Rabu, Januari 10, 2007

Pedang di Kanan, Keris di Kiri

Di benteng Fort Rotterdam, Makasar, Diponegoro tutup yuswa di usia 77 warsa. Di detik-detik terakhir riwayatnya, Diponegoro hanya ditemani oleh istrinya, Raden Ayu Retnaningsih.

Diponegoro memang bukan Napoleon Bonaparte. Kita tahu, jenderal mungil yang pernah menggegerkan seantero Eropa itu, pernah dibuang ke pulau Elba. Tapi ambisinya tak surut. Dengan semua-mua jaringan yang masih ia miliki, disusunnya kekuatan. Seusai meloloskan diri dari pulau Elba, Napoleon dengan segera memulihkan kekuasaannya, sebelum kemudian kembali ditangkap untuk selamanya di pulau St. Helena hingga kematiannya.

Diponegoro, tak seperti Napoleon, seperti tak berminat melakukan hal ihwal yang dilakukan Napoleon beberapa tahun sebelum Java Oorlog digelar Diponegoro. Diponegoro seperti pasrah menelan takdir.

Alih-alih menyusun rencana perlawanan kembali, Diponegoro malahan menulis babad. Kita sekarang mengenalnya sebagai Babad Diponegoro: sebuah memoar yang mengambil bentuk tembang, yang tak cuma mengisahkan perjalanan hidupnya yang pasang surut, melainkan juga mencerminkan kejernihan dalam memandang pelbagai soal dunia yang penuh sengkarut.

Diponegoro lahir pada 11 November 1785 dengan nama kecil Bandoro Raden Mas Ontowiryo. Dia adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwana III dari selir bernama Raden Ayu Mangkorowati. Ketika dewasa, Diponegoro menolak kehendak ayahnya yang berniat menabalkannya sebagai Putra Mahkota. Bagi Diponegoro, statusnya sebagai anak seorang selir tidak memungkinkan dirinya menjadi Putra Mahkota.Dan itu tak tertawar.

Sejak kecil, Diponegoro menampakkan kecenderungan lebih menyukai dunia spiritual dan mistisisme dan cenderung menjauhi segala macam intrik politik di lingkungan Istana. Bibit perlawanan Diponegoro dimulai ketika Sri Sultan Hamengkubuwana V, yang masih berusia 3 tahun, dilantik sebagai Sultan pada 1822.

Diponegoro sebenarnya ditunjuk sebagai salah satu wali sekaligus penasihat Sultan muda itu. Tapi, Diponegoro tak bisa menolerir ketika kekuasaan di Istana justru lebih banyak dikendalikan oleh Belanda lewat kepanjangan tangan Patih Danureja. Diponegoro lebih memilih tinggal di Tegalrejo, daerah yang berjarak 4 kilometer ke arah barat dari istana. Di sinilah Perang Jawa (Java Orloog) yang menewaskan 15 ribu serdadu Belanda dan menghabiskan 15 ribu gulden itu pertama kali tergelar.

Perang yang berlangsung selama lima tahun itu dipicu pemasangan patok-patok di tanah yang menjadi hak Diponegro untuk pembangunan rel kereta api. Diponegoro murka karena sedikit pun ia tak diberitahu. Secara simbolik, Perang Jawa telah dimulai ketika Diponegoro, dengan tangannya sendiri, mencabut patok-patok itu.

Dengan ciri khas kuda putih dan pakaian serta surban serba putih, Diponegoro memimpin sendiri perlawanan bersenjata itu dari markas besarnya di Gua Selarong, Bantul. Chairil Anwar, dalam sajaknya berjudul Diponegoro, menggambarkan bagaimana Diponegoro menggelar perlawanannya yang panjang itu: “…Pedang di kanan, keris di kiri… Menyediakan api.”

Dua tahun pertama perlawanannya, Diponegoro berhasil memenangkan sejumlah pertempuran. Tapi, lambat laun, menyusul keberhasilan Belanda membujuk beberapa pengikut inti Diponegoro, perlawanan itu mulai melemah.

Dalam situasi seperti itulah Diponegoro menerima tawaran Jenderal de Kock untuk berunding di Magelang. Tepatnya pada 28 Maret 1930, ketika itu sedang memasuki bulan Ramadhan, Diponegoro ditangkap di Magelang. Adegan penangkapan Diponegoro itu diabadikan dengan sangat metaforik dalam sketsa yang digambar oleh Raden Saleh.

Kendati demikian, Diponegoro tetap diingat sebagai orang besar dalam kesadaran orang Jawa. Diponegoro dikenang sebagai pangeran yang dengan gagah berani menjunjung harga dirinya dan sekaligus menjunjung pula harga diri bangsa Jawa yang sudah seabad lebih dipermalukan Belanda.

Nama Diponegoro makin mewangi mengingat Diponegoro menggelar perlawanan itu bukan atas nama atau demi kekuasaan, karena Diponegoro sendiri sudah lama menampiknya. Itulah yang membedakan perlawanan Diponegoro dengan perlawanan yang dilakukan, misalnya, Trunojoyo atau Raden Mas Said (Mangkunegara I), sekaligus bisa menjelaskan kenapa Diponegoro bisa menangguk dukungan berlimpah dari rakyat jelata, para ulama dan beberapa petinggi istana sekaligus.

Dengan segala keterbatasannya, seperti tampak dari dukungan yang diperoleh Diponegoro, rakyat jelata terbukti punya kemampuan untuk melihat secara jernih mana perjuangan yang dialasdasari oleh ketulusan dan asketisme dan mana perjuangan yang semata demi kekuasaan. Tanpa memadang ruang dan waktu, ketulusan terbukti selalu dihargai dengan sangat tinggi oleh rakyat.

1 komentar:

turabul-aqdam mengatakan...

dan di di universitas berpenampang nama dia lah, aku berkuliah.

sungguh agung perjuangannya.