Kamis, Maret 01, 2007

Surat Buat Pak Kunto di Surga

[Surat imajiner ini sebetulnya sudah pernah dimuat di sebuah koran nasional dan pernah pula aku posting setahun silam. Tapi, mengingat posisi Kuntowijoyo di kepalaku dan di rak-rak bukuku, aku pasang lagi surat imajiner ini. Bergandengan dengan esai eksperimental "Stanza untuk Seorang Maha Guru"]

Pak Kunto, sudahkah anda menulis hari ini? Saya berandai-andai, orang seperti sampeyan, yang menghabiskan waktu hidup dengan terus meneliti dan menulis, pastilah juga akan tetap menulis di swargaloka sana.

Saya yakin, sampeyan adalah salah satu dari berderet-deret ilmuwan di swargaloka sana yang tak terkejut begitu menyadari betapa kehidupan setelah kematian ternyata memang ada. Dari berhimpun gagasan yang sampeyan tebarkan, saya menangkap kesan kuatnya keteguhan sikap seorang beragama (muslim) yang saleh dan taat, tetapi juga kemerdekaan berpikir yang tak pernah bisa dikekang. Bagi sebagian orang, iman yang saleh dan kebebasan berpikir yang tanpa batas mungkin dua hal yang tak bisa diperdamaikan. Tapi tidak bagi sampeyan. Itulah sebabnya kenapa saya berpikir, sampeyan pasti tak kaget begitu tahu alam akhirat itu memang ada.

Saya jadi ingat omongan seorang kyai partikelir nan mbeling yang juga karib sampeyan, Emha Ainun Najib. Emha berpidato tentang sikap asketik yang membuat sampeyan bisa terus menulis tanpa harus merokok, ngopi dan berambut gondrong. Sikap asketik itu pasti rapat hubungannya dengan kesalehan sampeyan sebagai seorang umat Tuhan yang lurus.

Sampeyan, dengan cara itu, menunjukkan kepada kami-kami yang masih belia ini, bahwa untuk menjadi penulis atau seniman besar tidak harus kumuh, pakai jeans belel dan nganeh-nganehi . Yang penting terus berkarya, berkarya dan berkarya. Jangan berhenti bahkan ketika selaput otak telah digeroti radang; penyakit yang menjadi salah satu penyebab sampeyan menjadi mendiang pada 22 Februari setahun silam.

Dan sampeyan memberi teladan dengan laku, bukan dengan kata. Dengan sikap yang biasa dan lurus (sesuatu yang jarang melekat dalam diri seniman/intelektual papan atas negeri ini), nama sampeyan melesat ke langit-langit jagat kepenulisan dengan sebuah portofolio yang jarang bisa disamai oleh penulis manapun: penulis yang telah menjajal semua jenis kepenulisan, cerpen, novel, puisi, drama, esai, artikel politik, buku teks kuliah dan buku sejarah ilmiah.

Tidak banyak yang bisa melakukan seperti yang sudah sampeyan perbuat selama 62 warsa berhayat di kolong jagat ini. Seharusnya, seorang cepenis, novelis dan penyair yang baik tidak bisa menjadi intelektual-akademisi yang baik, karena dua dunia itu mensyaratkan dua modal yang (seakan) berseberangan: dunia seni-sastra membutuhkan imajinasi yang hebat dan tanpa batas, dan ilmu sejarah mewajibkan setiap orang untuk selalu berlandaskan fakta, fakta dan fakta.

Tapi sampeyan bisa. Sebagai sastrawan, sampeyan sudah menangguk banyak sekali gelar dan hadiah. Dan sebagai ilmuwan sejarah, sampeyan adalah sejarawan kelas satu, yang barangkali, popularitas sampeyan di mata para mahasiswa sejarah di Indonesia (saya tahu karena sudah 6 tahun menjadi mahasiswa sejarah) hanya bisa dikalahkan oleh Sartono Kartodirjo, seorang empu ilmu sejarah yang diakui oleh sampeyan sebagai salah seorang guru sampeyan yang terpenting.

Dua jalan kemanusiaan itu (seni-sastra yang imajinal dan ilmu pengetahuan yang rasional) justru bisa sampeyan manfaatkan untuk menopang satu sama lain. Sebagai seorang mahaguru sejarah, sampeyan paham betul bagaimana memanfaatkan tetumpuk dokumen sejarah yang sampeyan ketahui untuk digarap-ulang menjadi sebuah cerita baru yang tidak hanya menggugah, melainkan juga kuat memendarkan realitas sosial.

Hingga kini saya masih ingat cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Karya itu begitu memikat karena selain sampeyan bisa mendeskripsikan antagonisme antara dua jalan kemanusiaan (laku ritual-simbolis dan laku dunia kerja yang suntuk), sampeyan juga berhasil menciptakan dunia simbol yang meyakinkan: betapa dunia ini menawarkan banyak pilihan laku berhayat, yang mesti kita pilih, apakah memilih salah satu ataukah memilih keseimbangan pelbagai pilihan laku hidup itu.

Dan sebagai seorang sastrawan, sampeyan tahu betul bagaimana memaksimalkan kekuatan imaji dan luasnya pilihan yang diberikan kata-kata untuk membantu menciptakan sebuah karya akademik yang berbobot namun tetap memikat untuk disesap. Ini sesuatu yang langka. Hinga kini, karya-karya para sejarawan Indonesia begitu keringnya karena melulu berisi tetumpuk data yang gagal direkacipta ke dalam sebuah hamparan kata-kata yang lezat.

Saya masih ingat salah satu pasase yang sampeyan tulis di buku teks Pengantar Ilmu Sejarah; sebuah pasase yang menunjukkan betapa sampeyan tahu betul bagaimana caranya menulis buku ilmiah tanpa harus kehilangan sentuhan sastrawi. Pasase itu ditulis begini: “Bahasa sejarah adala bahasa yang sederhana dan langsung, persis seperti dalam bahasan sastra modern. Tidak ada bahasa yang berbunga-bunga. Tidak ada ‘rambutnya bak mayang mengurai’. Bahasa sejarah adalah bahasa sehari-hari. Kalau sejarah melukiskan para gerilyawan minum air, dia tidak akan bilang bahwa mereka mnum H20”.

Oh ya, omong-omong, sudahkah sampeyan bertanya kepada Tuhan Sang Maha Big Bos yang bertahta di arasy sana ihwal sejarah penciptaan alam semesta? Jika belum, saya ingin titip pertanyaan, betulkah alam semesta dibuat (hanya) berkat mantra sakti kun fayakun? Di bumi, para ahli fisika macam Stephen Hawking masih sibuk merumuskan theory of everything untuk mencari jawab pertanyaan itu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal mas,

numpang baca sekaligus ngutip alamat tulisan sampeyan ini.

nant's