Kamis, Maret 01, 2007

Stanza untuk Seorang Maha Guru

::Dua Tahun Mendiangnya Kuntowijoyo

Saya menjadi saksi mata sebuah peristiwa penting di padepokanku, Padepokan Gading Madyo. Kala itu, di tepian sebuah danau, saya menyaksikan Profesor Joyokunwito meresmikan berdirinya sebuah perkumpulan rahasia: Dead Historian Society.

Di bawah tatapan lima mahasiswa, mahaguru ilmu sejarah itu mengakhiri bicaranya dengan mengucapkan kalimat yang jadi jargon perkumpulan rahasia ini: “Sastra sedikit batasannya, tapi punya kesempatan yang tak terhitung jumlahnya.”

Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 21 Februari 2056, profesor Joyokunwito dibebaskan dari tugas mengajarnya. Ia diberhentikan dengan tidak hormat karena didakwa telah meracuni sejumlah mahasiswa dengan cara mencekoki mereka dengan kesusasteraan dan menanamkan sebuah pengertian baru yang jelas-jelas subversif: seorang sejarawan harus memiliki imajinasi yang dahsyat.

Ini sebuah dakwaan yang tidak main-main. Dalam konsideran SK Pemecatan yang dikeluarkan oleh senat, di sana tertulis “…jika faham yang dikembangkan Prof. Joyokunwito dibiarkan merajalela di kepala mahasiswa-mahasiswa sejarah, lambat laun akan meruntuhkan kesahihan ilmu sejarah --yang berabad silam pernah digelari sebagai induk segala ilmu oleh Giambatista Vico—dan mengembalikannya ke level yang tak lebih baik dari tembang-tembang dan babad-babad.”

****
Sorenya, saya dan beberapa karib yang menjadi aktivis Dead Historian Society berkumpul di tepi sebuah danau tak jauh dari padepokan, tempat di mana perkumpulan rahasia ini pertama kali dideklarasikan langsung oleh Prof. Joyokunwito. Sore ini, rencananya Prof. Joyokunwito akan pamit. Kabarnya ia akan pergi ke sebuah tempat nun jauh di seberang lautan sana. Tak ada yang tahu di mana tempat itu.

Sejak perkumpulan rahasia ini didirikan, banyak hal yang telah berubah. Beberapa kejadian fantastis yang tak pernah bisa dibayangkann oleh para pengajar di padepokan Gading Madyo terjadi. Kejadian-kejadian fantastis itu tentu saja selalu melibatkan salah satu dari lima anggota inti Dead Historian Society.

Kejadian paling menghebohkan dan fantastis terjadi sebulan yang lalu. Ketika itu, Padepokan Gading Madyo menerima sepucuk surat dari Neil Perry. Dalam surat itu, Neil menyatakan mengundurkan diri dari kampus. Yang membikin semua pengajar kebakaran jenggot adalah alasan yang diajukan Neil. Ia menceritakan rencana hidupnya: “Saya hendak pergi ke sebuah tempat yang tenang dan rimbun. Mungkin di sebuah belantara perawan. Di sana, saya akan meneliti sebuah persitiwa sejarah, tentu saja dengan bukti-bukti sejarah yang terpercaya. Tetapi saya tak akan menuliskan sebuah karya sejarah. Bukan historiografi yang akan saya tulis. Hasil riset itu akan saya tulisakan dalam sebuah novel. Dan aya akan mengirimi segenap para pengajar yang terhormat masing-masing satu eksemplar. Anggap saja itu sebagai pengganti skripsi yang tidak saya selesaikan.”

Neil membuat para pengajar gempar. Neil adalah mahasiwa jenius yang rencananya akan langsung diangkat sebagai pengajar begitu ia menyelesaikan skripsinya. Pengunduran diri Neil juga menjadi aib bagi reputasi besar Padepokan Gading Madyo sebagai perguruan ilmu sejarah terbaik di negeri ini. Bukan apa-apa, Padepokan Gading Madyo adalah perguruan yang besar karena dalam setiap penelitian yang dilakukannya, ia selalu berhasil menyingkirkan segala macam asumsi-asumsi yang bersifat subyektif. Subyektifitas adalah setan. Dan kesusastraan dan kesenian adalah ibu dari segala setan subyektivisme. Masak seorang murid jenius Padepokan Gading Madyo mengundurkan diri hanya untuk menulis novel?

Lewat sebuah penyelidikan rahasia, akhirnya keberadaan Dead Historian Society pun terbongkar. Lewat serangkaian interogasi yang melelahkan, Prof. Joyokunwito akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Dan lewat sidang yang tak adil, mahaguru yang telah beranjak renta ini dinyatakan bersalah.

Saya masih ingat bagaimana mahaguru yang selalu mengajar dengan memesona ini muncul pertama kali di kelas. Ia membuka kuliah pertamanya dengan dengan kalimat yang setengah menghardik: “Aku bukan penganut Leopold von Ranke!” butuh beberapa bacaan untuk memahami hardikan itu. Ranke (1795-1886) adalah sejarawan Jerman yang menjadi penubuh historiografi modern. “Sejarah hanya berurursan dengan fakta. Di luar itu, kantor kami (kantor para sejarawan) tidak melayani,“ tulis Ranke suatu ketika. Ucapan Ranke itu di kemudian hari dijadikan moto Padepokan Gading Madyo.

Kredo itu adalah anjuran bagi para sejarawan untuk menulis apa yang sebenarnya terjadi, wie es eigentlich gewesen. Ia mewakili arus utama sejarah kritis yang mengabaikan, terutama, kajian yang dilakukan para filsuf sejarah (macam Hegel dengan dialektika ruh atau Marx dengan materialisme historis atau Toynbee dan Spengler yang banyak mengkaji kontur dari alur dan perubahan sejarah) yang mengkaji ihwal yang masih pekat dengan metafisika yang spekulatif: siapa penggerak sejarah, seperti apakan alur sejarah, akan bergerak ke mana sejarah atau kapan dan di mana sejarah akan tuntas.

“Terlalu banyak yang tak tercover oleh pandangan begituan,” kata Prof. Joyokunwito meneruskan. Ia mengambil misal: soal kearifan, kebijaksanaan, dan kebenaran sema sekali tak pernah (mau) dipedulikan Ranke dkk.

Di setiap kuliahnya, ia selalu mengingatkan kelas akan arti pentingnya kesusasteraan dan kesenian. Seringkali ia juga memberi tahu betapa berbahayanya jika ilmu sejarah terjerembab pada kubangan positivisme dan teknisisme. Ia mengatakan betapa berbahayanya jika segala sesuatu melulu dianggap sebagai persoalan teknik dan metode. Teknisisme dan saintisme, katanya lagi, adalah anak kandung dari positivisme yang membikin semua-mua unsur kemanusiaan dan sosial terlupakan dan terpinggirkan dalam setiap pengambilan keputusan.

*****
Empat anggota inti Dead Historian Society, minus Neil yang telah pergi, mendengarkan uraian perpisahan dari Prof. Joyokunwito.

Ayo kita berbicara tentang sastra. Tentang prosa, novel, cerpen juga puisi. Aku ingin kalian tahu, bahwa kalian perlu mendalaminya, bukan agar kalian menjadi sastrawan atau penyair. Itu soal lain. Tetapi supaya kelak jadilah sejarawan dengan kemanusiaan yang utuh sekaligus juga menjadi manusia yang utuh, dan bukan menjadi binatang rasional: manusia yang cuma berdimensi tunggal!

Bahwa sejarah dan sastra itu berbeda, itu tak terbantah. Keduanya memiliki kekhasan. Sejarah bermaksud merekonstruksi sesuatu yang sebenarnya terjadi, menggambarkan kejadian-kejadian sebagaimana adanya. Ia karenanya harus berdasarkan bukti-bukti empirik. Peneliltian dan penyusunannya pun mutlak mengikuti prosedur dan metode ilmiah yang jelas. Dengan bukti-bukti itulah sejarawan mencari hubungan antara fakta-fakta secara memadu. Bukti-bukti sejarah itulah yang emnjadi bahan baku bagi sejarawan yang kemudian harus diproses melalui kririk sumber, interpretasi dan sintesa hingga kemudian sebuah rekonstruksi sejarah bisa disuguhkan.

Ini berbeda dengan karya sastra. Sastra tidak tunduk pada metode dan prosedur-prosedur tertentu yang telah baku. Peristiwa sejarah dan bukti-buktinya bisa menjadi bahan baku bagi sastrawan dalam menyusun karyanya. Bedanya, sastrawan menapun tak diwajibkan mempertangggungjawabkan terlebih dahulu melalui serangkaian metodenya dan prosedur laiknya sejarawan.

Kenapa saya berbicara tentang sastra dan menganjurkan kalian membaca sastra? Pertama, dengan membaca sastra, imajinasi kalian akan terlatih dan terididk dengan baik. Sastrawanlah orang yang paling jago melukiskan sebuah situasi dengan detail tapi bisa demikian menyenangkan, jauh dari kta membosankan. Dan jangan kira, sejarawan juga butuh imajinasi. Untuk bisa menggambarkan sukarnya tentara Belanda di bawah komando van Heutsz, sejarawan harus mampu membayangkan situasi belantara Aceh yang penuh dengan onak, semak, dan sungai.

Inailah bedanya sejarawan dengan pengarag. Ketika pengarang sedang memikirkan sebuah siatuasi atau suasana, ia mungkin akan berjalan dan melamun di pinggir sungai atau di atas genting. Sedangkan sejarawan, ia harus tetap kembali dan ingat dengan bukti-bukti yang telah dikumpulkan.

Kalian harus membaca sastra karena, kedua, sastra juga bisa mengajarkan retorika. Betrapa banyak karya sejarah yang terbengkalai tak bisa dibaca hanya karena ia kering akan retorika sehingga mudah membikin jenuh dan bosan. Di tahun 1960-an, ada seorang anak muda yang tekun membaca, termasuk membaca karya sastra, berhasil menyusun karya sejarah yang bermutu tentang pemberontakan PKI di Madiun. Karya sejarahnya menarik bukan hanya karena melulu dilengkapi sumber dan bukti yang memadai nan melimpah, melainkan karena ia disuguhkan lewat bahasa yang enak, bernas, dan kahirnya menjadi nikmat di baca. Nagian akrya itu yang menceritakan eksekusi mati beberapa tokoh pemberontakan itu adalah bagian paling hidup dan paling enak dibaca. Membacanya, kita seperti terlibat langsung

Alasan terakhir kenapa saya menganjurkan kalian membaca karya sastra adalah karena saya yakin, dengan itu kita bisa menjadi manusia dengan dimensi yang tak lagi tunggal. Manusia utuh berkat dua insting: instinct for conduct (isting akan bimbingan) dan instinct for beauty (insting akan keindahan). Ilmu pengetahuan saat ini, yang amat positivistik dan mengabdi pada kekuatan kapital-industrial, membikin kita menjadi binatang “rasional”. Ini saja tidak cukup. Kita butuh keindahan. Insting for beauty. Insting itu bisa didapatkan dan dilatih dari dan dengan membaca atau menikmati seni dan kesusatraan.

****
Akhirnya, pada 22 Feburari 2056, Prof. Joyokunwito benar-benar pergi. Saya sadar, mulai sore ini, saya tak akan pernah bisa menemukannya lagi. Tapi, sebagai kenang-kenangan, Prof. Joyokunwito menyerahkan segepok buku-buku tua yang telah lusuh. Ia bilang, bacalah manuskrip-manuskrip itu jika kami merindukannya. Ia juga bilang, itu adalah tulisan-tulisannya yang ia terbitkan dengan menggunakan nama samaran.

Saya dan tiga kawan lain, membuka-buka manuskrip peninggalannya. Masing-masing dari kami mendapat satu biji. Saya buka manuskrip yang menjadi jatah bagian saya itu. Sebuah buku tua yang di mukanya terpacak kalimat: Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.

Keesokan harinya, pada 23 Ferbuari 2056, saya mulai membaca manuskrip itu. Sesampainya di halaman terakhir, saya baru sadar kalau Prof. Joyokunwito benar-benar telah lenyap ditelan bumi.

4 komentar:

ikram mengatakan...

Menarik, Zen. Seperti biasanya. Tapi... "Dua tahun meninggalnya Kuntowijoyo" mungkin lebih tepat?

Just a thought :)

turabul-aqdam mengatakan...

Zen, 'just a thought' itu artinya 'sekadar pikiran sekilas'.

Kram, kalo di blog ini, dilarang pake bahasa inggris. si empunya bisa misuh-misuh.. hehe...

zen mengatakan...

Buat Ikram: aku pake "mendiangnya" untuk menandai bahwa kematian itu aku hayat sebagai sesuatu yang punya efek dan arti untuk kita yang hidup. bukankah mendiang itu sebutan dari orang yang hidup untuk yang mati?

Buat Arief: Pancen kowe kih senang membuka aib si empu. lek mung "just a tought" aku yo ngerti. **u kowe!

ikram mengatakan...

"robohnya surau kami"
"tenggelamnya kapal van der saar"

umumnya kata kerja. sementara, mendiang adalah kata benda.

don't you think?*

*bukankah begitu, menurutmu?