Jumat, Maret 16, 2007

Sartika Anak Durhaka?

Pada 16 Januari 1904, di Paseban Barat Pendopo Kabupaten Bandung, berdiri Sakola Istri. Dalam bahasa Sunda, “istri” artinya “perempuan”. Jadi, Sakola Istri berarti Sekolah Perempuan. Sekolah itu berdiri atas inisiatif Dewi Sartika yang disokong oleh Bupati Bandung, Martanegara, dan C. Den Hammer, pejabat Inspektur Pengajaran Hindia Belanda.

Sepertinya cukup mudah bagi Sartika mendirikan Sakola Istri. Padahal, di balik pendirian Sakola Istri yang bernilai historis tinggi itu, kita bisa menyaksikan bagaimana cita-cita, visi, ambisi, pembatasan oleh peradatan dan kekangan keluarga bertaut dan bertumbukan dengan kerasnya.

Sartika, bersama Kartini, adalah simbol dari sejenis pertautan dan tumbukan yang menguras mental itu. Tetapi kedunya berbeda mengambil sikap.

Di awal-awal pendiriannya, Sekolah Istri sudah mendapat sambutan besa dari masyarakat sekitar. Pada tahun pertama saja, ada 60 siswi yang sebagian besar berasal dari masyarak kebanyakan. Ketika itu, Sartika hanya dibantu oleh dua pengajar lainnya, yaitu Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.

Sakola Istri bukan pengalaman pertama bagi Sartika. Pada 1902, ketika baru berusia 18 tahun, Sartika sudah memulai karirnya sebagai pendidik kaum perempuan dengan mengelar sekolah informal yang mengajarkan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Ketika itu, murid sekolahnya hanya perempuan-perempuan yang masih termasuk sanak keluarganya sendiri.

Kegiatan belajar yang digelar Sartika ternyata tercium den Hammer. Mulanya ia memerhatikan kegiatan Sartika dengan penuh syak wasangka. Namun lambat laun, Hammer menganggapnya sebagai hal positif. Menyadari usaha mendirikan sekolah perempuan ternyata bukan perkara mudah, Hammer meminta agar Sartika menghubungi Martanegara, bupati Bandung, untuk menjajagi kemungkinan Martanegara bisa memeri sokongan yang mungkin bisa banyak membantu terealisasinya gagasan sekolah khusus perempuan di lingkungan Bandung.

Di sinilah Sartika menghadapi dilema moral terberatnya. Sartika masih ingat bagaimana ayahnya, Raden Somanagara, dihukum buang ke Ternate karena dengan tegas menolak pengangkatan Martanegara sebagai Bupati Bandung.

Sartika paham benar, bahwa Martanegara, bupati yang lumayan berpikiran maju, bisa memberi bantuan yang berharga dan signifikan karena bagaimana pun ia adalah penguasa wilayah Bandung. Tapi Sartika juga sangat paham, menerima dengan serta merta usulan untuk menghadap Martanegara seraya meminta bantuannya, bisa melukai perasaan ayah dan ibunya. Bagaimana mungkin Sartika bisa meminta bantuan orang yang, bisa dibilang, menjadi salah satu sebab utama pembuangan ayahnya?

Pilihan yang diambil Sartika akan menjelaskan perbedaan secara signifikan struktur mental Sartika dengan Kartini, terkhusus dalam hal relasi anak-ayah di antara keduanya.

Seperti kita tahu, beberapa bulan menjelang kepergiannya sekolah ke negeri Belanda, Kartini bertemu dengan orang yang selama ini sudah ia anggap tak ubahnya orang tua sendiri: pasangan Abendanon. Seusai perjumpaan dan pembicaraan dengan pasangan Abendanon pada 24 Januari 1903, Kartini merobohkan impian yang sudah dianyamnya sejak kecil: pembatalan kepergiannya ke negeri Belanda!

Dalam pertemuan itu, Mr. Abendanon dan istrinya (yang kelak berjasa menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini) menyarankan agar Kartini membatalkan kepergiannya. Alasan yang diajukan pasangan Abendanon diantaranya keadaan ayahnya yang tua dan sakit-sakitan, situasi negeri Belanda yang bisa mendatangkan kesulitan hingga kemungkinan tidak diterima masyarakat karena akan dianggap sebagai noni Belanda

Di situ, tampak bagaimana Kartini betul-betul menjadi anak biologis dan anak batin ayahnya, sampai-sampai kondisi ayahnya bisa memupuskan salah satu cita-cita terbesar Kartini.

Dan kita tahu, pemusnahan cita-cita untuk sekolah ke Belanda ini menjadi awal dari rangkaian tragika yang kelak akan dialami Kartini (Untuk mengetahui lebih lengkap soal dilema keluarga yang dihadapi Kartini, sila telusuri empat esai Kartini yang ada di arsip bulan Mei 2006).

Sartika, kurang lebih juga mengalami dilema yang tidak kalah peliknya. Tetapi berbeda dengan Kartini, Sartika akhirnya mengambil keputusan untuk menghadap Martanegara. Dan dari sanalah akhirnya Sakola Istri bisa berdiri. Dari pilihan itu, kita tahu, Sartika ternyata mampu melampaui beban-beban moral dan mental yang terkait dengan ikatan darah. Keluarga dan puak dilampaui sedemikan rupa dan tampak seperti tak menjadi beban bagi Sartika.

Kita tak tahu persis bagaimana reaksi yang muncul dari keluarga Sartika, terkhusus reaksi dari ayahnya. Tapi kita bisa mengira-ngira, Sartika tentu saja sudah siap menanggung resiko yang muncul akibat pilihannya itu. Dan dari situlah kualitas Sartika sebagai manusia yang terikat dengan pelbagai ikatan primordial dan moral mencuat.

Di titik ini, pada salah satu momen sejarah paling krusial yang pernah dihadapai Sartika ini, kita menjadi paham: Sartika adalah salah satu ikon yang cukup pas menggambarkan bagaimana pertautan antara cita-cita, ambisi, keluarga dan puak bertumbukan dengan sedemikian rupa.

Apakah dengan itu Sartika menjadi seorang anak durhaka? Saya tidak tahu, seperti halnya saya tidak tahu apakah Sartika menyempatkan diri "matur" atau berbicara pada ayahnya di pembuangan. Yang saya tahu, Sartika mengambil sikap untuk terus melaju dengan cita-citanya, mengabaikan kemungkinan hal itu bisa melukai ayahnya.

Pilihan yang akhirnya diambil oleh Sartika menunjukkan dengan begitu baiknya bagaimana mentalitas kebanyakan para pemimpin nasional di kurun-kurun genting itu: mentalitas deontologis.

Berbeda dengan mentalitas teleologis yang lebih bertumpu pada etika baik-buruk, mentalitas deontologis dialasdasari oleh etika benar-salah. Dengan etika baik-buruk, yang diutamakan adalah tujuannya. Bagi seorang saudagar, langkah niaga yang diambilnya adalah baik jika berhasil mendatangkan laba, tak penting langkah niaga itu benar atau salah. Sedangkan etika benar-salah lebih mengutamakan penilaian yang hitam putih. Apa pun akibatnya, jika itu salah, tak mungkin suatu langkah diambil.

Setiap calon pelopor pasti pernah menghadapi bertimbun-timbun dilema dan problem kediriannya. Para calon pelopor yang berhasil menjadi pelopor adalah archetype manusia yang mampu mengatasi dan menjawab dilema-dilemanya secara cepat, tepat, dan penuh perhitungan. Dan ketika perhitungan itu ternyata meleset, para pelopor yang tangguh biasanya juga sudah tahu resiko yang kelak akan ditanggungnya sendirian itu.

Itulah kira-kira standar yang dimiliki oleh para pemberani, seperti yang pernah dibayangkan John F. Kennedy ketika menulis Profiles in Courages. Ernest Hemingay menyebutnya sebagai grace under pressure: semacam aura yang memancar dari orang-orang yang tidak kehilangan keanggunannya sekali pun berada di bawah tekanan dan ketakutan yang berbongkah-bongkah.

2 komentar:

turabul-aqdam mengatakan...

Intinya duit, Bung! Bukan durhaka ato gimana. Tanpa dana, hampir muskil cita-cita bisa dicapai.

Biasa, base-struktur dan supra struktur.. hehe..

zen mengatakan...

Marxian.... marxian meneh. Mbok sekali-kali Mardian, kaya Misteri Gunung Merapi itu loh, hehehe...

Rif, Marx anak durhaka bukan ya? Kalau ditanyakan ke Marx sendiri, dia pasti jawab: Uh, suprastruktur. Ogah gue jawabnya!