Selasa, April 03, 2007

Puisi, Maut, dan Hidup yang Ditodongi Deadline

Banyak cara menjemput el-maut. Seorang penyair mungkin akan menghadapi regu tembak dengan cara bertanya sekaligus berpuisi.

Dalam hal Federico Garcia Lorca, puisi terakhirnya justru lahir sewaktu moncong pistol telah menempel di tengkuknya: “where my moon?”

Sebagaimana tergambar dalam film The Disappearence of Garcia Lorca, wajah Lorca yang halus nan klimis itu tengadah ke hening malam yang diseraki gemintang. Tenang. Secual pun tak ada tanda was-was. Karena itulah sang algojo tak sanggup tarik pelatuk. Algojo itu jengkel, sebab ia ingin sekali, bahkan terobsesi, melihat penyair Andalusia yang necis itu meratap ketakutan, dan memohon-mohon untuk diampuni.

Penonton akhirnya tahu, obsesi algojo itu ternyata tak terkabul.

Dalam hal Andalusia dan diktatornya yang bernama Jenderal Franco, juga bagi setiap penguasa mana pun yang terkaing-kaing mengejar ambisi untuk setotalnya menguasai, kekuasaan akan selalu tampak tergopoh-gopoh, dan karenanya kedodoran. Sebab, sekokoh apa punkontrol, semenjulang apa pun tahta, dan seperih apa pun respresi yang ditangguk orang jelata, toh orang masih bisa melawan, meski itu minimum. Dengan memaki dalam hati, misalnya. Atau memelesetkan lagi-lagu.

Dalam hal Lorca, ia melawan lewat puisi. Barangkali karena tahu bahwa maut sudah tak mungkin lagi ditampik, maka takut pun sudah tak cukup berarti lagi baginya. Maka ia pun berpuisi. Puisi pungkasan Lorca (“where my moon”) karenanya adalah satire, sebungkus kado terakhir berisi cibiran untuk kekuasaan yang tampak kedodoran.

Itu dulu. Puisi kini menghadapi jenis kekuasaan baru.

Hari ini, sewaktu tengkuk para penyair tak lagi ditodongi pistol dan sehelai surat sensor, di manakah puisi, dan apa yang menarik dari puisi?

Hari ini memang bukan Jawa pada ratusan tahun silam. Kala itu, seperti yang ditunjukkan Prof. C.C. Berg, setiap tulisan memiliki aura dan kekuatan laiknya puisi, apakah itu yang dipahat di batu-batu prasasti maupun yang tersurat dalam babad-babad. Kata-kata dalam bentuk mantra bahkan tampak sakral dan suci karena dianggap bertemalian dengan dunia transendental, Yang Gaib. Dan karenanya, ia –kata-kata itu…-- berada di tempat terhormat.

Hari ini juga bukan tahun ’45 atau ’66, saat ketika kata-kata besutan Chairil Anwar, “Bung, Ayo Bung!”, terpacak di gerbong sepur Djakarta-Soerabaja dan puisi-puisi Tirani dan Benteng-nyaTaufik Ismail beredar stensilan di jalanan Jakarta. Keduanya kala itu sama-sama punya daya pukau yang menggerakkan heroisme.

Hari ini adalah hari ketika hidup telah menjadi sehimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati.

Puisi dan penyair karenanya tampak ganjil dan asing. Ia ganjil karena tak berkoar tentang hidup yang sempit dan tergesa-gesa, hidup yang menempatkan “nilai guna dan “nilai tukar” di atas segalanya. Penyair juga aneh sebab di tengah hidup yang berat, perut yang kempis dan sandang yang sudah demikian apak, ia masih saja berbicara tentang ilalang, ihwal langit pagi seusai diguyuri hujan semalaman dengan sisa kabut yang enggan beranjak, dan tentu saja tentang bulan.

Barangkali kita perlu menonton Deads Poets Society. Di film itu, sejumlah anak muda mengalami transformasi besar setelah kedatangan seorang guru sastra yang dengan memikat berhasil menghadirkan puisi dalam bentuknya yang paling hebat: penuh daya pukau dan juga penuh kemungkinan. Anak-anak muda itu lalu menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan, atau dalam kata-kata Goenawan Mohamad, mereka “terbawa ke dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam suka cita yang mencemaskan”.

Puisi adalah “dunia yang serba mungkin”, penuh rahasia, penuh kelokan dan ironi. Dunia macam itu digerakkan oleh semangat untuk terus mencoba dan menjajal segenap rahasia hidup.

Kebebasan menjadi penting di sana. Tak ada otoritas yang bisa menentukan sesuatu. Semua jenis kekangan dicairkan karena umat dari dunia puisi hanya ingin menuruti perasaan hatinya, (pinjam kalimatnya Roestam Effendi dalam lakon Bebasari), “sebab laguku menurutkan sukma”.

Jepang adalah negeri yang telah banyak kehilangan itu semua. Setidaknya itulah yang diyakini Yukio Mishima, penulis novel Kuil Kencana yang termasyhur itu. Ia kecewa dengan negerinya yang dianggap telah kehilangan sukma. Amaterasu Omikami hanya menggetarkan sewaktu disembah di kuil-kuil. Jika sudah di kantor, pasar dan bursa saham, yang bicara hanyalah kalkulasi: jika laba ayo jalan, bila rugi jangan ragu tinggalkan!

Mishima lalu memilih jalan sunyi: menulis dan menulis sekaligus mendidik sejumlah anak muda dengan ilmu kanuragan dan olah spiritual. Setelah dirasa cukup, pada 1970, seusai menyelesaikan novel terakhirnya, Mishima dan anak muda didikannya itu menyerbu sebuah pos militer di jantung Tokyo. Di hadapan sepasukan tentara, Mishima berpidato dan menyerukan agar Jepang kembali ke nilai-nilai tradisi yang penuh dengan semangat dan geletar sukma itu.

Tahu misinya gagal, Mishima masuk ke sebuah ruangan di mana sang komandan militer disandera di sebuah kursi. Di hadapan sang komandan, Mishima melakukan seppuku: tancapkan pedang ke perutnya lalu merobeknya. Sejurus kemudian, seorang anak buahnya menetakkan pedang ke leher Mishima, memenggalnya. Hal itu harus dilakukan agar Mishima tak mengerang atau mengaduh menahan sakit, sebab mengaduh dan mengerang dalam laku seppuku adalah aib.

Simak juga kisah yang terjadi di Cili. Di sana, penyair Pablo Neruda yang telah almarhum masih saja disebut dan diingat. Meski dihalangi tentara dari rezim Jenderal Pinochet, bekas rumah peraih Nobel Sastra 1971 di pantai Isla Negra itu masih terus disinggahi. Para peziarah itu membawa buku puisi Neruda, dan bersama kekasih atau temannya, puisi-puisi cinta Neruda itu dibacakan. Pagar rumah mendiang Neruda bahkan dipenuhi coretan tentang cinta dari para peziarah. Sampai-sampai, tulis Gabriel Marquez dalam Klandestin di Cili, “Jika ada yang cukup ulet dan telaten, niscaya semua puisi Neruda dapat disusun ulang dari coretan-coretan itu.”

Bagi peziarah itu, juga Mishima dan anak-anak muda dalam film Deads Poets Society yang keranjingan puisi, hidup tak cukup berarti ketika semuanya telah dikalkulasi. Betapa tak menyenangkannya jika tak ada lagi kejutan, kecemasan, kebebasan yang liar. Semunya serba eksak. Mereka adalah orang-orang yang menyadari bahwa manusia tak cuma wadak yang harus disuapi lauk dengan standar gizi yang laik. Manusia juga bukan seonggok badan yang mutlak diteduhi sandang dan papan yang memadai. Manusia juga memiliki sukma yang berurusan dengen geletar semangat, gairah, passion, ketakutan, heroisme, kegagalan, patah hati, jatuh cinta….

Mathew Andrew pernah mengingatkan itu lewat esai Litterature and Science (1930). Andrew menyebutkan bahwa manusia menjadi utuh berkat dua macam insting: instinct for conduct (insting akan bimbingan) yang diperoleh lewat sains dan ilmu pengethuan serta instinct for beauty (insting akan keindahan) yang diperoleh lewat seni-sastra.

Lewat Andrew, menjadi terang kenapa orang masih berduyun-duyun datang tiap sebuah drama yang mengharukan dipentaskan, tiap sebuah film hebat diputar, tiap sebuah orkestra yang memesona digelar. Itu pula yang menyebabkan pantai, bukit, dan ngarai-ngarai masih dikunjungi. Dalam hal ini, puisi sama dengan suatu pemandangan alam yang indah atau sebuah pertunjukkan yang menakjubkan.

Puisi memang masih tetap dibaca dan diterbitkan. Kata-kata masih berhamburan di mana-mana, ke mana-mana, berbareng dengan desakan hidup yang kian eksak dan sesak, seiring dengan (seperti yang dinyatakan sebuah puisi) “detik-detik yang terus berhamburan dari dadamu… dadaku… dada kita.”

Tetapi apa boleh buat, seperti yang dikhawatirkan penyair Octavio Paz yang meraih Nobel Sastra pada 1990, puisi kini tampak kian “rahasia, tersisih dan langka”. Kebanyakan orang lebih memilih kenyamanan dengan mengejar segala macam kepastian: selembar ijazah yang memberi kapling di dunia kerja, gemerincing receh mata uang yang memastikan selamat dari lapar, serta ritus-ritus yang dijalankan dengan keras yang kabarnya menjanjikan semilir angin surga kelak di kemudian hari.

Saya tidak tahu, apakah itu yang menyebabkan sekolah yang menawarkan ijazah palsu makin diminati, korupsi kian meruyak dan bom-bom masih sering diledakkan?

5 komentar:

udin mengatakan...

bung, apa kita berdosa ketika hingga hari ini masih berpuisi tentang rembulan, hujan di balik jendela, awan mendung? berdosakah, haram?

haruskah para penyair itu berkisah tentang carut-marut kehidupan bernegara, bencana besar politik, terorisme, atau tema-tema besar lainnya? Wajibkah?

jawab bung, apa karena sajak perihal langit mendung, rindu kekasih, tik tik hujan di atas bebatuan, puisi akan menjadi kurang bermakna?

Unknown mengatakan...

Mas, saya rasa puisi terbaik adalah hidup itu sendiri. Sebab, bagi saya, puisi bukan serangkaian kata kata, bait bait,paragraf paragraf. Tapi sebuah pencarian tiada awal dan tiada akhir dari nafas.

Mungkinkah Lorca dalam kematiannya sana masih berpuisi?

zen mengatakan...

Buat Udin: Sama sekali tidak. Lagi pula, kan saya tidak melarangnya di esai saya itu. Boleh kok. Sangat boleh. Puisi politik atau puisi pamflet juga bahkan boleh. Tinggal seberapa mampu jargon2 itu diolah seestetis mungkin.

Buat Agung: Hua.. hua... pertanyanmu mestinya diajukan ke pak Leo.

The Bitch mengatakan...

hey, stranger
waktu ini, masa ini, detik ini
yang ku mau cuma kamu ada di depanku
bersila layaknya buddha
dan aku tafakur tunduk mendengar

...karena yang terucap dari mulutmu laksana buah pengetahuan terlarang di taman eden.

(gwa terlalu males baca dan nonton pilem keren, jadi, lo critain ke gwa aja ya, maz! hehe...)

Yuti Ariani mengatakan...

Puisi?
Membaca kata itu saja imajiku sudah melayang pada kata-kata penuh diksi. Makna berjalin dengan rasa yang tak bisa ditafsirkan layaknya penggaris. Sebuah kemerdekaan rasa yang kadang harus ditebus raga. Hmmm... sebagai sebuah wujud seni, fungsinya pun bergantung sang penikmat.