Rabu, Maret 21, 2007

Requiem seorang Gus

Seorang kyai yang juga penyair wafat minggu kemarin. Zainal Arifin Thoha, namanya. Orang-orang menyebutnya Gus Zainal.

Dia seorang kyai yang unik. Dia buat pondok pesantren yang khusus menampung mahasiswa yang kesulitan ekonomi. Siapa pun boleh tinggal di pondoknya dengan syarat yang bersangkutan tak menerima kiriman dari orang tua. Santri-santrinya kemudian ia ajari membaca buku, diajarinya menulis, dan tentu saja berzikir.

Dari sanalah sejumlah santrinya, yang menggunakan identitas anggota KUTUB, mulai “menggempur” halaman-halaman koran, dari mulai rubrik resensi, esai sastra, cerpen, hingga artikel. Dari sebagian honor-honor tulisan itulah (saya tak tahu berapa persennya), beras dan sejumlah kebutuhan pesantren mahasiswa Hasyim Asy’ari coba dicukup-cukupkan.

****
Beberapa hari setelah kematiannya, saya menerima tiga kumpulan puisi Gus Zainal. Saya langsung buka daftar isi. Saya cari-cari judul puisi Gus Zainal yang memajang kata-kata “kematian”, “mati” atau “maut”.

Hingga saat ini saya masih percaya, bahwa para penyair dan orang-orang yang hidup dengan cara puisi adalah salah satu jenis manusia yang bisa meramalkan dan membayangkan kematiannya.

Kristanto Agus Purnomo, kita mengenalnya sebagai Kriapur, pernah menulis puisi berjudul ”Kupahat Mayatku di Air”. Dia menulis begini: “kupahat mayatku di air, namaku mengalir, pada batu dasar kali kuberi wajahku, pucat dan beku”. Dan matila Kriapur di air dalam sebuah kecelakaan yang membuat mobil yang ia tumpangi amblas di dasar kali.

Chairil Anwar menulis sajak Yang Terampas dan Yang Putus. Di sajak yang ditulisnya di tahun 1949, Chairil menulis: “kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu, di Karet, di Karet (daerahku y.a.d), sampai juga deru dingin.” Dan matilah Chairil di tahun sama dengan sajak itu ditulis, dan di Karet pula a dikuburkan.

Federico Garcia Lorca pernah menulis puisi Primer Romancero Gitano yang termuat dalam antologi Gypsy Ballads. Di sajak yang ditulisnya di New York pada 1928, Lorca menulis bahwa ia akan mati tak lama lagi dan jasadnya tak akan pernah diketemukan. Dan pada 19 Austus 1931, 3 tahun setelah sajak itu ditulis, mati pula Lorca dan tak diketemukan pula di mana jasadnya.

Itulah sebabnya saya langsung mencari-cari puisi Gus Zainal yang judulnya beraroma kematian.

Dari tiga antologi puisi yang saya terima, yang pertama saya buka adalah Engkaulah Cinta, Akulah Rindu. Dan saya menemukan apa yang saya cari. Sebuah puisi yang dijuduli Ciuman Terakhir Menjelang Kematian (1).

Sajak ini pendek. Hanya dua bait. Sajak itu ditutup dengan dua kalimat yang lebih mirip permohonan do’a. Gus Zainal menulis begini: “Tuhan beri aku ciuman, biar segera lesat ini sukma, dan terlemparlah bangkai badan dari biu semesta.”

Gus Zainal memang dijemput maut dengan cepat dan mudah. Hanya dua cegukan dan beberapa menit menggigil kedinginan. Seperti permintaannya: “biar segera lesat ini sukma”.

Itu bait penutupnya. Tapi yang lebih mengejutkan adalah bait pembukanya. Di bait pertamanya, Gus Zainal melukiskan malaikat yang berkeringat sembari melukiskan keadaan dirinya yang sedang sekarat, sesuatu yang secara luar biasa betul-betul kejadian.

Sebelumnya, saya ingin membagi kesaksian yang saya dengar dari beberapa santri Gus Zainal yang berada di tempat beberapa kerjap setelah Gus Zainal wafat. Dari penuturan dua orang santrinya, saya tahu Gus Zainal mati sendirian. Tanpa teman. Kontak terakhirnya dengan pembantu dan pengasuh anak-anaknya, mbak Ni’mah namanya. Dia ini yang terakhir menemui Gus Zainal dalam keadaan bernafas. Dia ini pula yang menyelimuti Gus Zainal yang sebelumnya beberapa kali menggigil kedinginan.

Gus Zainal ketika itu ada di ruang depan, di depan televisi, tiduran di karpet, dekat dengan jendeal rumahnya. Di sana pula, di depan televisi, di atas sehelai karpet, dan di dekat jendeal rumahnya, Gus Zainal pergi dengan cepat. Mungkin juga dengan mudah. Dari penuturan yang saya dengar, suara terakhir yang meloncat dari mulut Gus Zainal adalah bunyi cegukan yang berulang dua kali. Setelah itu hening. Sesudah itu semua dingin.

Dan seperti itu pula yang dibayangkan Gus Zainal ihwal kematiannya, seperti yang ia tulis di bait pembuka Ciuman Terakhir Menjelang Kematian (1). Gus Zainal menulis begini:

“Keringat begitu deras melumuri tangan malaikat, dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela, memandang wajahmu dalam gaib asmaradana. Tuhan, beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang.”

Ya, “malaikat yang tangannya berkeringat” dan “aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela”.

Seperti itu yang memang terjadi. Gus Zainal pergi setelah tak sadarkan diri alias pingsan bebera saat. Semuanya berlangsung dekat jendela. Ya, bukan Gus Zainal yang berkeringat, tapi malaikat, karena Gus Zainal justru sedang diselimuti karena mengigil kedinginan sungguh.

Seorang penyair lagi-lagi sudah meramalkan kematiannya dengan nyaris persis!

***
Gus Zainal adalah Gus Zainal. Dia bukan Chairil Anwar.

Karena itulah saya tak heran jika seminggu sebelum kematiannya, pada malam Jumat terakhir dalam kehidupannya, Gus Zainal menulis tiga buah cerita sufi pendek yang di atasnya tiba-tiba ia juduli “Wasiat Kutub”.

Sebelum itu, saya ingin mengisahkan fragmen kecil beberapa hari sebelum malam ini. Suatu siang, seorang penyair muda yang seumuran dengan saya, yang puisi-puisinya sudah pernah duduk manis di nyaris semua koran nasional, mengeluhkan kenapa Gus Zainal mesti mendiang begitu dini. Ada beberapa keluhannya. Yang ingin saya bagi di sini adalah keluhannya tentan puisi-puisi Gus Zainal.

Penyair muda yang mulai kondang ini bilang: “Uh, sayang Gus Zainal mesti mendiang sekarang. Padahal puisi-puisinya belum begitu matang.”

Komentar penyair muda itu, dalam hitung-hitungan saya, dialasdasari oleh gagasan bahwa sudah jamak jika menuntaskan lebih dulu pengembaraan literernya, untuk menemukan gaya berpuisi yang khas dirinya, metafora yang khas dirinya, pengucapan yang khas dirinya, tema-tema yang khas dirinya. Dan sudah semestinya setiap orang yang mengaku penyair menggenjot tenaganya untuk menemukan semua itu demi mencapai apa yang disebut penyair muda tadi sebagai “kematangan berpuisi”.

Barangkali seperti Chairil Anwar, yang hidup menggelandang, tidak menjadi redaktur halaman budaya, tidak menjadi wartawan, tidak menjadi juru ketik, dan hanya menjadi penyair. Menghidupi siang dan malamnya dengan puisi dan puisi.

Tapi Gus Zainal memang bukan Chairil Anwar, bukan pula penyair muda teman saya itu. Dia adalah ayah yang baik bagi empat anaknya, suami yang hangat bagi istrinya, dosen yang tenang bagi mahasiswanya dan yang terutama kyai yang perhatian dan inspiratif bagi santri-santrinya. Itulah sebabnya Gus Zainal tak pernah menulis puisi macam “Aku”-nya Chairil Anwar.

Ketika penyair muda kawan saya berkomentar, saya tak menjawabnya. Itu terjadi ketika saya belum menerima copy dari tiga cerita sufi Gus Zainal yang ia juduli Wasiat Kutub itu (aneh, Gus Zainal kerap menulis cerita sufi, tapi hanya tiga cerita sufi yang ditulis sepekan sebelum kematiannya itu yang ia juduli Wasiat Kutub). Jika saat penyair muda itu berkomentar saya sudah membaca wasiat itu, saya mungkin bisa memberi komentar balik, sebab bagi saya, salah satu dari tiga cerita sufi yang ditulis Gus Zainal dalam wasiatnya itu merupakan jawaban dari komentar spontan penyair muda kawan saya itu.

Gus Zainal menulis tentang seorang sufi yang diberitahu ihwal keberadaan orang yang bisa berjalan di atas air, bisa terbang di langit, dan bisaberpindah dari stau ke kota lain dengan cepat.

Sufi itu menjawab: semua itu tak penting. Semuanya tidak mempunyai nilai. Sebab yang jauh lebih penting adalah manusia yang dapat berbaur dan bersosialisasi dengan orang lain tanpa melupakan Tuhan sedetik pun.

Jika saja saya sudah membaca cerita itu ketika penyair muda kawan saya berkomentar ihwal beum matangnya puisi Gus Zainal, saya mungkin akan bilang: “Orang yang bisa berjalan di atas air, terbang seperti burung, bepergian dari satu kota ke kota lain, menulis novel monumental atau membuat sajak yang legendaris itu mungkin keahlian yang hebat. Tapi belum tentu itu menjadi keahlian yang penting. Karena yang lebih penting adalah orang yang dapat berbaur dan bersosialisasi dengan orang lain tanpa pernah melupakan Tuhan sedetik pun.”

Itulah barangali wasiat Gus Zainal buat santri-santrinya di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, yang mendirikan komunitas bernama KUTUB, yang eksponennya rajin membombardir halaman koran-koran. Menulis mungkin penting dan menjadi penulis mungkin istimewa. Tapi menjadi orang yang mampu berbaur dan peduli dengan orang lain tanpa melupakan sedetik pun Tuhan jauh lebih penting.

Apa boleh buat, Gus Zainal memang bukan Chairil Anwar yang setiap hari dan setiap detik memikirkan puisi. Pertama-tama, Gus Zainal adalah seorang kyai, selanjutnya barulah ia seorang penyair.

Tak apalah. Gus Zainal seperti yang kami kenal sekarang sudah lebih dari cukup. Sebab jika Gus Zainal menjadi seorang Chairil Anwar, mungkin kesedihan kita bisa lebih mendalam dan berlarut-larut dan mungkin akan lebih banyak lagi orang yang bersedih. Cukup, cukup begini saja. Biarlah kami saja yang bersedih dan merasa kehilangan.

0 komentar: