Jika diberi pilihan untuk memilih tempat tinggalnya setelah mati, Kawabata kemungkinan akan memilih tempat-tempat yang dingin, sunyi, hening sekaligus mencekam. Persis seperti cara ia menempuh kematian. Serupa dengan tema dan bangunan suasana yang sering ia munculkan dalam sejumlah karyanya.
Saya teringat Buah Delima. Cerpen yang ditulis Kawabata pada 1964 itu berkisah ihwal sepasang muda-mudi yang dipaksa berlerai cintanya oleh kecamuk perang yang tak bisa ditenggang. Di sebuah siang yang terik tapi senyap, disaksikan ibunda si gadis, keduanya bersemuka terakhir kali. Tak banyak yang terucap di siang itu. Cuma ada ucap pamit sekadarnya. Beberapa kerjap selepas kekasihnya pergi, gadis itu menemukan buah delima yang disuguhkannya ternyata tak dihabiskan kekasihnya. Hanya secuil bagian yang termakan.
Kisah itu sungguh menyenangkan dibaca karena Kawabata berhasil menyuguhkan roman cinta tanpa sekalipun memunculkan kata “cinta”. Tapi pembaca tahu, pasangan muda itu merasakannya kendati tak terucap. Terasa tapi tak terkata. Dan cinta yang merasuk itu dimanifestasikan lewat sebuah gerak yang begitu liris: si gadis, disertai pecahnya bilur-bilur tangis yang menyayat, dengan senang hati memakan sisa delima itu.
Kawabata, saya kira, memang amat senang mengeskplorasi konflik psikologi yang dihamparkan dengan halus, jauh dari meledak-ledak. Dalam banyak kasus, konflik dihadirkan sebagai bayang yang merasuk-mendalam, sesuatu yang subtil.
Di novel Beauty and Sadness, misalnya, konflik psikologis yang dipaparnya terasa demikian halus karena di puncak sebuah konflik atau perdebatan, Kawabata selalu mengimbuhinya dengan deskripsi latar yang detail dan indah dengan cara melukiskan bentang alam Jepang yang eksotik oleh salju dan tebaran kuil-kuil tua yang masih punya aura.
Obsesi Kawabata pada keheningan di tengah sebuah konflik yang nyaris memuncak terlihat pula pada adegan ketika Oki, tokoh utama yan berfrofesi sebagai novelis, bersua kembali dengan mantan selingkuhannya, Otoko. Dalam perjumpaan yang sudah ditunggu-tunggu lama, keduanya malah menghabiskan waktu hanya dengan mendiskusikan lukisan. Hanya sebiji kalimat Otoko yang memertautkan pertemuan itu dengan masa silam: ‘Sudah lama sekali….”. Cuma itu. Lain tidak.
Tapi jejalin diksi dan deskripsi latar yang disemai Kawabata berhasil membawa imaji pembaca untuk sampai pada kesimpulan: keduanya masih saling mencintai dan merindukan, sekalipun (lagi-lagi) mereka tak membicarakannya. Tentu saja, dalam usia mereka yang makin senja, paling tidak dalam kasus Oki dan Otoko, cinta dan kerinduan adalah perkara yang sulit, rumit, sumir, tetapi justru mewujud dalam bentuk yang intens dan mendalam.
Tuturan ihwal rasa sepi, hening serta gelombang emosi yang pasang surut yang dihayati secara personal dam diimbuhi oleh kepekaannya menangkap nuansa dan aura Jepang lama lewat pemeriannya yang khas terhadap ritual-ritual Jepang (misal: pemerian detail acara minum teh dalam The Thousand Cranes) atau dengan mendeskripsikan kuil-kuil tua Jepang (seperti dipaparkan dengann baik dalam Beauty and Sadness), terasa kian mengena karena ia juga bertutur dengan cara yang amat liris. Komplit sudah.
Itulah sebabnya dalam khasanah kesusasteraan Jepang ia dikenal sebagai “…narrative mastership, which with great sensibility expresses the essence of the Japanese mind."
Jumat, Januari 19, 2007
Luka-luka Kawabata (2)
Diposting oleh zen di 1:21 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Template asal oleh
headsetoptions
diadaptasi ke Blogger oleh
blog and web | dipercantik oleh udin
0 komentar:
Posting Komentar