Kamar jenazah RSUD Wirosaban yang ada di pinggiran selatan kota Jogjakarta tampak lengang di hari pertama gempa. Sekitar pukul 15.00, 7 jam seusai gempa yang membikin lantak Jogja Selatan, saya mendekati bangsal kematian yang tampak dingin itu. Pintunya terbuka menganga lebar. Saya ragu untuk melangkah maju. Genangan darah yang mengering tercecer di mana-mana.
Dari radius lima meter, bau amis darah langsung menyergap. Perut mendadak terasa diacak-acak. Pandangan meremang kabur.
Huueekkhhh. Saya muntah di situ juga. Indomie rebus yang kusantap di dapur umum dekat rumah langsung keluar seketika. Semua-muanya.
Setelah menenangkan diri selama 5 menit, sembari menghisap sebatang kretek, saya coba beringsut mendekati kamar jenazah. Kali ini saya tak ingin bersikap jumawa. Sehelai slayer kupasang menutupi lubang hidung. Lumayan ampuh ternyata. Perlahan tapi pasti, dengan perut yang mampu menahan mual, saya bergerak memasuki bangsal kematian yang lengang tanpa penunggu.
Begitu berhasil masuk, pandangan saya edarkan. Tak banyak jenazah yang tertinggal. Di pojok belakang, di atas ranjang setinggi 20 cm, jenazah seorang perempuan tua berbaju hitam dan berjarik coklat tua terbujur kaku. Tanpa penutup. Persis di depan pintu, seonggok jenazah ditutupi sehelai tikar pandan coklat muda yang sudah rombeng di sana-sini. Tampaknya seorang lelaki. Di ujung sebelah timur, sesosok jenazah teronggok bertutupkan selimut putih bergaris-garis hijau. Tampaknya seorang perempuan. Di sisi kepalanya, tampak genangan darah yang masih sangat cair. Saya perhatikan, genangan darah itu masih pelahan mengalir ke arah pintu.
Rasa mual mulai mengganggu. Saya nyaris saja undur diri sebelum pandanganku tertumbuk sesosok balita yang sepasang kakinya tampak mengangkang membentuk huruf “O”. Saya bergerak mendekati anak malang yang terbujur dingin itu. Saya duduk berjongkok di samping kirinya, persis di atas genangan darah yang masih cair.
Saya diam beberapa saat. Saya perhatikan, balita malang ini diselimuti selimut berwarna hijau. Ia mengenakan baju putih bertuliskan “sweet kitty”. Sepasang kakinya yang nongol keluar dibungkusi kaus kaki berwarna merah putih.
Saya membayangkan bagaimana anak malang ini meregang nyawa. Barangkali ia tertindih ranjang atau bahkan ditindih tembok rumahnya yang ambrol. Terbayang bagaimana darah mungkin mengucur deras dari kepala yang terluka menganga.
Dengan tangan yang gemetar, sembari menghisap asap kretek dalam-dalam, saya beranikan diri untuk membuka selimut hijau yang menutupi wajahnya. Saya bersiap untuk menerima sebuah kenyataan yang agak lain: wajah lucu yang belepotan oleh darah dan luka.
Aih… bayangan kelam itu ternyata sama sekali keliru. Wajahnya begitu bersih. Tak ada sedikit pun goresan luka. Setetas darah pun tak berjejak di wajahnya yang… ya ampun, begitu lucu, begitu tampan. Bibirnya sedikit menguncup, membentuk sebuah siluet senyum yang rasanya begitu aneh. Di atas kedua sayap bibirnya itu, anehnya, terpacak bulu-bulu hitam agak tebal yang membentuk sebaris kumis halus. Saya, jujur saja, tak pernah menjumpai anak laki-laki berusia sekitar 20 bulan yang sudah berkumis cukup jelas.
Pelahan, dengan tangan kiri yang sudah bau amis darah, saya coba mengatupkan dua kelopak matanya yang terbuka. Tapi kelopak mata itu enggan menutup. Saya usapkan sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi. Tapi kelopak mata itu tetap terbuka.
Saya menyerah. Saya berdiri. Di ketinggian, saya perhatikan sekali lagi wajah anak malang itu. Mulutnya masih tersenyum. Dan matanya…. entah kenapa saya merasa mata itu memancarkan ekspresi kegembiraan. Tak ada sedikit pun gurat ringis kesakitan.
Saya menengok ke arah timur tempat di mana jenazah perempuan yang kepalanya terus menetaskan darah itu. Mungkin perempuan itu adalah ibunya. Pikir saya dalam hati.Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba masuk. Ia mengenakan seragam supir ambulance. Saya tanya, perempuan itu kah ibu anak malang berwajah tampan itu?
Ia menggeleng. Katanya: “Anak itu sudah meninggal sejak pagi. Dan tak ada yang tahu siapa dan di mana sanak keluarganya.”
Saya jongkok sekali lagi. Kali ini ku raba keningnya. Dingin. Sangat dingin. Ku perhatikan sekali lagi wajahnya dengan lebih detail. Ah… wajah polos itu tampak sudah mulai menguning.
(Catatan kecil ini ditulis pada sore harinya. Malamnya saya mengecek bayi malang itu, dia masih di sana. Di temani dua jenazah lain. Esok siangnya, bayi malang itu masih juga di sana, tergeletak di lantai. Saat itu dia hanya dikawani sebujur jenazah. Pada sore harinya lagi, saya menengoknya kembali. Dan dia masih di sana. Tak ada lagi jenazah yang lain. Sendirian. Bahkan keluarganya pun tak ada yang menjemputnya. Ataukah memang dia sendiri tak punya lagi keluarga? Sungguh, saya tak tahu!
Sabtu, Mei 26, 2007
Pada 27 Mei 2006: Requiem untuk Seorang Bayi
Diposting oleh zen di 7:17 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
10 komentar:
mungkin lebih baik mati sejak bayi daripada melihat dunia yang sumpek ini. Pada akhirnya hidup terlalu lama adalah siksa. Tapi bunuh diri adlah kepengecutan. Sebagaimana Sisifus yang tetap melawan dan melawan. Meski ia sadar, ia akan kalah.
penggambaran situasinya keren. Berhasil bikin yang baca ikut mencium bau amis dan ingin mutah.
saya trenyuh banget membaca posting ini...
sedihnya, jd inget kejadian setaun lalu
wuh deskripsinya bagus mas
kereen!
merinding.
mungkin bayi itu terpisah dri keluarganya.
ibunya mungkin menangis mencari-cari bayi itu sampai sekarang.
paman temen gw kerjanya nganter jenazah. yup di jogja pastinya..
pasti dia punya pengalaman menarik sewaktu gempa setahun lalu..sayang selama ini gw g kepikiran buat tanya"...
Wow...
Benar2 tulisan yang sangat mantap...
I take my hat off...
Nice story...
BTW saya diberi tahu seseorang kalau mas mahasiswa UNY angkatan 20** ?...
Toss bro...sama2....kita satu angkatan tetapi saya MIPA
salam kenal...
barangkali akan selalu ada yang tidak bisa dilupa :(
This is a very interesting read.
Posting Komentar