Selasa, Januari 16, 2007

Luka-luka Kawabata (1)

Publik sastra Jepang tampaknya tak akan melupakan tanggal 16 April. Pada hari itulah, persisnya pada 1972, salah seorang putra terbaik yang pernah dilahirkan kesusatraan Jepang, ditemukan tewas tanpa meninggalkan inskripsi, tanpa saksi, dan tanpa testimoni. Yasunari Kawabata bunuh diri diam-diam.

Kawabata pergi berselang empat tahun setelah ia menangguk penghargaan Nobel Sastra, sebuah penghargaan yang tidak hanya melambungkan namanya ke langit-langit dunia sastra, tetapi juga memantik perhatian dunia terhadap khasanah kesusatraan Jepang modern. Terutama karena Kawabata-lah dunia mengenal sastra Jepang tak hanya dengan sosok Matsuo Basho dan haiku ciptaanya.

Bersama dengan eks-muridnya, Mishima, dan juga Tunichiro Tanizaki, Kobo Abe, Fumiko Enchi dan Kenzabure Oe (peraih Nobel Sastra 1994), Kawabata ada di deretan paling atas dari sebuah gelombang pembaharuan sastra Jepang pasca Perang Dunia II, sebuah gerakan yang kemudian dikenal dengan nama Post-war Litterature

Dalam arus pembaharuan itu, Kawabata bahkan disebut sebagai pemimpin dari gaya penulisan yang liris dan impresionis. Dalam puncak keberhasilan gaya itu, Kawabata dikenal sebagai sastrawan Jepang yang paling berhasil menciptakan banyak cerita dengan kadar sensibilitas estetik yang begitu lembut; sesuatu yang kemudian memengaruhi generasi sastrawan Jepang selanjutnya, dan bahkan memikat nama besar lain dalam jagat sastra, Gabriel Garcia Marquez, yang belakangan dipengaruhi oleh melankoli dan sensibilitas Kawabata (baca novel Marquez Memories of My Melancholy Whores).

Komite Nobel sendiri menyebut karya-karya Kawabata sebagai sebuah sumbangan berharga bagi perjumpaan spiritual antara Barat dan Timur. Tapi bagi saya, Kawabata bukan cuma berhasil memertemukan dunia spiritual Barat dan Timur. Yang sebetulnya jauh lebih menarik ketimbang penilaian Komite Nobel yang bernada seremonial itu adalah kenyataan di mana Kawabata diakui sebagai satu-satunya pengarang Jepang yang hampir terobsesi pada pencarian tapal batas antara keindahan dan brutalitas (Colliers Years Book; 1997).

Setidaknya ada dua karya Kawabata yang bisa diacu untuk hal penting itu. Kisah perselingkuhan dalam novel Beauty and Sadness bisa diacu sebagai salah satu contoh. Adegan yang menyayat itu terjadi ketika istri dari Oki, novelis yang berselingkuh, sedang mengetik naskah novel suaminya. Novel itu justru bercerita tentang perselingkuhan suaminya. Istri Oki yang sedang hamil itu juga tahu. Tapi ia nekat mengetiknya sendiri.

Yang dirasakannya kemudian adalah setiap hentakan di tuts mesin ketik rasanya seperti hunjaman-hunjaman pedang yang menohok batinnya. Begitu halaman terakhir novel itu selesai diketik, tuntas pula penderitaan sang istri: ia keguguran saat itu juga. Dengan darah yang menetes-netes dari selangkangannya.

Dalam cerita pendek Burung Kenari, Kawabata lebih jago lagi dalam mendemonstrasikan bagaimana hasil dari pencariannya terhadap batas antara brutalitas dan keindahan itu.

Di cerpen sangat pendek itu, Kawabata berkisah tentang seorang lelaki yang dengan penuh kasih memelihara seekor burung kenari yang diberikan kekasih gelapnya. Cerpen berbentuk sepucuk surat itu berisi pengakuan si lelaki tentang kebimbangan antara rasa rindu pada kekasih gelapnya dengan rasa bersalah terhadap istrinya yang begitu baik, yang bahkan ikhlas merawat burung kenari yang menjadi pengikat perselingkuhannya. Lewat surat terakhir yang ditulis persis di hari kematian istrinya, si lelaki memutuskan untuk menghentikan kisah cintanya yang terlarang.

Simbol sekaligus klimaks dari pertobatan lelaki itu dari kisah cinta yang terlarang, konflik batin, dan rasa rindu yang menggunung, dimanifestasikan Kawabata dengan ending yang nyaris brutal: diam-diam, lelaki itu berniat menyembelih hidup-hidup burung kenari yang jadi prasasti perselingkuhannya. Dan si lelaki, berniat mengubur sepasang burung itu, di liang yang sama di mana istrinya dikebumikan.

Dalam karya itulah saya kira Kawabata telah menemukan batas antara keindahan dan brutalitas. Dan ketika ia menemukan tapal batas yang dicarinya, yang ia lihat justru kaburnya batas antara brutalitas dan keindahan, persis seperti dua fragmen yang terpapar dalam dua kisah barusan.

0 komentar: