::buat ikram
Entah kenapa belakangan aku selalu ingat adikku. Padahal, bahkan di hari kematiannya dulu, aku tak terlampau berat melepasnya. Seingatku, aku bahkan tak meneteskan satu pun bulir air mata.
Ada saat di mana aku seperti di datanginya kembali. Bagi saya, ketika momen seperti itu datang, pertama-tama itu bukanlah perisiwa metafisika, semacam takhayul, atau klenik. Tiap kali aku merasa disambangi adikku, aku selalu memahaminya sebagai gejala psikologis: aku merindukannya.
Seperti saat ini. Seperti ketika aku menuliskan catatan ini.
Aku memilih untuk menuliskan catatan ini karena dua alasan: (1) seorang teman mengingatkanku pada hal sepele ini dan (2) karena beberapa minggu lalu saya sempat menyentuh kembali bukunya Milan Kundera yang terkenal, Kitab Lupa dan Gelak Tawa.
Dalam helai-helai tebal kitab cerdas dan dipenuhi satire cemerlang itu, Milan Kundera menggoreskan sebuah pasase ihwal kematian yang bisa membantu saya menjelaskan rasa kangen dan kehilangan pada adikku.
Pada pasase itu, Kundera bilang: “Bukanlah masa depan yang hilang dari kematian tapi masa silamlah yang hangus bagi orang-orang yang masih hidup di lingkaran si mendiang.”
Kematian bukanlah pisau guillotine yang memutus rentetan “waktu silam” dan “waktu kini” si mendiang dengan “waktu menjelang”. Kematian justru meleburkan tiga dimensi waktu itu bagi sang mendiang. Tak ada lagi "waktu silam", "waktu kini" dan "waktu yang menjelang" bagi orang yang sudah pergi ke niskala.
Bagi saya, pasase itu menarik karena ia tak berbicara ihwal apa arti kematian bagi si mendiang. Dan dengan jernih serta beraroma satire seperti biasanya, Kundera bilang bahwa kita inilah, orang-orang yang ditinggalkan itulah, yang sebenarnya merasakan beratnya kematian.
“Masa silamlah yang hangus bagi orang-orang yang masih hidup di lingkaran si mendiang,” kata Kundera.
Kundera tentu saja bukan orang bodoh yang tersesat memerlakukan “kenangan”, “ingatan” dan “masa silam” sebagai kenyataan yang bisa hangus. Jika kita tak disergap amnesia, hasrat membuang masa silam dan semua jejaknya yang kerap kita sebut kenangan itu tak lebih dari sepucuk mimpi. Ya, masa silam dan kenangan tak mungkin bisa terhapuskan. Sekali tergelar, masa silam pun terlewati, dan pada saat yang sama dikukuhkan keberadaannya.
Kita tak mungkin melupakannya. Sebab, setiap kali kita melupakan, kita sebenarnya sedang mengingat.
Sebagai orang yang berdarah Yahudi, Kundera pasti paham bahwa kenangan, ingatan dan masa silam tak mungkin bisa hangus. Keabadian kenangan, ingatan dan masa silam yang perih itulah yang jusru melahirkan trauma; sesuatu yang dengan khidmat sangat dipahami oleh orang-orang berdarah Yahudi yang pernah dizalimi dengan begitu nista oleh Hitler.
Jika demikian, lantas apa yang dimaksud Kundera dengan “masa silam yang hangus”?
Bagi saya, hangus yang dimaksud Kundera adalah semacam evolusi, penaka persalinan rupa, dan bukan kepunahan. Bukankah kayu yang hangus tidak musnah, melainkan hanya berubah bentuk menjadi abu? Jika tak keliru, ilmu alkemi menyebutnya sebagai “perubahan bentuk”.
Jika adikku masih hidup, atau siapapun yang kita kenang dengan perih itu masih hidup, kita mungkin masih bisa berdialog dan berbagi cakap dengannya ihwal masa silam, kenangan dan semua memori yang menghubungkan dan melibatkan dirinya dengan kita pada satu peristiwa. Kematian seseorang, dalam membuat “kenangan”, “ingatan” dan “masa silam” itu mengalami perubahan bentuk, menjadi “hangus” dalam kata-kata Kundera, dari yang tadinya bisa didialogkan menjadi tidak bisa didialogkan. Dari yang semula dioalog berubah bentuk hanya menjadi monolog.
Tapi dengan itulah kenangan dan memori justru terasa mendebarkan sekaligus memerihkan. Hannah Arendt, penulis kenamaan yang juga berdarah Yahudi, yang banyak meneliti ihwal trauma holocaust bangsanya, pernah memberi saran pada orang-orang yang didera trauma. Berceritalah, kata Hannah Arendt. Sebab katanya, derita menjadi tertanggungkan ketika menjelma menjadi cerita.
Kenangan yang menjadi monolog, kenangan yang tak terceritakan dan tak terbagi, justru membuat kenangan itu terasa lebih sunyi dan membikinnya lebih bertalu-talu dalam hati.
Bukankah kenangan yang tak terbagi jauh lebih menyesakkan ketimbang kenangan yang masih bisa kita bagi dengan yang bersangkutan?
Senin, April 02, 2007
Monolog Kehilangan
Diposting oleh zen di 6:31 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
5 komentar:
Karena itu, Bung. Kematian dan juga kehidupan itu tidak ada. Yang ada adalah kita. Kita, yang terus belajar mengeja.. sampai energi menyublim dari raga.
Holokaus? Hmm.. Norman Finkelstein menemukan fakta bahwa DATA dalam buku Holokaus Yahudi yg diterbitkan kebanyakan Universitas AS adalah PALSU. termasuk juga footnote dan daftar pustakanya.
And surprisingly, Norman sendiri adalah yahudi tulen yang anti Zionisme.
moco blogmu marakke mumet, om.
tapi aku mumet-addict koq.
(=
seorang teman bilang, berbagi persoalan yang bersifat personal ke orang lain membuktikan betapa seseorang itu tak bisa mengendalikan emosinya. ia rapuh, lemah, cengeng, mentel! Orang yang tangguh adalah yang bisa mengatasi setiap persoalan dengan sendiri, katanya.
Itu menurut seorang temanku lo mas pejalanjauh. Aku sendiri juga tak sepenuhnya sepakat. Untuk hal-hal tertentu, aku memang membenarkannya.
Rief, energi, seperti yang saya pernah bilang pada satu malam, tak pernah punah. Itu hukum fisika. Itulah sebabnya saya juga percaya masih ada hidup pasca tewas.
Buat Wannabe: Hmmm... kalo kecanduannya bikin kamu sering mampir... wah, asyiikkk....
Buat Udin:Maksudnya saya mentel dan rapuh krn membagi kisah ini? Hmmm... apa boleh buat jika memang ternyaya demikian. Tapi kupikir, mengisahkan itu bukan berarti meminta bantuan orang untuk ikut menyelsaikan perkara. mengisahkan dan meminta bantuan adalah dua hal yang berbeda.
Saya percaya hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian. Masa depan yang pasti dialami setiap orang. Menyelami satu persatu tulisan dalam blog ini sebenarnya berbicara hal yang sama : kematian. Saya pun akhirnya turut berziarah disini. Tapi bukankah kematian adalah peristiwa yang belum dirasakan oleh kita yang masih bisa membaca dan menulis disini? Apa sebenarnya yang dicari sang pejalan jauh dari sebuah kematian?
Posting Komentar