Kamis, April 12, 2007

Guru yang Membuka Tirai Tuhan (VI)

Pungkasan

Saya ingin katakan sejujurnya bahwa dengan mencoba tahu hubungan guru-murid, saya menjadi “maklum” kenapa, misalnya, dalam tradisi pesantren seorang kyai bisa begitu dihormati dan ditaati. Titahnya didengarkan sepenuh hati. Apa pun yang disentuh atau pernah disentuh sang kyai bisa menjadi barang keramat.

Orang-orang yang lahir dan hidup dari tradisi yang 180 derajat selisihnya dengan model jalan sufi, seperti saya ini contohnya, akan sukar mengerti hal ini. Ada kesenjangan kebudayaan dengan selisih jarak yang tak sedikit yang membuat hubungan guru-murid dalam tradisi pesantren akan susah mengerti. Dari selisih jarak kebudayaan inilah dakwaan ihwal feodalisme dan otoritarianisme hubungan guru-murid di pensatren bertebaran di mana-mana.

Tentu saja dakwaan itu tidak selalu keliru. Tapi karena dakwaan itu lahir dari cara baca yang belum sepenuhnya paham kultur dan struktur mental dunia pesantren, dakwaan itu kadang gagal meng-cover dimensi lain dalam hubungan guru-murid di pesantren selain sekadar feodalisme dan otoritarianisme saja.

Barangkali ini seperti pandangan orang-orang Barat dulu yang pernah menyebut kolonialisme sebagai proyek pemeradaban dunia Timur yang bar-bar dan jahiliyah. Keduanya sama dalam arti bahwa keduanya digerakkan oleh semangat universalisme: bahwa ada satu nilai yang berlaku universal dan dari nilai itulah semua gestur dan tekstur kebudayaan bisa dibaca, dijelaskan, dan jika mungkin dibentuk ulang.

Universalisme kebudayaan adalah jalan pintas yang dengan mudah menenggelamkan local genius.

Tapi bukan berarti saya sudah sepenuhnya mengerti. Itulah sebabnya di paragraf pertama bagian ini saya menyebut kata “maklum”. Ya, saya hanya bisa bilang sedikit maklum, karena saya tidak sepenuhnya yakin kalau saya sudah mengerti. Juga dalam hal sufisme. Saya sangat yakin, saya belum mengerti apa-apa dalam soal jalan sufi. Sebab jalan sufi bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari lewat buku, sesuatu yang sayangnya baru bisa saya lakukan.

Sufisme adalah dzawq. Cita rasa. Jika kita tidak mencicipi langsung kita tak akan pernah menegerti rasa sebuah makanan. Jika saya tidak bisa merasakannya langsung, itu bukan sufisme, tetapi pantulan cermin dari sufisme atau sebuah bayangan saja.

Itulah sebabnya saya ingin menyebut seri tulisan sufi ini sebagai sebuah “Peta Buta Hubungan Guru-Murid dalam Tradisi Sufi”. Ya, hanya sebuah peta buta. Mudah-mudahan tidak menyesatkan.

0 komentar: