Kamis, Januari 25, 2007

Luka-luka Kawabata (3)

Kisah-kisah yang sering menggambarkan batin yang terluka, yang dihayati dengan sunyi, hening, liris dan terkadang suram itu seperti menjadi pantulan dari luka yang mengeram dalam struktur kesadaran generasi Jepang yang sempat menyaksikan akibat merusak dari perang Dunia II yang melibatkan Jepang dalam baku bunuh yang membikin (rakyat) Jepang tidak hanya kikuk berhadapan dengan Barat, melainkan juga canggung menghadapi bangsa-bangsa Asia lain yang pernah merasakan getirnya laku bengis tentara Jepang.

Lewat pidato yang dibacakan di depan Komite Nobel Sastra pada 1994, Kenzaburo Oe seakan sedang menapaktilasi struktur kesadaran generasi pengarang Jepang pasca perang, dan tentu bisa dibaca pula sebagai pembacaannya terhadap Kawabata sebagai eksponen terpenting generasi post-war litteratur.

Selengkapnya......

Jumat, Januari 19, 2007

Luka-luka Kawabata (2)

Jika diberi pilihan untuk memilih tempat tinggalnya setelah mati, Kawabata kemungkinan akan memilih tempat-tempat yang dingin, sunyi, hening sekaligus mencekam. Persis seperti cara ia menempuh kematian. Serupa dengan tema dan bangunan suasana yang sering ia munculkan dalam sejumlah karyanya.

Saya teringat Buah Delima. Cerpen yang ditulis Kawabata pada 1964 itu berkisah ihwal sepasang muda-mudi yang dipaksa berlerai cintanya oleh kecamuk perang yang tak bisa ditenggang. Di sebuah siang yang terik tapi senyap, disaksikan ibunda si gadis, keduanya bersemuka terakhir kali. Tak banyak yang terucap di siang itu. Cuma ada ucap pamit sekadarnya. Beberapa kerjap selepas kekasihnya pergi, gadis itu menemukan buah delima yang disuguhkannya ternyata tak dihabiskan kekasihnya. Hanya secuil bagian yang termakan.

Selengkapnya......

Selasa, Januari 16, 2007

Luka-luka Kawabata (1)

Publik sastra Jepang tampaknya tak akan melupakan tanggal 16 April. Pada hari itulah, persisnya pada 1972, salah seorang putra terbaik yang pernah dilahirkan kesusatraan Jepang, ditemukan tewas tanpa meninggalkan inskripsi, tanpa saksi, dan tanpa testimoni. Yasunari Kawabata bunuh diri diam-diam.

Kawabata pergi berselang empat tahun setelah ia menangguk penghargaan Nobel Sastra, sebuah penghargaan yang tidak hanya melambungkan namanya ke langit-langit dunia sastra, tetapi juga memantik perhatian dunia terhadap khasanah kesusatraan Jepang modern. Terutama karena Kawabata-lah dunia mengenal sastra Jepang tak hanya dengan sosok Matsuo Basho dan haiku ciptaanya.

Selengkapnya......

Rabu, Januari 10, 2007

Pedang di Kanan, Keris di Kiri

Di benteng Fort Rotterdam, Makasar, Diponegoro tutup yuswa di usia 77 warsa. Di detik-detik terakhir riwayatnya, Diponegoro hanya ditemani oleh istrinya, Raden Ayu Retnaningsih.

Diponegoro memang bukan Napoleon Bonaparte. Kita tahu, jenderal mungil yang pernah menggegerkan seantero Eropa itu, pernah dibuang ke pulau Elba. Tapi ambisinya tak surut. Dengan semua-mua jaringan yang masih ia miliki, disusunnya kekuatan. Seusai meloloskan diri dari pulau Elba, Napoleon dengan segera memulihkan kekuasaannya, sebelum kemudian kembali ditangkap untuk selamanya di pulau St. Helena hingga kematiannya.

Selengkapnya......