Selasa, Maret 06, 2007

Sjahrir dan Kutukan Dewi Clio

Soetan Sjahrir (lahir 5 Maret 1909) wafat pada 1966 dalam status yang sungguh tak mengenakkan: sebagai tahanan politik!

Kematian Bung Sjahrir sepertinya menjadi tonggak di mana negeri ini seperti mulai dikutuk oleh Dewi Clio, Sang Dewi Sejarah dalam mitologi Yunani, untuk selalu punya persoalan dengan masa silam.

Kutukan ini menyebabkan masa silam seringkali hadir menjelma sebagai bayang-bayang hitam yang mengancam. Semacam tulah yang menyebarkan wabah kutuk: setiap orang yang “pernah bersalah” tidak akan dihukum lewat sebuah proses hukum yang adil yang memungkinkan si tertuduh untuk membela diri, melainkan akan dihukum oleh sebuah proses pengulangan sejarah yang perih dan tak tertolak.

Seperti terpapar dengan detail dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, karya sejarawan Ceko, Rudolf Mrazek, pada 18 Agustus 1962 mantan raja Gianyar akan dingaben dalam sebuah upacara besar. Anak Agung Gede Agung, putra Sang Raja, mengundang sejumlah karibnya: Soetan Sjahrir, Moh Hatta, Roem, Sultan Hamid dari Pontianak, Soebadio Sastrosatomo plus ribuan tamu dan penonton lain yang hadirtentu saja.

Tapi Anak Agung, dalam kata-katanya sendiri, melakukan faux pas, semacam blunder dalam bersikap dan mengambil keputusan: dia tak mengundang Soekarno. Sadar akan kekeliruannya, Anak Agung segera mengundang Soekarno. Tetapi Soekarno tampaknya sudah merasa dihina karena tak diundang. Soekarno, menurut Anak Agung sendiri, akhirnya merasa kecewa.

Lantas pada7 Januari 1962, Soekarno yang sedang melakukan perjalanan di Makasar untuk kampanye Irian Barat, dilempari granat. 3 orang tewas, 28 penonton luka. Soekarno dan rombongan sendiri selamat.

Delapan hari berselang, dua orang Belanda ditangkap. Sejak itulah mulai beredar desas-desus bahwa peristiwa itu diakibatkan oleh apa yang disebut sebagai “Bali Connection”: sebutan untuk komplotan politik yang terdiri dari orang-orang yang berkumpul pada upacara ngaben Raja Gianyar.

Akhirnya pada 16 Januari 1962, Sjahrir, Anak Agung, Soebadio, Sultan Hamid, Roem dan beberapa pemimpin Masyumi lainnya, ditangkap.

Tak begitu jelas siapa yang bermain dalam isu “Bali Connection”. Ada yang menyebut Soebandrio, tetapi jenderal Nasution juga disebut. Akhirnya, tidak bisa tidak, Soekarno pun tersangkut.

Dan Soekarno, dua tahun kemudian, seperti terlacak dalam autobiografi yang disusun Cindy Adams, mengakuinya. Soakerno menyebut penangkapan Sjahrir sebagai “hukum revolusi”: pukul musuh kamu, bunuh atau dibunuh. Penjarakan atau dipenjarakan.

Beberapa waktu yang lalu, kata Soekarno dengan kata-kata yang menggeletar, “Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan. Kini Sjahrir dalam penjara. Aku tidak menaruh dendam. Aku menyadari bahwa ini suatu permainan dua sisi yang mengerikan dan aku terlibat. Permainan untuk kelangsungan hidup.”

Dan dalam status sebagai tahanan politik itu, tanpa proses pengadilan yang fair dan terbuka, Sjahrir mengembuskan nafasnya yang terakhir. Sjahrir, lelaki yang dalam usia 36 tahun menjadi Perdana Menteri pertama, mendiang “dalam pengasingan”; sesuatu yang menurut Mrazek nyaris selalu melingkupi kehidupan dan karir politik Sjahrir.

Kematian Sjahrir bukanlah akhir dari, dalam kata-kata Soekarno, “permainan kelangsungan hidup”. Permainan baru saja dimulai. Pertaruhan justru baru saja dipanggungkan: sebuah pertaruhan soal apakah sejarah yang menentukan manusia ataukah manusia yang mengatur laju sejarah.

Dalam hal-hal para pelaku terpenting dari kemerdekaan Indonesia, “sejarah ternyata seringkali yang menentukan nasib manusia”. Kata-kata itu mesti diletakkan dalam pengertian bahwa politik ternyata bukan semata soal kemampuan mengontrol sekian pilihan dan kemungkinan, melainkan juga soal kesiapan untuk menghadapi pilihan dan kemungkinan yang sama sekali tak masuk daftar perencanaan; sesuatu yang mendadak, tiba-tiba, dan seringkali menyesakkan.

Jika ditarik ke belakang, Soekarno, Hatta dan Sjahrir pernah bahu membahu berhadapan dengan konsistensi garis perjuangan Tan Malaka yang keukueh anti perundingan dengan Belanda, sebuah konsistensi yang membuat Tan Malaka dikagumi dan dipercaya oleh banyak orang, termasuk 146 organ perjuangan yang kemudian bergabung dalam Persatuan Perjuangan (termasuk Panglima Besar Soedirman).

Untuk melenyapkan rongrongan atas strategi diplomasi yang diambil pemerintah Indonesia, triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir (jika bisa disebut begitu) mesti (dalam kata-kata Ben Anderson) “menghancurkan nama baik dari, dan kepercayaan atas, diri Tan Malaka, lambang hidup dari apa yang telah mereka tinggalkan” (1988:442).

Dalam ketagangan politik itulah Tan Malaka dua kali ditangkap dan dua kali pula dipenjarakan, tanpa proses peradilan yang fair dan terbuka. Dan dengan dibungkamnya Tan Malaka, berakhir pula setiap harapan yang pernah ada bahwa Indonesia akan memilih jalan perjuangan daripada jalan diplomasi, sebuah jalan yang hanya oleh wibawa Tan Malaka sajalah bisa tampak menjadi suatu alternatif yang masuk akal.

Dan Sjahrir akhirnya harus mengalami pembungkaman, juga tanpa melalui proses peradilan yang fair dan terbuka. Dan dalam kerangka kutuk Dewi Clio, mestikah diherankan jika akhirnya Soekarno juga mengalami hal serupa: dibungkam, diberi stempel tahanan politik, dan mendiang masih dalam stempel itu.

Jika pembungkaman terhadap Sjahrir hanya menjadi puncak dari pembungkaman para elit-elit politik oleh kediktatoran Soekarno, pembungkaman Soekarno juatru menjadi puncak dari pembungkaman tragis yang menimpa ratusan ribu orang yang diduga terlibat PKI; sebuah riwayat pembungkaman terbesar dalam sejarah Indonesia.

Dan bagaimana dengan Soeharto? Tampaknya kutuk Dewi Clio belum juga enyah. Si Bapak Pembangunan itu, tampaknya juga sedang mengalami pembungkaman dalam caranya yang aneh, tetapi dalam nuansa yang tak terlalu berbeda dengan yang dialami Sjahrir dan Soekarno. Kendati pengaruhnya tak bisa dibilang kenyap, Soeharto tetap saja sedang berada dalam pengasingan dan pengucilan politik, dan tampaknya dalam situasi itulah ia kelak akan meninggalkan kita, dan dengan sebuah catatan yang mesti ditekankan: juga tanpa satu pun putusan pengadilan yang memvonisnya bersalah atau tidak!

Sialnya, kutuk tak berhenti menimpa Presiden ketiga Indonesia. Abdurrahman Wahid, Si Jenaka itu, juga mengalami hal serupa, dengan kadar yang tentu saja berbeda. Ia lengser lewat sebuah “pembungkaman politik” yang didasarkan oleh “tuduhan politik” yang, sama seperti Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno dan Soeharto, tanpa satu pun keputusan hukum yang jelas dan pasti apakah ia terlibat atau tidak dalam korupsi Bruneigate dan Buloggate.

Dan kita akan selalu sukar memosisikan mereka. Orang-orang yang layak disebut Bapak Indonesia tetapi pergi dalam status yang membuat kita terkurung dalam situasi yang bukan hanya kikuk, melainkan barangkali malu: sebagai bangsa yang selalu saja kesulitan menempatkan para pemimpinnya yang hebat dalam posisinya yang pas.

0 komentar: