mei, di salah satu front pertempuran Pasifik.
Ketika itu, Jepang memang sudah terdesak di mana-mana, tak terkecuali di front Pasifik. Dari bukunya PK Ojong, saya tahu, kesulitan yang dihadapi balatentara Jepang di front Pasifik diperberat oleh terputusnya supai senjata dan bahan bakar. Sejumlah kapal perang di Filipina mangkrak di pelabuhan tanpa bisa diberangkatkan. Pesawat-pesawat tempur juga tak bisa diterbangkan dengan leluasa akibat kelangkaan bahan bakar itu.
Entah dari mana datangnya. Tiba-tiba, balatentara Angkatan Udara Jepang yang sudah kehabisan bahan bakar dan senjata itu, menggelar sebuah operasi perlawanan yang tak pernah bisa dibayangkan oleh Sekutu: menggunakan manusia sebagai roket penghancur.
Caranya yaitu dengan menabrakkan pesawat udara ke kapal-kapal perang Sekutu. Beberapa di antaranya dengan menggdidikkan berhasil mengamblaskan diri dan pesawat yang dikendarainya ke dalam cerobong kapal Sekutu. Saya pernah membaca pengakuan seorang pilot Jepang yang tak sempat menunaikan tugas. Dia bilang, ada sekira 4000 pemuda Jepang yang baru melewai usia 20 tahun yang secara khusus dilatih untuk melakukan aksi nekat ini.
Strategi jibakutai ini, yang digelar oleh para pilot pemberani dan nyaris kalap yang kelak masyhur dengan sebutan pasukan Kamikaze itu, sempat membuat shock Sekutu. Seperti yang bisa kita baca dari memoar Jenderal Douglas McArthur, jenderal Inggris yang memimpin Sekutu di front Pasifik, Sekutu sama sekali tak menduga cara-cara nihilis macam Kamikaze akan dimaksimalkan Jepang yang sudah terdesak.
Keterkejutan ini juga mungkin nyaris sama dengan yang dialami CIA sewaktu tiga pesawat Boeing yang sudah diambilalih para teroris menabrakkan diri ke WTC. Dalam imajinasi paling liar para petinggi CIA, pilihan aksi “Kamikaze” macam Jepang musykil dimodifikasi sedemkian rupa oleh para teroris, apalagi dengan menabrakkan diri ke WTC, jantung sekaligus simbol peradaban kapitalis Amerika.
Keterkejutan Sekutu tak berlangsung lama. Lambat laun, aksi gila-gilan para pilot Jepang itu bisa diatasi. Seperti yang saya gambarkan di awal, kebanyakan pesawat Kamikaze itu sudah rontok sebelum mereka berhasil menabrakkan dirinya pada kapal Sekutu.
Tapi apa yang berlangsung pada episode penutup Perang Dunia II itu membuka salah satu tabir paling rahasia dari dunia Timur kepada Barat. Ya, aksi Kamikaze itu sedikit banyak menunjukkan bagaimana etos bangsa Jepang dalam memerlakukan tanah air, Kaisar dan harga diri.
Bagi balatentara Jepang, pengorbanan jiwa dan raga yang mereka lakukan merupakan manifestasi atas menyatunya konsep kecintaan terhadap tanah air dan Kaisar. Dan karena Kaisar dipercaya sebagai Putra Langit, keturunan langsung dari Amaterasu Omikami, maka kecintaan terhadap tanah air dan Kaisar menyatu sedemikian rupa dengan kepercayaan dan penghayatan mereka terhadap Yang Maha Transendental, Dewa Matahari, Sangkan Paraning Dumadi, Asal dari Segala Muasal.
Maka, pengorbanan jiwa para pilot Kamikaze tak sesederhana kecintaan dan pengorbanan terhadap tanah air. Dalam peta cacah kesadaran macam itu, peperangan untuk membela tanah air yang dipimpin seorang Kaisar yang merupakan Putra Langit, bisa dibaca sebagai sebuah ritual keagamaan.
Kekalahan Jepang adalah aib bagi tanah air, dan karenanya menjadi nila bagi Kaisar. Karena Kaisar adalah Putra Langit, maka kekalahan Jepang bisa menjadi “kekalahan Tuhan yang mereka sembah”.
Bagi seorang Jepang yang dalam struktur kesadarannya mengeram kuat kesadaran transendental macam itu, kekalahan Jepang di medan perang sama sekali tak bisa diterima karena itu sama artinya dengan keruntuhan struktur kepercayaan dan keimanan yang mereka yakini. Dan itu menjadi derita yang tak mungkin tertanggungkan bagi orang yang saleh dalam standar moral Jepang.
Atas dalih itulah rituah maut ala Kamikaze digelar secara kolosal. Sudah ratusan pesawat yang diterbangkan hanya untuk menabrakkan diri dengan kapal-kapal perang Sekutu. Satu per satu terbang. Satu per satu meledak. Satu per satu anak muda Jepang tewas.
Inilah salah cara memerlakukan kematian dengan cara yang indah, persis seperti yang dikatakan Gubernur Tokyo, Shintaro Ishihara (72), yang baru saja merampungkan naskah film tentang kamikaze. Ishihara, yang dikenal sebagai sisa semangat bushido yang masih hidup, menegaskan bahwa perngorbanan para pilot Kamikaze adalah pengorbanan untuk sebuah nilai yang bukan fisikal, melainkan nilai-nilai transendental yang tak kasat mata, tetapi menjalar dengan nyata di pembuluh nadi para pilot Kamikaze.
Berkat merekalah, kisah Perang Dunia II menyelipkan sebuah episode yang nyaris mendekati sebuah epik: tentang sebuah kematian yang digelar laiknya sebuah pentas teater.
Mestikah diherankan jika para veteran Jepang di Perang Dunia II menangis habis-habisan ketika satu dasawarsa setelah Perang Dunia II berakhir, tiba-tiba, Kaisar Hirohito melansir sebuah pernyataan yang menghentak: “Kaisar adalah manusia biasa, bukan Putra Langit!”
Kekecewaan, kesedihan dan tangis para vetaran Jepang bisa dimengerti karena jika benar Kaisar yang mereka bela hingga mati itu hanya manusia biasa, maka pengorbanan rekan-rekan mereka di front Pasifik menjadi sesuatu yang sia-sia, untuk tak menyebutnya absurd.
Dengan pernyataan itu, Kaisar telah membuat perjuangan para pilot Kamikaze menjadi tampak sepenuhnya sekuler.
Rabu, Mei 02, 2007
Maut Kamikaze
Diposting oleh zen di 5:27 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
5 komentar:
hmmmm, sama seperti para pejuang Islam di Afganistan dan Palestina? Juga Irak dan negara-negara Islam lainnya? Yang begitu bangga ketika dapat melaksanakan tugas untuk melakukan bom bunuh diri. karena dimata mereka itu adalah jihad, salah satu bentuk dari ibadah yang dijanjikan surga nantinya.
Seperti para pelaku bom bunuh diri di Bali dan Jakarta. Bukankah mereka pun mengatasnamakan jihad? Terdengar indah sekali, mulia sekali, meninggal ketika sedang berjihad.
Salam !
Zen, aku lupa, 'yang tertulis akan kekal..." itu bahasa latinnya gimana?
manusia bebas memilih, bahkan bebas memilih cara kematian dijemput (bukan menjemput).demikian tafsir imanen atas bunuh diri biasa dicarikan pembenarannya.
pada sisi lain, mengakhiri hidup sendiri adalah ungkapan jujur atas kekalahan. ia dikalahkan oleh hidup dan hiruk pikuknya. maka ia memilih kematiannya sendiri. ia dikalahkan hidup, tetapi menang atas waktu.
secara historis, pada pra restorasi meiji, jepang adalah komunitas tertutup yang inferior. shinto, sistem kepercayaan yang pada mulanya berintikan penyatuan dengan alam, sebagaimana animisme yang lain, dimodifikasi menjadi ideologi militeristik yang offensif, sebagaimana hitler dengan nazi nya.
dewa matahari yang imanen pada putera langit menjadi transenden karenanya. cara terhormat menyatu dengan dewa matahari adalah dengan mempersembahkan hidup. karenanya, kamikaze menjadi ritual yang religius.
paska perang dunia II, ideologi militeristik dari shinto dilucuti. kaisar dikembalikan "kemanusiannya". sejak itu, kamikaze menjadi jarang terdengar dilakukan atas nama Nippon. melainkan dilakukan karena kehilangan harga diri biasa seperti carok di madura.
seperti biasa, ideologi bermetamorfosa. suatu ketika, akan banyak bom bunuh diri hanya karena putus cinta.
Scripta Manent, Fan.
Hello, bung Zen.
Saya termasuk penikmat tulisan-tulisan Anda. Noir.
Jenderal Douglas Mac Arthur, bukan dari Inggris. Tapi, Amerika. Ketika Sekutu kalah dari Jepang pada awal perang Dunia ke II, dia dan pasukannya mundur dari Pilipina.
Sebelum mundur, dia berpidato dan berjanji pada rakyat Pilipina, akan kembali lagi ke sana.
Pidato perpisahan itu, terkenal sekali hingga sekarang. "I will return...."
Dan, dia memenuhi janjinya pada rakyat Pilipina, kembali lagi ke sana. Memimpin tentara Sekutu, menaklukkan Jepang di Front Pasifik. Salah satu tugasnya termasuk, memutus jalur distribusi bahan bakar dari Indonesia, untuk peralatan dan mesin perang Jepang.
Sebagai pejalan jauh, agaknya, kita tak perlu menengok, atau merencanakan, di stasion mana kita harus berhenti.......
Tabik,
Muhlis Suhaeri
Posting Komentar