Jumat, Maret 23, 2007

Karena Melarat Aku Belajar Mengenal Kematian

Sekira 18 tahun silam, sewaktu saya masih duduk di bangku kelas empat SD, adik bungsu saya pergi ke niskala. Masih sangat kecil ia. Umurnya belum lagi genap empat tahun. Namanya Irwan Kurniawan. Dia pergi setelah diterjang Demam Berdarah. Penyakitnya telat ditangani karena ia telat di bawa ke rumah sakit (kemiskinan memang kerap melahirkan cerita sedih).

Saya masih ingat kalimat yang dilontarkan simbok sewaktu saya bertanya seperti apa rasanya ditinggal pergi oleh anak sendiri. Simbok menjawab begini: “Rasanya, setiap melangkahkan kaki, kaki simbok selalu terasa amblas ke bumi. Seperti berjalan di atas lumpur. Selama setahun perasaan itu mengeram.”

Aku lupa persisnya selang berapa lama saya menanyakannya. Kira-kira mungkin setelah setahun adik saya pergi. Dan sejak kepergian itu, simbok selalu rewel ihwal rasa sakit anak-anaknya. Sekali saja terdengar anaknya mengeluh sakit, simbok akan langsung membawa anaknya ke dokter.

Rewelnya simbok masih bertahan hingga kini. Dan anehnya, kendati aku lebih sering di Jogja atau Jakarta, dan sangat jarang sekali pulang, simbok tetap selalu tahu setiap kali aku meriang, flu atau bahkan diterjang batuk. Dan ia selalu tergopoh menelpon anak tertuanya ini; anak lelaki satu-satunya yang sangat kerap melupakannya.

Saya bisa mengerti kenapa simbok bisa serewel itu. Ya, adik saya tak terselamatkan karena telat ditangani. Simbok waktu itu hanya bisa membawanya ke Puskesmas Pembantu di kampung. Selain jauh, pergi ke dokter bukan pilihan utama mengingat ongkosnya yang kelewat mahal. Sialnya, tiga hari sebelum kematian adik, mantri yang jaga di Puskesmas hanya mendiagnosis demam biasa.

Setelah tiga hari demam adik tak kunjung turun, simbok dan bapak berangkat ke rumah sakit di kota. Dan adik divonis postitif Demam Berdarah dengan stadium darurat. Adik hanya bertahan 12 jam di rumah sakit. Ia terbang ke niskala menjelang pukul 3 pagi.

Selama bertahun-tahun, simbok bu memenda murka tak kepalang pada Puskesmas. Begitu pun saya. Belakangan saya sadar, mantri kesehatan bukanla dokter, lagipula apa yang bisa diharapkan dari Puskesmas Pembantu?

Aku sedih mengenang ini. Apalagi saya tahu, simbok dan bapak pulang dari rumah sakit membawa jenazah adik dengan naik bus dan angkot. Ambulans memang ada, tapi sungguh biaya sama sekali tak terjangkau. Ya, simbok dan bapak pulang membopong jenazah adik. Dengan menahan duka yang tak kepalang, mereka bergantian menggendong jenazah adik. Supir, kondektur dan penumpang lain tak tahu kalau yang dibopong simbok dan bapak adalah jenazah.

Kata bapak, mereka bergantian sadar. Saat salah satu kebagian jatah menggendong, yang satunya pingsan, tak kuat menahan shock, dan terlebih tak mampu menanggung rasa bersalah membiarkan anaknya mangkat hanya karena mereka telat mendapatkan uang sekira 200 ribu.

Saya mengenang itu semua dengan perih, juga dendam. Itulah saat pertama saya juga menyadari betapa pahitnya menjadi orang miskin. Karena melaratlah aku mulai mengenal kematian!

Lara yang ditanggung simbok dan bapak tak berhenti di situ. Lima hari setelah kematian adik, aku juga diterjang demam yang sama. Kali ini bapak tak ingin kehilangan dua anak hanya dalam hitungan seminggu. Entah dari mana bapak dapat duit, dibawanya aku ke rumah sakit. Di rumah sakit yang sama tempat adik mangkat, aku didiagnosis: demam berdarah!

Simbok waktu itu ada di rumah, menyiapkan acara tahlil hari ketujuh adik. Malam itu juga, aku dirawat. Dan tahu tidak, saat itu rumah sakit penuh dengan pasien. Demam berdarah sedang menjalar sebagai epidemi. Dan hanya ada satu ranjang di kelas ekomomi yang tersisa. Ya, benar, itulah ranjang di mana adikku mati di terjang demam berdarah!

Dari cerita yang kudengar, simbok pingsan seketika juga mendengar kabar aku dirawat untuk penyakit yang sama. Simbok menerima persis sewaktu acara tahlil hari ketujuh adik dimulai. Aku memang tak melihatnya langsung, tapi aku yakin, siapa pun orangtua yang berada dalam posisi seperti simbokku, dia akan pingsan juga.

Yang aku lihat dengan mata kepala sendiri, simbok lagi-lagi jatuh pingsan begitu melihat aku dirawat persis di ranjang tempat anak bungsunnya tewas seminggu silam!

Momen-momen itulah yang menjadi momen pertamaku mengenal kematian, dengan semua desir dan perihnya.

10 komentar:

ikram mengatakan...

Sepertinya lebih menyedihkan bagi mereka yang ditinggalkan, ketimbang orang yang merasakan.

zen mengatakan...

Ikram, kamu benar! Nanti aku akan posting khusus ttg arti kematian buat mereka yang ditinggalkan, persis seperti yang kamu maksudkan.

turabul-aqdam mengatakan...

ZEN, KRAM, kematian adalah kita.

daramanis mengatakan...

2 tahu yang lalu Ayahku meninggal. peluh, perjuangan, serta keringat yang ia cucurkan untuk membesarkan anaknya tak sempat ia reguk.

Sayappipit mengatakan...

p mengalami hal sama ketika Bapak meninggal. malah katanya tiap jauh dari ibu p sakitan.kayaknya itu bahasa alami tubuh yang protes namun 'kosong' karena mendadak kehilangan sebagian jiwam, makanya penyakit mudah datang.

wadoh sok jadi mantri nih! and Zenrs hate it

zen mengatakan...

Naz, Pinufa: setiap orang punya kenangan akan kematian. ada yang dengan mudah melewati, ada yang tersaruk-saruk, dan ada yang jatuh. tetapi buatku kematian lebih mirip seperti sebuah medan energi. ketidakmampuan menyerap energinya yang dahsyat hanya akan membikin melahirkan energi negatif, dan kemampuan menyerap potensi da energi dahsyat kematian akan melahirkan energi yang juga dahsyat: seperti PADAMU JUA-nya Amir Hamzah, SENJA DI PELABUHAN KECIL-nya Chairil, Malam lebaran-nya Sitor dan jangan lupa juga antologi Gypsy Ballads-nya Garcia Lorca.

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

kematian... ach, aku tak bisa menuliskan apa2 tentangnya. sakitkah? indahkah? seromatis bait sajakkah? seperih puisi? senikmat cinta? kurasa tak ada yang tau. dan aku pernah kehilangan banyak olehnya. kematian, sebuah jarak panjang anatara kita. siapa yang bisa memastikan kelak, kita dipertemukan lagi? kecuali kitab-kitab yang mengibur itu, tak ada yang bisa dipercaya lagi....

Bambang Aroengbinang mengatakan...

trenyuh membacanya bung, smoga dendam itu bisa disembuhkan pada saatnya nanti;

meski kematian adalah sebuah takdir, dan keteledoran serta kebodohan hanya sebuah jalan kematian yg memilukan, namun siapa pun akan sulit untuk menerimanya begitu saja. smoga smua kita diberi kekuatan ketika menghadapinya. salam.

Joned mengatakan...

makin tambah digit durasi kita jalani hidup, apa kita nambah sadar ke mana ujung jalan kita & gmn kita mencapainya?
dr ceritamu bung, jd inget bbrp tahun lalu ada cerita yg mirip. ada seorang bapak telat menolong anaknya yg sakit, gara2 duit jg. akhirnya si anak meninggal & dibawa pulang dgn KRL.
inilah poinnya, kemiskinan akan membawa ribuan derita & kematian.

armani watches uk mengatakan...

gara2 duit jg. akhirnya si anak meninggal & dibawa pulang dgn KRL.
inilah poinnya, kemiskinan akan membawa ribuan derita & kematia