Selasa, Maret 06, 2007

Nama sebagai Museum

Pada 23 Februari 1928, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat secara resmi menanggalkan nama kecilnya. Sepucuk nama yang menerakan dengan eksplisit status kebangsawanan itu digantinya menjadi Ki Hajar Dewantara.

Nama itu ditemukan dalam rangkaian-rangkaian diskusi dengan para tokoh lainya. Soewardi diakui peserta diskusi sebagai yang paling mahir dalam tema berkaitan dengan pendidikan, keguruan dan pengajaran. Suatu hari, R.M. Soetatmo Soeryakoesoemo (anggota Volksraad dari Boedi Oetomo) yang memimpin diskusi dengan spontan memanggil Soewardi dengan sebutan Ki Ajar.Dari situlah nama Ki Hajar ditemukan.

Tapi, beberapa waktu setelah nama itu resmi digunakan, Ki Hajar justru seperti kehilangan radikalismenya yang menghentak. Nama Ki Hajar tak ubahnya seperti museum bagi radikalisme Soewardi Soerjaningrat.

Nama, seperti yang kita lihat barusan, bisa menunjukkan siapa dan seperti apa kualitas seseorang yang mengenakannya. Tapi dalam hal Ki Hajar, soal tak berhenti di situ. Pilihan untuk menggunakan nama Ki Hajar ternyata menunjukkan dengan amat benderang jalan hidup seorang Soewardi yang telah bersalin nama: dalam dunia pengajaran dan pendidikan-lah akhirnya Ki Hajar menemukan trek yang bisa digelutinya habis-habisan; jalan hidup yang menjadi salah satu model perjuangan dan pergerakan yang diyakininya tidak kalah serius dan tak kalah penting dengan melakukan pemogokan.

Tetapi karena nama juga mencerminkan masa lalu, maka mengganti nama bisa dimengerti sebagai sebuah penyikapan atas sejarah, semacam evaluasi atas masa silam, setidaknya masa silam dirinya. Dan bagi Ki Hajar, itu berarti sebuah penyikapan terhadap puaknya, keluarga bangsawan Pakualaman.

Dengan mengganti nama, dihilangkan pula gelar “Raden Mas” yang sebelumnya menempel manis di depan nama kecilnya. Jika Raden Mas dimengerti sebagai penanda paling verbal atas feodalisme, bisakah langkah mengganti “Raden Mas” dengan “Ki” sebagai bentuk penolakan atas feodalisme?

Dalam kasus Ki Hajar, jawabannya bisa jadi: “ya”. Begitu Taman Siswa berdiri, persembahan terpenting Ki Hajar untuk Indonesia, Ki Hajar menerapkan etos kesetaraan dalam pengembangan Taman Siswa. Semua pengajar laki-laki mesti mengenakan nama “Ki”. Sementara yang perempuan mesti menggunakan nama “Nyi”. Kebijakan itu tak pandang bulu, bahkan kendati seorang diantaranya bergelar Kanjeng Gusti Pangerah Haryo.

Jika demikian, seorang yang radikal-kah Ki Hajar? Sepertinya bukan. Dan sekali lagi, di sinilah salah satu ironi dari kehidupan dan pemikirannya bersarang.

Semasa masih memasang gelar Raden Mas di namanya, Ki Hajar merupakan seorang aktivis yang bersemangat. Di Bandung, dia menghidupkan Indische Partij. Dia pula yang menulis “Ik eens Nederland Was” atau "Seandainya Saya Seorang Belanda", pamflet yang dengan telengas menghardik cara berpikir pemerintah kolonial. Pamflet itu bisa dibilang menjadi puncak dari sikap radikal Ki Hajar.

Hingga tahun penerbitannya dan bertahun-tahun kemudian, brosur Seandainya Saya Orang Belanda menjadi tulisan paling tajam dan menohok kolonialisme Belanda persis di jantungnya yang pernah ditulis dan diterbitkan di Hindia-Belanda. Dan yang lebih mengejutkan, tulisan itu lahir bukan dari pena seorang Tjiptomangoenkoesoemo yang saat itu dianggap sebagai bumiputera yang paling galak terhadap pemerintah kolonial, melainkan buah pena seorang aristokrat dari Kraton Pakualaman Yogyakarta: Soewardi Soerjaningrat.

Brosur Seandainya Saya Orang Belanda (selanjutnya hanya akan sata sebut Seandainya...)ditulis dengan bahasa yang halus dengan struktur kalimat yang sempurna betul. Brosur itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah sindiran yang tajam yang mana sindiran itu di separuh bagian di antaranya digelontorkan dengan sebuah pengandaian yang, selain cerdas, juga begitu halus. Barulah ketika sampai di seperempat akhir tulisannya, Soewardi menanggalkan semua kehalusan sindir-menyindir dan merengsek maju dengan gaya bahasa yang menjompak-jompak dan meninju langit.

Di awal-awal, pembaca akan sukar menebak mau ke mana arah tulisan Soewardi. Tetapi menginjak pada paragraf keempat, arah yang ingin disasar itu pelan-pelan mulai menyingsing. Dia menulis: “…Sebagaimana halnya orang Belanda yang nasionalis sejati mencintaii tanah airnya, saya pun mencintai tanah air sendiri, lebih dari apa yang dapat saya gambarkan dengan kata-kata. Alangkah gembiranya hati, alangkah nikmatnya dapat turut memeringati hari nasional yang demikian penting artinya.”

Dengan sejumlah pengandaian yang jelas-jelas superlatif, Soewardi memaparkan apa yang akan ia lakukan jika dirinya merupakan seorang Belanda yang sedang merayakan kemedekaan negeri yang sungguh dicintainya setengah mati-separuh hidup itu. Ia berandai bahwa dirinya niscaya akan “berseru-seru dengan hati gembira”, “dengan tak jemu menyanyikan ‘Wilhelmus’ dan Wien Nederland Bloed’”, “akan memanjatkan do’a di gereja”, dll.

Memasuki seperempat halaman brosurnya, Soewardi makin tegas menunjukkan sikap. Ketegasan itu dimulai dengan sebuah parafrase yang begitu sopan dan tertata: “Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, rasanya memalukan dan tidak layak jika kita -- dalam angan-angan saya, saya masih seorang Belanda—mengajak orang-orang pribumi turut bersorak-sorak dalam perayaan hari kemerdekaan kita.”

Masih dengan pengandaian sebagai orang Belanda, Soewardi mengajak orang Belanda untuk berpikir: Tidakkah mengajak rakyat Hindia-Belanda yang terjajah untuk merayakan kemerdekaan tuannya akan membawa rakyat Hindia-Belanda membayangkan saat-saat menggembirakan hati rakyat Belanda sewaktu bebas dari kangkangan Napoleon?

Sejak itulah nada tulisan Soewardi makin galak, kendati ia masih terus mengandaikan diri sebagai orang Belanda. Ia misalnya sudah menulis bahwa Belanda dengan demikian sudah menghina pribumi dengan mengajaknya merayakan kemerdekaan penjajahnya, dan itu diperparah dengan mengajak mereka memberikan sumbangan uang sukarela untuk biaya perayaan itu.

Selanjutnya, masih dengan pengandaian sebagai orang Belanda, Soewardi membayangkan dirinya akan melakukan protes terhadap gagasan perayaan kemerdekaan di negeri jajahan. Ia mengandaikan dirinya akan menulis di surat-surat kabar bahwa betapa berbahanya mengadakan pesta kemerdekaan di negeri jajahan. Dalam analisinya, hal itu selain akan melukai rakyat Hindia-Belanda, pesta perayaan itu akan membikin rakyat Hindia-Belanda, dalam kata-kata Soewardi sendiri, “berbuat yang tidak-tidak”.

Pada seperempat bagian akhir tulisannya, persisnya 9 paragraf menjelang tulisannya berakhir, Soewardi menulis sebuah kalimat dengan nada seperti seorang ksatria, barangkali seperti seorang Scarlet Pimpernal dalam cerita Barones Orczy, yang baru saja membuka topengnya dan berujar: “Syukur alhamadulillah, saya bukan seorang orang Belanda.”

Persis setelah kalimat yang membelokkan tulisan Soewardi ke arah yang lebih tegas itu, Soewardi lantas menulis dengan nada bak seorang ksatria, laiknya Scarlet Pimpernal yang sedang membuka rahasia senjatanya, kalimat berbunyi: “Sekarang sebaiknya kita kesampingkan saja segala ironi.”

“Ironi” di situ, seperti sependakuannya sendiri, digunakan memang untuk menohok, menghajar, sistem kolonial dan subsistemnya yakni berupa himbauan agar rakyat Hindia-Belanda ikut dalam pesta perayaan kemerdekaan penjajahnya sekaligus secara sukarela mengumbangkan uang.

Setelah kalimat itu, nada tulisan Soewardi makin jelas. Ada dua pokok yang disampaikan Soewardi secara tegas dan lugas di akhir tulisannya yang paling legendaris itu. Pertama, penolakan tegas dan tanpa kompromi akan ide perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia-Belanda. Kedua, tuntutan agar segera dibentuk sebuah badan perwakilan rakyat, semacam parlemen barangkali.

***
Begitu terbit, brosur itu langsung mendapat sambutan luas dan hangat dari suratkabar-suratkabar. Harian de Expres pimpinan Douwes Dekker bahkan menyiarkannya secara lengkap.

Seminggu kemudian, persisnya pada 20 Juli 1913, pemerintah kolonial mengumukan pelarangan atas brosur itu. Aparat kejaksaan lantas menyita brosur tersebut dari berbagai toko buku dan kantor-kantor surat kabar. Sedang percetakannya, de Eerste Bandoengsche Publicatiemaatschappij, digerebek, namun di sana hanya ditemukan sejumlah kecil eksemplar brosur karena sudah tersebar nyaris di kota-kota penting di antero Jawa. Soewardi sendiri, plus Tjipto, Douwes Dekker (yang bertanggungjawab atas pemuatan di de Express yang dipimpinnya) dan Abdoel Moeis (yang menerjemahkannya ke dalam bahas Melayu ditangkap dan diiinterogasi).

Brosur itu kemudian dicatat oleh Schavitri Scherer sebagai esei paling berkesan, tajam dan provokatif yang pernah diusun sampai pada waktu penerbitannya. Pandangan-pandangan yang diungkapkannya mendahului setiap gagasan yang dikemukakan oleh cendekiawan-cendekaiwan Jawa lain yang palling sadar politik sekali pun.

Daya ledak tulisan itu bukan semata karena nada provokatifnya melainkan juga karena implikasi-implikasi politiknya yang lebih luas, dan karena artikel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan kemudian dibagikan sebagai surat selebaran terpisah yang memungkinkan orang-orang yang tak dapat berbahasa Belanda membacanya.

Sebetulnya bukan sekali ini muncul kritik pedas. Hanya saja, kritik itu, kendati provokatif, seringkali hanya sebagai kapandaian mengemukakan gagasan belaka dan bukan aksi pengerahana rakyat. Tetapi dengan menggunakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda sebagai titik tekan untuk menarik massa dan lebih jauh lagi dengan menerjemahkannya ke dalam Melayu, Soewardi sedang memastikan suatu jumlah pendukung yang lebih luas.

Dan lewat brosur Soewardi-lah pemerintah kolonial disadarkan bahwa perlawanan sudah menemukan bentuknya yang baru dan tegas. Hanya sejak brosur Soewardi terbit sajalah pemerintah benar-benar secara sungguh-sungguh menganggap kritik-kritik sebagai sebuah ancaman berat terhadap kemantapan pemerintah kolonial. Sebelumnya, paling banter gagasan-gagasan galak itu hanya beredar di kalangan terbatas saja.

Tapi pamflet itu, dan dalam beberapa hal juga nama Ki Hajar, seperti menjadi museum bagi radikalisme Soewardi muda. Begitu berganti nama menjadi Ki Hajar, lebih persis lagi setelah pembuangannya ke Belanda, dia berubah kooperatif. Ironisnya, kakak kandung Ki Hajar, Surjopranoto, yang tak pernah menanggalkan gelar Raden Mas, justru dicatat sebagai salah satu aktivis pergerakan paling radikal yang pernah dilahirkan negeri ini. Sampai-sampai Surjopranoto dijuluki “Raja Boycott”.

Soewardi lebih memilih lapangan kebudayaan ketimbang aktivitas politik. Dan di lapangan itulah Ki Hajar menoleh kembali pada warisan kebudayaa Jawa, meninggalkan garis radikal seperti yang ia pergelarkan di masa mudanya. Meninggalkan garis itu lewat sebuah kepergian yang tak mungkin kembali.

2 komentar:

Alex Ramses mengatakan...

Nice Blog, ketemu di Kompas. Ntar mau baca2 ya,,, Salam Kenal Bung.

Alex Ramses mengatakan...

Seperti dugaan anda, nama Ramses memang dipilih karena tinggal di MEsir, Adapun cairo tetep pengap, kumuh dan berantakan, tapiii,, sangat aman.

Da vinci code? Aku akhirnya baca buku itu akhir 2005 waktu tante yang tinggal di brussel datang ke sini, aku minta oleh2 buku itu:) Tentang holy grail dan semacamnya aku gak pernah percaya sih. Kalau tentang ketidak-otentikan christianity, kebohongan para penguasa gereja serta sejak kapan Jesus disepakati oleh konvensi sebagai Tuhan,,, aku gak bisa berkomentar di hadapan umum, karena aku muslim.

Ide cerita buku tersebut aku suka, otak-atik gathuk kode2nya, permainan misterinya dan teka-tekinya asik, enak dibaca. Soal phi; divine proportion; 1.618 dalam arsitektur mungkin benar (gak tau pastinya ya) tapi untuk ukuran tinggi setiap tubuh manusia dibagi jarak antara pusar dan kaki = 1.618? banyak orang mengaku pernah mengukur kok gak bener ya hehehe. aku sendiri belom pernah ngukur, mungkin ada benernya juga.

Setting waktu dalam cerita yang cuma segitu singkatnya tapi kok dua tokoh utama bisa memcahkan semua kode dan teka-teki yang serumit itu,,, berlebihanlah. tapi judulnya juga hiburan hehehe. Kejadian akhir di kuburan westminster abbey, pas baca bagian itu aku bilang; loh kok gaya ending film India hehehe,,,

Dan terakhir yang terpenting; aku bukan penulis sastra dan bukan sastrawan, jadi ya itu sekedar penilaianku yang sembarangan.

Wallahu A'lam